Negeri Paling Bahagia
AS Laksana ;
Sastrawan; Pengarang; Kritikus
Sastra yang dikenal aktif menulis
di berbagai media cetak nasional
di Indonesia
|
JAWA POS, 22 Mei
2016
PENULIS Inggris
Margaret Rumer Godden (1907–1998) mengatakan dalam sebuah wawancara pada
1993, ’’Kalkuta adalah kota keparat. Orang mengatakan, jika kita menaruh
sekantong debu Kalkuta di bawah tempat tidur orang baik-baik, dalam semalam
orang itu akan berubah menjadi bejat.’’
Kalkuta yang
disebut-sebut Rumer Godden membawa ingatan saya pada novel lama The City of Joy (1985) karya Dominique
Lapierre, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Wardah
Hafidz dengan judul Negeri Bahagia
(2008). Itu novel sangat tebal tentang orang-orang melarat yang hidup di Anand
Nagar yang berarti negeri bahagia, sebuah perkampungan kumuh di Kalkuta.
Sepanjang novel, kita
akan disuguhi cerita tentang kehidupan yang terasa tidak masuk akal saking
mengerikannya kemiskinan di sana. Lebih dari 70 ribu orang tinggal di Anand
Nagar yang luasnya tidak sampai tiga kali lapangan sepak bola.
Mereka hidup
berdesakan di rumah-rumah petak, tempat kutu-kutu beranak pinak dan burung
bangkai menunggu pesta, tidur di trotoar atau lempengan papan di got. Hampir
setiap orang tidak kuat menghidupi diri sendiri.
Seperempat kilogram
beras sehari pun mereka tidak sanggup membeli. Orang harus menjual apa saja,
termasuk darah dan organ-organ tubuh mereka, untuk bertahan hidup di dalam
kemiskinan.
Dan, seperti lazim
terjadi di tempat kumuh yang nyaris tidak tersentuh administrasi
pemerintahan, yang bisa tumbuh gendut dan sejahtera di sana adalah kutu-kutu
dan gerombolan preman, burung pemakan bangkai, dan pedagang yang tamak.
Kebejatan dan situasi
korup di tempat itu digambarkan dengan sangat tepat oleh salah satu karakter
di dalam cerita tersebut: ’’Jika udara yang kita hirup ini bisa dicuri,
niscaya mereka mencurinya dari kita.’’
Dalam penggambaran
Lapierre, Anand Nagar benar-benar sebuah tempat yang seperti mulut neraka.
Tidak ada sekuntum bunga pun di tempat itu.
Kanak-kanak bahkan
tidak mengenal semak-semak; mereka tidak pernah melihat hutan dan danau.
Manusia dan kutu-kutu dipanggang di bawah matahari yang begitu panas selama
delapan bulan sebelum tiba musim hujan yang mengubah tempat tersebut menjadi
danau lumpur.
Di sudut terkumuh
tempat itu, hidup para penderita lepra dengan hidung gerowong, lengan
buntung, dan borok yang mengeluarkan bau busuk. Ketika kali pertama membaca
novel itu, saya membacanya agak lama, karena harus berhenti berkali-kali,
dunia yang digambarkan oleh Lapierre terlalu menyesakkan dan membikin mual.
Tetapi, ada bagian
yang sangat berharga dari neraka kumuh itu: setiap orang di sana menjalani
kehidupan dengan rasa bahagia dan meyakini bahwa seperti apa pun situasi
mereka, hidup adalah sesuatu yang berharga untuk dijalani.
Hidup dalam
penderitaan yang sama, mereka memberi kita gambaran betapa berharganya
kebersamaan, dan bahwa cinta kepada sesama manusia tidak pernah bisa
dikalahkan oleh apa pun. Tetapi, itu hal yang juga lazim di dalam masyarakat
manusia mana pun.
Ketika jarak antara
kita masing-masing tidak terlalu lebar, kita bisa merasakan kebersamaan. Kita
terpecah belah ketika jurang pemisah itu menjadi terlalu lebar.
Tetapi, apa sebetulnya
yang menjadikan kita bahagia? Dari mana bersumber rasa bahagia di dalam diri
kita?
Bhutan, sebuah negara
kecil di punggung Himalaya, membuat entakan pada 1971 dengan menolak
pendapatan domestik bruto sebagai satu-satunya alat untuk mengukur kemajuan
sebuah negara. Pendekatan itu dianggap mendorong setiap negara terlibat dalam
pacuan hidup untuk meraup kekayaan sebesar-besarnya, memacu produktivitas
setiap individu warga negara, karena dari sanalah kemajuan diukur.
Sebagai alternatif,
dia menawarkan pendekatan baru untuk mengukur kesejahteraan melalui
pendekatan kebahagiaan nasional bruto, sebuah pendekatan yang
mempertimbangkan aspek-aspek kesehatan spiritual, fisik, sosial, dan
lingkungan pada setiap warga, dan juga keterpeliharaan lingkungan alam.
’’Mudah untuk
menambang bumi dan mengeruk ikan-ikan di laut dan menjadi kaya,’’ kata Thakur
Singh Powdel, menteri pendidikan Bhutan, dalam laporan The Guardian.
’’Namun, kami percaya
Anda tidak bisa menjadi negara makmur dalam jangka panjang jika tidak
memelihara lingkungan atau memberi perhatian pada kesejahteraan warga, yang
ditentukan oleh apa yang terjadi di sekitar mereka.’’
Empat pilar yang
diajukan Bhutan untuk mengukur kebahagiaan nasional bruto adalah kemajuan
yang berkelanjutan, pelestarian dan promosi nilai-nilai kultural, pelestarian
alam, serta pemerintahan yang baik.
Pada 2006, berdasar
survei global, Business Week menempatkan Bhutan sebagai negeri paling bahagia
di Asia dan peringkat kedelapan di dunia. Pada 2016, Laporan Kebahagiaan
Dunia, yang diterbitkan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), menempatkan Bhutan
pada peringkat ke-84.
Perbedaan mencolok itu
terjadi karena laporan PBB menggunakan kriteria yang berbeda lagi untuk
mengukur tingkat kebahagiaan warga sebuah negara. Kriteria yang digunakan PBB
adalah: (1) pendapatan per kapita domestik yang lebih tinggi, (2) gap yang
lebih kecil antara yang lapis atas dan lapis bawah, (3) usia harapan hidup
yang lebih panjang, (4) dukungan sosial, (5) kebebasan memilih, (6) indeks
persepsi korupsi yang lebih rendah, serta (7) perlakuan baik terhadap dan
antara sesama warga negara.
Dalam laporan PBB 2016
ini, yang diumumkan di Roma pada Rabu (18/5), Denmark menduduki peringkat
pertama sebagai negara paling bahagia. Negeri kelahiran H.C. Andersen itu
sudah tiga kali mendapatkannya sejak PBB mengeluarkan laporan pada 2012.
Hanya sekali posisi
pertama itu ditempati Swiss, yang pada tahun ini menduduki peringkat kedua.
Indonesia berada di peringkat ke-79, tiga angka di bawah Somalia.
Laporan tersebut
bagaikan menegaskan apa yang sudah sering kita dengar, yakni bahwa
kebahagiaan tidak melulu diukur dengan uang yang kita raup. Islandia dan
Irlandia menjadi contoh untuk itu.
Dua negeri tersebut
sedang diguncang krisis perbankan yang secara dramatis memengaruhi
perekonomian mereka, namun hal tersebut tidak mengganggu kebahagiaan mereka.
Hal terpenting yang dimiliki kedua negara adalah tingkat dukungan sosial yang
tinggi.
Aspek itu menempatkan
Irlandia pada peringkat ke-19 dan Islandia ke-3. Norwegia, peringkat ke-4,
menjadi contoh bagaimana warga negara di sana saling bergotong royong.
’’Di Norwegia, jika
Anda mengecat rumah, tetangga Anda akan datang membantu. Mereka bisa membayar
tukang cat, tetapi mereka lebih suka melakukannya bergotong royong,’’ kata
John Helliwell dari British Columbia University, dan salah satu editor
laporan PBB tersebut.
Dukungan masyarakat,
gotong royong, dan saling membantu antarwarga, tampaknya, menjadi catatan
yang sangat berharga bagi para peneliti. Kita memiliki kebiasaan itu, dulu.
Saya sering melihat,
pada waktu lalu, orang-orang bergotong royong membangun rumah salah seorang
warga. Mungkin di kampung-kampung kita masih bisa menjumpai pemandangan
seperti itu.
Mungkin sekarang masih
ada, di pinggiran, dan tidak terkabarkan. Kita lebih banyak mendapatkan
kabar-kabar menyeramkan hari ini, juga kabar-kabar bohong yang berfungsi
sebagai propaganda.
Memang, sekarang kita
menghadapi situasi yang sedikit merepotkan. Kita kurang percaya lagi pada
kebaikan hati.
Jika ada
tindakan-tindakan baik dilakukan orang, kita segera akan menyebutnya sebagai
pencitraan. Barangkali itu salah satu efek buruk hiruk pikuk politik dan
kepalsuan yang mereka peragakan.
Mereka membuat kita
tidak percaya bahwa di negeri ini ada ketulusan. Ketulusan, dan rasa saling
mencintai sesama, itu juga pelajaran terbaik yang bisa kita dapatkan dari
Negeri Bahagia, dari neraka Anand Nagar.
Mereka adalah penghuni
daerah paling kumuh di Kalkuta, orang-orang buangan dari mana saja, dengan
latar belakang kultur dan agama yang berbeda-beda, dan mereka tetap percaya
bahwa hidup ini indah dan berharga untuk dijalani. Pada hari raya agama apa
pun, mereka merayakannya bersama dan mereka berbahagia. Mereka punya cara
untuk berbahagia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar