Rotan dan Mitigasi Perubahan Iklim
Suhardi Suryadi ;
Direktur LP3ES 2005-2010
|
KOMPAS, 24 Mei
2016
Sejak1980 hingga 2005,
Indonesia dikenal sebagai negara penghasil rotan terbesar di dunia. Hampir 80
persen bahan baku industri rotan berasal dari Indonesia dengan total produksi
sekitar 622.000 ton per tahun.
Alhasil, pada rentang
waktu tersebut merupakan era keemasan dari perdagangan komoditas rotan di
dalam negeri dan ekspor. Hal ini ditandai dengan kapasitas industri
pengolahan rotan rata-rata mencapai 545.405 ton per tahun dengan nilai ekspor
rotan olahan mencapai 399 juta dollar AS (Asmindo, 2007).
Rotan telah memberikan
dampak yang signifikan dalam pembangunan ekonomi bagi petani, pekerja,
industri kecil pengolahan, ataupun eksportir rotan, termasuk sumber devisa
negara.
Di kota Cirebon, Jawa
Barat, yang menjadi sentra industri pengolahan rotan, misalnya, pada 2005
tercatat ada1.150 perajin, 602 eksportir dengan 430 pabrik pengolahan dan
mampu mengekspor 3.000 kontainer setiap bulan. Usaha rotan di Cirebon mampu
menyerap tenaga kerja penuh waktu sekitar 75.000 orang.
Memudar
Dengan potensi ekonomi
yang cukup besar, pemerintah memandang perlu untuk mengatur masalah tata
niaga perdagangan rotan melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 35 Tahun
2011 tentang Larangan Ekspor Rotan dan Produk Rotan. Kebijakan ini tampaknya
didasari keinginan pemerintah memaksimalkan nilai ekonomi dari rotan mulai
dari hulu hingga hilir.
Sebenarnya kebijakan
serupa pernah dilakukan pada 1980-an. Larangan ekspor rotan mentah dan olahan
diharapkan dapat mendorong dan mengembangkan kegiatan industri pengolahan
(furnitur dan kerajinan) oleh pengusaha Indonesia. Dengan demikian,
diharapkan nilai tambah dari komoditas rotan bermanfaat bagi masyarakat pada
umumnya.
Ide atau keinginan
pemerintah sesungguhnya masuk akal walau dalam kenyataan justru sebaliknya.
Sejak peraturan larangan ekspor diberlakukan, ternyata belum berdampak
terhadap peningkatan produksi rotan dalam negeri dan mendorong nilai ekspor
rotan jadi dari Indonesia. Bahkan, perdagangan rotan mulai memudar, baik di
tingkat petani maupun pengumpul bahan baku, furnitur, dan kerajinan karena
harga tidak kompetitif.
Hal ini terlihat dari
nilai ekspor mebel rotan Indonesia pada 2014 hanya 92,6 juta dollar AS
dibandingkan pada 2012 (sebelum larangan ekspor rotan semi-jadi diperbarui) yang
mencapai 111,2 juta dollar AS (Kementerian Perindustrian, 2014). Pudarnya
industri pengolahan rotan Indonesia juga tidak terlepas dari keterbatasan
teknologi finishing dan desain
produk-produk rotan olahan yang masih ditentukan oleh pembeli dari luar
negeri.
Kebijakan larangan
ekspor ini sesungguhnya dibangun atas dasar asumsi yang salah, yaitu
keinginan untuk mengatur pasokan bahan baku sehingga industri rotan di luar
negeri (Tiongkok, Taiwan, Hongkong, dan Malaysia) yang menjadi kompetitor
akan mati atau dapat dikendalikan. Padahal, bahan baku hanya salah satu unsur
dalam kompetisi usaha.
Namun, yang menarik,
di saat rotan mentah dan rotan semijadi dari Indonesia dilarang diekspor,
Tiongkok justru memproduksi rotan dari plastik sebagai bahan baku mebel.
Bahkan, sebagian pelaku industri dalam negeri juga menggunakan bahan baku
rotan plastik. Hal ini menunjukkan jika kemajuan rotan plastik dari Tiongkok
untuk furnitur menjadi indikasi dari tidak efektifnya kebijakan larangan
ekspor rotan.
Di samping itu,
larangan ekspor justru mendorong terjadinya perdagangan rotan secara ilegal,
terutama untuk jenis rotan olahan. Sejak tahun 2012, diperkirakan setiap
tahun ada 5-10 kasus penyeludupan rotan ke berbagai negara dengan nilai Rp 20
miliar-Rp 50 miliar yang digagalkan oleh Bea Cukai dan Kepolisian RI. Dan,
menarik untuk dicermati, pada 2012 itu Singapura ternyata justru membeli
rotan mentah dari Indonesia hingga 3,8 juta dollar AS, sekalipun kebijakan
larangan diberlakukan.
Larangan ekspor
sebagai bahan baku furnitur dan kerajinan jelas kurang berdampak terhadap
hilirisasi industri pengolahan rotan. Sejak larangan dimulai, jumlah pabrik
pengolahan menurun sekitar 27 persen. Selain faktor pasokan bahan baku yang
sulit, yang lebih utama disebabkan rendahnya desain dan kualitas produk serta
inefisiensi dalam industri itu sendiri. Upaya yang ditempuh pengusaha untuk
bertahan adalah membeli bahan baku rotan dengan murah dan mengganti rotan
dengan bahan lain, seperti bambu dan eceng gondok.
Perubahan Iklim
Yang paling fatal dari
dampak larangan ekspor ini adalah anjloknya harga rotan di tingkat petani
pemilik kebun rotan dan pengumpul rotan dari hutan. Harga rotan mentah yang
dibeli dari petani sekitar Rp 1.800 per kilogram, jauh lebih rendah
dibandingkan pada 2015 sebesar Rp 3.000 per kilogram. Harga ini tidak
sebanding dengan biaya pemanenan yang meliputi ongkos tenaga kerja dan
transportasi dari hutan ke tempat pengambilan. Apalagi untuk menjadi sumber
pendapatan guna mencukupi penghidupannya.
Alhasil, petani enggan
merawat, menjaga, dan membudidayakan rotan dan akhirnya mengonversi ke
tanaman cokelat (Sulawesi) dan sawit (Kalimantan) karena kedua komoditas ini
secara ekonomi lebih menguntungkan meski disadari rotan jauh lebih memiliki
nilai ekologis.
Tanaman rotan yang
hidup secara alami di bawah tegakan pohon karet, damar, dan lainnya merupakan
pola tanam yang berfungsi sebagai mitigasi perubahan iklim. Karena itu,
konversi ke perkebunan sawit akibat harga rotan rendah kelak dapat
meningkatkan emisi gas rumah kaca. Padahal, Indonesia sendiri sudah
berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen.
Dengan demikian,
kebijakan larangan ekspor rotan sepatutnya dicabut mengingat kurang cukup
bermanfaat terhadap hilirisasi industri rotan, kesejahteraan petani rotan,
dan kontribusinya terhadap pengurangan emisi. Jika tidak, sejarah akan
mencatat bahwa pemerintah akan dianggap sebagai penyebab dari runtuhnya pamor
Indonesia sebagai negara eksportir rotan terbesar di dunia. Tragis sekali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar