Kongsi Baru Golkar
Gun Gun Heryanto ;
Direktur Eksekutif The
Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
|
KORAN SINDO, 21
Mei 2016
Bandul politik Golkar
berubah! Secara eksplisit Golkar di bawah nakhoda baru Setya Novanto
mendeklarasikan dukungan kepada Joko Widodo (Jokowi). Tak hanya kesiapan
menyokong pemerintahan Kabinet Kerja, lebih dari itu Golkar bahkan bermanuver
siap mengusung Jokowi pada Pemilu 2019. Partai berlambang beringin ini
berupaya bangkit memainkan peran dan membangun kongsi baru dengan Jokowi.
Semua itu bermula dari
dramaturgi rekonsiliasi di Munaslub Bali. Ibarat sebuah narasi, plot cerita
berjalan happy ending dan konflik
seolah bisa diatasi dengan model politik akomodasi. Lagi, untuk kesekian
kalinya, pengalaman politik seorang Setya Novanto sebagai pelobi ulung
terkonfirmasi. Di tengah beragam peristiwa yang menghimpit citra dan
reputasinya, Setnov (panggilan akrab Setya Novanto) sangat licin memandu
strategi dan memenangi kontestasi.
Babak Baru
Keterpilihan Setnov
menjadi ketua umum Partai Golkar yang baru bermakna dua hal. Pertama, arus besar
kekuatan rujukan dari kekuasaan masih menjadi faktor menentukan dalam
keterpilihan siapa pun ketua umum Golkar. Hal ini sejak awal terbaca dari
intensnya dorongan verbal yang eksplisit dan konteks kehadiran dari dekat
Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan di lokasi munaslub.
Dalam berbagai
kesempatan, Luhut memberi sinyal dukungan kepada Setnov. Tentu secara formal
dan retoris Jokowi menyatakan tak mau ikut-ikutan dalam gelanggang permainan
di Munaslub Bali. Tapi aroma ”restu Istana” ini kental terasa mengarah ke
Setnov. Bukan karena Setnov merupakan figur terbaik yang dibaca Istana dalam
kapasitasnya membesarkan partai, tetapi lebih karena potensi titik temu dalam
hubungan kuasa pemerintah dengan sikap dan orientasi politik Golkar di masa
mendatang.
Jika kata kuncinya berkongsi,
Setnov merupakan representasi figur yang dianggap lebih aman berkolaborasi
oleh Jokowi, karena sejumlah kerentanan yang melekat padanya. Singkatnya,
dari model pengendalian elite, strategi Jokowi ini bisa disebut sebagai
bentuk korporatisme politik atas kuasa yang dimiliki Golkar saat ini.
Tak perlu menunggu
lama, selesai perhelatan munas, Golkar pun berikrar keluar dari Koalisi Merah
Putih (KMP) dan masuk barisan partai pendukung pemerintah. Jokowi akhirnya
bisa mengendalikan DPR dengan memastikan 7 dari 10 partai yang punya kursi di
DPR kini menjadi bagian dari penyokong kekuasaan Kabinet Kerja.
Kedua, keterpilihan
Setnov sesungguhnya lebih bermakna instrumental
conditioning bagi lingkup internal Golkar. Konflik akibat dualisme
kepengurusan yang eksesif berpotensi meluas dan mendalam jika munaslub gagal
menghadirkan pemahaman bersama di antara para elite Golkar yang bertikai.
Kekhawatiran ini secara nyata dimanfaatkan benar oleh Setnov dan tim
suksesnya untuk memperbesar persuasi politik melalui kebutuhan figur
akomodatif dalam membangun jejaring politik.
Faktor piawai
”menyenangkan banyak orang ini”-lah yang lantas dimaknai sebagai ”nilai jual”
jangka pendek Setnov di pentas munaslub.
Sebagai politisi
senior di Golkar, Setnov sangat sadar benar habitus politik Golkar dalam
kekuasaan. Kekuatan rujukan (reference
power) dari kekuasaan ”dijual” sebagai langkah persuasi, di saat
bersamaan dia juga memasarkan diri sebagai ”kolaborator” paling mumpuni untuk
bisa menjembatani semua kepentingan berbeda yang mengemuka saat konflik
terbuka di tubuh Golkar.
Dalam perspektif
komunikasi, pendekatan Social Judgment
Theory dari Muzafer Sherif dan Carolyn Sherif (1967) dimanfaatkan benar
oleh Setnov. Proses ”mempertimbangkan” isu atau objek sosial biasanya
berpatokan pada kerangka rujukan (reference
points) yang dimiliki. Kerangka rujukan inilah yang pada gilirannya
menjadi ”jangkar” untuk menentukan bagaimana seseorang memosisikan suatu
pesan persuasif yang diterimanya.
Setnov mendorong dua
hal. Pertama, latitude of acceptance
atau zona penerimaan. Strateginya meyakinkan kubu Aburizal Bakrie (ARB) dan
kubu Agung Laksono sama-sama merasa aman karena dia memosisikan diri bukan
sebagai hardliner dari pertarungan
kubu-kubuan yang ada.
Merangkul semua pihak
dan memastikan arus besar elite, termasuk ARB, akan aman sehingga memudahkan
Golkar ”berganti kulit”. Hal ini terlihat dari pemberian posisi terhormat
untuk ARB sebagai ketua Dewan Pembina dan Idrus Marham sebagai sekjen partai.
Demikian pula Setnov piawai merangkul orang-orang dari kubu Agung Laksono di
jajaran elite Golkar yang dipimpinnya.
Di saat bersamaan
(kedua), Setnov juga menyentuh ego-involvement pemilik suara di munaslub
dengan memastikan tawaran tentang seberapa penting posisinya untuk membawa
Golkar kembali menjadi bagian kekuasaan. Di titik inilah Setnov sangat
terbantu dengan dukungan demonstratif yang ditunjukkan Luhut Panjaitan.
Mengelola Kerentanan
Dalam jangka pendek,
Golkar mungkin bisa bernapas lega karena munaslub tak berujung ricuh.
Kepiawaian mengendalikan panggung megah Munaslub Bali menjadi catatan
manajemen konflik yang menarik. Tapi ini awal langkah panjang Golkar ke depan
mengelola kerentanan.
Pertama, Golkar rentan
tersubordinasi dalam kongsinya dengan Jokowi. Sosok Setnov menjadi kekuatan
sekaligus kelemahan. Dia bisa diterima karena teramat pandai menyenangkan
orang, tapi dia juga punya potensi menjadi ”kartu truf” yang bisa dimainkan
Jokowi untuk mengendalikan Golkar hari ini dan ke depan. Meski Golkar tentu
bukan hanya Setnov, langkah dan arah kebijakan partai akan sangat dipengaruhi
sikap, orientasi, kepentingan, sekaligus ”dosa politik” yang melekat pada
nakhodanya.
Kedua, rentan dalam
mengelola fragmentasi kekuatan politik dalam jangka panjang. Keterpilihan
Setnov tidak berarti faksi-faksi sepenuhnya mengamini. Ibarat ”jeda
peperangan”, munaslub masih membutuhkan langkah lanjutan. Kohesi politik dan
sosial belum utuh benar dan akan sangat ditentukan variabel cara mengelola
konflik internal di era Setnov.
Daya tahan mengelola
kebersamaan tak cukup mengandalkan uang atau iming-iming terus-menerus. Butuh
kapasitas di beberapa momentum yang bisa menjadi indikator kepiawaian
memimpin gerbong besar Golkar.
Misalnya daya tahan
Golkar di Pilkada Serentak 2017 dan 2018, Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden
2019. Jika di momentum-momentum tersebut Golkar terpuruk dan tak mampu
mengendalikan fragmentasi kekuatan yang bertarung di lingkup internal,
potensi konflik akan kembali menghebat.
Terakhir, Golkar juga
punya kerentanan dalam mengelola kepercayaan publik. Masalah nyata Golkar
hari ini adalah mengatasi jarak dengan rakyat, terlebih jika mereka tak
percaya dengan sosok utama yang menjadi pewajahan partainya. Dengan siapa pun
berkongsi, Golkar biasanya mampu menemukan ritmenya dan lantas menabuh
gendang sendiri. Akankah itu terjadi di era Setnov? Pilihannya, Golkar
bangkit mandiri atau merunduk sempurna di depan kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar