Palu, Arit, dan Hak Sipil-Politik Warga Negara
F.X. Lilik Dwi Mardjianto ; Dosen dan Koordinator Peminatan Jurnalistik
Universitas Multimedia Nusantara
|
KOMPAS.COM, 23
Mei 2016
Palu dan arit sedang
menjadi buah bibir. Akhir-akhir ini, membicarakan kedua kata benda tersebut
secara bersamaan bisa berujung maut.
Alasannya jelas,
aparat penegak hukum melakukan pengawasan ketat, sering kali juga melarang
dan menangkap, pengguna gambar “palu-arit” yang identik dengan Partai Komunis
Indonesia dan gerakan komunisme secara umum.
Seperti halnya yang
sering digunakan untuk menyebut komunisme, “penertiban” terhadap atribut
berbau “palu-arit” dan hal yang serba “kiri” adalah kegiatan laten. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “laten” berarti tersembunyi, terpendam,
tak kelihatan namun memiliki potensi untuk muncul.
Semua orang tentu
paham, gerakan pemberantasan semua yang beraroma “kiri” pasti dilakukan
dengan berbagai cara, mulai cara yang blak-blakan hingga yang tertutup khas
intelijen. Sepertinya tidak berlebihan juga untuk mengatakan aktivitas
mengawasi gerakan “kiri” adalah kegiatan laten.
Betapa tidak?
Aktivitas itu muncul di suatu waktu, kemudian seakan sirna, lalu muncul lagi
di waktu yang lain. Yang jelas, larangan penggunaan logo “palu-arit” sudah
ada sejak Republik ini belum diproklamirkan, sejak zaman kolonial.
Suatu waktu, Ruth T
McVey pernah menulis kucing-kucingan antara aparat dan pengguna logo
palu-arit dalam bukunya, "Kemunculan Komunisme di Indonesia". Di
buku itu, seperti dikutip oleh Majalah Historia, McVey mengatakan gerakan
komunisme dan segala atribut yang berkaitan dilarang oleh pemerintah
Hindia-Belanda.
Kalaupun ada gerakan,
pemerintah akan memastikan tidak ada pegawai negeri yang menjadi peserta di
sana.
Alkisah, menjelang
salah satu pertemuan partai komunis di penghujung 1920, logo palu-arit dan
bulan sabit merebak. Salah seorang anggota partai mendesain logo itu di batik
yang digunakan di dalam pertemuan tersebut.
Menurut McVey, desain
ini laku keras. Yang menarik adalah sebagian besar pembelinya adalah kelompok
komunis dari kalangan Islam. Maklum saja, pertemuan itu berlangsung di markas
Sarekat Islam Semarang.
Saat itu, respons
pemerintah terhadap penggunaan lambang palu-arit cukup keras. Saking
kerasnya, pemerintah ingin memastikan logo itu tidak ada di semua jenis
pakaian.
“Bahkan sarung dengan
motif palu arit dilarang oleh hukum yang baru,” tulis McVey sebagaimana
dikutip di Historia.
Dasar hukum
Negara, atau lebih
tepatnya pemerintah, tentara, dan polisi, tentu tidak salah ketika melarang,
menangkap, atau bahkan menyita berbagai publikasi dan buku yang diduga
“berhaluan” kiri.
Argumentasi yang
disampaikan oleh Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti juga tak keliru.
Upaya aparat untuk melakukan tindakan, menurut Kapolri, dilindungi oleh
Undang-undang Nomor 27 tahun 1999 tentang Perubahan KUHP Yang Berkaitan
Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
Undang-undang itu
memang secara jelas melarang segala hal yang berkaitan dengan penyebaran
ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Keberadaan produk hukum itu mendapat
payung dari Tap Nomor XXV/MPRS/1966.
Ketetapan yang dibuat
setahun setelah tragedi September 1965 itu juga melarang ajaran yang sama.
Hal yang menarik
adalah, Tap MPRS sebenarnya memberikan batasan terhadap tindakan aparat.
Pasal 3 di ketetapan itu menegaskan bahwa kegiatan akademik di
universitas-universitas untuk membahas ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme
boleh dilakukan, asalkan di bawah pengawasan.
Berangkat dari hal
ini, tindakan aparat yang mengakomodasi desakan dari ormas-ormas tertentu
untuk membubarkan diskusi di kampus adalah sebuah kesalahan.
Menurut Tap MPRS yang
sering dirujuk oleh pemerintah itu, aparat seharusnya menjaga dan mengawasi,
bukan membubarkan.
Kondisi ini diperparah
dengan penarikan, atau sebut saja penyitaan, buku yang beraroma “kiri”.
Buku-buku itu tidak sedikit ditulis oleh kalangan akademisi.
Hak kekayaan
intelektual, sebuah hak yang sangat personal dan sangat dihargai di era
demokrasi dan liberalisasi, melekat di buku-buku itu. Dengan demikian,
penyitaan buku atas nama negara adalah penyitaan hak personal.
Tindakan ini justru
mirip-mirip dengan aksi-aksi rezim sosialisme, nenek moyang komunisme, yang
tidak mengakui hak individu.
Hukum internasional dan peran media
Tulisan ini tidak
untuk membela komunisme. Bahkan, tulisan ini sama sekali tidak peduli dengan
komunisme.
Yang menjadi
kepedulian di dalam tulisan ini adalah tindakan aparat yang berpotensi
melanggar hak sipil dan politik warga negara. Jadi, uraian di dalam naskah
ini bisa digunakan untuk membahas segala bentuk pemberangusan hak warga,
apapun ideologinya.
Pemerintah, terutama
aparat penegak hukum, sebaiknya hati-hati dalam menindak segala yang bercorak
palu-arit dan “beraroma” kiri.
Apalagi ketika mereka
memasuki wilayah akademik. Hal itu disebabkan Indonesia bukanlah negara yang
berada di ruang hampa. Ia adalah negara yang menjalin hubungan baik dengan
banyak negara lain dan banyak organisasi internasional.
Indonesia adalah
anggota PBB. Dan di PBB, Indonesia adalah anggota yang baik. Salah satunya
terlihat dari kesediaan Indonesia untuk meratifikasi Kovenan Internasional
Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Kovenan itu resmi berlaku di Indonesia
melalui Undang-undang nomor 12 Tahun 2005.
Kovenan itu secara
mutlak meminta negara untuk menghargai hak-hak sipil dan politik warga
negara. Berdasarkan penjelasan UU nomor 12 Tahun 2005, yang dimaksud dengan
hak sipil dan politik di dalam Kovenan ini meliputi, namun tidak terbatas
pada:
Hak setiap orang atas
kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak
tersebut (Pasal 18);
Hak orang untuk
mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan
untuk menyatakan pendapat (Pasal 19);
Kemudian juga ada pengakuan
hak untuk berkumpul yang bersifat damai (Pasal 21);
Serta hak setiap orang
atas kebebasan berserikat (Pasal 22).
Pada titik ini, pers
dan media seharusnya berperan. Pers dan media memang harus menjunjung tinggi
supremasi hukum.
Namun, pada saat yang
sama, keduanya harus tetap obyektif dengan terus mengingatkan bahwa rakyat
memiliki hak sipil, politik, dan hak dasar lainnya yang tidak bisa dilanggar.
Pembelajaran yang
dilakukan media dan pers itu juga (seharusnya) bisa membuat
universitas-universitas, toko-toko buku, bahkan Perpustakaan Nasional untuk
tidak “latah” dan ikut-ikutan melarang buku “kiri”.
Seharusnya tiga
entitas yang disebut terakhir justru menjadi ujung tombak pelestarian
kekayaan intelektual.
Di sisi lain,
pemerintah harus berhati-hati. Jangan sampai fobia terhadap ideologi tertentu
menjadi bumerang bagi kredibilitas bangsa di mata dunia. Jangan sampai
penegakan hukum dilakukan dengan melanggar hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar