Kasus Lion Air dan AirAsia
Chappy Hakim ;
Chairman CSE Aviation
|
KOMPAS, 21 Mei
2016
Dunia penerbangan
Indonesia tercoreng kembali dengan dua peristiwa memalukan di pertengahan Mei
ini. Peristiwa pertama di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta, Lion Air
menurunkan penumpang dari Singapura-Jakarta di terminal domestik.
Ironisnya peristiwa
ini baru diketahui setelah ada salah seorang penumpang menyampaikannya di
media sosial. Peristiwa sejenis beberapa hari kemudian menimpa juga maskapai penerbangan
AirAsia di Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai Denpasar, Bali, pada 17 Mei.
Pada kedua peristiwa
itu seperti biasa penumpang akan diangkut dengan bus penjemput untuk dibawa
ke terminal kedatangan internasional dengan menjalani pemeriksaan imigrasi,
kepabeanan, termasuk untuk barang bawaannya. Namun, yang terjadi, adalah
mereka dibawa ke terminal domestik, sehingga tidak melalui jalur imigrasi dan
standar prosedur kedatangan internasional.
Peristiwa di Bandara
Soekarno-Hatta itu pun baru terungkap setelah empat hari dari saat kejadian
itu berlangsung. Parahnya lagi, Kementerian Perhubungan sebagai National Aviation Authority justru
mengetahuinya dari media sosial. Ini benar-benar merupakan sebuah kesalahan
fatal yang sangat serius.
Kesalahan fatal
Pada suatu bandara
international, menurut regulasi Organisasi Penerbangan Sipil Internasional
(ICAO), yang bertanggung jawab dan memiliki wewenang di situ, adalah airport
authority. Akan tetapi, pada kenyataannya di Bandara Soekarno-Hatta dan
Bandara Ngurah Rai, selain ada airport authority yang merupakan perpanjangan
kewenangan Kementerian Perhubungan, ada pula pihak pengelola bandara, yaitu
PT Angkasa Pura, dan di Bandara Soekarno-Hatta masih ada lagi pihak
kepolisian dari Polres Metro Soekarno Hatta International Airport (SHIA).
Jadi, terdapat tiga institusi yang berkepentingan dan menangani masalah
keamanan.
Hal ini kiranya akan
merupakan bahan kajian tersendiri yang menarik, karena dengan hadirnya ketiga
institusi yang sama-sama bertanggung jawab terhadap unsur keamanan, masih
dapat juga terjadi penumpang pesawat rute internasional masuk dengan tidak
melewati imigrasi dan standar prosedur kedatangan internasional. Kedua
peristiwa itu, sekali lagi, adalah merupakan kesalahan fatal yang sangat
serius.
Saat ini seluruh
negara di dunia tengah menghadapi tantangan bersama yang juga merupakan
global common threat, yaitu
terorisme serta bahaya peredaran narkotika dan obat-obatan berbahaya
(narkoba). Kedua persoalan ini sudah dirasakan sebagai ancaman bersama yang
membayangi keamanan nasional di pentas global.
Kita masih ingat aksi
teroris yang paling mengemuka sepanjang sejarah, berupa pembajakan pesawat
terbang yang meruntuhkan menara kembar kebanggaan Amerika Serikat (AS), yang
kemudian dikenal sebagai insiden 9/11.
Peristiwa itu telah
membuat AS tidak lagi merasa cukup aman dengan telah memiliki Pentagon
(Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Marinir, dan Coast Guard). AS
juga tidak merasa nyaman, walaupun memiliki Central Intelligence Agency (CIA)
dan Federal Bureau of Investigation (FBI). Karena itu, AS kemudian membangun
institusi baru yang bernama Department of Homeland Security.
Khusus di bidang
transportasi, mereka membentuk institusi baru yang diberi nama Transportation
Security Administration (TSA). Lembaga inilah yang kemudian membuat semua
orang yang bepergian di kawasan AS menjadi tidak nyaman lagi, karena
dilakukan penjagaan ketat dan bahkan super ketat pada setiap orang yang
keluar dan masuk di wilayah yurisdiksi AS.
Mengenai bahaya narkoba,
Indonesia belakangan ini sudah dilihat bukan lagi menjadi negara transit,
tetapi sudah menjadi negara tujuan, dan bahkan negara produsen. Karena itu,
peristiwa di Bandara Soekarno-Hatta dan Bandara Ngurah Rai menjadi sangat
penting dan sekaligus sangat fatal, karena penumpang dari luar negeri bisa
keluar tanpa melewati imigrasi dan prosedur standar kedatangan penumpang dan
barang internasional.
Sebenarnya peristiwa
ini adalah sebuah hasil dari kecerobohan dalam pengelolaan penerbangan
nasional yang sudah berlangsung sejak 10 hingga 15 tahun yang lalu.
Pertumbuhan penumpang yang sangat pesat tidak segera diiringi dengan
menyiapkan sumber daya manusia penerbangan, seperti pilot, teknisi, dan ATC
controller. Juga ketertinggalan dari berbagai infrastruktur pendukung operasi
penerbangan di Tanah Air.
Tak bisa membedakan
Kesenjangan itulah
yang kemudian menampilkan amburadulnya dunia penerbangan kita. Kesemrawutan
lalu lintas udara, terutama di Bandara Soekarno-Hatta tidak diatasi dengan
baik, dan justru dipindahkan begitu saja ke Lanud Halim Perdanakusuma. Lebih
parah lagi, yang terjadi kemudian, adalah penambahan rute-rute baru
penerbangan di Lanud Halim Perdanakusuma ternyata berbuah tabrakan dua
pesawat pada April lalu. Puncaknya adalah di Bandara Soekarno-Hatta dan
Bandara Ngurah Rai orang sudah mulai tidak bisa lagi membedakan penerbangan
internasional dan penerbangan domestik
Bila kita dalami lebih
jauh lagi, realitanya Indonesia sejak 2007 masuk dalam kelompok negara yang
dinilai belum mampu memenuhi persyaratan International Aviation Safety
Standards dari ICAO. Kita tengah berusaha keras untuk memenuhi persyaratan
tersebut dan di samping itu sebenarnya belakangan ini kita juga tengah
berusaha untuk dapat kembali menjadi member council di ICAO.
Di sisi lain,
Indonesia juga tengah berjuang melaksanakan instruksi presiden untuk dapat
mengambil alih penyelenggaraan flight information region Singapura yang
letaknya mencakup sebagian besar dari wilayah udara kedaulatan Indonesia di
kawasan perbatasan yang kritis. Dengan kejadian yang sangat parah dan
memalukan ini, dipastikan upaya dan perjuangan yang tengah kita lakukan
bersama itu semua, dapat menjadi sia-sia belaka bahkan dapat menjadi sangat
kontra produktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar