Sabtu, 31 Maret 2018

Mencari Permasalahan Dasar Penyebaran Hoaks

Mencari Permasalahan Dasar Penyebaran Hoaks
Nurudin  ;   Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Penulis buku Perkembangan Teknologi Komunikasi (2017)
                                                    DETIKNEWS, 15 Maret 2018



                                                           
Kepolisian Republik Indonesia sedang gencar-gencarnya mengatasi penyebaran informasi yang mengarah ke hoaks. Bahkan Presiden Joko Widodo ikut cemas dan meminta Kepolisian lebih tegas agar hoaks tidak menimbulkan perpecahan di masyarakat. Akhir-akhir ini, polisi baru berhasil menangkap sindikat yang diduga penyebar hoaks seperti Muslim Cyber Army (MCA). Apakah MCA itu penyebar hoaks atau bukan, siapa yang berada di balik kelompok itu, apa latar belakangnya munculnya, hoaks jelas tidak baik bagi upaya membangun bangsa yang masih tercabik-cabik ini.

Sekadar menyebut data Survei Masyarakat Telematika (2018) terungkap, bahwa saluran penyebaran hoaks melalui media sosial menduduki posisi paling tinggi (92,40 persen), jenis hoaks yang diterima berkaitan dengan tema sosial politik juga menduduki posisi paling tinggi (91,80 persen) menyusul soal SARA, dan rentang waktu responden menerima hoaks paling tinggi setiap hari (44,30 persen). Sementara itu, bentuk hoaks yang sering diterima paling tinggi berbentuk tulisan (62,10 persen), menyusul gambar (37,50 persen), dan video (0,40 persen).

Penyebab

Meskipun imbauan demi imbauan terus dilakukan, hoaks tidak bisa dihapuskan. Ia hanya bisa ditekan kemunculannya. Berkurang atau tidak informasi hoaks ini sangat tergantung bagaimana cara pemerintah mengatasinya. Bukan berarti kita pesimistis pada pemberantasan hoaks, namun jika pemberantasan hoaks itu tebang pilih dan menimbulkan rasa ketidakadilan di masyarakat hal itu akan sangat susah dilakukan.

Kita harus tetap optimistis bahwa pemerintah dengan alat negaranya mampu mengatasi hoaks yang sudah kelewat batas. Hoaks membuat pemerintah juga tidak bisa bekerja dengan baik karena terus terganggu, sementara harmonisasi dalam masyarakat juga terancam.

Pertanyaan kita kemudian adalah mengapa hoaks mendadak populer menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) dan sangat sulit dihapuskan? Kita akan mencoba melihat secara lebih detail sebab musababnya.

Pertama, hoaks adalah gangguan dan bentuk perlawanan. Bagi pemerintah, hoaks jelas gangguan karena akan dianggap sebagai penyebar kebencian. Pemerintah di mana pun dan kapan pun akan menganggap segala ancaman pada kebijakannya akan dianggap mengganggu. Kita bisa ambil contoh pada era Orde Baru (Orba). Setiap perbedaan pendapat dari pemerintah akan dianggap sebagai rongrongan, mengancam stabilitas, dan bahkan subversif. Jika orang atau kelompok masyarakat sudah dituduh subversif, tak ada celah bagi mereka untuk menghindar dari sanksi. Mengapa begitu? Karena pemerintah punya alat kekuasaan untuk menekan dan mengatasi bentuk-bentuk yang dianggap merongrong kewibawaan pemerintah itu.

Sementara itu bagi masyarakat, hoaks muncul karena ada kebuntuan saluran komunikasi politik di pemerintahan. Bisa juga karena adanya ketidaksukaan pada kebijakan-kebijakan yang mereka anggap tidak memihak padanya. Bisa juga dikatakan hoaks adalah cara masyarakat menyalurkan aspirasi. Hanya saja, aspirasi yang dilakukannya penuh dengan kebencian dan cenderung satu arah saja. Orang yang sudah benci, selamanya akan tak mampu untuk berbuat adil. Tentu ini sudut pandang dari masyarakat yang menyebar hoaks.

Kedua, hoaks adalah cermin dari orang-orang penakut dan tidak jantan. Sebenarnya, dalam iklim demokratis saat ini kompetisi politik yang sehat diberikan dalam ruang yang lebih luas. Orang bisa mengemukakan pendapatnya tanpa merasa dihambat. Apalagi saat ini sudah banyak saluran komunikasi yang bisa dijadikan alat penyaluran.

Namun demikian, kebebasan penyaluran informasi itu membuka peluang orang berkompetisi secara tidak sehat. Dalam hal ini, yang penting melawan. Jika amunisi sudah habis dan seseorang atau kelompok tidak bisa bersaing secara sehat sementara ia harus tetap melawan, hoaks sering menjadi senjata. Orang dengan leluasa melawan mereka yang berbeda pendapat. Jika kita melihat masyarakat, maka mereka akan melawan dengan cara apa saja yang penting uneg-uneg tersalurkan. Bisa dikatakan, hoaks adalah perlawanan orang-orang penakut. Lihat saja, banyak akun anonim yang bernada menghujat dan penyebar hoaks.

Apakah hoaks itu hanya melekat pada masyarakat? Pemerintah juga punya peluang melakukan hoaks. Masalahnya selama ini kesan yang berkembang, hoaks itu seolah hanya melekat pada masyarakat. Bahkan pemerintah bisa melakukan hoaks dengan lebih baik karena punya alat negara.

Apakah dengan begitu pemerintah itu hanya mau menangnya sendiri dan memandang sebelah mata protes dari masyarakat? Nanti dulu. Bisa jadi hoaks tidak disebarkan secara langsung oleh pemerintah tetapi oleh pendukung pemerintah. Pendukung pemerintah juga bisa berasal dari masyarakat kebanyakan, bukan? Bisa jadi karena tidak mau ada orang yang merongrongnya, atau sekadar reaksi karena ada hoaks kontra pemerintah, maka mereka terpancing menyebarkan hoaks pro pemerintah. Sehebat apapun mereka melawan hoaks, akibatnya mereka juga akan terjebak untuk menyebarkan hoaks pula. Sementara itu, bisa jadi pemerintah tidak tahu menahu bahwa hoaks juga berpotensi disebarkan oleh lingkaran pendukung pemerintahan.

Ketiga, hoaks muncul karena DPR mandul. DPR adalah lembaga legislatif atau wakil rakyat untuk mengawasi kinerja eksekutif. Tentu saja, masyarakat sangat berharap besar lembaga ini mampu menjadi wadah penyalur aspirasi. Namun yang terjadi ternyata tidak seideal yang diinginkan masyarakat. DPR kita mandul. Mandul ini bisa disebabkan karena mereka mementingkan dirinya sendiri, atau karena sudah menikmati gelimang fasilitas.

Memang, pemerintah di mana pun dan kapan pun berusaha untuk mempertahankan kekuasaan, salah satunya bagaimana "menguasai" legislatif. Pembiaran konflik yang selama ini terjadi di DPR tentu membuat pemerintah punya daya tawar politis untuk terlibat. Harusnya DPR sebagai kekuasaan eksekutif punya kekuasaan di atas legislatif namun dalam praktiknya, DPR di bawah kendali eksekutif. Tak heran jika kita jadi ingat istilah pada zaman Orba di mana DPR hanya jadi tukang stempel, tentu dengan kondisi yang berbeda.

Mengatasi

Mengatasi hoaks memang tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan. Ada banyak tali temali rumit yang menyertainya. Hoaks tidak bisa dihilangkan tetapi hanya ditekan. Tidak bisa dipungkiri hoaks yang berkembang selama ini tidak saja dampak dari perkembangan teknologi komunikasi tetapi juga perseteruan politik sejak 2014. Sejak itulah ada polarisasi kuat antarkubu mendukung dan tak mendukung kekuasaan politik. Antara mempertahankan dan menggugat dengan selubung gengsi politik.

Hoaks sangat mungkin cepat ditekan jika rasa keadilan dalam masyarakat bisa ditegakkan. Ini tidak bermaksud bahwa selama ini pemerintah tidak adil. Memang tidak mudah bisa memberikan kepuasan rasa adil ke semua lapisan masyarakat. Mungkin karena harapan masyarakat terlalu tinggi pada pemerintah waktu itu sementara penegakan hukum masih terkesan tebang pilih, apalagi terhadap kepentingan politik pemerintahan sendiri.

Mengatasi hoaks dengan menangkap pelaku memang penting. Tetapi meneliti dan mengatasi sebab musabab semakin meningkatnya hoaks tak kalah pentingnya. Ini sama saja saat kita mengatasi tindak kekerasan bukan hanya pada pelaku kekerasan tetapi mengapa dan siapa yang menjadi penyebab tindak kekerasan itu. Meskipun tidak popular tetapi ini cara yang mendasar untuk mengatasi keganasan penyebaran hoaks.

Opini Publik dan Reproduksi Hoax

Opini Publik dan Reproduksi Hoax
Ranang Aji SP  ;   Penulis Sastra;  Pernah jadi Wartawan
                                                    DETIKNEWS, 15 Maret 2018



                                                           
Opini dipahami masyarakat sebagai pendapat atau anggapan. Makna tersebut tentu benar secara harafiah, yang diturunkan dari kata opinion (Inggris). Setiap orang juga merasa memiliki hak untuk beropini atas isu-isu tertentu. Pertanyaannya, apa dan bagaimana proses opini publik terbentuk? Apa hubungannya dengan reproduksi hoax?

Dalam masyarakat awam opini mewakili apa yang ia sepakati dari sebuah isu tanpa disadari. Ilustrasinya, seorang pejabat negara menurunkan sebuah kebijakan. Kebijakan tersebut secara objektif memiliki dasar kepentingan umum. Masalahnya, kebijakan tersebut pada level tertentu mengakibatkan barisan oposisi mengkritiknya habis.

Melalui pelbagai media massa, para oposan melakukan kritik yang ofensif dan masif. Semua media dikerahkan hingga sampai pada orang atau masyarakat sebagai informasi yang tidak menyenangkan. Masyarakat pun bereaksi melalui media sosial dan menyebarkannya secara tidak utuh. Keadaan itu kemudian diterima sebagai opini publik. Bahwa kebijakan itu sungguh tidak merakyat. Masyarakat menerima informasi tersebut secara tidak proporsional. Ia terproyeksikan. Seolah tengah melihat benda menggunakan suryakanta yang membuatnya membesar pada satu titik.

Walter Lippman dalam bukunya Public Opinion (1921) menuliskan, opini publik merupakan jalinan antara sedikit fakta yang dicampur imajinasi dan kemudian diyakini sebagai kebenaran atau realitas sesungguhnya. Opini publik melibatkan realitas yang tak sempurna dari sebuah keadaan seutuhnya. Lippman menyebut istilah ini sebagai stereotip. Suku Jawa adalah suku pemalas (misalnya). Stereotip ini mengambil sampel dari keadaan yang ditemui secara tidak sempurna. Pada tingkat lanjutan, ia menjadi anggapan atau opini secara umum. Fakta utuhnya, tentu saja, tidak semua orang (suku) Jawa pemalas.

Hoax

Opini Publik pada dasarnya kemudian berjalin erat dengan istilah yang tengah popular hoax. Robert Nares (1753-1829) menyebutkan istilah hoax muncul pada akhir abad ke-18 sebagai "menipu". Dalam konteks permainan yang menyenangkan, hoax bisa ditemui dalam tradisi April Mop; seseorang melakukan tindakan penipuan untuk kepentingan menggoda dan humor. Namun, dalam konteks politik, hoax bertujuan untuk membuat lawan tenggelam dalam stigma yang menghancurkan posisinya.

Dalam jurnalisme modern, bentuk pengungkapan pendapat dibatasi oleh bobot argumen ilmiah. Hal demikian tentu untuk menjaga objektivitas kebenarannya. Meskipun begitu, bobot argumen yang dihadirkan terkadang juga dipengaruhi oleh berita yang hadir dalam masyarakat. Sementara, derajat berita sendiri memiliki tingkat akurasi yang berbeda sebagai sebuah kebenaran. Walter Lippman mengatakan, berita (straight-news) hanyalah rangkaian sejumlah fakta yang menandai peristiwa. Kita belum menemukan berita sebagai sebuah kebenaran, kecuali telah terverifikasi dan terbukti dalam sebuah proses investigasi.

Hadirnya berita dalam media kemudian membuka peluang berkembangnya tafsir dan opini publik yang bercampur hoax. Ketika seorang tokoh (misalnya) melakukan upaya pencitraan, maka ia memproduksi berita yang ter-framing. Ia menampilkan sudut tertentu agar terbentuk citra tertentu. Ia membuka sudut lain dan menutup sudut lainnya. Fakta utuh tak ditampilkan. Masyarakat kemudian tertipu oleh citra artifisial yang dihadirkan. Kondisi demikianlah yang pada dasarnya menuntut jurnalis harus memiliki disiplin verifikasi dan bersikap objektif.

Reproduksi hoax dan penyebarannya, tentu semua sudah mafhum bahwa semua bersumber dari 'kekuatan besar' dan media sosial yang disajikan secara terbuka dan bebas. Hadirnya jurnalisme warga yang tak berbekal kode moral dan skill jurnalistik, tak perlu dibantah –ia juga terlibat di dalam penyebaran hoax yang dikeluhkan oleh korban dan sekaligus penyebarnya sendiri. Opini publik dan hoax, maka, adalah semacam lingkaran setan. Ia akan sulit terputus dan terus menghantui.

Lantas, bagaimana solusinya? Pertanyaan naif ini sesungguhnya hanya merupakan hasrat utopia di dalam kondisi distopia. Karena sesungguhnya, hanya negaralah yang mampu mengontrol semua ini. Negara yang dimaksud tentu melibatkan unsur dalam trias-politika yang kita kenal. Ditambah pengawasan secara ketat oleh masyarakat sipil agar hasrat kekuasaan pemerintah tidak memanfaatkan kekuasaannya untuk mereproduksi hoax demi sekedar mempertahankan kekuasaan. Sedangkan, masyarakat sendiri harus meningkatkan akses dan mutu informasinya. Apakah ini sebuah solusi? Jawabannya, sepertinya iya. Masalahnya, apakah efektif ? Belum tentu juga!

Narkoba dan Wacana Hukuman Mati

Narkoba dan Wacana Hukuman Mati
Allan Fatchan Gani Wardhana  ;   Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII dan LPBH NU DIY
                                                    DETIKNEWS, 15 Maret 2018



                                                           
Bulan Februari yang lalu TNI Angkatan Laut berhasil menggagalkan penyelundupan narkoba berjenis sabu-sabu seberat lebih dari satu ton. Jumlah yang fantastis dan diyakini cukup untuk merusak generasi bangsa. Fakta tersebut sekaligus mengkonfirmasi data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) yang menempatkan Indonesia sebagai pangsa pasar terbesar peredaran narkoba di kawasan ASEAN.

Tingginya intensitas kejahatan narkoba ke dalam negeri tentu menjadi perhatian. Sepanjang 2017, BNN mencatat, 58.365 orang ditangkap dan dijadikan tersangka. Sementara itu, 79 orang ditembak hingga tewas akibat melakukan perlawanan. Pada 2017 pula, BNN mencatat ada 46.537 kasus narkoba dan 27 kasus yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Terhadap kasus di atas, muncul kembali dorongan kepada Jaksa Agung untuk melanjutkan eksekusi hukuman mati gelombang ke-IV bagi terpidana kasus narkoba. Adapun selama pemerintahan Joko Widodo, telah dilakukan eksekusi mati sebanyak tiga gelombang. Gelombang pertama 6 (enam) terpidana dieksekusi mati (Januari 2015), gelombang kedua 8 (delapan) terpidana (April 2015), dan gelombang ketiga 4 (empat) terpidana (Juli 2016). Dorongan untuk menerapkan hukuman mati tersebut didasarkan atas alasan bahwa kejahatan narkoba merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) yang harus diperangi.

Alasan lain, hukuman mati diterapkan sebagai pesan kepada semua sindikat narkoba agar jangan menganggap remeh ketegasan yang melekat pada sistem hukum Indonesia. Wacana melanjutkan eksekusi mati ini selalu menarik karena selalu menimbulkan pro dan kontra yang tidak pernah ada ujungnya.

Dua Pertanyaan

Pertanyaan yang sering mengemuka terkait wacana hukuman mati ialah apakah penerapan hukuman tersebut mempunyai legalitas? Kedua, apakah penerapan hukuman mati efektif untuk memberantas narkoba dan mengurangi tingkat kejahatan?

Pertama, terkait legalitas, MK melalui Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 memutuskan bahwa hukuman mati itu memiliki keabsahan dan tidak bertentangan dengan HAM serta UUD 1945. Selain itu, instrumen hukum internasional yang berupa International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)/ Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik tidaklah melarang negara-negara anggota untuk memberlakukan pidana mati meskipun penerapannya dibatasi "terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut (the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime)."

Dengan demikian, dari sudut pandang ICCPR, negara-negara anggota diperbolehkan memberlakukan hukuman mati dalam UU nasionalnya. Hal ini juga didukung oleh ketentuan Pasal 3 ayat (6) Konvensi Narkotika dan Psikotropika yang pada intinya mempersilakan negara anggota dapat memaksimalkan efektivitas penegakan hukum dalam kaitan dengan tindak pidana yang berkaitan dengan narkoba dengan memperhatikan kebutuhan untuk mencegah kejahatan dimaksud. Saat ini Indonesia sudah memiliki UU 35/2009 tentang Narkotika yang di dalamnya terdapat sanksi hukuman mati. Artinya, penerapan hukuman mati memiliki legalitas.

Kedua, untuk menjawab efektivitas hukuman mati, tentu ini merupakan perdebatan panjang. Singapura menerapkan hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba dan faktanya berhasil menekan angka peredaran narkoba. Iran yang juga memberlakukan hukuman mati, menyatakan bahwa penerapan hukuman mati terkait kedaulatan hukum di mana negara memiliki peraturan tersendiri untuk memerangi kejahatan. Adapun China juga sangat tegas menghukum para bandar narkoba di negaranya hingga membuat para penjahat selalu berpikir ulang untuk melakukan kejahatan. Beberapa negara yang menerapkan hukuman mati lebih mengutamakan kedaulatan hukum serta melindungi keselamatan rakyatnya daripada membiarkan kejahatan narkoba merajalela.

Di Indonesia sampat saat ini hukuman mati masih dilaksanakan. Terkait efektivitas penerapannya, belum terdapat data konkret apakah hukuman mati itu efektif atau tidak untuk mengurangi kejahatan sekaligus menekan peredaran narkoba. Meski begitu, bagaimanapun hukuman mati haruslah dipahami sebagai upaya untuk menegakkan keadilan. Di mana, keadilan yang harus ditegakkan berdasar atas hukum itu tidak boleh hanya didasarkan atas perspektif "pelaku kejahatan" akan tetapi yang jauh lebih penting juga melihat perspektif "korban serta keluarga korban" akibat kejahatan narkoba.

Kejahatan narkoba merupakan kejahatan yang secara langsung maupun tidak langsung menyerang hak untuk hidup (right to life) dan hak atas kehidupan (right of life). Oleh karena itu kejahatan narkoba tergolong sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Terhadap kejahatan luar biasa tentu saja cara mengatasinya juga harus dengan cara yang luar biasa, salah satunya melalui hukuman mati. Hasil survei nasional Indo Barometer pada Maret 2015 mengungkap bahwa mayoritas publik Indonesia atau sekitar 84,1 persen menyatakan setuju dengan hukuman mati yang diberikan kepada pengedar narkoba.

Saat ini kalaupun Indonesia masih mempertahankan hukuman mati bukankah itu harus dihargai sebagai bentuk kedaulatan hukum dalam memerangi kejahatan narkoba? Hukuman mati memiliki legalitas baik di level nasional maupun internasional, dan sekali lagi bahwa penerapannya haruslah dimaknai sebagai ikhtiar untuk memerangi dan memberantas kejahatan narkoba. Tentu saja itu bukan satu-satunya cara, karena memerangi dan memberantas narkoba merupakan ikhtiar akbar seluruh elemen.

Memahami Konflik di Suriah

Memahami Konflik di Suriah
Zuhairi Misrawi  ;   Intelektual Muda Nahdlatul Ulama;  Analis Pemikiran dan Politik Timur-Tengah di The Middle East, Jakarta
                                                    DETIKNEWS, 15 Maret 2018



                                                           
Ada seorang ustaz yang ditanya perihal tips agar negeri ini tidak terpecah-belah dan terlibat dalam konflik akut seperti konflik di Suriah. Ustaz tersebut menjawab agar kita tidak mudah terperosok dalam kubangan hoaks, dan selalu melakukan klarifikasi dan verifikasi alias tabayyun.

Namun ironis, ustaz tersebut justru memberikan testimoni yang sangat ganjil nan ganjal terkait konflik politik yang terjadi di Suriah. Penjelasannya tidak berdasarkan tabayyun, melainkan asumsi personal yang bersifat dangkal dan subjektif. Bahkan pandangannya dapat membahayakan, karena berusaha membenturkan antara Sunni dan Syiah. Beruntung para mahasiswa yang belajar di Damaskus berhasil memberikan tanggapan yang mencerminkan situasi objektif yang terjadi di Suriah.

Sampai sekarang ustaz yang menyerukan tabayyun itu tidak mau melakukan tabayyun. Setidak-tidaknya merevisi pandangannya dalam memotret konflik politik yang terjadi di Suriah saat ini.

Di sini diperlukan sebuah cara pandang yang mencerminkan dua sisi (cover both side) untuk memahami konflik yang berlangsung hampir delapan tahun itu. Harus diakui, bahwa konflik yang terjadi di Suriah adalah murni konflik politik antara rezim yang berkuasa Bashar al-Assad dengan kelompok oposisi.

Angin revolusi yang berembus di Tunisia dengan cepat menjalar ke beberapa negara di Timur-Tengah. Di Mesir angin revolusi berhasil menumbangkan rezim otoriter Hosni Mubarak. Di Libya berhasil menjungkalkan kursi kekuasaan Moamar Qaddafi. Di Yaman berhasil menggulingkan Ali Abdullah Saleh.

Namun, ketika angin revolusi berembus kencang di Suriah, Bashar al-Assad masih kokoh sebagai orang nomor wahid, bahkan posisinya saat ini semakin kokoh. Kenapa Bashar al-Assad tidak mudah digulingkan?

Pertama, Bashar al-Assad masih mendapatkan dukungan yang luas dari warga Suriah. Ia sosok pemimpin yang dicintai rakyatnya, karena ia mampu mempersatukan warga Suriah di tengah gempuran pihak Barat dan Israel. Mustahil ia bisa bertahan selama ini jika tidak mendapatkan dukungan yang besar dari warganya. Itulah yang membedakan antara Bashar al-Assad dengan Hosni Mubarak, Ali Abdullah Saleh, Ben Ali, dan Moammar Qaddafi.

Kegagalan revolusi di sejumlah negara Arab telah membukakan kesadaran warga Suriah, bahwa tidak mudah untuk memilih jalan revolusi. Karena jika tidak hati-hati, maka akan mudah terjerembab pada masalah yang lebih besar, yaitu instabilitas politik dan krisis ekonomi yang akut. Fakta tersebut terjadi di Mesir, Yaman, dan Libya. Hanya ada satu negara yang relatif membaik dari segi demokrasi, yaitu Tunisia. Meskipun, Tunisia juga menghadapi masalah ekonomi yang tidak mudah.

Bashar al-Assad diuntungkan oleh momentum kegagalan negara-negara Arab lainnya yang tidak mampu bangkit dari krisis politik dan ekonomi, sehingga ia berhasil merebut kembali hati warga Suriah untuk mendukung dirinya.

Kedua, kelompok oposisi yang tidak solid. Sebagai kekuatan penyeimbang dan pro-perubahan, kelompok oposisi semakin lama telah kehilangan legitimasi karena mereka tidak mampu membentuk sebuah kekuatan bersama yang mencerminkan aspirasi politik warga Suriah. Alih-alih ingin membentuk oposisi yang solid, mereka justru terlibat dalam konflik internal yang akut.

Ketiga, kelompok teroris yang ingin mendulang keuntungan dari instabilitas politik di Suriah. Selama ini Bashar al-Assad selalu menegaskan bahwa kelompok teroris berada di balik konflik politik di Suriah. Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah, karena semua maklum ISIS telah memporak-porandakan Suriah. Belum lagi kelompok teroris yang berafiliasi dengan al-Qaeda, seperti Jaisy al-Islam, Jabhat al-Nusra, Haiat Tahrir al-Sham, dan Faylaq al-Rahman.

Adanya kelompok teroris di Suriah semakin membenarkan, bahwa ada pihak-pihak yang sebenarnya mempunyai tujuan politik yang lebih besar. Intervensi Amerika Serikat dan Arab Saudi terhadap kelompok-kelompok tersebut semakin memberikan dukungan politik terhadap Bashar al-Assad untuk melawan kelompok teroris hingga titik darah penghabisan.

Keempat, dukungan dari Rusia, Iran, dan Hizbullah Lebanon. Faktor ini sepertinya menjadi faktor determinan kenapa Bashar al-Assad tidak mudah ditaklukkan. Bahkan, kabarnya pasukan khusus Rusia memberikan pengawalan dan pengamanan yang super-canggih terhadap Bashar al-Assad, sehingga tidak akan mudah diterobos oleh lawan-lawan politik, termasuk Amerika Serikat.

Maka dari itu, memahami konflik di Suriah tidak bisa dengan menggunakan pendekatan konflik sektarian. Apa yang terjadi di Suriah merupakan murni konflik politik di dalam negeri yang sampai ini belum mencapai titik-temu. Selebihnya, konflik politik yang terjadi di Suriah juga merambah pada ranah geopolitik, yaitu pertarungan besar antara Amerika Serikat dan Rusia. Kedua negara ini sedang sama-sama mempertaruhkan pengaruhnya di Timur-Tengah.

Pada ranah yang paling sederhana juga ada pertarungan antara Arab Saudi dan Iran yang sama-sama ingin menjadikan Suriah sebagai mitra strategis. Apalagi Iran yang selama ini sudah merasa nyaman dengan Bashar al-Assad untuk membentengi dirinya dari infiltrasi Amerika Serikat dan Israel. Maka dari itu, Iran akan berusaha sekuat tenaga untuk mendukung rezim Bashar al-Assad.

Apa yang terjadi di Ghouta Timur juga merupakan episode yang belum selesai dari peristiwa yang terjadi sebelumnya. Apa yang terjadi di Ghouta merupakan pertarungan antara pasukan Bashar al-Assad yang didukung sepenuhnya oleh Rusia dan Iran melawan kelompok teroris Jabhat al-Nusra. Mereka berada di tengah-tengah ratusan ribu warga Ghouta untuk mendapatkan dukungan, seolah-olah mereka sebagai warga Ghouta. Ironisnya, kelompok Jabhat al-Nusra ini mempunyai persenjataan yang canggih, yang berhasil memberikan perlawanan terhadap pasukan Rusia.

Maka dari itu, solusi yang paling mujarab untuk menyelesaikan konflik politik di Suriah adalah rekonsiliasi antara kelompok oposisi dan pihak Bashar al-Assad. Semua pihak harus duduk bersama membincangkan sejumlah poin bersama, di antaranya memilih jalur politik untuk menentukan masa depan Suriah, termasuk jika diperlukan ada solusi konstitusional untuk memenuhi kebutuhan seluruh faksi politik.

Semua itu akan bisa dicapai jika kelompok-kelompok teroris yang mempunyai persenjataan harus hengkang dari Suriah, sebagaimana ISIS sudah hengkang dari Suriah dan Irak. Mereka harus memberikan kesempatan kepada warga Suriah untuk menentukan masa depan mereka. Selebihnya, Amerika Serikat dan Rusia harus mematuhi keputusan politik seluruh warga Suriah.

Mengapa Indonesia Butuh Arah Baru?

Mengapa Indonesia Butuh Arah Baru?
Anis Matta  ;   Pengamat Politik Internasional
                                                    DETIKNEWS, 14 Maret 2018



                                                           
Belakangan ini masyarakat merasa adanya krisis narasi tentang ke mana arah yang dituju oleh bangsa ini. Sejumlah survei merilis data bahwa masyarakat merasa Indonesia tidak menuju arah yang benar sebagai bangsa. Di tengah hingar-bingar pembangunan infrastruktur, masyarakat merasakan kehidupan yang makin berat dan kecemasan terhadap masa depan yang makin meningkat. Mengapa masyarakat sampai merasakan disorientasi akan arah bangsa ini?

Krisis narasi ditandai oleh munculnya begitu banyak paradoks, dan melahirkan masalah yang kompleks tapi tidak ada jawaban atas semua masalah itu. Akumulasi dari masalah-masalah yang tidak terjawab akan melahirkan kebingungan dan disorientasi kolektif. Jika referensi ideologi, struktur nilai, dan sistem politik tidak mampu menjawab paradoks-paradoks itu maka relevansinya seketika hilang. Sebuah narasi baru diperlukan untuk mengurai benang kusut itu, dan menciptakan sebuah cerita kehidupan baru di mana semua elemen terintegrasi kembali dan sungai kehidupan kembali mengalir dalam sebuah arah sejarah baru.

Dalam situasi seperti itu pertanyaan akan ditujukan kepada para pemimpin untuk mencari solusi. Jika mereka tidak mempunyai cerita kehidupan baru, maka mereka juga seketika kehilangan relevansi. Itulah awal krisis kepemimpinan: masyarakat kehilangan kepercayaan pada kemampuan pemimpinnya untuk mengurai benang kusut itu. Secara natural mereka akan mencari wajah baru yang punya jawaban atas masalah itu.

Pintu Masuk Perubahan

Krisis selalu hadir dalam setiap peralihan gelombang sejarah. Pergerakan nasional pada 1908 memulai pergeseran (shifting) dari perlawanan terhadap kolonialisme yang bersifat dan berskala kedaerahan menjadi berdimensi nasional. Pergeseran ini mengawali hilangnya relevansi strutktur sosial lama berbasis etnis, digantikan struktur sosial baru bernama bangsa Indonesia. Di tingkatan politik juga terjadi pergeseran dari sistem politik, dari kerajaan-kerajaan kecil Nusantara menuju terbentuknya negara merdeka berbentuk republik. Puncaknya adalah kelahiran bangsa Indonesia pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan lahirnya negara Indonesia pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Perjalanan dari perlawanan melawan penjajahan hingga Indonesia merdeka ini saya sebut gelombang pertama dalam sejarah Indonesia. Dalam gelombang ratusan ini, kita berusaha merumuskan jatidiri kita sebagai bangsa, menjadi Indonesia.

Tragedi politik G30S adalah krisis yang mengakhihiri Orde Lama dan melahirkan Orde Baru. Krisis ekonomi 1998 mengakhiri Orde Baru dan melahirkan "orde" Reformasi. Di Orde Lama kita mengalami demokrasi tanpa kesejahteraan. Sebaliknya, pada masa Orde Baru, kesejahteraan dinikmati dengan ongkos hilangnya kebebasan. Pada 20 tahun masa Reformasi ini, kita mulai menemukan keseimbangan antara demokrasi dan kesejahteraan.

Rentang dari Indonesia merdeka hingga masa Reformasi saya sebut sebagai gelombang kedua. Dalam periode ini kita mencari sistem yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik kita. Kita mencoba mempertemukan dua kata, yaitu demokrasi dan kesejahteraan, dengan rangkaian eksperimen yang harus dibayar mahal. Hasil dari gelombang ini adalah terwujudnya negara-bangsa (nation-state) yang modern.

Inilah perjalanan dialektika sejarah bangsa kita. Lalu, apakah kita sekarang mengalami krisis?

Yang kita rasakan adalah kesenjangan antara potensi yang kita miliki dan hasil yang kita capai. Langit terlalu tinggi tapi kita terbang terlalu rendah. Kita seperti orang kaya yang tidak bisa mengelola kekayaannya dengan baik dan kini berada di ambang kebangkrutan. Fundamental ekonomi yang lemah karena digerogoti utang luar negeri yang mencapai Rp 4.750 triliun, kesenjangan ekonomi yang kian menjulang, dan melemahnya kurs rupiah adalah masalah nyata yang tampak coba ditutupi dengan hiburan-hiburan jenaka. Memang, pendewasaan sosial-politik yang telah dilewati rakyat membuat krisis tidak selamanya ditandai kerusuhan sosial.

Gejala krisis itu muncul dalam perasaan disorientasi karena tidak adanya arah kehidupan berbangsa dan bernegara yang jelas, serta lemahnya kapasitas kepemimpinan nasional dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar. Misalnya, bagaimana roadmap Indonesia dalam menghadapi eskalasi di Laut Cina Selatan tidak pernah tersampaikan dengan jelas kepada publik.

Ketiadaan arah itulah yang saya maksud dengan krisis narasi dan lemahnya kapasitas kepemimpinan itu yang saya maksud dengan krisis kepemimpinan.

Arah Baru: Revolusi Cerdas

Kita sedang berada dalam peralihan gelombang sejarah, dari gelombang kedua menuju gelombang ketiga. Setelah berkutat dengan urusan internal, sudah saatnya kita melihat ke luar dan mencoba memposisikan Indonesia dalam kancah ekonomi dan politik internasional.

Sebagai bangsa kita perlu terus menanamkan dan mengintensifkan kebutuhan untuk berprestasi (need to achieve). Namun, semangat berprestasi itu tidak boleh terbatas untuk kepentingan pribadi seperti yang digambarkan psikolog Amerika David McClelland. Kebutuhan akan pencapaian tersebut harus didasari semangat pertangungjawaban sejarah kita. Mau apa kita dengan hidup ini?

Inilah nilai baru yang berkembang dalam struktur nilai masyarakat sebagai hasil dari demokrasi, kesejahteraan, pendidikan, dan pembauran dengan budaya global. Nilai baru ini melengkapi nilai-nilai yang sudah ada sebelumnya, yaitu agama dan kebersamaan atau kolektivitas. Nilai kolektivitas juga tercermin dari nilai kekeluargaan yang tumbuh dalam kelompok, komunitas atau organisasi, serta dalam praktik gotong-royong. Jadi, kombinasi antara nilai-nilai religiositas, kolektivitas dan kebutuhan berprestasi ini akan menjadi pendorong kemajuan masyarakat dan bangsa dalam era peralihan ini.

Perjalanan sejarah di hadapan kita adalah gelombang besar yang mempertemukan antara agama, pengetahuan, demokrasi, dan kesejahteraan. Agama membentuk karakter bangsa; pengetahuan membentuk kapasitas manusia dan negara; demokrasi menciptakan keseimbangan sosial antara kebebasan dan keteraturan; kesejahteraan adalah output dalam bentuk standar kehidupan yang lebih berkualitas.

Semua tenaga dan pikiran kita harus dicurahkan ke arah baru itu. Jika pada gelombang pertama tema utamanya adalah eksistensi dan identitas; pada gelombang kedua kita berkutat membangun sistem dan kapasitas; maka pada gelombang ketiga ini, kita bekerja dengan tema utama integrasi dan kolaborasi. Potensi yang begitu banyak tercerai-berai harus diintegrasikan dan dikolaborasikan untuk kemajuan bersama.

Arah baru Indonesia adalah sebuah revolusi cerdas (smart revolution), di mana perubahan besar dijalankan tanpa goncangan sosial besar karena kita menekan tombol-tombol perubahan yang tepat. Revolusi cerdas adalah perubahan besar mengikuti sistem demokrasi yang berlaku. Perubahan itu berjalan tanpa mencederai prosedur dan nilai-nilai demokrasi yang selama ini kita junjung. Yang ditawarkan kepada rakyat adalah arah baru yang akan kita tuju, agar kita menjadi bangsa yang sejahtera, kuat, berdaya saing, serta mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi.

Solusi bagi krisis narasi dan krisis kepemimpinan adalah lahirnya kepemimpinan nasional yang memiliki visi besar dan mampu menggerakkan seluruh rakyat untuk mencapai visi itu bersama. Pemimpin yang muncul dalam arah baru ini bukan menawarkan hiburan dan tawa sejenak, tetapi bangunan sistem baru untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Arah baru Indonesia akan membawa kita pada posisi sejajar dengan negara-negara kuat di dunia karena sejatinya kita punya kekuatan dan kemampuan untuk itu. Kita memiliki potensi demografi, kekayaan alam, posisi geopolitik yang strategis, serta pasar domestik yang besar. Sebagai ilustrasi, Indonesia adalah satu dari tiga negara muslim yang masuk G-20 bersama Turki dan Arab Saudi. Namun, jika melihat Pendapatan Domestik Bruto, Indonesia memiliki ukuran perekonomian yang lebih besar. Dari segi modal sosial, Indonesia memiliki akumulasi pengalaman demokratisasi yang lebih matang dari kedua negara tersebut. Artinya, potensi itu ada, tinggal bagaimana kepemimpinan nasional yang cakap dapat mengubahnya menjadi hasil yang membawa kesejahteraan.

Kita tidak perlu silau dan larut dalam puji-pujian negara lain atau lembaga keuangan internasional, karena yang harus diwujudkan adalah rasa terima kasih yang tulus dari rakyat seluruhnya. Dengan arah baru Indonesia, kita akan menulis sejarah kita sendiri dengan tinta keringat kerja keras kita sendiri.

Paradoks Empat Partai Baru Peserta Pemilu

Paradoks Empat Partai Baru Peserta Pemilu
Iqbal F Randa  ;   Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya
                                                    DETIKNEWS, 14 Maret 2018



                                                           
Sebanyak 15 partai politik dipastikan akan mengikuti pertarungan di Pemilihan Umum pada 2019 nanti. Jumlah itu ditetapkan setelah Partai Bulan Bintang (PBB) secara dramatis memenangi gugatannya pada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait hasil verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang sebelumnya hanya meloloskan 14 partai. Drama tersebut menjadi 'bumbu tambahan' dalam persiapan penyelenggaraan pemilu kali ini selain kehadiran empat partai politik baru yang ikut berkompetisi.

Membicarakan keikutsertaan empat partai baru dalam pemilu ini menjadi jauh lebih menarik sebab mereka hadir dalam situasi yang terbilang sulit. Diketahui bila tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik saat ini begitu rendah. Selain itu, hasil survei Indobarometer pada Maret 2017 lalu juga menunjukan bahwa sebesar 62,9 persen masyarakat merasa tidak dekat dengan partai politik.

Tantangan semakin berat mengingat pada helatan Pemilu 2019 nanti keempat partai baru itu, yakni Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Berkarya, dan Partai Garuda akan bersaing ketat dengan para partai lama untuk memperebutkan sekitar 196,5 juta suara aktif masyarakat. Terkait hal itu, upaya diferensiasi menjadi kunci tantangan sekaligus kesempatan bagi partai-partai baru yang mesti dihadapi.

Citra maupun popularitas partai tentu menjadi ujian pertamanya. Partai-partai dituntut untuk mampu tampil dalam pendekatan yang berbeda kepada masyarakat dengan tujuan mendobrak kejenuhan masyarakat dalam memandang partai politik yang selama ini terkesan koruptif sekaligus manipulatif. Bila hal itu mampu dilakukan, kesempatan untuk partai baru dalam mengakumulasi suara dan mendapatkan kepercayaan publik akan semakin terbuka lebar.

Melalui hal itu, maka inovasi politik mutlak diperlukan. Firmanzah (2011) dalam bukunya Mengelola Partai Politik menyebut inovasi politik dalam hal ini dimaksudkan sebagai temuan atau perbaikan atas isu-isu atau program kerja politik yang disesuaikan dengan setiap perubahan yang ada dalam masyarakat. Pertanyaan yang terlontar kemudian, sejauh mana parti politik baru mampu menciptakan gagasan inovasi politik dan tampil sebagai partai alternatif pilihan masyarakat? Atau, hanya akan sama saja dengan pola partai yang sudah ada?

Gagasan Partai 'Alternatif'

Seiring hadirnya keempat partai baru dalam daftar peserta Pemilu 2019 kali ini, wacana mengenai adanya partai 'alternatif' pun kembali menyeruak di ranah publik. Hal itu sebagai imbas dari adanya pendekatan partai yang berbeda dengan parta-partai sebelumnya. PSI misalnya, dianggap mewakili suara baru dengan mengusung konsep anak-anak muda kelas menengah sebagai basis pendukungnya. Kampanye yang ditampilkan sering merujuk pada penguatan basis etika publik dengan menyinggung isu korupsi, kesetaraan, maupun keberagaman.

Namun, kondisi itu berbeda dengan ketiga partai lainnya. Perindo dan Partai Berkarya, keduanya masih terlihat menggunakan pendekatan personalistik dengan menampilkan figur kuat dalam citra partainya. Dibandingkan dengan PSI, keduanya jauh lebih bisa dikatakan sebagai partai dengan model partai elektoralis dengan ciri ketiadaan basis massa yang mengakar, ketergantungan yang tinggi terhadap eksistensi figur, dan seringkali memanfaatkan sejumlah potensi untuk meraup keuntungan pada dimensi citra ataupun material

Partai Perindo yang didirikan pada Februari 2015 sejak awal terlihat menonjolkan sosok Hary Tanoesoedibjo selaku Ketua Umum sekaligus pendiri partai. Namun, secara popularitas partai ini bisa jadi lebih unggul dibandingkan ketiga partai lainnya, mengingat pemanfaatan jaringan media yang tersebar luas dan berbagai jenis milik Hary Tanoe untuk mempopulerkan gagasan dan visinya.

Sedangkan, untuk Partai Berkarya sosok Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) tampil dengan pesan kuat untuk melanjutkan kejayaan Sang Ayah. Tak jauh berbeda, kehadiran Partai Garuda pun demikian. Digawangi oleh Ahmad Ridha Sabana mantan Direktur PT Cipta Televisi Indonesia (TPI), partai ini dibayangi oleh sosok Siti Hardiyanti (Tutut Soeharto) yang disebut-sebut ada di balik layar. Partai Garuda kemudian seolah memperkuat anggapan kembalinya trah Cendana pada kontestasi politik 2019.

Melihat situasi ini, gagasan mengenai beberapa partai baru tersebut sebagai partai alternatif akhirnya terlihat kabur. Kehadiran partai baru tersebut masih belum terlihat menampilkan sirkulasi elite baru. Hal ini tentu bersinggungan dengan amanat reformasi politik yang menjadi pijakan dari proses transisi demokrasi yakni memungkinkan lahirnya pemimpin-pemimpin baru sebagai alternatif. Munculnya nama Tommy Soeharto, Siti Hardiyanti, dan Hary Tanoe menjadi bukti bahwa jaringan rezim Orde Baru juga masih saling berkaitan dan berpengaruh dalam lanskap politik Indonesia.

Jebakan Oligarki

Menjadi dilematis apabila kemunculan empat partai baru pada akhirnya juga terjebak pada kondisi yang sama: menguatkan relasi oligarki --penguasaan oleh segelintir orang kaya-- yang sampai saat ini mendominasi arena politik Indonesia. Jeffrey A. Winters (2011) menyebut terjadi pergeseran pola oligarki pasca-Orde Baru, yang sebelumnya bersifat sultanistik dengan sosok sentral Presiden Soeharto, menjadi penguasaan kolektif. Relasi yang dibentuk adalah memanfaatkan patronase yang menyebar, koalisi yang cair, dan sekaligus saling bersaing.

Gejala ini muncul bila kita melihat latar belakang para tokoh utama dari partai-partai baru tersebut. Perindo misalnya, Hary Tanoe dikenal sebagai seorang konglomerat media pemilik jaringan MNC Group yang lahir berkat kedekatannya dengan Cendana. Begitu pula Partai Garuda dan Berkarya yang banyak disebut mendapat dukungan dari jaringan konglomerat lama.

Bagaimana dengan PSI? Hal itu bisa saja terjadi, mengingat PSI juga disokong oleh kekuatan jaringan para pengusaha. Dalam beberapa kesempatan, Grace Natalie --Sang Ketua Umum-- juga menyampaikan bahwa PSI didukung oleh para pengusaha menengah. Melalui hal ini, maka konfigurasi yang terjadi justru bisa dilihat bahwa ini bisa jadi semata pertarungan antarkekuatan oligarki dalam kelas berbeda. Kompetisi akan terjadi dalam perebutan kursi di parlemen, namun koalisi dengan pola pragmatisme terjadi dalam pemilihan presiden.

Pada akhirnya, kemunculan keempat partai baru ini menampilkan kesan yang saling bertolak belakang (paradoksal). Di satu sisi, mereka memunculkan harapan baru sebagai alternatif pilihan berbeda, namun di sisi lain mereka sekaligus dicurigai semakin meneguhkan pola oligarki politik yang saat ini sudah kuat bercokol di banyak partai politik.

Mencari Penantang Jokowi

Mencari Penantang Jokowi
Aminuddin  ;   Analis Politik pada Literasi Politik dan Edukasi untuk Demokrasi (LPED);  Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
                                                    DETIKNEWS, 14 Maret 2018



                                                           
Sudah menjadi habitus bahwa presiden yang sedang berkuasa akan kembali dicalonkan oleh partai pengusung dan koalisinya. Tentu saja, deklarasi PDIP mencalonkan Joko Widodo sebagai capres 2019 bukan hal yang mengejutkan. Selain memiliki peluang paling tinggi dibandingkan dengan tokoh lain di internal PDIP, ia juga menjadi satu-satunya yang terkuat di internal koalisinya. Pertanyaannya, siapa tokoh alternatif yang mampu menekan "zona nyaman" Jokowi di ajang kontestasi pilpres 2019?

Sejauh ini, ketua umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto menjadi satu-satunya calon yang digadang-gadang menjadi pesaing kuat Jokowi. Prabowo dan Jokowi dianggap akan menjadi pacuan kuda dalam perebutan kursi kekuasaan. Namun sayangnya, ketika kubu Jokowi sudah mendeklarasikan sebagai capres, kubu Prabowo masih adem ayem. Bahkan Prabowo secara simbolik mengatakan bahwa jika rakyat menghendaki, ia akan maju. Itu artinya, kubu Prabowo masih melihat kemungkinan-kemungkinan peta politik setidaknya beberapa bulan ke depan. Selain masih membaca peta politik, hajatan pilkada juga masih menjadi alasan utamanya.

Deklarasi terhadap Joko Widodo sebagai capres seolah menjadi antitesis PDIP dalam mengumumkan calon. Biasanya, PDIP mengumumkan calon pada detik-detik terakhir. Apalagi, pengumuman tersebut berlangsung tertutup. Ini menjadi pertanyaan penting bagi publik terkait pencalonan Jokowi. Dalam kaitan ini, bisa saja Jokowi sebagai bagian dari strategi politik PDIP untuk mendongkrak perolehan suara di Pilkada 2018. Seperti diketahui, PDIP juga mencalonkan banyak kader di berbagai daerah. PDIP berharap dengan percikan popularitas Jokowi mampu mendongkrak kemenangan PDIP di daerah.

Pencalonan Jokowi sebagai presiden tentu saja tidak bisa dilepaskan dari tangan dingin Megawati Sukarnoputri. Megawati menjadi sosok tunggal yang mampu menentukan arah politik PDIP. Pencalonan Jokowi tidak bisa dibawa sebagai bagian dari hukum alam. Melainkan dibaca sebagai politik restu dari pemilik parpol. Apalagi, Jokowi bukan sosok yang lahir dari politik biologis Sukarno. Ditambah lagi dengan anggapan "petugas partai". Dalam posisi inilah, benar apa yang disebut Robert Michels (1912) bahwa partai politik nyaris tidak ada yang mampu keluar dari penyakit kronis elitis. Elite politik akan selalu menguasai struktur dan pengambilan keputusan di dalam internal partai politik.

Di tengah moncernya elektabilitas Jokowi saat ini, memang tidak mudah untuk mencari figur yang mampu menandinginya. Apalagi, banyak partai yang rela mendukung Jokowi sebagai calon presiden 2019. Sebelum PDIP, sudah ada Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Dengan modal seperti itu, tentu pendeklarasian partai mendukung Jokowi sebagai imbas dari posisi tawar Jokowi.

Namun logika penting yang harus dipahami, elektabilitas tidak menjadi jaminan petahana akan melenggang mulus dalam piplres 2019. Logika ini mudah dianalisis. Belajar dari pengalaman Jokowi sebelum mencalonkan menjadi capres 2014, popularitasnya kalah jauh dari Prabowo Subianto yang sudah terlebih dahulu mendeklarasikan menjadi capres. Bahkan kampanyenya sudah memenuhi ruang publik dan media. Prabowo dianggap tanpa hadangan menuju RI-1 waktu itu. Namun Jokowi mampu membalikkan anggapan tersebut. Setali tiga uang, kita masih ingat pilkada DKI 2017 silam di mana petahana kalah dari Anies Baswedan. Padahal sebelum mencalonkan, Anies kalah pamor oleh Ahok.

Dengan pengalaman seperti itulah, bukan tidak mungkin Jokowi bisa ditandingi oleh figur-figur alternatif. Maka, ada dua syarat jika ingin menandingi Jokowi. Pertama, tokoh tersebut harus lahir dari kalangan yang mewakili masyarakat sipil. Artinya, tokoh tersebut sudah dikenal oleh publik karena kinerjanya yang baik sebagai tokoh publik. Kehadiran tokoh dari masyarakat sipil penting untuk dilahirkan mengingat selama ini, calon yang kerap muncul berlatar belakang militer dan politisi yang memiliki masa lalu kurang baik. Kedua, tokoh tersebut tidak boleh menjadi antitesis Jokowi. Artinya, figur tersebut harus mampu mengimbangi Jokowi yang dianggap merakyat.

Ketiga, tokoh tersebut harus dekat dengan generasi muda (milenial). Syarat ini sangat penting mengingat pemilih yang tersedia merupakan generasi milenial dan melek digital. Apalagi, dukungan generasi milenial terhadap Jokowi dianggap lemah. Menilik temuan survei Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) yang dirilis 2017 lalu, Jokowi masih lemah pada segmen pemilih milenial yang hanya 31,7%. Bahkan Jokowi kalah dari Prabowo Subianto yang mengantongi 35,7%. Karenanya, kelemahan tersebut bisa menjadi peluang bagi penantang lain untuk dimaksimalkan sebaik mungkin.

Hidayah Datang via Televisi di Pos Ronda Kami

Hidayah Datang via Televisi di Pos Ronda Kami
Iqbal Aji Daryono  ;   Esais, tinggal di Bantul
                                                    DETIKNEWS, 13 Maret 2018



                                                           
Selepas pulang dari rantau tiga bulan lalu, saya aktif lagi ikut ronda di kampung. Ini menyenangkan. Sebab gardu ronda kami sudah berubah drastis, berbeda dengan dulu waktu saya tinggalkan. Gardu bekas posko PDIP yang didirikan menjelang ribut-ribut Kudatuli 1996 itu kini mencapai puncak metamorfosisnya. Dimulai dari gardu kecil berbahan bambu bercat merah bergambar banteng moncong putih, berkembang menjadi bangunan permanen dengan cor semen seadanya tanpa banteng, dan kini sudah diperluas dengan tiang-tiang kokoh dan lantai keramik putih berkilat.

Selain dilengkapi dengan gudang tempat menyimpan segala perkakas makan-minum, juga papan besar berisi daftar nama petugas jaga saban malamnya, ada satu lagi elemen baru yang menjadi puncak penanda kejayaan pos ronda kami: sebuah pesawat televisi yang ditanam di salah satu sisi dindingnya.

Dengan tivi itu, kami bisa betah nongkrong hingga tengah malam. Jangan ditanya soal tugas pengawasan keliling kampung sampai dini hari. Toh ronda zaman now isinya cuma nongkrong bersama, jalan berkeliling cuma untuk mengambili jimpitan dua ratus perak di pintu tiap rumah warga, dan intinya ya menjaga frekuensi pergaulan yang sehat dengan para tetangga.

Karena jadwal ronda saya Sabtu malam alias malam Minggu, tak urung tontonan yang diputar rutin di tivi gardu adalah acara tarung bebas yang ditayangkan Tivi Wan.

"Mas, nanti Ahong main lho, Mas! Jangan telat datangnya!" beberapa kali Pak Mugiharjo berpesan begitu, jika kebetulan Sabtu sore berpapasan dengan rekan satu tim ronda. Ahong alias Rudy Gunawan, petarung yang jago jiujitsu itu memang sedang nge-hits. Malam Minggu kemarin dia menjungkalkan lawannya cuma dalam 30 detik.

Dengan hobi baru kami menonton orang berkelahi, ternyata muncul dua hal positif.

Pertama, lenyap sudah hobi lama, yakni ngobrol politik. Dulu ketika tempat ronda masih bergiliran dari rumah ke rumah, rata-rata tuan rumah menyediakan teras mereka. Karena tak ada tivi di teras, yang dilakukan ya cuma ngobrol. Ya, mengobrol sih baik. Namun sialnya, entah kenapa sejak 2014 setiap obrolan ujung-ujungnya selalu lari ke politik. Nah, kalau sudah ngomong politik, yang ada cuma keluhan, umpatan, dan ratapan sebagai orang-orang kecil yang tak bisa berbuat apa-apa selain menyaksikan akrobat para elite. Syukurlah, Ahong Rudy Gunawan berhasil menendang nama-nama politisi dan menyelamatkan malam-malam kami.

