Jumat, 30 November 2012

BUMN “Cap Sapi Perah” Politisi


BUMN “Cap Sapi Perah” Politisi
W Riawan Tjandra ; Direktur Program Pascasarjana dan 
Dosen FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
SINDO, 30 November 2012


Informasi pemerasan BUMN oleh sebagian oknum anggota DPR telah menjadi pemberitaan seru di berbagai media massa selama satu setengah pekan terakhirDahlan mengakui, awalnya, ia tidak menduga short message service (SMS) yang disampaikan kepada Presiden SBY menjadi pemberitaan ramai, bahkan menempatkan dirinya berhadap-hadapan dengan DPR. 

Pesan singkat kepada Presiden yang juga disampaikan kepada Seskab Dipo Alam tersebut telah bocor ke tangan media massa. Karena sudah telanjur bocor, Dahlan pun melaporkan pesan yang sama kepada Dewan Kehormatan DPR dengan tambahan informasi, yakni dua nama anggota Dewan yang terindikasi melakukan pemerasan. Pada pesan singkat kepada Presiden yang ditembuskan ke Seskab, Dahlan tidak menggunakan kata pemerasan, melainkan, “Ada anggota DPR yang minta jatah di BUMN.

Kalangan politisi Gedung Miring, dari anggota hingga ketua DPR, meradang dan beramai-ramai menyerang balik Dahlan. Mantan wartawan ini dinilai hanya mencari sensasi dan popularitas.Mereka mengultimatum: kalau serius, laporan yang didukung bukti seharusnya oleh Dahlan langsung disampaikan ke pihak kepolisian atau KPK.

Ada pula yang mengaitkan Dahlan dengan ambisinya untuk melangkah lebih jauh pada Pemilu 2014, entah sebagai calon presiden atau wakil presiden. Badan usaha milik negara (BUMN) dalam konstruksi UU Nomor 19/2003 dinisbatkan sebagai salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi dan mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. 

Undang-undang Nomor 19/2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara mendefinisikan BUMN sebagai badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Selanjutnya, UU BUMN mengklasifikasikan tipologi BUMN meliputi perusahaan perseroan, perusahaan perseroan terbuka, dan perusahaan umum. 

Perusahaan perseroan adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Perusahaan perseroan terbuka, yang selanjutnya disebut persero terbuka,adalah persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Perusahaan umum, yang selanjutnya disebut perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Kementerian BUMN berupaya melakukan penataan ulang BUMN dengan mengurangi 15 perusahaan milik negara hingga kuartal I/2012 dengan program right sizing jumlah BUMN melalui program restrukturisasi dengan pola akuisisi. 

Nantinya, hanya akan tinggal 126 BUMN dari saat ini sebanyak 141 BUMN yang terdiri atas 13 klasifikasi bidang usaha di atas. 15 perusahaan yang dikurangi tersebut adalah perusahaan yan g cenderung merugi dan tidak memiliki prospek bisnis. BUMN yang seringkali menerima aliran uang negara dari APBN yang dipisahkan mengharuskannya untuk memenuhi sistem audit dan pelaporan menurut standar pelaporan keuangan negara,sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17/2003, UU Nomor 1/2004, UU Nomor 15/2004 dan UU Nomor 15/2006. 

Sistem pelaporan tersebut seharusnya merupakan wilayah pertanggungjawaban keuangan negara yang dikelola BUMN berdasarkan standar tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Transformasi pengelolaan BUMN berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2003 hingga kini belum sepenuhnya berjalan dengan optimal. Melalui audit investigatif yang dilakukan oleh BPK terhadap 81 objek pemeriksaan pada 62 entitas pada semester I-2012 ditemukan adanya 702 kasus ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan senilai Rp5,26 triliun.

Di antara temuan ketidakpatuhan tersebut 63 kasus terjadi di lingkungan BUMN yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian,dan kekurangan penerimaan senilai Rp2,5 triliun. Ajang transaksi politik selama ini memang ditengarai terjadi dalam proses pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan negara yang dalam kerangka pengawasan politik harus disampaikan kepada DPR. Ranah pengawasan politik DPR selama ini ditengarai telah dijadikan arena transaksi kepentingan politik-ekonomi yang menjadikan BUMN “sapi perah” para politisi untuk meraup money politics. 

Pengawasan yang dilaksanakan oleh DPR dalam sistem presidensial semestinya tidak boleh sampai terlalu mendetail hingga ke satuan tiga (di lingkungan kementerian) atau di level teknis-operasional (di lingkungan BUMN). Sistem pengawasan bak sistem parlementer inilah yang sering mengundang para politisi senayan bergentayangan merambah wilayah eksekusi kebijakan baik di lingkungan kementerian atau BUMN. Pola pengawasan yang tak jarang dijadikan ajang transaksi kepentingan politik semacam itu menyebabkan kinerja BUMN selama ini tersendat dan menimbulkan dampak ekonomi biaya tinggi (high cost economy).

Akhirnya, ujung dari proses transaksi kepentingan tersebut adalah tekanan ekonomi yang berdampak pada harga jual produksi yang tinggi dan dibebankan kepada rakyat selaku pelanggan (customer). Pertalian transaksi politikekonomi semacam itu telah menjadikan kerumitan tersendiri bagi Kementerian BUMN untuk melakukan pembenahan BUMN sesuai amanat UU Nomor 19/2003. Tekanan politik dalam pengelolaan BUMN dengan sistem “jatah-menjatah” (meminjam istilah Dahlan Iskan) untuk politisi Gedung Miring telah menjadikan BUMN sulit dikelola secara profesional dengan pola business oriented murni. 

Ke depan, dengan terungkapnya persoalan “jatah-menjatah” kepentingan di BUMN untuk para politisi perlu dilakukan penataan ulang mekanisme pengelolaan BUMN sejak dari proses kebijakan hingga pertanggungjawaban yang mampu mengeliminasi masuknya kepentingan politik dalam pengelolaan BUMN. Hal itu harus dimulai dengan memperkuat sistem regulasi yang menjadikan BUMN steril dari intervensi politik dan diikuti dengan restrukturisasi menyeluruh terhadap organisasi maupun tata kerja BUMN. Jangan ada lagi BUMN “cap sapi perah” politisi!

The Manic Society


The Manic Society
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
SINDO, 30 November 2012


Ya Tuhan, anugerahilah aku kesabaran dan keuletan menghadapi beban hidup yang terasa kian berat menghimpit hati serta pikiran sehingga hampir setiap hari saya selalu mengeluh dan bahkan bertengkar dengan orang-orang di sekelilingku sehingga hidupku menjadi tidak produktif dan tidak tenang. 

Coba baca dengan cermat dan pelan-pelan ungkapan doa di atas, lalu dianalisis psikologi orang yang memanjatkan doa itu. Mungkin sekali dia tengah merindukan kehidupan yang tenang, tertib, dan damai di tengah suasana sosial yang membuatnya serbaterburuburu. Namun dalam penulisan dan ucapan doa di atas terjadi sebuah paradoks. 

Doa yang mestinya diucapkan dengan tenang dan khusyuk di hadapan Tuhan, tetapi emosinya tak terkendali, serbaterburuburu, tergesa-gesa sehingga muncul jarak akal dan perasaan, antara makna dan rasa. Sebuah kalimat yang indah dan benar jika disampaikan dengan buru-buru, tanpa titik,koma,dan intonasi akan kehilangan makna. Itulah yang dimaksud the manic society. Kata manicberasaldari mania yang dalam kajian psikologi menunjukkan orang yang bersikap impulsif, serbaingin cepat, buru-buru, obsesif sehingga akal sehatnya tidak bekerja dengan baik karena dikalahkan oleh emosinya.

Meminjam ungkapan Robert Holden, masyarakat kota besar pada umumnya sudah terperangkap ke dalam fast society atau manic society yang selalu menginginkan dan memuja kecepatan. Apa pun yang dianggap baik adalah yang serbacepat. Istilah the manic society ini mengingatkan saya pada firman Tuhan dalam Alquran: “Sesungguhnya manusia itu selalu ingin tergesagesa. Wa kana al-insanu ‘ajula” (QS 17:11). 

Karena ingin selalu cepat, masyarakat kota yang serbasibuk selalu mencari dan memuja teknologi yang menjanjikan segala sesuatu serbacepat, kilat, ekspres. Orang cenderung memesan foto kilat, titipan kilat, makanan cepat saji, jalan tol, naik pesawat terbang, dan segala sesuatu yang serbainstan kalau bisa sehingga muncul istilah budaya instan. Ini menjadi fatal akibatnya ketika masuk dalam dunia pendidikan,dunia kerja, dan dunia politik.

Orang ingin segera memperoleh titel sarjana dan memperoleh ijazah secara instan sehingga muncul perdagangan titel kesarjanaan. Seorang pegawai ingin segera kaya dan memiliki rumah dan mobil mewah, maka muncul budaya korupsi. Kalau korupsi itu budaya, akankah koruptor nantinya disebut budayawan? Dalam dunia politik juga terlihat. Hanya dengan mengandalkan uang, koneksi keluarga, dan popularitas, sekarang orang ramai-ramai punya mimpi ingin jadi bupati, wali kota, gubernur, dan bahkan presiden, tetapi tidak selalu didukung dengan kompetensi dan kredibilitas.

Orang bisa saja meraih sesuatu dengan kilat, tapi sangat mungkin dalam dirinya terdapat ruang kosong,menganga, yang mestinya diisi kedalaman ilmu, pengalaman panjang,dan integritas. Oleh karenanya orang yang dengan cepat kilat merasa berhasil berdiri di puncak ketinggian, jangan-jangan akan cepat pula proses turun atau kejatuhannya. 

Orang Inggris punya ungkapan: easycome,easy go.Apa yang dengan mudah meraihnya, jangan-jangan dengan mudah pula perginya. Atau lebih tepat lagi: fastly come, fastly go. Datangnya cepat, perginya pun cepat. Cepat tidak selalu jelek asal benar-benar disertai kelengkapan dan kehati-hatian. Kalau memang sebuah tugas dan misi bisa dilakukan dengan cepat, mengapa harus pelanpelan dan lambat? Dalam peperangan atau pertandingan sepak bola, siapa yang lebih cepat dan akurat melakukan serangan, mereka yang akan menang. 

Tapi yang bahaya adalah jika emosi yang selalu ingin buruburu meraih kemenangan tanpa disertai nalar sehat dan kesiapan matang, maka kekalahan dan kerugian yang didapat. Demikianlah, maka menarik untuk merenungkan pesan Islam tentang konsep niat dan istiqamah. Tema ini tentunya tidak disengaja dibahas secara mendalam oleh Eckhart Tolle dalam bukunya The Power of Now. Dalam niat, seseorang disadarkan dan diajarkan untuk menghadirkan kesadaran dan eksistensi diri sebagai pusat realitas, membebaskan diri dari gravitasi kemarin dan besok.

Yang ada adalah aku yang mengendalikan realitas sekarang (now)dan di sini (here). Kesadaran akan kedisinian (hereness) dan kekinian (nowness) akan membuat seseorang fokus dan total dalam melakukan sesuatu. Orang yang terbiasa berpikir kontemplatif akan mampu bertahan dari arus dan gelombang the manic society. Dia akan lebih proaktif menciptakan pengaruh bagi lingkungannya, bukannya jadi objek yang dipengaruhi.

Dia akan lebih jeli dan jernih melihat detail-detail yang berlangsung di sekitarnya tanpa kehilangan visi dan peta globalnya.Mendengarkan musik lembut, meditasi, dan berdoa bisa membantu seseorang untuk berpikir dan bersikap lebih tenang. Dalam the manic society yang serbaingin cepat,muncul penyakit sosial Tiga-H, yaitu hurried, hostile, humourless. 

Orang selalu ingin buru-buru (hurried), tidak tenang, tidak bisa menikmati suasana kedisinian (hereness) dan kekinian (newness), gelisah, selalu merasa dikejar-kejar waktu. Situasi kejiwaan ini memunculkan sikap hostile, yaitu rasa persaingan, permusuhan, perebutan, kekhawatiran kalah dan tidak kebagian sehingga hidup selalu dibayangi konflik, persaingan. 

Dalam panggung politik dan bisnis, hostility ini begitu terlihat. Implikasi dari sikap yang tidak mau ketinggalan dan selalu ingin memenangi persaingan, muncul sikap humourless. Orang kehilangan selera humor. Wajahnya selalu tampak serius, tegang, tidak bisa menikmati suasana rileks dan santai. Akibat lebih lanjut, berbagai penyakit mudah datang.

Rezim Pronatalis


Rezim Pronatalis
Elfindri ; Guru Besar Ekonomi SDM Universitas Andalas
SINDO, 30 November 2012


Ketika pertanyaan tentang dampak keabsahan dari teori Thomas Robert Malthus tentang pertumbuhan penduduk menurut deret ukur, sementara pertumbuhan bahan makanan menurut deret hitung diajukan, National Academic Sience of America (NASA) membuat kelompok kerja untuk menjawab pertanyaan itu. 

Kajian pertama kali dikoordinasikan oleh Ansley Coale dan Edgar M Hoover dan melihat India sebagai daerah kajian. Kajian pada awal 1960-an membuktikan bahwa pertumbuhan penduduk menghalangi pembangunan. Berlawanan dengan itu,Julian Simon,ekonom Amerika, membantah bahwa hubungan antara pertumbuhan penduduk terlihat tidak jelas (negligible). Rekomendasi dari hasil kajian itu adalah negara berkembang disarankan untuk masuk ke rezim anti-natalis.Di dalam rezim pembangunan, penduduk mesti dikendalikan. 

Cara pengendalian adalah dengan mengurangi angka kelahiran melalui program keluarga berencana,memajukan pendidikan wanita, dan ekonomi keluarga. Indonesia sangat jelas menggunakan cara pandang itu ketika Profesor Widjojo Nitisastro, ekonom UI, menjabat ketua Bappenas sejak Repelita II, 1974. Ketika itu persoalan kependudukan terintegrasi ke dalam perencanaan pembangunan. Pada awal periode pertama, Jawa dan Bali dijadikan sebagai prioritas program KB nasional, kemudian dilanjutkan ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara sebagai prioritas tahap berikutnya. 

Intensifnya kebijakan keluarga berencana di Indonesia telah menyebabkan transisi demografi begitu cepat di Indonesia. Jawa dan Bali tercatat sebagai daerah dengan angka kelahiran yang turun lebih cepat dari perkiraan. Sumatra dan daerah lain mengikutinya. Proses ini berlanjut dan berakhir menjelang kejatuhan Soeharto. Setelah zaman reformasi, sepertinya aspek kependudukan kehilangan petunjuk dan arah. Tampaknya berbalik ke rezim yang tidak mendapatkan perhatian utama, atau setidaknya menganut berlawanan dengan antinatalis, alias pronatalis. 

Rezim Pronatalis 

Dikatakan tidak terarah jelas ketika target angka kelahiran total (TFR) pada tahun 2015 sebesar 2,1 per wanita dipastikan tidak akan tercapai. Kenapa? Mari kita simak hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia(SDKI) duaseriwaktu terakhir. SDKI 2007 dan 2012 merupakan dua informasi terakhir dari data kependudukan di Indonesia. Isi dari keduanya menunjukkan bahwa angka kelahiran, yang dihitung dari rata-rata kelahiran wanita berusia 15-49 tahun,telah mengalami kenaikan dari 2,4 per wanita, menjadi 2,6. 

Sebuah pertanda terjadi kenaikan dari angka kelahiran.Temuan demikian sejalan dengan hasil sensus penduduk 2010,di mana jumlah penduduk Indonesia melebihi dari perkiraan yang ditetapkan sebelumnya. Bagaimana menjelaskan fenomena itu? Beberapa penjelasan diperkirakan dapat dijadikan titik kritis kenapa Indonesia menganut rezim pronatalis, rezim pemerintahan dengan kebijakan kependudukan menggunakan skenario lemah untuk kebijakan mengendalikan kelahiran. 

Pertama, desentralisasi pembangunan telah mengurangi arti komando dari kebijakan kependudukan semasa Emil Salim dan Haryono Suyono. Kedua menteri ini telah memberikan perhatian intensif terhadap persoalan kependudukan. Terpusatnya program kependudukan dan keluarga berencana (KB) dapat menggerakkan dan mengimplementasikan program kependudukan secara intensif. Jangkauan program sampai pada pasangan usia subur (PUS), dan menggerakkan para petugas keluarga berencana volunteer di lapangan. 

Ketika desentralisasi digulirkan, sebagian besar pemerintah daerah tidak mengelola persoalan kependudukan menjadi program penting, tidak seaktif rezim sebelumnya. Boleh dibilang sangat langka pemerintah daerah yang mengalokasikan APBD untuk kebijakan kependudukan, kecuali peranan dari dinas catatan sipil, karena terintegrasi dengan struktur organisasi di pemerintah daerah.Pada masa ini,kalaupun BKKBN masih ada pada level provinsi, corak dan intensitas kebijakan kependudukan relatif terbatas. 

Kedua, sebagai akibat dari yang pertama, target untuk menjangkau pasangan usia subur menjadi tidak begitu terarah. Angka penggunaan kontrasepsi pada kisaran 70 persen memang bisa dicapai. Namun, efektivitas penggunaan alat kontrasepsi menjadi berkurang karena pengguna KB pada umumnya adalah wanita dan berdimensi jangka pendek. Suntik dan pil adalah dua jenis alat kontrasepsi utama jangka pendek, sementara IUD dan kondom relatif sedikit yang menggunakan, apalagi KB pria. 

Karenanya kelahiran yang tidak direncanakan,unwanted birth, menjadi relatif masih tinggi. Ketiga, masih belum adanya strategi yang bersungguhsungguh untuk menjangkau pasangan yang sebenarnya ingin menghentikan kelahiran, unmeet need.Namun, mereka tidak memperoleh pelayanan keluarga berencana. Angka ini sangat nyata dan kelihatan tidak bergerak turun pada dua kurun waktu survei. SDKI 2007 dan 2012 masih menunjukkan angka unmeet need masih berkisar antara 11- 12%.Padahal jika program KB diarahkan pada kelompok ini, sebenarnya akan semakin baik dampaknya terhadap penurunan angka kelahiran. 

PUS Inklusif 

Jika tiga persoalan di atas sebagai penjelas negara masuk ke dalam rezim pronatalis, sebenarnya pendirian untuk mengendalikan jumlah penduduk sudah saatnya. Fokus dapat ditujukan pada kelompok pasangan PUS inklusif. Siapa mereka? Mereka adalah kelompok pasangan usia subur yang secara geografis tinggal di daerah yang sulit terjangkau pelayanan petugas keluarga berencana.Mereka mendiami wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, masyarakat pedalaman hutan dan perkebunan, masyarakat tertinggal, perbatasan, miskin, suku terasing, dan kelompok khas yang menganggap banyak anak banyak pejuang. 

Strategi untuk menjangkau mereka adalah mesti lebih aktif ketimbang reaktif. Berbagai cerita sukses kader KB-KES di lapangan menunjukkan bahwa saatnya untuk melakukan revitalisasi kader KB-KES di daerah-daerah tersulit. Kader direkrut dan berciri integritas yang terbaik. Saat bersamaan fungsi mereka dapat mengangkat kesenangan untuk bekerja melayani sampai ke pelosok- pelosok. Keberadaan kader bekerja sama dengan bidan desa akan menjadikan sebuah gerakan baru. 

Bearfoot program yang sukses di China bercirikan pada integritas yang tinggi dan memberikan pelayanan yang pasti oleh tenaga medis sampai ke pelosok-pelosok menjangkau keluarga yang berisiko tinggi memiliki angka kelahiran di atas rata-rata. Saat bersamaan pemerintah daerah juga dapat menjadikan program KB terintegrasi dengan program pembangunan lainnya. Sudah saatnya anak-anak mereka untuk memperoleh akses pada layanan khusus pendidikan. 

Sudah saatnya juga keluarga ini memperoleh kepastian dalam setiap program pemberdayaan ekonomi. Sudah saatnya juga kampanye kependudukan diarahkan kepada kelompok ini. Sekiranya ada kepastian diarahkan kepada keluarga ini,maka dalam waktu yang tidak terlalu lama akan berbalik rezim ini masuk ke dalam kebijakan pembangunan yang berwawasan kependudukan. Kapan? Menunggu kemudahan hati SBY-Boediono atau penerusnya.

Mencabut Grasi dari Hak Prerogatif


Mencabut Grasi dari Hak Prerogatif
Sulardi ; Dosen FH Universitas Muhammadiyah Malang
REPUBLIKA, 29 November 2012


Pada awalnya, tidak ada masalah dengan grasi, yang berupa pengampunan atau pengurangan hukuman oleh presiden. Justru, pada pemerintahan yang baik, keberadaan grasi merupakan suatu keharusan. Sebab, dengan adanya grasi, presiden dapat mengurangi atau membatalkan keputusan lembaga yudi- katif yang dirasakan terlampau berat bagi terpidana.

Sejauh ini, pemberian grasi dalam tataran ketatanegaraan dipahami sebagai hak prerogatif presiden. Sehingga, grasi yang sudah diberikan sudah tertutup kemungkinannya untuk dibatalkan secara hukum. Aturan mengenai grasi diatur Pasal 14 (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

Sesungguhnya, UUD 1945 tidak menganut konsep hak prerogatif. Karena itu, hak prerogatif mengenai pemberian grasi itu pantas dikritisi. Sebab, acap kali grasi bertolak belakang dengan konteks situasi bangsa dan negara Indonesia saat ini yang sedang memerangi korupsi dan narkoba. Pemberian grasi terhadap narapida korupsi dan narkoba dirasakan telah mencederai perasaan keadilan masyarakat Indonesia.

Pada masa jabatan Presiden SBY yang kedua ini, tercatat dua kali pemberian grasi terhadap narapidana kasus narkoba. Pertama, grasi yang diberikan kepada Corby, kedua, kepada Ola. Kedua pemberian grasi tersebut mendapat tanggapan beragam antara pro dan kontra, tak terlepas dari situasi negara ini yang sedang memerangi narkoba.

Keputusan Presiden SBY memberikan grasi berupa pengurangan lima tahun hukuman penjara kepada terpidana kasus narkotika, Schapelle Corby, sangat pantas disesalkan. Harapan Pemerintah Indonesia atas pemberian grasi terhadap Corby memberikan pesan kepada Pemerintah Australia agar melakukan hal serupa terhadap tahanan asal Indonesia, khususnya anak di bawah umur yang cukup banyak karena terlibat penyelundupan manusia. Namun, faktanya tidak jelas timbal balik apa yang didapat Indonesia dari pemberian grasi itu.

Secara umum, ada dua jenis bentuk legal formal produk hukum yang sering dikeluarkan oleh presiden dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintah. Pertama, dalam bentuk keputusan presiden (keppres). Keppres dalam perspektif hukum administrasi masuk dalam kategori beschikking. Kedua, dalam bentuk peraturan presiden (perpres). Jadi, pemberian grasi oleh presiden dilihat dari sisi hukumnya merupakan produk hukum dalam bentuk beschikking. Dalam hukum administrasi negara, untuk menguji suatu beschikking yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara (termasuk presiden), yakni melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Pertanyaannya, bisakah kepres pemberian grasi diuji melalui PTUN? Dapatkah atas dasar hak prerogatif presiden menghilangkan hak warga negara untuk menguji keppres tersebut. Padahal, hak prerogatif presiden merupakan hak konstitusional presiden yang tidak dapat diganggu gugat.

Pemberian grasi terakhir yang mendapat perhatian cukup serius adalah pemberian grasi terhadap Meirika Franola (Ola). Grasi ini diduga banyak ke- janggalan dan terkesan dipaksakan. Pertama, terkait fakta persidangan dan pertimbangan hukum putusan hakim, mulai dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi, hingga Mahkamah Agung. Ketiganya memiliki penilaian yang sama bahwa Ola merupakan bagian dari sindikat peredaran narkoba, bukan seperti yang disampaikan SBY bahwa Ola hanya seorang kurir.

Kedua, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan telah dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, hukuman mati merupakan hukuman yang konstitusional. Dengan demikian, keputusan presiden menghilangkan hukuman mati untuk Ola tidak tepat lantaran hanya karena melihat tren di negara lain yang cenderung hukuman mati menurun.

Ketiga, dari sisi kemanusiaan dan keadilan atas jutaan korban dan calon korban narkoba serta keluarga yang ditinggalkan, seharusnya tidak diabaikan presiden hanya demi seorang Ola. Padahal, Mahkamah Agung juga telah menyatakan, alasan untuk memberikan grasi kepada Ola tidak cukup. Ola yang masih mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang belakangan diduga terlibat lagi dan bahkan mengotaki peredaran narkoba dengan jaringan dari luar negeri. Kasus ini tengah ditangani Badan Narkotika Nasional (BNN).

Untuk menjaga agar kelak pada kemudian hari hak prerogatif presiden dalam bentuk pemberian grasi ini tidak menjadi mainan presiden dan para pembantunya maka ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 tersebut sudah saatnya dimaknai bukan sebagai hak prerogatif presiden. Aturan tersebut hanya sebatas hak konstitusional dengan dicabutnya grasi dari hak prerogatif presiden.

Maka, pada kemudian hari, jika presiden memberikan grasi yang melukai rasa keadilan masyarakat, terbuka peluang untuk meneliti kembali keputusan tentang grasi tersebut melalui hukum. Hasilnya, tidak tertutup kemungkinan berupa pembatalan grasi yang diberikan oleh presiden. Dengan demikian, ketika presiden membuat keputusan tentang grasi dapat diganggu gugat. ●

Kamis, 29 November 2012

Hari Antikorupsi Internasional dan Nasional


Hari Antikorupsi Internasional dan Nasional
Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Unpad
MEDIA INDONESIA, 29 November 2012


PENETAPAN Hari Antikorupsi Internasional terjadi di Wina ketika pembahasan final draft teks Konvensi PBB Antikorupsi pada 2003. Sejak itu dunia telah menyelenggarakan Hari Antikorupsi kesembilan kalinya termasuk pada 10 Desember yang akan datang. Hasil implementasi konvensi tersebut beragam di lebih dari 116 negara peratifikasi karena karakter konvensi yang bersifat reserved convention. Indonesia, selain telah menjadi peserta penanda tangan, meratifikasi konvensi tersebut tiga tahun kemudian, yaitu dengan UU RI Nomor 7 Tahun 2006.
Langkah proaktif pemerintah Indonesia dalam proses pembahasan draf teks konvensi selama dua tahun telah menghasilkan perubahan penting dalam memandang korupsi. Selain penilaian korupsi sebagai kejahatan luar biasa dan pelanggaran hak ekonomi dan sosial rakyat, telah diadopsi perubahan pendekatan terhadap korupsi yang selama ini hanya fokus kepada perilaku koruptif penyelenggara negara.
Tiga perubahan pendekatan yang dipandang objektif terhadap korupsi yaitu, pertama, terfokus pada pasar, kedua, pada kepentingan publik, dan, ketiga, pada jabatan publik atau dikenal sebagai definisi legalistik (Julio, 2012). Pendekatan pertama lebih cenderung pada teori pasar dalam bidang ilmu ekonomi yang menghubungkan antara kekuatan pasar (ekonomi) dan pengaruhnya terhadap perilaku pelaku usaha. Pada fokus kedua yang diutamakan ialah pengaruh korupsi terhadap kepentingan publik yang sangat-sangat merugikan.
Fokus ketiga bertumpu pada definisi formal terkait dengan jabatan publik. Ketiga fokus pendekatan tersebut belum seluruhnya diadopsi dalam peraturan perundang-undangan antikorupsi di Indonesia sekalipun definisi `setiap orang' termasuk orang perorangan atau korporasi baik berbadan hukum atau bukan badan hukum. Fokus pendekatan pertama lebih spesifik, yaitu menuntut suatu rumusan ketentuan pidana yang jelas memenuhi asas lex certa. Hal itu sangat diperlukan agar penuntutan tipikor terhadap aktivitas korporasi tidak menjadi bias seperti terjadi dalam praktik selama ini. 
Sekalipun `kongkalikong' antara pihak sektor swasta dan sektor publik dalam arti luas sering terjadi, sering `korban ketidakadilan' menjadi beban sektor swasta daripada sektor publik. Kondisi itu tentu akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi sektor swasta yang sungguh-sungguh menanamkan modal usahanya di Indonesia, bahkan sebaliknya kontra produktif dari sisi keman dari sisi keman faatannya bagi perkembangan ekonomi nasional.
Pemilahan pertanggungjawaban pidana korupsi di satu sisi terhadap pertanggungjawaban keperdataan dari suatu korporasi di sisi lain belum tersusun dalam rumusan ketentuan yang bersifat lex certa di dalam peraturan perundang-undangan korupsi yang berlaku di Indonesia. Fokus pendekatan kedua memerlukan perhatian serius terhadap tindak pidana korupsi yang berdampak luas yang merugikan kepentingan publik seperti korupsi di sektor strategis seperti bidang migas, kehutanan, lingkungan, dan pasar modal serta di bidang perbankan yang telah go public.
Fokus kedua itu telah diusahakan diakomodasi dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang di ubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 dengan ancaman maksimum pidana mati atau seumur hidup, tetapi dalam praktik ancaman itu tidak pernah diterapkan sekalipun kasus korupsi terjadi dalam masa jadi dalam masa krisis ekonomi dan bencana alam. Fokus pendekatan ketiga menuntut kejelasan mengenai status hukum dan tugas pokok dan fungsi pejabat publik atau penyelenggara negara sehingga peraturan perundangundangan antikorupsi Indonesia dapat memasuki ranah hukum administrasi negara tanpa merusak prinsip-prinsip hukum dimaksud.
Dengan kata lain, perlu kejelasan perbedaan tanggung jawab administratif dan tanggung jawab pidana bagi setiap pejabat publik terutama dalam kasus BUMN. Peraturan perundang-undangan antikorupsi Indonesia belum mengatur secara benar sesuai dengan prinsip lex certa tentang tanggung jawab pejabat publik sehingga tidak lagi dapat membedakan tempus delicti dan locus delicti serta keadaan-keadaan yang menyertai tindak pidana tersebut (certain circumstances).
Sampai saat ini praktik pemberantasan korupsi di Indonesia sekalipun telah disyaratkan harus dilakukan `dengan sengaja' (dolus) dan secara `melawan hukum'; perbuatan yang bersifat kelalaian (culpa) masih saja dipandang dan ditetapkan sebagai `kesengajaan'. Tiga fokus pendekatan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia perlu ditata ulang dengan rumusan ketentu an yang cermat dalam rancangan undang-undang implementasi Konvensi PBB Antikorupsi tersebut yang sampai saat ini belum diundangkan, termasuk  rancangan undang-undang perampasan asset tindak pidana. Kedua rancangan undang-undangan dimaksud merupakan upaya maksimal dan terakhir masyarakat internasional, termasuk Indonesia, dalam menata ulang dan mengefektifkan penyelamatan harta kekayaan negara lebih besar daripada menjatuhkan hukuman maksimal terhadap para pelakunya. ●

Otda Menjadi Feodalisme Terselubung


Otda Menjadi Feodalisme Terselubung
Emrus ; Pakar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan
MEDIA INDONESIA, 29 November 2012



SEJAK bergulirnya reformasi, Indonesia meninggalkan sentralistis dan memilih otonomi daerah (otda) sebagai pola pembangunan. Kenyataan menunjukkan, otda telah memberikan pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah di Indonesia. Sayangnya, implementasi otda justru melahirkan pemimpin dan birokrat daerah koruptif. Perilaku korupsi di daerah semakin semarak. Bahkan telah terjadi ‘pemerataan korupsi’ di seluruh daerah di Indonesia.

Karena itu, kita saat ini menghadapi tantangan besar untuk mengelola perekonomian daerah sebagai akibat dari integritas pejabat daerah yang sangat rendah. Itu diperburuk lagi dengan sejumlah peraturan daerah (perda) yang tumpang-tindih serta penegakan hukum yang tidak berpihak kepada keadilan hukum.

Kenyataan menunjukkan acap kali kepala daerah sebagai posisi strategis membuat kebijakan dan bertindak yang berpihak kepada kepentingan elite politik di daerah. Tidak mengherankan kepala daerah, DPRD, dan pejabat birokrasi yang berselera rendah memanfaatkan wewenang mereka dengan berbagai upaya menggerogoti APBN dan APBD untuk memperkaya diri sendiri dan untuk biaya politik. Sebelum menjadi kepala daerah, mereka telah menggelontorkan dana sangat besar (puluhan bahkan ratusan miliar rupiah) untuk membayar partai sebagai kendaraan politik dan biaya kampanye pemilu kada. Selain itu, korupsi kepala daerah diperuntukkan biaya politik mempertahankan kekuasaan pada kali kedua berikutnya. Ongkos pemilu kada yang mahal mendorong mereka memanfaatkan jabatan untuk menguras APBD.

Dengan demikian, pemilu kada menjadi sama dengan kegiatan bisnis murni berbasis prinsip ekonomi cost and reward. Mereka bertindak spekulatif dan merauk kekayaan tanpa batas. Tidak mengherankan mereka mengalokasikan modal sangat besar di awal untuk biaya politik yang bertujuan tidak lain memperoleh keuntungan materi kelak ketika menjadi kepala daerah.

Itu dilakukan melalui berbagai kebijakan dan tindakan akal-akalan. Akibatnya, banyak kepala daerah terpilih tidak memiliki kualitas kepemimpinan, apalagi negarawan. Perilaku para kepala daerah semacam itu tidak hanya mengancam perekonomian lokal, tetapi merusak pembangunan secara keseluruhan di Indonesia melalui proses pembusukan yang dimulai dari daerah.

Sudah jamak terlihat para kepala daerah berperilaku seperti ‘raja kecil’. Para birokrat dan rakyat seolah hanya tunduk kepada ‘titah baginda’ kepala daerah. Mereka telah bermetamorfosis dari pemimpin yang melayani menjadi dilayani. Munculnya fenomena raja kecil tidak terlepas dari lemahnya pengawasan pemerintah pusat. Undang-undang yang berlaku saat ini tidak memberikan kewenangan optimal kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk mengontrol kepala daerah yang bermasalah.

Dalam beberapa kasus, kepala daerah memiliki pengaruh lebih besar daripada pemerintah pusat. Dari aspek komunikasi politik, kepala daerah yang berasal dari partai sebagai aktor politik tidak bisa lepas dari konstruksi kerusuhan yang terjadi di daerah. Seharusnya kepala daerah memanfaatkan wewenang formal dan pengaruh informalnya menyelesaikan berbagai masalah di daerah masing-masing lebih dini. Namun, seakan terjadi pembiaran dari kepala daerah karena tidak ada kajian dan solusi terhadap kebijakan dan aturan daerah yang dapat memicu konflik sosial. Itulah sebabnya faktor keamanan pengelolaan bisnis di daerah, misalnya, menjadi komoditas bagi aparat dengan memberikan dukungan terhadap pihak yang memberikan reward tertentu kepada mereka. Era otonomi daerah menjadi feodalisme terselubung.

Data menunjukkan pada Mei 2012, Kementerian Dalam Negeri memublikasikan dari 524 kepala daerah, 173 orang terlibat korupsi. Sebagian besar mereka terkait dengan kasus penggelembungan dana dan korupsi APBD. Sebelumnya, pada 2004-2011, ada 49 kasus tindak pidana korupsi pada tingkat pemerintah kota/kabupaten, dan 29 wali kota/ wakil bupati diproses secara hukum di KPK.

Kepemimpinan kepala daerah koruptif yang sedang terjadi saat ini di Indonesia sangat memprihatinkan kita. Otda yang harusnya menyederhanakan dan mempercepat sistem pelayanan publik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dari daerah justru memberikan celah tumbuh suburnya koruptor di daerah-daerah, yang berujung pada high cost economic dan ketidakpastian hukum.

Realitas sistem birokrasi koruptif telah mengkristal pada instansi pemerintah daerah. Karena itu, perilaku koruptif menjadi bagian dalam sistem pelayanan publik di daerah. Bangunan sistem birokrasi tersebut pasti melahirkan lingkaran setan koruptif tanpa akhir. Sistem birokrasi korup membuat para birokrat ikut korup. Demikian sebaliknya, terjadi resiprokal. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda moratorium korupsi di daerah di seluruh Indonesia. Malah semakin meningkat praktik pungli pada semua sektor bisnis di daerah. Di Kalimantan, misalnya, dapat kita saksikan aktivitas pertambangan tanpa izin (peti) batu bara.

Kenyataan menunjukkan, tidak sedikit proyek bisnis terlaksana jika pebisnis memiliki kedekatan pribadi dengan kepala daerah. Hal itu membuat hubungan kepala daerah dan pelaku bisnis swasta menjadi vertikal, tidak partnership. Akibatnya, sangat rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan melalui kebijakan dan tindakan para kepala daerah.

Pemda yang Kredibel

Untuk menyelesaikan lemahnya pengelolaan pemerintahan daerah, perlu dilakukan perubahan mendasar penyelenggaraan pemerintahan daerah agar kredibel. Pertama, pemerintah pusat harus mengevaluasi penerapan otonomi daerah secara menyeluruh. Pemekaran daerah dihentikan sampai ditentukan indikator operasional standar minimum menilai keberhasilan otonomi daerah.
Kedua, meningkatkan peran KPK sesuai dengan UU No 30 Tahun 2002 Pasal 26 2d untuk melakukan pengawasan inter nal dan pengaduan masyarakat. 

Fungsi itu perlu dikuatkan melalui sosialisasi intensif agar masyarakat dan swasta tidak takut melaporkan tindakan korup dilakukan kepala dan birokrat daerah.

Ketiga, melakukan revisi pada UU No 32 Tahun 2004. UU itu tidak memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk menindak kepala daerah yang bermasalah. Akibatnya, kepala daerah susah `diatur' dan dikontrol pemerintah pusat.

Selain itu perlu disadari, keterlibatan pebisnis dalam praktik korupsi di daerah pada hakikatnya bukan kemauan mereka. Bila kepala dan birokrasi daerah bersih dari KKN, adil, profesional, dan kredibel, pebisnis pasti lebih senang karena ada kepastian positif dari pemerintah daerah.

Untuk itu, sudah mendesak adanya pembenahan sistem implementasi otonomi daerah agar tidak memberikan risiko baru dalam berbisnis di seluruh daerah di Indonesia.

Praktik otonomi daerah perlu diperbaiki agar bisa memajukan kesejahteraan rakyat. Fenomena `raja kecil' harus menjadi masalah serius dan segera dimusnahkan karena sangat merugikan perkembangan ekonomi Indonesia secara keseluruhan dan meningkatkan risiko politik bagi investor menanam modal di Indonesia. Praktik otonomi daerah perlu diperbaiki agar bisa memajukan kesejahteraan rakyat. Fenomena `raja kecil' harus menjadi masalah serius dan segera dimusnahkan karena sangat merugikan perkembangan ekonomi Indonesia secara keseluruhan dan meningkatkan risiko politik bagi investor menanam modal di Indonesia.

Dagelan Politik Pemerasan


Dagelan Politik Pemerasan
Hifdzil Alim ; Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
SUARA MERDEKA, 29 November 2012
 

PERKEMBANGAN laporan Menteri BUMN Dahlan Iskan mengenai beberapa anggota DPR yang memeras beberapa BUMN memasuki babak konfrontasi. Badan Kehormatan DPR akan melakukan konfrontasi karena pemeriksaan terhadap sejumlah pihak memperoleh hasil yang berbeda (SM, 27/11/12).

Perbedaan hasil pemeriksaan itu misalnya, didapat dari pemeriksaan dugaan kasus di PT Merpati Nusantara Airlines (Merpati). Mantan Dirut Merpati Jhoni Tjitrokusumo mengatakan tidak ada pemerasan. Sebelumnya, Dirut sekarang Rudy Setyopurnomo mengemukakan kepada Menteri BUMN bahwa ada pemerasan. Tudingan ini dibantah oleh Jhoni, bahkan dia telah melaporkan Rudy ke kepolisian karena diduga memfitnah.

Muhammad Hatta, anggota Komisi XI DPR, menengarai tuduhan adanya anggota parlemen yang memeras BUMN yang dilontarkan Dahlan Iskan karena mantan Dirut PLN itu terpojok saat ditanya pertanggungjawaban inefisiensi Rp 37,6 triliun. Perusahaan itu diduga merugikan keuangan negara kala dipimpin oleh Dahlan.

Sepertinya, keadaan berkait keberadaan tukang peras akan bertambah panas. Para politikus saling serang. Kabar tukang peras masih menghasilkan cahaya suram. Lalu, siapa yang benar? Siapa yang memfitnah? Atau siapa yang keliru sekaligus menyerang kehormatan seseorang?

Tuduhan pemerasan terhadap seseorang, diakui atau tidak, sedikit atau banyak, merontokkan kehormatan seseorang. Apalagi tuduhan itu disampaikan oleh menteri kepada anggota DPR. Nilainya tak seperti tuduhan rakyat miskin terhadap tetangganya, yang juga miskin. Tuduhan pejabat negara kepada pejabat negara yang lain, harus disertai cukup bukti sebab hal ini akan menjadi pembelajaran bagi rakyat kebanyakan.

Bayangkan, kalau menteri berani buka-bukaan nama ataupun inisial serta partai yang disangka sebagai tukang peras, niscaya sikap buka-bukaan itu akan diikuti oleh rakyat. Masyarakat tidak lagi takut bersuara. Publik akan berani melaporkan pejabat korup.

Saling Sandera

Tetapi tatkala tuduhan itu tidak menyertakan cukup bukti alias sekadar omong kosong, nilainya tak lebih dari dagelan politik. Sekarang lapor, besok lupa. Besok lapor, lusa lupa.

Tampaknya, aroma Pemilu 2014 mulai tercium oleh para politikus nasional. Segala persiapan dilakukan. Strategi disusun. Dalam dunia politik, kebutuhan untuk meminimalisasi rival dalam percaturan mendapatkan kursi kekuasaan adalah sepertinya menjadi perihal yang niscaya.

Menyebar isu dugaan korupsi diyakini akan mudah menggeser lawan politik. Selain itu, langkah ini juga secara tidak langsung akan menaikkan citra si penyebar isu di mata pemilih. Bukankah yang diharapkan oleh politikus sebelum pemilihan, salah satunya adalah citra dan nama baik?

Dugaan balik yang disampaikan oleh anggota Komisi XI DPR Muhammad Hatta terhadap Dahlan Iskan mengenai inefisiensi anggaran PLN Rp 37,6 triliun juga harus dibaca dengan seksama. Jika benar karena kasus ini, kemudian Dahlan Iskan menebar isu pemerasan oleh anggota DPR, jangan-jangan memang sedang berjalan kondisi “saling sandera” kasus di antara para politikus. Kalau sungguh ini yang terjadi maka pemeriksaan terhadap dugaan tukang peras bakal lebih menjadi dagelan politik saja.

Supaya tidak dibaca sebagai dagelan politik, tuduhan adanya tukang peras anggaran harus segera dibuktikan. Perlu ada sinergi dan kerja sama antara DPR, pemerintah, dan penegak hukum dalam membongkar keberadaan tukang peras. Selain juga tidak boleh menafikan dugaan inefisiensi anggaran di PLN. Dua-duanya harus diperiksa oleh penegak hukum.

Dalam kaitannya ada rencana pelaporan balik pencemaran nama baik atau fitnah oleh beberapa orang terkait dugaan pemerasan, para pelapor dugaan pemerasan tidak perlu kecil hati. Berdasarkan Surat Bareskrim Mabes Polri Nomor B/345/III/ 2005/Bareskrim bertanggal 7 Maret 2005, tiap ada laporan dugaan korupsi yang kemudian dibalas dengan laporan pencemaran nama baik maka yang diprioritaskan penanganannya adalah laporan dugaan korupsi.

Bahkan Surat Bareskrim menyatakan, penanganan kasus pencemaran nama baik dimanfaatkan untuk mendapatkan dokumen/keterangan yang diperlukan dalam proses pembuktian kasus korupsi sebagai masalah pokoknya. Artinya, tiap orang sekarang tidak perlu takut menyampaikan laporan korupsi, dengan syarat disertai bukti permulaan yang cukup agar tidak ditarik ke panggung dagelan politik semata. ●

Penguatan sebagai “Whistle Blower”

Penguatan sebagai “Whistle Blower”
Prasetijo Ichtiarto ; Pengurus DP Korpri Kota Salatiga 2009-2014
SUARA MERDEKA, 29 November 2012


HARI ini, Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) berusia 41 tahun. Pemerintah mendirikan wadah bagi PNS itu pada 29 November 1971, berdasarkan Keppres Nomor 82 Tahun 1971. Selama Orba berkuasa, Korpri menjadi alat kekuasaan untuk melindungi pemerintah. Sejak era reformasi, Korpri mereformasi diri, berubah menjadi organisasi netral, tidak berpihak pada partai tertentu.

Dalam konteks kekinian, mungkinkan mereposisi peran Korpri? Peringatan HUT hari ini seharusnya bisa menjadi pijakan untuk meningkatkan karya bakti, tidak saja bagi anggota tapi juga untuk masyarakat pada umumnya. Sebagai organisasi yang mewadahi PNS, Korpri juga diharapkan bisa mengayomi kepentingan anggota.

Realitasnya, organisasi itu belum bisa maksimal memenuhi harapan dan keinginan anggota. Pengurus di semua lini perlu membenahi banyak hal untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Saat ini, minimal ada tiga persoalan utama yang butuh perhatian ekstra dan komitmen dari pengambil kebijakan. Pertama; terkait keterbatasan kemampuan keuangan yang hanya bersumber dari iuran anggota sehingga belum mampu memberi kontribusi terhadap kesejahteraan seluruh anggota.

Kedua; belum secara maksimal membantu melindungi jenjang karier anggota, dalam arti belum ada langkah nyata memperjuangkan reward and punishment  pada birokrasi. Hal itu berdampak pada pedoman daftar urutan kepangkatan (DUK) yang tidak bisa lagi menjadi tolok ukur signifikan bagi karier dan promosi seorang pegawai.

Ketiga; keminiman pendidikan dan pelatihan teknis bagi aparatur, disertai dengan keterbatasan dana yang memengaruhi tingkat keterlibatan pengurus dalam mendampingi anggota yang terjerat persoalan hukum. Sebetulnya, permasalahan anggota dapat diselesaikan melalui program kerja Korpri, dengan mengacu AD/ART, yaitu melalui bidang organisasi/kelembagaan, pembinaan jiwa korps (korsa), usaha dan kesejahteraan, pengayoman, dan perlindungan hukum, serta pengabdian masyarakat.

Sejauh mana kesungguhan yang dibangun pengurus dalam menjabarkan kualitas dan kuantitas operasional di lapangan terkait program kerja yang disepakati? Masalah ini menjadi perenungan bagi pengurus, baik pada aras pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten/ kota, dalam arti apakah program kerja yang terlalu banyak itu perlu direposisi supaya bisa terfokus pada beberapa kegiatan yang jelas-jelas memenuhi aspirasi anggota.

Berpijak pada  ketentuan pengelolaan keuangan misalnya, sumber pendapatan bisa berasal dari bantuan pemerintah pusat atau daerah, aset Korpri, atau bantuan pihak lain yang tidak mengikat. Faktanya, saat ini hanya mengandalkan iuran wajib dan sosial dari anggota. Penerimaan tiap bulan pun sangat kecil sehingga pengurus kesulitan menjabarkan pembiayaan untuk kegiatan yang begitu banyak.

Pada fase ini, menjadi tepat bila seluruh jajaran terus intropeksi diri melalui upaya reposisi, refungsionalisasi, dan revitalitasasi. Terlebih, pada masa mendatang peluang dan tantangan Korpri supaya tetap solid dan eksis makin berat dan kompleks. Kondisi ini selalu dikaitkan dengan nilai-nilai kemauan keras (willpower), ketaatan (obedience), dan disiplin pribadi (self-discipline).

Faktanya, diakui atau tidak, sebagian masyarakat masih memersepsikan Korpri, terutama di birokrasi, sebagai institusi yang lamban dalam memberikan pelayanan, tidak transparan untuk memberikan informasi publik, dan masih sarat budaya KKN.

Membebani Anggota

Selain pandangan publik, faktor kendala sangat strategis justru datang dari internal organisasi. Pertama; solidaritas antaranggota yang masih rendah. Kita bisa melihat dari tingkat interaksi dan kesediaan saling membantu. Kedekatan emosional itu baru muncul bila seseorang memiliki posisi strategis dan bisa menguntungkan perjalanan ke depan seorang PNS.

Kedua; belum terbangun kebanggaan dan rasa memiliki. Ada sebagian anggota yang beranggapan Korpri belum dapat membantu meningkatkan kesejahteraan, sebaliknya justru membebani. Dana yang bersumber dari anggota pun tidak dipublikasikan secara transparan. Ketiga; keterbatasan anggaran berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan anggota dan kebelumoptimalan pengayoman dan perlindungan hukum.

Keempat; kebanyakan personel yang masuk kepengurusan Korpri adalah kepala SKPD dengan mobilisasi tinggi. Hal itu sangat berdampak pada kemenurunan tingkat konsentrasi dan roda kinerja organisasi. Kelima; ketidakseimbangan antara program kerja yang harus dilaksanakan dan alokasi anngaran.

Mendasarkan pada persoalan itu, perlu langkah komprehensif disertai perubahan paradigma baru, baik dalam aspek kelembagaan, SDM, manajemen, maupun program kerja. Organisasi harus memiliki esprit de corps, integritas kuat, dan kinerja tinggi dengan penguatan agar Korpri juga berani menjadi whistle blower kasus korupsi.  Terkait dengan keterbatasan dana, perlu mulai menyusun prioritas program kerja, termasuk pengelolaan usaha dengan manajemen profesional, menjalin kerja sama yang saling menguntungkan dengan pihak lain (program CSR), dan mengelola aset organisasi secara maksimal. ●