Senin, 31 Oktober 2011

Winnetou


Winnetou
M Sobary, ESAIS
Sumber : SINDO, 31 Oktober 2011



Winnetou prajurit gagah berani. Kita tahu dia kepala suku Apache yang adil dan bijaksana. Namanya harum bagai aroma kembang-kembang di padang luas bernama preire.
Musuh-musuh takut,tapi juga menaruh rasa hormat dan kekaguman yang tak mereka Sembunyikan. Seperti telah menjadi tradisi agung suku-suku Indian yang telah berhasil mengembangkan peradaban tinggi yang tak bisa kita pahami,Winnetou pun ke mana-mana membawa tembakau, alat pemantik api, dan pipa termasyhur: pipa perdamaian. Kesatria besar dari Apache ini sering diserang diam-diam oleh musuh, tapi sendirian, dengan kekuatan tangan dan kecerdikan otak, ia bisa membebaskan diri dan mengusir musuh seperti singa mengusir kelinci.

Suku-suku sering baku tembak jika terjadi salah paham dan permusuhan.Tapi apa pun yang terjadi, ketika akhirnya saling pengertian terbangun, mereka berdamai. Dalam tradisi mereka, semua duduk melingkar dan berhadap- hadapan. Kepala suku mengeluarkan tembakau, batu pemantik api, dan pipa perdamaian itu.Ketika “rokok”itu disulut, sang kepala suku, dengan segenap keanggunan yang memesona dan terasa sakral, mengembuskan asap ke langit, kemudian ke segala penjuru, dengan khidmat.

Dia lalu berkata: “Winnetou, kepala suku Apache yang besar,telah menerima saudara-saudaranya kulit putih sebagai keluarga suku Apache sendiri.Ouw....” Kata pendek itu khas ucapan Winnetou, tanda ia bersumpah atau mengakhiri ucapan karena takadalagiyangperludisampaikan. Ini sebuah ketegasan dari seorang “panglima” yang kemudian menjadi ciri identitasnya. Kemudian dia menyerahkan pipa perdamaian itu kepada “saudara” barunya.

Dan orang kulit putih itu pun menirukan apa yang tadi dilakukan Winneou: mengembuskan asap “rokok” ke langit, kepada Manitow—Tuhan mereka—dan kepada empat penjuru angin,ke dunia, agar damai merata di kalangan umat manusia. Tradisi ini mati.Abang saya, sahabat saya, yang dokter tapi sangat paham akan kebudayaan, berpendapat mati ya mati. Biarkan saja mati.Kenapa harus ditangisi. Saya lain. Ini bukan mati tapi dibantai dengan kejam.Tradisi itu dibantai? Bagi mereka yang tak peduli, mungkin masih akan berkilah: tak ada pembantaian tradisi.

Secara harfiah, saya setuju memang betul. Tapi kalau dilihat bahwa suku-suku Indian yang tersebar di perkampungan- perkampungan dan menjadi pemilik seluruh preiri yang luas tak terbatas itu dibantai, para pendukung dan pelaku tradisi itu habis di moncong senjata api dan sisanya, yang sedikit, ditampung di rumah-rumah penampungan yang sempit, bagaikan terpenjara dan memang terpenjara, apa hal itu tak berarti orang putih mematikan tradisi tadi? Ya, memang, dunia ini ibaratnya seperti kuburan besar di mana bangkai-bangkai aneka macam tradisi dimakamkan.

Tapi tradisi sering hidup lagi. Mungkin di tempat lain. Kita lihat sekarang, orang putih membangun industri rokok dan mereka merokok. Meniru atau tidak tradisi Indian, sengaja atau tidak mereka menghidupkan tradisi itu, tapi bukan untuk kepentingan bangsa Indian, melainkan kejayaan mereka sendiri.Sebuah kejayaan yang kejam. Dan karena itu saya marah tiap kali ingat akan kekejaman sejenis itu.Ada gagasan politik yang dirancang sistematis atas pemusnahan itu. Mereka hampir punah. Tanah dirampok. Emas dan perak dan segenap tambang dijarah rayah.

Seluruh kekayaan alam diambil oper di bawah pemilikan para perampok itu. Kita punya keretek yang masyhur.Organisasi-organisasi besar tingkat dunia, bisnisbisnis besar tingkat dunia (mungkin cucu cicit pembantai bangsa Indian dulu) hendak membantai—dengan dalih kesehatan, ekonomi, kenyamanan lingkungan dan moral— rokok kita. Strategi politik memecah belah dipakai. Cara menjajah dengan menggunakan penguasa setempat pun diterapkan. Kita disuruh baku hantam di antara sesama kita.

Dan mereka akan memetik buahnya tanpa susah payah. Tanpa susah payah? Ya, selain mengeluarkan sedikit uang untuk nyogok para pemimpin korup, pemimpin di level mana saja. Saya menyaksikan ini dengan risau.Dan jika akhirnya rokok punah, saya yakin bahwa kepunahan ini terjadi tidak karena tekanan alam,melainkan karena tekanan politik. Rokok hendak dimatikan. Dengan menggunakan orang setempat. Ini akan mengulang tragedi banyak produk unggulan kita. Kopra dimatikan dengan kejam di pasaran dunia.

Dan dagangan kita itu mati.Garam, kita disengaja untuk dimatikan dengan kebijakan tak manusiawi menteri perdagangan yang sudah ganti kantor, lalu kita mengimpor garam. Kopi terbaik kita dikenai kebijakan yang sama, demi memihak orang asing, bangsa asing. Kentang,buah-buahan,jamu ... semua terancam. Kita masih bangga sebagai pengekspor kelapa sawit dan memiliki kebun-kebun kelapa sawit sangat luas, tapi pemiliknya Malaysia.Alam kita hancur karena perkebunan, tak ada yang mengeluh. Tokoh-tokoh pun diam. Dan para pejabat lebih diam karena disumpal dolar.

Tambang kita digali dan alam rusak,demi bangsa asing. Kita juga diam dan kaum intelektual pura-pura tak tahu. Dan sekali lagi, pejabat jelas diam karena mulutnya tersumpal dolar, yang bisa menghidupi anak cucu.Tapi itu dolar haram karena di sana mengalir darah, keringat, dan air mata bangsa kita sendiri. Mustahil mereka tak tahu itu. Rokok di ujung tanduk yang mencemaskan. Mereka canggih. Kitabodoh.Merekajeli.Kita bebal dan tak sensitif.Mereka serakah, kita tak peduli, asal dapat persen kecil-kecilan.

Maka yang menikmati persenan punsudahpuas.Maudiakuiatau tidak,mau membangun alasan megah atau tidak,mereka ikut bikinnegeriini,yangjuganegeri mereka, bangkrut seperti bangsa Indian. Kita tak punya Winnetou. Kita tak punya pemimpin yang gagah,yang adil dan bijaksana seperti Winnetou. Kita malah diadu dan disuruh baku hantam.

Maka,saya sadar akan hal itu,dan demi Tuhan,saya menghindar. Kita baku bersaudara. Kenapa harus rela baku hantam buat bangsa asing? Saya ingat Winnetou. Dan meneladani sikap Winnetou.Ouw.

Palgunadi, Satrio Berkarakter dari Nonformal


Palgunadi, Satrio Berkarakter dari Nonformal
Arswendo Atmowiloto, BUDAYAWAN
Sumber : KORAN TEMPO, 31 Oktober 2011




Selamat datang di dunia pendidikan nonformal, yang barang kali saja ini adalah pendekatan normal, yang lebih membumi dengan kondisi di Indonesia. Bukan hanya karena biaya pendidikan sangat mahal dan tak terjangkau, bukan juga karena kita kecewa lantaran hasil pendidikan formal yang melahirkan para sarjana dan sujana —para ahli—yang justru dikaitkan dengan “kelompok berdasi”yang tak peduli terhadap masyarakatnya, sampai berbagai perkara korupsi. Ada Djaka Sembung alias tidak nyambung dalam kaitan dengan pendidikan dan hasil yang diharapkan. Pendekatan nonformal barangkali bisa dilihat dan dikembangkan.Terutama karena dalam pendidikan nonformal lebih berlangsung perubahan watak atau karakter (changing behavior) dibandingkan dengan pengalihan ilmu (transfer of technology). Kita bisa mendekati dari sudut lain, misalnya dalam dunia pertelevisian.

Dalam program pertelevisian dikenal dua jenis pendidikan, yaitu pendidikan formal (classroom) dan nonformal (long life educations), sehingga pendekatan yang dilakukan berbeda satu dengan yang lainnya. Pengalaman pribadi yang saya lalui agaknya cenderung melewati nonformal. Sebab, saya hanya lulus sekolah menengah atas, itu pun dengan susah payah—pernah juga seeh jadi mahasiswa selama 3 bulan, lalu berusaha meneruskan hidup.Yang terbukti bahwa pekerjaan yang saya inginkan atau saya jalani tidak berkaitan langsung dengan ijazah sekolah.

Begitulah, sebagai anak janda miskin—suaminya pegawai negeri golongan II-C ketika meninggal dan tidak menikah lagi dengan konglomerat—bersama lima saudara-saudari, saya bertahan hidup dan tak ada jalan selain mencari makan. Ini bukan kisah istimewa karena banyak yang mengalaminya. Bahkan sampai sekarang potret kehidupan masyarakat kita masih seperti ini: putus sekolah di tengah jalan, tak punya modal dan akses, bekerja apa saja, belajar dari kehidupan. Realitas empiris di lapangan adalah ruang sekolahnya, gurunya bisa siapa saja, metodenya kadang nonlogis, dan waktunya tak terbatas. Karakter dibentuk dari sini, karakterisasi merupakan kristalisasi reaksi dengan keadaan sekitar.

Peran keluarga

Yang paling mempengaruhi proses pendidikan nonformal adalah keluarga. Dalam hal saya pribadi, ini berada pada figur ibu, yang sangat menentukan. Ibulah yang mengajarkan langsung atau tidak bahwa semua bisa mencari makan—ayam yang jarinya empat pun bisa, apalagi manusia yang berjari lima. Bahwa harapan itu selalu ada. Bahwa Gusti Allah ora sare—Tuhan
tidak tidur—asalkan kita berusaha dengan baik. Bahwa banyak tokoh besar lahir sebagai anak yatim. Bahwa cacat bukanlah kekurangan. Bahwa bakat adalah anugerah. Semua itu tidak dirumuskan dan diucapkan secara akademis, melainkan bisa dipahami oleh pendengarannya.
Komunikasi utama to whom I must speak today—dari sajak Walt Whitman—telah dipraktekkan
dengan nyata.

Inilah kunci utama—kalau tidak yang terutama dan satu-satunya—yang diperoleh dari keluarga. Classroom dan long life educations pertama-tama adalah keluarga.
Sebab, dari sinilah tata nilai dan tata krama, yakni menghormati orang tua, memaknai persahabatan, menghargai tetangga dan/atau lingkungan, serta cinta tanah air, disemaikan.

Peran lingkungan

Kunci kedua berasal dari lingkungan, yaitu menemukan kebanggaan, kelebihan, yang membuat rasa percaya diri tumbuh. Apakah dengan melukis, memanjat pohon, membetulkan jam rusak, atau apa saja yang menjadikan kita mempunyai add value dibanding teman seusia atau kelompok. Kebetulan, saat kecil, saya menyukai wayang dan bisa mendalang. Sebelum bersekolah, saya bisa membedakan tokoh Arjuna dengan Bimo atau puluhan karakter yang lain. Dengan demikian, saya dianggap sudah bisa membaca karena, dalam gambar umbul, ada gambar tokoh dengan teks di bawahnya, seolah saya sudah bisa membaca. Saya hafal rangkaian cerita dan memainkan wayang kardus ketika teman lain dikhitan. Saya tidak bisa nyaman berada dalam komunitas—untuk pertandingan sepak bola atau kasti saya dipilih terakhir, bahkan untuk menggulung benang layanglayang saja dianggap tidak becus—menemukan kekuatan, menjadi percaya diri, dan tidak malu atau mengasingkan diri. Aneh atau tidak, ini juga saya alami ketika berada di University of Iowa, Amerika Serikat, ketika saya mendapat beasiswa di sana. Saya jadi dalang—dan tak ada yang memprotes karena penontonnya “bule”. Sekarang kadang saya meyakini kemampuan atau bakat menulis saya berawal dari kepercayaan dan keberanian saya mendalang. Dan mendalang bukan satu-satunya yang ada dalam lingkungan kita.

Kunci ketiga adalah pergaulan. Dengan menampilkan diri sebagai dalang, teman yang berkumpul adalah mereka yang mempunyai minat atau hobi yang sama. Demikian juga kalau karakter sampingan kita sebagai pemain musik, pemain bulu tangkis, kutu buku, tukang bordir, pembuat makanan, yang datang dan kita datangi kurang-lebih sama. Peribahasa mengatakan, burung yang bulunya sama cenderung berkumpul. Juga kalau jejak awal kita memposisikan diri sebagai preman, tukang berantem, pemabukan. Lingkungan terdekat inilah yang mendewasakan sekaligus juga bisa mengerdilkan.

Kalau pendekatan ini bisa menjadi salah satu acuan pengembangan pendidik karakter*), bagi pembina program dan para pemangku program ini, mata rantai ini bisa dipertimbangkan. Baru dari sinilah program-program teknis lainnya menyertai.
Di Amerika Serikat, bahkan program nonformal mendapat perhatian lebih. Lahirnya acara televisi Sesame Street, yang kemudian bisa menjadi tayangan sukses The Muppet Show, berawal dari pemanjaan dari jenis pendidikan nonformal.

Peran budaya

Dalam kisah wayang, kita tahu bahwa Palgunadi lebih hebat ketimbang Arjuna, yang juga bernama Palguna, dalam soal panah-memanah padahal ia belajar nonformal dari Pendito Durno, yang bahkan tidak mengakuinya sebagai murid dan meminta memotong satu jarinya. Dalam hal karakter pun Palgunadi lebih bermartabat ketimbang tokoh yang dianggap hebat dan sakti. Palgunadi, yang nama aslinya Bambang Ekalaya (tapi karena nama itu Arjuna pun menambah namanya sebagai Palguna), yang selalu disebut pertama, adalah contoh gamblang bahwa tanpa melalui pendidikan “resmi”, tanpa diakui sebagai murid, pun hasil pendidikan seseorang bisa lebih cemerlang. Inilah sumbangan budaya yang ada di sekitar kita dengan segala cerita. Inilah sumbangan dunia pewayangan. Meskipun mungkin kita bertanya-tanya, anyhow who is Palgunadi? Atau bahkan bertanya apa hebatnya Bung Karno, Bung Hatta, atau Sutan Sjahrir dalam konteks pendidikan karakter atau kehadiran sebagai pemimpin? Atau siapa Rendra, Arifin C. Noer, dan Teguh Karya dalam kaitan dengan generasi artis muda kita? Atau juga Rudy Hartono dan Ivana Lie, yang demikian heroik menggetarkan dunia bulu tangkis, yang tak terkalahkan pada masanya—dan keberadaan olahraga membanggakan itu sekarang? Dan tokoh-tokoh jawara lahirbatin yang menjadi contoh nyata.

Dengan kata lain, untuk mengembangkan pendidikan karakter, kita tidak akan sukses tanpa berbicara masalah peran keluarga, budaya, serta unsur lingkungan yang menyemaikan pendidikan karakter. Ini sebuah program besar, mendasar, dan terus berkelanjutan.

Kerancuan Wakil Menteri (1)



Kerancuan Wakil Menteri
Yusril Ihza Mahendra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : SINDO, 31 Oktober 2011




Dua minggu lalu, Presiden SBY telah resmi mengumumkan reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Satu hal yang menarik perhatian masyarakat ialah banyaknya wakil menteri yang diangkat dalam kabinet hasil reshuffle ini.

Dari 34 menteri anggota kabinet, setelah reshuffle jumlah wakil menteri kini bertambah dari 6 menjadi 19 orang. Ini berarti jumlah wakil menteri melebihi separuh jumlah menteri. Bagaimanakah kedudukan wakil menteri ini dalam sistem ketatanegaraan kita dan akan makin efektifkah jalannya pemerintahan dengan keberadaan 19 wakil menteri itu? Pasal 17 ayat (1) dan (2) UUD 1945 mengatakan bahwa presiden dibantu oleh menterimenteri negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden.

Pasal 10 UU No 39 Tahun 1998 tentang Kementerian Negara menyebutkan bahwa dalam hal beban kerja yang memerlukan penanganan khusus, presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu. Penjelasan pasal ini mengatakan bahwa yang dimaksud wakil menteri adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet. Selanjutnya Pasal 70 ayat (1) Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011 mengatakan bahwa wakil menteri berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri. Inilah aturan-aturan yang terkait dengan jabatan wakil menteri itu.

Kerancuan

Dalam sejarah kabinet presidensial di negara kita, hanya dalam kabinet RI pertama yang dibentuk tanggal 5 September 1945 yang memiliki wakil menteri. Kabinet pertama itu terdiri atas 12 menteri, 5 menteri negara, dan 2 wakil menteri.Wakil menteri yang ada pada waktu itu hanyalah wakil menteri dalam negeri dan wakil menteri penerangan. Kedudukan dua wakil menteri itu jelas karena namanya dicantumkan dalam daftar anggota kabinet yang dipimpin oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Di era pemerintahan presidensial setelah Dekrit Presiden (1959–1966) dari Presiden Sukarno hingga kabinet pertama yang dibentuk Presiden SBY (KIB I), jabatan wakil menteri tidak ada walau belakangan Presiden SBY mengangkat satu orang wakil menteri, yakni wakil menteri luar negeri. Kalau kedudukan wakil menteri dalam kabinet kita yang pertama (1945) adalah jelas, maka tidak demikian halnya dengan kedudukannya di dalam KIB II Presiden SBY. Penulis pada awalnya mewakili Presiden SBY membahas RUU Kementerian Negara yang inisiatifnya berasal dari DPR.

Namun di tengah jalan, penulis diberhentikan sebagai mensesneg sehingga pembahasan RUU ini diteruskan oleh mensesneg yang baru,Hatta Radjasa,serta Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata hingga selesai. Dalam RUU Kementerian Negara, jabatan wakil menteri itu tidak ada. Dalam KIB I, Presiden SBY pernah mendiskusikan secara informal kepada penulis tentang perlunya mengangkat wakil menteri pada Kementerian Luar Negeri mengingat menlu sering berada di luar negeri.

Dalam pikiran penulis waktu itu, wakil menteri itu adalah anggota kabinet sebagaimana halnya wakil menteri dalam kabinet pertama RI tahun 1945.Namun,apa yang penulis pikirkan itu ternyata berbeda dengan penjelasan Pasal 70 UU No 39 Tahun 2008 yang penyelesaiannya dilakukan oleh Mensesneg Hatta Radjasa dan Menkumham Andi Mattalata. Norma undang-undang sebenarnya adalah apa yang tertera di dalam pasal-pasal undang-undang tersebut. Fungsi penjelasan undangundang tidaklah lebih dari sekadar menjelaskan saja apa yang dimaksud oleh norma yang diatur di dalam pasal sehingga dimengerti maksudnya.

Penjelasan undangundang tidak boleh memuat norma baru atau norma tersendiri yang tidak diatur di dalam pasal-pasal undangundang tersebut. Ini sebuah kesalahan, baik oleh DPR maupun Presiden,dalam membahas RUU Kementerian Negara tersebut.Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 itu hanya memuat norma bahwa presiden dapat mengangkat wakil menteri. Istilah wakil menteri membawa pengertian pejabat tersebut memang mewakili menteri dalam hal-hal menangani hal-hal khusus di kementerian itu.

Ketika menterinya berhalangan, maka wakil menteri itulah yang mewakili menteri yang bersangkutan hadir dalam rapat-rapat kabinet, DPR, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Karena itu wakil menteri seharusnya adalah anggota kabinet, sebab mereka diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas inisiatif presiden sendiri dan bukan inisiatif atau sekurang-kurangnya atas usul menteri yang bersangkutan. Namun penjelasan Pasal 10 UU No 39 Tahun 1998 itu mengatakan bahwa wakil menteri itu adalah pejabat karier dan bukan anggota kabinet.

Dari sinilah muncul kerancuan kedudukan wakil menteri itu. Kerancuan di atas itu makin bertambah dengan Pasal 70 ayat (1) Peraturan Presiden No 47 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011 yang mengatakan bahwa wakil menteri berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri. Di satu pihak wakil menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden, tetapi di lain pihak berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri.

Sementara wakil menteri itu bukan diusulkan oleh menteri yang bersangkutan, tetapi murni inisiatif presiden. Jadi seorang menteri dapat difait accompli oleh presiden untuk menerima seseorang menjadi wakilnya dan tidak dapat memberhentikan wakil menteri karena dia diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Pasal 70A Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011 menambahkan lagi bahwa hak keuangan dan fasilitas lainnya bagi wakil menteri diberikan setingkat dengan jabatan struktural eselon Ia. Meskipun mendapat hak keuangan dan fasilitas setingkat eselon Ia, wakil menteri itu bukanlah pejabat eselon Ia.

Wakil menteri bukanlah pejabat struktural birokrasi. Kalau demikian, apa makna bahwa wakil menteri adalah pejabat karier sebagaimana disebutkan dalam Pasal 70 ayat (1) Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011? Pejabat karier adalah pejabat birokrasi, baik sipil maupun TNI dan Polri, yang menduduki jabatan karier secara berjenjang. Jabatan itu diraih seseorang secara berjenjang, berdasarkan kepangkatan dan urutan eselon jabatan.

Untuk menduduki jabatan dalam eselon tertentu, seorang pegawai negeri harus memiliki kepangkatan tertentu, tidak sembarangan.Tidak mungkin pegawai golongan III menjadi pejabat eselon I. Lantas, bagaimana dengan sejumlah akademisi yang kini menjadi wakil menteri, apakah mereka punya kepangkatan yang sesuai untuk itu,kalau jabatan wakil menteri adalah jabatan karier?

Kasus Denny Indrayana

Denny Indrayana misalnya adalah pegawai negeri sipil golongan III/C dengan jabatan fungsional sebagai guru besar di Universitas Gadjah Mada. Denny tidak menduduki jabatan struktural apa pun di Fakultas Hukum UGM, baik ketika diangkat menjadi staf khusus presiden atau apalagi ketika diangkat menjadi wakil menteri.

Jadi, kalau jabatan wakil menteri adalah jabatan karier, maka jenjang karier apakah gerangan yang dimiliki oleh Denny Indrayana sebelum diangkat menjadi wakil menteri? Sebelum Peraturan Presiden No 47 Tahun 2009 diubah dengan Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011, dalam Pasal 70 ayat (3) disebutkan bahwa wakil menteri itu haruslah pejabat yang telah menduduki jabatan eselon Ia. Namun ketentuan ini dihapuskan tanpa mengubah ketentuan-ketentuan yang lain.

Guru besar Fakultas Hukum UI Professor Hikamahanto Juwana dan politikus PDIP Firman Jaya Daeli mengatakan perubahan tergesa-gesa terhadap Pasal 70 ayat (3) Peraturan Presiden No 49 Tahun 2009 itu memang sengaja dilakukan untuk memberi jalan bagi diangkatnya Denny Indrayana dan mungkin juga nama yang lain yang sebelumnya tidak memenuhi syarat menjadi wakil menteri. Pendapat kedua tokoh ini tampak ada benarnya. Profesor Hikmahanto malah mengatakan bahwa hukum yang dibuat dengan cara seperti itu tidak semestinya dipatuhi.

Presiden tentu kapan saja berwenang mengubah peraturan presiden.Presiden SBY tampaknya menganut paham bahwa hukum dibuat untuk manusia, bukan manusia dibuat untuk hukum.Jadi kalau ada norma hukum yang menghalangi maksud tertentu, misalnya untuk mengangkat Denny Indrayana jadi wakil menteri,maka hukum itu tentu dapat saja diubah. Begitulah kira-kira pikiran yang ada di benak Presiden SBY.Tidak salah, memang, tetapi terkesan menggelikan.

Memaksimalkan Peran Wakil Menteri


Memaksimalkan Peran Wakil Menteri
Prof. Martani Huseini, PERISET DI FISIP DAN FE UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : SINDO, 31 Oktober 2011




Postur baru Kabinet Indonesia Bersatu jilid II dikritik banyak pihak cenderung terlalu gendut dan tidak efisien, antara lain karena banyaknya posisi wakil menteri (wamen).

Ada kesan bahwa sense of direction peran wamen belum dikaji atau setidaknya belum dikomunikasikan secara luas,tetapi lembaga dan personelnya sudah ditetapkan. Dapat dipahami bila kemudian muncul pertanyaan mengenai fitting & alignment dalam pemantapan lembaga wamen dan operasionalisasi tugas pokok dan fungsinya. Sebenarnya format kabinet baru yang banyak dikritik tersebut masih dapat dioptimalkan secara lebih futuristik dan padat pengetahuan dengan cara memaksimalkan peran wamen dalam tatanan organisasi yang ada, tetapi ke depan perlu di-redesain struktur dan tupoksinya.

Dapur Pengetahuan Birokrasi

Dibentuknya wamen dapat dijelaskan dari beberapa perspektif. Pertama, hal itu sesuai dengan amanat Pasal 10 Undang-Undang 39/2008 tentang Kementerian Negara. Kedua, lembaga wamen dapat menjadi penghubung dan peredam (boundary spanning) dinamika politik,baik internal maupun eksternal, terutama dengan banyaknya menteri berlatar belakang politik (political appointee).

Selama ini penghubung dan peredam itu diharapkan dapat diperankan oleh jajaran staf khusus yang dibentuk oleh setiap menteri. Tapi kenyataannya hal tersebut tidak selalu dapat berjalan secara optimal. Wamen dapat menjaga stabilitas tata kelola birokrasi, termasuk terjaminnya jenjang karier para birokrat profesional. Hal ini penting guna mewujudkan merit systemyang konsisten dan sistematik di tengah turbulensi sistem politik yang masih dalam proses konsolidasi. Ketiga, wamen dapat menjadi koordinasi dapur pengetahuan birokrasi, khususnya dalam hal percepatan dan harmonisasi regulasi.

Salah satu soal krusial selama ini adalah masalah percepatan dan harmonisasi regulasi. Walaupun dapat diperankan oleh sekretaris jenderal, mengingat beban kerja yang sangat tinggi, percepatan dan harmonisasi regulasi ini seringkali menghadapi leher botol (bottleneck). Wamen sangat berpontensi memecahkan problem bottleneck regulasi ini,termasuk dalam penyelesaian rancangan undangundang bersama dengan DPR dan/atau DPD. Lebih jauh, wamen juga dapat memaksimalkan peran unit-unit produksi dan diseminasi pengetahuan di kementerian, yaitu Balitbang dan Bandiklat. Selama ini ada kecenderungan bahwa kedua unit operasional ini seperti hidup segan mati tidak mau.

Wamen dan Chancellor

Di banyak perguruan tinggi, khususnya di negara-negara persemakmuran, dikenal lembaga pimpinan kampus yang bergelar chancellor dan vice chancellor.Kedua lembaga ini memiliki deskripsi dan pembagian kewenangan secara jelas.

Chancellor sebagai pemimpin tertinggi memiliki otoritas pengambilan keputusan final untuk kebijakan makro dan strategis. Chancellor juga memiliki kedudukan seremonial dan simbolik tertinggi mewakili kampus. Sementara itu, vice chancellor memimpin manajemen akademis dan administratif kampus untuk menjamin seluruh tata kelola organisasi berlangsung maksimal berdasarkan prinsip good and clean governance. Sesungguhnya lembaga menteri dan wakil menteri juga dapat dirancang dalam model pembagian kerja antara chancellor dan vice cancellor tersebut.

Otoritas pengambilan keputusan strategis kementerian sebagai perwujudan dari kewenangan kabinet tetap berada di tangan menteri. Kedudukan seremonial dan simbolis kementerian melekat pada seorang menteri.Dengan demikian sidang dalam rapat paripurna, rapat dengar pendapat, dan rapat kerja panitia khusus dengan DPR dan/atau dengan DPD tetap harus dihadiri oleh seorang menteri. Tentu saja wamen,sekjen,dan pejabat satuan teknis harus mendampingi menteri sesuai dengan bidang tugas pokok dan fungsi.

Agak berbeda dengan vice chancellor yang langsung berfungsi dalam manajemen akademis dan administrasi kampus, wamen dapat difokuskan dalam menjamin berlangsungnya tata kelola birokrasi berbasis pengetahuan.Pengelolaan administrasi kementerian tetap ditangani oleh sekjen dan jajaran teknis lainnya. Dengan demikian, kehadiran wamen tidak mengubah hierarki pengelolaan anggaran, yakni pengguna anggaran (menteri), kuasa pengguna anggaran (eselon I), pejabat pembuat komitmen (eselon II), dan seterusnya.

Payung Hukum

Sejauh ini payung hukum lembaga wamen adalah Pasal 10 Undang-Undang 39/2008 tentang Kementerian Negara. Selain keputusan presiden tentang penunjukan dan pengangkatan wamen yang sifatnya beshickking, tampaknya diperlukan payung hukum yang sifatnya regelling, misalnya dalam bentuk peraturan presiden.

Dalam peraturan presiden ini dapat diatur secara lebih terperinci dan operasional tugas pokok wamen dalam kaitannya dengan menteri dan jajaran eselon I kementerian, termasuk dukungan operasionalnya. Kekhawatiran tentang kemungkinan tidak harmonisnya hubungan antara menteri dengan wakil menteri selain dapat diminimalkan dengan peraturan presiden tersebut, juga harus diselesaikan dengan kematangan kepemimpinan (leadership).

10 Cara Memahami Kejahatan


10 Cara Memahami Kejahatan
Adrianus Meliala, KRIMINOLOG, FISIP, UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 31 Oktober 2011




Belum selesai dengan masalah tawuran antarkampung dan antarsekolah, Jakarta dihebohkan kasus pemerkosaan di angkutan kota. Belum lagi hal itu pupus dari ingatan, berbagai kasus pembunuhan pun terjadi di Jakarta.

Sementara itu, kejahatan kekerasan dalam bentuk yang lebih kurang ekstrem, mulai dari sekadar perkelahian hingga penganiayaan, terus saja terjadi.

Tulisan ini secara ringkas memperlihatkan 10 cara memahami dan menganalisis meningkatnya kejahatan kekerasan, khususnya yang terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta.

Pertama, berbeda dengan kecenderungan media massa, kita perlu mempergunakan satuan waktu yang lebih luas dari sekadar situasi satu-dua hari saja. Satuan waktu itu, misalnya, setahun atau sebulan. Maka akan terlihat profil yang lebih utuh. Kemungkinan ini akan membenarkan teori bahwa kejahatan kekerasan di mana- mana sebenarnya memiliki sifat ajek (tak gampang cepat naik atau cepat turun).

Cara kedua dengan menyimak statistik kejahatan atau statistik kriminal. Memang, statistik kriminal di Indonesia, yang dikeluarkan kepolisian, umumnya memuat data bervaliditas rendah. Deviasinya besar. Maklum, penyusunannya hingga menghasilkan berbagai profil kejahatan dilakukan secara tidak serius. Namun, melalui statistik itu minimal bisa dilihat wajah kejahatan kekerasan di suatu wilayah. Bisa dijamin, sekali lagi, angka-angka yang memperlihatkan lonjakan (baik naik ataupun turun) tidak akan ditemui.

Ketiga, memasukkan unsur ekologi. Dalam kriminologi, unsur ekologi secara mudah dimengerti sebagai pengaruh eksternal, misalnya tinggi-rendah pengangguran, urbanisasi, pertumbuhan ekonomi atau kepadatan penduduk (densitas) di suatu wilayah kota. Terkait itu, bisa diduga, beberapa saat sesudah musim libur Lebaran ada kondisi tak normal. Misalnya, urbanisasi terkait pendatang baru. Penduduk yang sudah padat makin padat. Orang umumnya juga sudah kehabisan uang pasca-Lebaran. Singkatnya, kemungkinan hal-hal ekologis itu merupakan faktor anteseden atau yang mengawali bagi munculnya situasi kondusif bagi orang per orang untuk semakin mudah marah, mudah tersinggung dan sebagainya.

Cara keempat, jangan lupa peran pengendali kejahatan, yakni kepolisian. Dalam konteks kejahatan kekerasan, prevalensi dan insidensinya banyak bergantung pada aktivitas si pengendali ini. Jika pengendali memiliki fokus lain, misalnya dalam rangka mengamankan demonstrasi yang cenderung terjadi merata setiap hari di Jakarta, maka penjagaan ruang-ruang publik yang mestinya berlangsung kontinu bisa terabaikan.

Cara kelima dengan melihat profil demografi pelaku-pelaku kejahatan kekerasan yang terjadi baru-baru ini. Jika pelaku pria muda, berpendidikan rendah, menganggur atau setengah menganggur dan dari kalangan masyarakat berkemampuan sosial-ekonomi rendah, tidak ada yang baru bukan? Demikian pula jika korban adalah anak-anak atau wanita yang tidak berpendidikan memadai, juga tidak bekerja. Jika profil pelaku dan korban masih tipikal, maka dapat dibayangkan, narasi modus kejahatannya masih itu-itu juga. Misalnya, pelaku marah lalu menghantam korban yang tak berdaya.

Keenam, masih terkait dengan pelaku, perhatikan ada-tidaknya bekas narapidana, khususnya yang residivis, yang baru keluar dari lembaga pemasyarakatan. Dari pengalaman selama ini, ada kemungkinan mereka yang baru keluar sel itu lalu kembali ke kelompok kejahatannya dan aktif lagi. Namun, amatan ini perlu dilakukan dengan bijaksana.

Cara ketujuh, masih terkait dengan pelaku dan korban, tetapi kali ini dikaitkan dengan apakah berasal dari kelompok masyarakat yang dikenal sebagai memiliki subkultur kejahatan atau tidak. Juga, apakah berasal atau tinggal di wilayah yang rawan kejahatan atau tidak. Jika keduanya berasal dari kelompok subkultur kejahatan (artinya yang mendukung satu atau lebih nilai dan bentuk kejahatan tertentu) serta tinggal di wilayah yang memang rawan kejahatan, itu berarti faktanya lebih dapat diterima ketimbang sebaliknya. Akan jauh lebih membingungkan apabila pelaku atau korban adalah orang yang memiliki latar belakang yang baru sama sekali terkait kejahatan, misalnya karena pelakunya adalah orang terhormat, terdidik dan berstatus sementara profil korbannya juga kurang lebih sama.

Masih terkait dengan pelaku, maka melalui amatan yang lebih dalam dan panjang, kita bisa sampai pada pemahaman bahwa banyak pelaku sebenarnya bukan pelaku kejahatan pertama kali, yang melakukan secara spontan dan tak terencana. Ini cara kedelapan. Dengan dukungan data dasar kependudukan serta data dasar kejahatan yang baik, yang sayangnya tak kita miliki, rekam jejak seseorang dapat dicatat dan, setiap kali terjadi kejahatan, yang bersangkutan dapat menjadi seorang yang terduga sebagai pelakunya.

Cara kesembilan, terkait dengan situasi media itu sendiri. Tatkala media sedang ”mati angin” alias krisis berita, potensi berita kriminalitas menempati porsi berita utama juga makin besar. Bahkan pada media yang memiliki rubrik atau acara khusus terkait kriminalitas sekalipun, kasus-kasus kejahatan kekerasan yang ekstrem tetap dinanti ketimbang mengisinya dengan kasus kejahatan sepele, yang justru jumlahnya jauh lebih banyak. Inilah yang disebut kecenderungan over-amplification (pembesaran suatu peristiwa) oleh media yang lalu gampang menimbulkan rasa takut di masyarakat.

Terakhir, kesepuluh, adalah kesiapan masyarakat menghadapi kejahatan kekerasan itu sendiri. Hal ini dapat diukur. Masyarakat yang sudah terlanda rasa takut akibat kejahatan akan semakin mudah pula menjadi masyarakat yang tak berdaya dan, ujung-ujungnya, menjadi patologis atau berperilaku anomik. Kejahatan kekerasan secara teoretis amat berpotensi melahirkan rasa takut itu mengingat nuansa kengerian yang diciptakannya dan kemudian dipersepsi oleh para pembaca, pendengar, dan pemirsa sebagai sesuatu yang juga dapat terjadi pada dirinya. ●

Minggu, 30 Oktober 2011

Generasi Lupa Sejarah


Generasi Lupa Sejarah
Sarlito Wirawan Sarwono, PSIKOLOG SOSIAL, UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 29 Oktober 2011




Dalam siaran dari salah satu stasiun televisi, John Pantau pernah mewawancarai beberapa anggota DPR di Senayan. John Pantau adalah tokoh jahil yang sudah mengajukan berbagai pertanyaan ke beragam anggota masyarakat.

Pertanyaannya gampang sekali buat anak SD, tetapi tidak terjawab oleh anggota-anggota DPR yang terhormat itu. Lupa, barangkali. Terus dilanjutkan menyanyi ”Indonesia Raya”. Mula-mula semangat, tetapi di tengah-tengah mereka lupa lagi.

Saya menonton adegan itu sudah agak lama, tetapi teringat kembali menjelang Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2011 ini. Saya jadi teringat juga pada pidato Bung Karno tanggal 17 Agustus 1966 yang berjudul Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah).

Ketika itu hampir setahun pasca-peristiwa G30S. Kondisi perekonomian dan politik Indonesia morat-marit. Kata anak sekarang: ”Galau!”

Namun, Jas Merah menyambungkan kembali sejarah yang hampir putus dari era Orde Lama dengan Orde Baru. Akhirnya, walaupun nasib Soekarno kurang baik, bangsa dan negara Indonesia berlanjut. NKRI tetap utuh bersatu di bawah Pancasila dan UUD 1945. Bahkan pernah diperhitungkan sebagai salah satu ”macan Asia” dalam ekonomi.

Orde Baru ke Reformasi

Lain halnya dengan peralihan dari era Orde Baru ke Reformasi. Elite politik generasi Reformasi tampaknya tidak suka pada sejarah. Tidak mau menengok pada sejarah. Dengan kata lain: mereka asejarah.
Semua yang berbau Orde Baru ditinggalkan, termasuk ajaran-ajarannya. UUD 1945 pun diamandemen sampai dua kali. Maka saya tidak heran mengapa sampai ada anggota-anggota DPR yang tidak hafal Pancasila dan ”Indonesia Raya”. Mungkin buat mereka itu tidak penting.

Namun, gejala asejarah ini bukan khas Indonesia. Seluruh dunia sekarang ingin sesuatu yang baru. Tinggalkan semua masa lalu yang kelam. Unjuk rasa, perang, teror, revolusi di mana-mana. Setelah reformasi Indonesia, Timur Tengah menyusul, Eropa Barat, bahkan sekarang Amerika Serikat. Ribuan orang berdemo ke Wall Street di New York dan baku pukul dengan polisi. Suatu pemandangan yang pada tahun 1998-1999 biasa kita saksikan di sekitar Semanggi, Bundaran Hotel Indonesia, dan Cendana (sekarang sudah menyebar ke daerah-daerah juga).

Semua mau baru. Malah Pemerintah Indonesia yang baru (Susilo Bambang Yudhoyono- Boediono) sudah dituntut untuk diganti lagi. Padahal, menurut konstitusi yang juga masih baru, presiden dipilih langsung lima tahun sekali. Hanya gara-gara presiden kurang tegas, kurang cepat, dan dinilai salah menyusun kabinet baru, dia harus turun, walau dengan cara yang inkonstitusional.

Terus yang baru itu seperti apa? Soeharto masih bisa menjaga kesinambungan dengan menyerahkan kekuasaan kepada Wapres BJ Habibie. Sekarang? Boediono juga diminta turun dalam satu paket dengan SBY. Jadi bagaimana? Saya yakin kalau pertanyaan ini disampaikan kepada yang sekarang ribut-ribut minta SBY-Boediono mundur, jawabannya akan simpang siur, alias tidak ada jawaban.

Tidak punya jawaban, tidak dipikir dulu, pokoknya asal baru. Inilah yang jadi tren generasi sekarang. Kalau ada ponsel baru, pokoknya harus punya! Yang lama diganti sama yang baru. Tidak perlu dipikir apakah yang lama masih bisa dipakai dan untuk beli baru duitnya dari mana.

Mau serba gampang

Generasi sekarang, karena kemajuan teknologi yang begitu pesat, berpikir bahwa semua bisa dilakukan dengan gampang, Nyaris tanpa usaha, seperti membalik telapak tangan. Karena itu, setiap ada pergantian pejabat, langsung ada ultimatum: 100 hari. Artinya, kalau tidak bisa membereskan semua masalah dalam 100 hari, kamu mundur saja lagi!

Saya jadi bertanya-tanya, dengan generasi yang sekarang (bukan hanya generasi muda, melainkan juga semua yang hidup pada masa ini), yang cuma mau melihat ke depan dan tidak mau melihat sejarah, apakah Sumpah Pemuda masih punya makna untuk keabadian NKRI?

Tanpa mengingat sejarah, bagaimana kita mempertahankan NKRI dalam kasus Abepura atau NII atau sengketa perbatasan dengan Malaysia? ●

Papua dan “Pasar Kekerasan”


Papua dan “Pasar Kekerasan”
Manuel Kaisiepo, ANGGOTA DPR DARI FRAKSI PDIP
Sumber : KOMPAS, 29 Oktober 2011




Rangkaian konflik disertai tindak kekerasan yang terus bereskalasi di Papua seakan melanggengkan label Papua sebagai ”zona konflik”. Zona ini memberlakukan hukum ”pasar kekerasan” di mana kekerasan menjadi komoditas yang ”diperjualbelikan” untuk berbagai kepentingan yang tidak jelas.

Konflik dan rangkaian kekerasan yang terus terjadi—apa pun motif dan tujuannya, terjadi begitu saja atau by design—mengindikasikan ketidakmampuan pemerintah (pusat dan daerah) dalam menangani masalah Papua secara konsisten, komprehensif, adil, dan bermartabat.

Sungguh ironis, konflik berlarut-larut disertai tindak kekerasan di Papua itu terjadi justru setelah Papua dideklarasikan sebagai ”Tanah Damai”.

Ironis, sebab konflik disertai kekerasan itu terus terjadi setelah lebih dari satu dekade diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua (UU Otsus Papua). UU ini lahir sebagai suatu konsensus politik sekaligus upaya win-win solution guna mengakhiri konflik politik dan kekerasan selama 30 tahun pemerintahan Orde Baru serta untuk meningkatkan kesejahteraan, harkat, dan martabat rakyat Papua.

Melalui UU Otsus Papua, pemerintah mendelegasikan kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah disertai kucuran dana yang juga sangat besar. Dana puluhan triliun rupiah ini di luar dana lain seperti APBD dan dekonsentrasi.

Pemerintah juga baru saja mencanangkan kebijakan khusus untuk Papua melalui dua peraturan presiden (perpres) yang ditandatangani 20 September 2011. Pertama, Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Kedua, Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Perpres itu dilengkapi dokumen rinci berjudul Rencana Aksi yang Bersifat Cepat Terwujud Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2011-2012.

Mengapa komitmen pemerintah terhadap proses pembangunan di Papua melalui UU Otsus Papua, dua perpres, rangkaian kebijakan lainnya, dan disertai kucuran dana triliunan rupiah belum mampu meningkatkan kualitas hidup serta harkat dan martabat rakyat asli Papua?

Pertanyaan semacam ini menjadi relevan karena tingkat kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial suatu masyarakat berkorelasi dengan tingkat ketertiban dan keamanan dalam masyarakat.

Stigma separatis

Sejarah mencatat, dalam jangka waktu yang lama rakyat Papua hidup dalam suasana ketegangan, ketakutan akibat kekerasan, kecurigaan, dan saling tidak percaya (distrust). Faktor saling tidak percaya ini kelihatan sepele, tetapi justru menjadi penghambat upaya dialog antara Papua dan Jakarta. Ketidakpercayaan ini akhirnya melahirkan dua cara pandang yang bisa bertolak belakang.

Di mata pemerintah, semua dinamika rakyat Papua langsung dicap sebagai tindakan separatis. Stigma separatis ini terus dipertahankan hingga kini sebagai pembenaran untuk mempertahankan pendekatan sekuriti di Papua. Padahal, sekuritisasi terbukti tidak menyelesaikan masalah, justru semakin mendorong lahirnya kekerasan-kekerasan baru.

Sebaliknya, di mata rakyat Papua, pemerintah pusat tidak sungguh-sungguh menghargai eksistensi mereka secara kultural, sosial-ekonomi, dan politik. Kekayaan alam Papua dieksploitasi besar-besaran, sementara rakyatnya tetap hidup dalam kemiskinan. Lebih dari itu, mereka terus hidup dalam ketakutan akibat pengalaman represif masa lalu dan kini berhadapan dengan pendekatan sekuritas. Maka dampaknya adalah ketidakpercayaan kepada pemerintah.

Pergantian kepemimpinan politik di Indonesia—dari rezim represif Orde Baru ke suatu pemerintahan yang demokratis sejak awal reformasi 1998—telah menjadi momentum baru yang memberikan harapan bahwa masalah Papua dalam konteks keindonesiaan dapat diselesaikan secara damai dan bermartabat.

Di bawah Presiden BJ Habibie, proses dialog Jakarta-Papua dibuka kembali dan melahirkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor IV Tahun 1999 yang mengamanatkan status otonomi khusus bagi Papua. Spirit dari tap MPR ini adalah mempertahankan integritas NKRI sekaligus menghargai eksistensi rakyat Papua di dalamnya.

Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memulihkan kepercayaan rakyat Papua kepada pemerintah pusat. Di bawah Gus Dur, tercipta trust-building dan kemudian rekonsiliasi antara Papua dan Jakarta. Gus Dur adalah presiden RI yang secara terbuka meminta maaf kepada rakyat Papua atas berbagai kesalahan pemerintah pada masa lalu sekaligus menawarkan alternatif penyelesaian masalah Papua melalui dialog yang tulus.

Faktor kepercayaan ini menjadi landasan untuk melanjutkan dialog dari hati ke hati antara Jakarta dan Papua. Hasilnya adalah dipercepatnya pembahasan RUU Otsus Papua, yang kemudian disahkan sebagai UU Nomor 21 Tahun 2001 pada era Presiden Megawati Soekarnoputri.

UU Otsus Papua adalah suatu kompromi politik dengan prinsip win-win solution sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah Papua secara menyeluruh, adil, dan bermartabat. UU ini bersifat lex specialis. Roh dari UU lex specialis adalah keberpihakan (affirmative), dalam hal ini kepada rakyat asli Papua.

Namun, setelah 10 tahun UU Otsus diterapkan dengan dukungan dana yang sangat besar, tingkat kesejahteraan rakyat asli Papua tidak meningkat. Sebaliknya data Badan Pusat Statistik menunjukkan angka penduduk miskin di Papua justru meningkat menjadi 38 persen tahun 2009, tertinggi di Indonesia.

Hingga saat ini mayoritas rakyat Papua masih dalam kondisi yang memprihatinkan. Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Papua juga rendah (60 persen, padahal produk domestik regional bruto di atas Rp 20 triliun). Penelitian Universitas Cenderawasih tahun 2001 memperlihatkan, 74 persen penduduk Papua hidup di daerah terisolasi serta tidak memiliki akses sarana dan prasarana transportasi ke pusat pelayanan pemerintahan, sosial, dan ekonomi.

Mayoritas rakyat asli Papua, terutama yang tinggal di pedesaan, masih hidup dalam taraf ekonomi subsisten. Bahkan, sebagian lagi masih dalam taraf food gathering complex. Kondisi ini membuat mereka tidak mampu berkompetisi dalam sistem ekonomi pasar yang telah dikuasai para pendatang sehingga semakin termarjinalisasi di tanah sendiri.

”Pasar kekerasan”

Berbagai aksi kekerasan yang menimbulkan korban jiwa di Papua hendaknya dikritisi karena tidak semua aksi kekerasan itu muncul begitu saja. Kasus-kasus tertentu justru memperlihatkan adanya by design untuk kepentingan ekonomi politik pihak-pihak lain, sama sekali tidak terkait dengan kepentingan rakyat Papua.

Penembakan yang memakan korban jiwa di sekitar wilayah PT Freeport Indonesia (PT FI) di Timika, bersamaan dengan aksi mogok oleh ribuan pekerja PT FI baru-baru ini, masih meninggalkan tanda tanya besar: siapa sesungguhnya pelaku yang sedemikian profesional sehingga mampu menembak secara jitu di areal yang penjagaannya begitu ketat?

Aksi penembakan pertama di Mil 62-63 jalur Timika-Tembagapura dalam area PT FI terjadi Agustus 2002. Pelakunya ditangkap dan kasusnya sudah diselesaikan secara hukum, tetapi tetap menyisakan tanda tanya karena masih saja terjadi penembakan di areal PT FI.

Rentetan peristiwa itu seakan mengukuhkan Papua sebagai ”zona konflik”, bahkan sebagai ”pasar kekerasan” di mana kekerasan menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan. ●

Deradikalisasi Berbasis Ideologi


Deradikalisasi Berbasis Ideologi
Hasibullah Satrawi, ALUMNUS AL AZHAR, KAIRO, MESIR
Sumber : KOMPAS, 29 Oktober 2011




Pelbagai aksi terorisme yang terus berlangsung di republik ini menunjukkan bahwa program deradikalisasi belum efektif. Upaya deradikalisasi ternyata belum menyentuh aspek indoktrinasi yang kerap menjadi pembenaran aksi kekerasan.

Hal terjauh yang pernah dilakukan di Indonesia adalah program deradikalisasi berbasis insentif ekonomi. Ini dilakukan terhadap mantan tokoh Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (DI/NII) tahun 1960-an.
Program di atas gagal karena insentif ekonomi yang diberikan justru dimanfaatkan para mantan tokoh DI/NII untuk menghimpun kekuatan. Tahun 1977 aparat yang mengendus kebangkitan DI/NII telah menangkap tokoh-tokoh mereka (Solahudin, NII sampai JI, 2011: 83-102).

Deradikalisasi di Mesir

Di sinilah pentingnya belajar dari program deradikalisasi yang pernah terjadi di Mesir, salah satu negara berpenduduk Muslim yang kerap menjadi sasaran terorisme. Aksi teror terakhir di Mesir terjadi pada malam pergantian tahun 2011 di sebuah gereja di Alexandria. Sedikitnya 21 orang meninggal dan puluhan orang luka-luka.

Namun, aksi teror di Mesir dalam beberapa waktu terakhir relatif jauh menurun daripada tahun 1960-1980-an. Pada periode itu, aksi teror yang terjadi kerap didalangi gerakan keagamaan militan bernama Jamaah Islamiyah (JI) Mesir yang menyalahpahami beberapa ajaran keagamaan. Pembunuhan mantan Presiden Mesir Anwar Sadat, pada tahun 1981, juga disinyalir melibatkan kelompok JI Mesir.

Di luar dugaan banyak pihak, tokoh-tokoh utama JI Mesir yang masih berada dalam penjara mengeluarkan yang dikenal dengan istilah al-mubadarah liwaqfil unfi tahun 1997, bisa dimaknai sebagai proposal penghentian aksi kekerasan.

Pada tahap awal, proposal tersebut dijadikan komitmen sekaligus maklumat deradikalisasi oleh JI Mesir. Tahun 1999, JI Mesir mengeluarkan maklumat kedua untuk memperkuat maklumat pertama tahun 1997. Selanjutnya proposal dijadikan buku utuh.

Ada lima buku yang diterbitkan JI Mesir terkait dengan pembongkaran ulang atas sejumlah ajaran yang kerap disalahpahami oleh para teroris. Buku-buku itu adalah Al-Mubadarah Liwaqfil Unfi (Maklumat Deradikalisasi), Hurmatul Ghuluw fi Ad-din wa Takfiril Muslimin (Pengharaman Radikalisme Keagamaan dan Pengafiran Sesama Umat Islam), Tasliythul Adhwa` ’Ala ma Waqa’a fi Al-Jihad min Akhta` (Mengungkap Kesalahan dalam Memahami Jihad), An-Nushuh wa At-Tabyin fi Tashihi Mafahimi Al-Muhtasibin (Nasihat Deradikalisasi dalam Penegakan Amar Makruf dan Nahi Mungkar), serta Iydlahul Jawab ’an Su`alati Ahli Al-Kitab (Jawaban atas Pernyataan tentang Agama-agama Samawi).

Semua buku di atas membawa satu semangat, yaitu membongkar ulang pemahaman atas sejumlah doktrin keagamaan yang kerap dijadikan pembenaran aksi kekerasan dan terorisme. Semua buku di atas ditulis tokoh-tokoh utama JI Mesir yang memiliki otoritas keilmuan.

Adalah benar bahwa aksi terorisme masih terjadi di Mesir pasca-pertobatan JI Mesir. Namun, setidaknya ancaman terorisme di Mesir relatif lebih ringan. Bahkan, JI Mesir saat ini menjadi salah satu kekuatan utama di barisan terdepan untuk melawan jaringan terorisme, mulai dari jaringan terorisme lokal di Mesir hingga jaringan terorisme global yang pernah dikomandani Osama bin Laden.

Tiga kekuatan

Setidaknya ada tiga kekuatan yang membuat deradikalisasi berbasis ideologi di Mesir berjalan efektif. Pertama, deradikalisasi menyentuh aspek doktrin keagamaan. Para tokoh JI Mesir memahami, sejumlah ajaran keagamaan telah disalahpahami oleh kelompok teroris-anarkis dan menjadi ”pegangan” mereka dalam menjalankan aksi berdarah tanpa merasa bersalah. Dalam konteks ini, deradikalisasi berbasis ideologi berhasil menghancurkan kekuatan utama kelompok teroris-anarkis.

Kedua, deradikalisasi mempunyai kekuatan struktural, khususnya di internal JI Mesir. Ini mengingat deradikalisasi diprakarsai dan dilakukan oleh tokoh-tokoh spiritual JI, seperti Sheikh Najih Ibrahim Abdullah, Sheikh Ali Syarif, dan Sheikh Usamah Ibrahim Hafiz.

Deradikalisasi berjalan efektif karena melibatkan orang-orang yang menempati posisi puncak dalam struktur organisasi JI Mesir. Kekuatan struktural inilah yang mampu membawa gerbong JI Mesir untuk berjalan konsisten dengan isi maklumat deradikalisasi.