Kedua, dengan melihat orang bertarung bebas, kami menyadari satu hal sederhana. Begini. Beberapa kali, sembari menyaksikan pukulan dan pitingan dari para tukang berkelahi bayaran itu, muncul kalimat-kalimat lugu.

"Wah, ternyata sehebat-hebatnya orang latihan beladiri, cara berantemnya nggak trus bisa kayak Jet Li ya," begitu satu suara bergumam.

"Wo ya enggaaak! Itu kan cuma di film to, Pak. Kalau di film ya bisa ciat-ciat keren. Kalau di gelut betulan nggak bakal bisa begituan," sahut Mas Dayat yang memang punya jam terbang tinggi dalam keributan jalanan itu.

"Lho saya juga tahu kalau di film cuma setingan, Mas. Tapi kan minimal tetap ada mirip-miripnya sedikit dengan berantem beneran, gitu lho. Ini kok jauh ya? Langsung bat-bet gitu aja. Padahal kan orang-orang itu latihan beladirinya mati-matian...."

Yang lain pada tertawa. Saya sendiri sambil ikut terkekeh ingin menimpali dengan mengutip pemikir post-strukturalis Jean Baudrillard, berikut konsep hiperrealitas, simulacra, dan cyberblitz-nya. Tentu biar saya dikagumi orang-orang kampung, dianggap arif bijaksana, dan dilihat sebagai pengangguran yang punya setumpuk wawasan.

Untung lekas-lekas saya urungkan niat saya meski bibir ini mulai terbuka. Jelas, suasana pasti mendadak garing kalau saya mengigau sendirian dengan tema sekolahan yang sok-sokan sophisticated, dan bisa-bisa setelah itu sampai kiamat orang sekampung pada malas ngobrol sama saya.

Maka saya memilih diam. Sambil nyeruput teh anget dan menggigit sepotong bakwan, saya bersyukur bahwa grup ronda kami menemukan pencerahan yang nyata. Ya, bahwa realitas acapkali berbeda jauh dengan tayangan di televisi dan internet!

                                                     ***

Ini tampaknya sepele saja. Tapi kita kerap kali tidak menyadarinya. Bukan cuma soal orang berkelahi di jalanan atau di ring MMA, namun juga tentang soal-soal lainnya.

Beberapa pekan sebelumnya, saat nongkrong di warung sate Okarjo sebelah Polda DIY, saya beruntung bisa nimbrung bercakap dengan seorang petugas polisi. Pak Polisi ini bercerita tentang bagaimana mereka memantau gerak-gerik teroris yang sempat mengancam Jogja (tentu tidak boleh saya bagi secara rinci di sini). Yang jelas dia bercerita, pada momen-momen tertentu polisi nyaris tidak pernah tidur, selalu penuh ketegangan, dan apabila teror akhirnya terjadi mereka pun mendapat nilai merah dari korps.

Namun publik seringkali tak percaya. "Mereka bilang ini rekayasa. Itu rekayasa. Kadang kalau pas hati saya kotor ya Mas, ingin rasanya bom itu langsung saja mengenai orang-orang itu. Barulah mereka bakal percaya." Pak Polisi mengomel sebentar meski kemudian menyusulkan istigfar.

Obrolan berlanjut ke, lagi-lagi, imajinasi publik atas realitas. Ketika sebuah aksi penggerebekan teroris ditayangkan langsung oleh stasiun televisi, banyak orang mencibir. Mereka bilang polisi penakut, nggak bisa merangsek ke jantung pertahanan. Saya sendiri mendengar gerutuan seperti itu waktu polisi berbaku tembak dengan teroris di sekitar Solo, bertahun-tahun silam. Saya lupa siapa nama tokohnya.

Waktu itu, banyak orang mengejek, "Lha kok ngumpet sambil bawa cermin gitu nembaknya? Kenapa nggak dijebol saja pintunya, terus masuk langsung dan nangkap terorisnya? Nanti ujung-ujungnya mati lagi mati lagi."

Nah, di sini masalahnya. Agaknya orang-orang itu lupa, bahwa aksi-aksi penggerebekan atas para penjahat bersenjata yang mereka tonton selama ini merupakan adegan-adegan di film Hollywood belaka. Maka mereka pun membayangkan menggerebek penjahat itu mudah. Tinggal bikin formasi, serdadu paling depan menendang pintu, serdadu belakangnya masuk menerjang sambil menembakkan pistol, dan menembaknya pun bisa persis di tangan penjahat yang menggenggam granat. Hahaha!

Begitulah realitas semu. Betapa amburadulnya percampuran antara kenyataan, fiksi, imajinasi, dan emosi komunal. Dari situasi terjebak semacam itu, tumbuhlah ketidakpercayaan sekaligus keterkejutan atas terlalu banyak hal.

Salah satu produk yang dihasilkan dari kekacauan dalam mencerna realitas itu rasanya tampak juga saat ribut-ribut cadar beberapa hari terakhir. Banyak orang bilang para perempuan bercadar menimbulkan rasa tak aman. Bisa-bisa ada sesuatu yang berbahaya di balik cadar para perempuan itu, kata mereka. Tentu yang mereka maksud adalah, mmm, senjata. Atau bom!

Lah, lucunya, kalau diperiksa dari kasus-kasus terorisme di Indonesia, setahu saya para bomber malah cuma pakai kaos oblong dan celana jins. Lalu dari mana referensi mereka atas hubungan mesra antara cadar dan bom? Dari berita-berita tentang Boko Haram nun jauh di sana, atau dari film Amerika semacam American Sniper-nya Clint Eastwood?

                                                     ***

Sungguh, ada banyak hal lain yang bisa kita cerna pelan-pelan, terkait kegagalan demi kegagalan kita dalam memilah antara realitas dan fiksi.

Ada satu contoh yang pasti lebih dekat dengan diri kita sendiri, yakni kisah lama tentang seorang motivator hebat yang hidupnya sempurna. Ketika belakangan terbongkar bahwa ia "membuang" anak kandungnya, publik pun kaget berjamaah. Yang lebih bikin terhenyak lagi adalah kenyataan bahwa selama ini kita menjadikan kehidupan-harmonis-palsu Sang Motivator sebagai acuan hidup yang pakem. Kita mengira kehidupan seperti itulah yang secara masuk akal bisa berjalan di keluarga-keluarga lainnya, bahwa jutaan rumah tangga lain berhasil mengikuti kondisi ideal sebagaimana keluarga Sang Motivator.

Akibatnya mengerikan. Di saat kita sendiri mengalami problem agak serius di keluarga kita, yang kita rasakan adalah perasaan terpuruk yang berlebihan! Kita merasa nista, porak-poranda, tak punya harapan lagi dalam melanjutkan rumah tangga, dan merasa diri sebagai makhluk tak berguna. Padahal yang terjadi sesungguhnya: problem yang kita hadapi itu lazim saja, terjadi juga pada keluarga-keluarga lainnya, dan kita sendiri tak buruk-buruk amat sebagai manusia.

Lalu ada berapa rumah tangga yang telanjur berputus asa karena gagal mengikuti nilai-ideal-tapi-palsu dari Sang Motivator?

Ah, sudahlah. Yang sudah ya sudah. Saya cuma berharap bapak-bapak rekan satu grup ronda saya terus menonton Ahong Rudy Gunawan. Semakin mereka menyadari bahwa realitas tak seindah fiksi, semakin mereka siap dalam menghadapi Pemilu dan Pilpres nanti.

Tahun depan akan dihelat puncak parade kebohongan dari televisi yang berkongsi dengan para politisi. Berbekal kesadaran akan realitas semu, tanpa harus membaca Baudrillard pun bapak-bapak tim ronda malam Minggu sudah pada tahu.