Ketiga, otoritas ilmu keislaman. Sheikh Najih Ibrahim Abdullah, Sheikh Ali Syarif, Sheikh Usamah Ibrahim Hafiz, dan lainnya disegani karena mereka adalah tokoh dengan ilmu keislaman mumpuni, baik di internal JI maupun dalam konteks publik Mesir secara umum.

Kekuatan inilah yang mampu membuat publik Mesir, khususnya internal JI, percaya terhadap yang disampaikan oleh para tokohnya. Bahwa yang mereka lakukan telah sesuai dengan Al Quran dan Hadis sebagaimana dipahami dan dijalankan oleh generasi Islam awal. Bahwa apa yang mereka lakukan semata-mata demi kemaslahatan kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Bahwa yang mereka lakukan tidak semata-mata demi keuntungan duniawi.

Konteks Indonesia

Inilah yang tidak terjadi dengan program deradikalisasi di Indonesia. Adalah benar ada sebagian mantan teroris di Indonesia yang mencoba melakukan peran deradikalisasi seperti Nasir Abbas dan kawan-kawan. Namun, upaya ini tidak maksimal.

Di satu sisi, Nasir Abbas dan kawan-kawan tidak sempat menempati posisi yang sangat strategis dalam jaringan terorisme di Indonesia.

Di sisi lain, mereka juga dianggap tidak mempunyai otoritas ilmu keislaman untuk membongkar ulang sejumlah ajaran yang disalahpahami kaum teroris. Akibatnya, para mantan teroris di Indonesia pun gagal menarik gerbong terorisme untuk melakukan ”pertobatan massal” seperti yang terjadi di Mesir.

Adalah benar bahwa selama ini ada beberapa tokoh dan ulama yang mencoba membongkar ulang sejumlah ajaran keagamaan yang disalahpahami tersebut. Hal ini terlihat jelas dari pernyataan para ulama dari ormas-ormas besar di Indonesia (seperti MUI, NU, dan Muhammadiyah) yang mengecam tindakan para teroris.

Namun, upaya pelurusan paham keagamaan itu juga tidak menimbulkan dampak yang efektif di kalangan para teroris. Bukan semata-mata karena para ulama tersebut diragukan otoritas ilmu keislamannya, melainkan karena mereka tidak berasal dari ”tokoh-tokoh teroris” dengan posisi struktural yang sangat strategis. ●

Kegilaan Dunia Baru


Kegilaan Dunia Baru
Haedar Nasher, KETUA PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH
Sumber : REPUBLIKA, 28 Oktober 2011




Terganggukah para ilmuwan dan pemimpin di berbagai belahan dunia dengan tragedi Libya dan negeri-negeri Timur Tengah saat ini? Mestinya tak ada kegelisahan yang paling membuncah bagi para pencari kebenaran, keadilan, dan kebaikan universal kecuali menyaksikan tumbangnya rezim-rezim kekuasaan di Timur Tengah secara tragis dan mengenaskan yang melibatkan aliansi Amerika Serikat dan NATO yang bernafsu mengekspansi.

Kediktatoran Saddam Hussein, Husni Mubarak, Muamar Qadafi, dan pemimpin-pemimpin dunia Arab lainnya yang kini juga tengah diguncang memang naif dan inilah barangkali kereta terakhir transisi politik dari sistem otoritarian menuju demokrasi. Bahwa tumbangnya para tiran di Timur Tengah itu merupakan wujud perlawanan dari rakyatnya, juga tidak terbantahkan. Namun, menyaksikan agresivitas para pemimpin negara-negara sekutu Barat untuk mengintervensi dan menjatuhkan rezim negeri-negeri lain yang sesungguhnya berdaulat, sungguh merupakan bentuk kediktatoran lain yang tidak kalah naif dan destruktif.

Demikian halnya soal ketragisan terbunuhnya Muamar Qadafi, yang meski dilakukan oleh tangan-tangan anak negeri Libya, tetapi ruang politik yang menyertainya tidak lepas dari angkara serdadu-serdadu sekutu yang menularkan virus keganasan perang dan invasi. Diktator pun seolah tak layak mati wajar, dia harus terbunuh atau dibunuh dengan keji, padahal di belahan negeri-negeri yang konon mengklaim beradab watak-watak dan praktik-praktik kediktatoran tetap bertakhta dan menularkan perangainya ke seluruh jagad. 

Kita tidak menemukan bagaimana para pemimpin negara adidaya itu tidak memperagakan watak dan perilaku kepemimpinan yang otoritarian terhadap pemimpin negeri-negeri lain yang dianggapnya dunia ketiga atau periferal. Hitam-putihnya dunia, mana benar dan mana salah, mana baik dan mana buruk, mana yang berhak naik takhta, dan mana yang harus digulingkan seolah milik negara-negara adidaya, baik melalui atau tanpa keabsahan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang sudah tersandera lama.

Ironi dan tragedi
Beginikah wajah dunia abad ke-21 yang diagung-agungkan bertumpu pada demokrasi, hak asasi manusia, dan nilai-nilai universal modernitas? Para pejuang demokrasi dan hak asasi manusia begitu sensitif pada peristiwa-peristiwa lain yang dianggap melanggar demokrasi dan hak asasi manusia. Tetapi, mereka banyak bungkam dalam menyikapi tragedi dijatuhkan dan kematian Muamar Qadafi yang mengenaskan, invasi Irak yang luluh lantak hingga saat ini, dan bara kekacauan tak berkesudahan di Afghanistan.

Belum untuk berbagai kesewenang-wenangan lain yang sering kali bersembunyi di balik otoritas PBB seperti penindasan rakyat Palestina di tangan kekejaman Israel yang selalu mendapat restu negara-negara adidaya. Di mana tatanan dunia yang adil dan berkeadaban sebagaimana sering didengungkan oleh para pemimpin dan diplomat dunia saat ini?

Irak, Libya, Afghanistan merupakan contoh dari ladang pembantaian manusia dan kedaulatan negara atas nama demokrasi dan hak asasi manusia yang absurd. Inilah tragisme dunia modern dan postmodern yang tidak jauh beda dan seolah merupakan penjelmaan baru dari Auschwitzt. Sebuah peristiwa keganasan Perang Dunia II yang dilakukan Nazi Jerman yang membantai lebih dari 1,5 juta Yahudi di kamp konsentrasi dan kamp pemusnahan, sekaligus lambang dari kegagalan proyek modernisme di Barat. 

Kini, yang dilecehkan dan diruntuhkan, bukan lagi modernisme tetapi juga dunia postmodernisme yang pada awalnya ingin mengoreksi kegagalan modernisme, namun bungkam dalam menghadapi banyak tragedi yang terjadi di belahan dunia saat ini. Narasi-narasi indah politik, ilmu pengetahuan, teknologi, dan keadaban hubungan internasional sekadar pembungkus manis dari tindakan-tindakan barbar yang masif dan sistematik.

Hasil akhirnya sama: nyawa-nyawa tak berdosa berjatuhan dengan murah, negeri-negeri berdaulat dihinakan dan dijatuhkan tanpa ampun. Lalu, dari reruntuhan yang mengenaskan itu, bercokol rezim-rezim baru yang menjamin pelanggengan kepentingan politik dan ekonomi negara-negara adidaya.

Auschwitz adalah nama yang digunakan untuk mengidentifikasi tiga kamp konsentrasi dan pembantaian oleh Jerman Nazi. Nama ini diambil dari versi Jerman atas sebuah nama kota Polandia di O?wi?cim, terletak 60 km barat daya Krakow. Proyek biadab ini dimulai pada 1940, sebagai bagian utama dari holocaust.

Kini New-Auschwitz dan holocauts tengah diproduksi di banyak belahan dunia yang dipandang 'primitif' oleh negara-negara adidaya yang mengklaim diri 'beradab'. Yang menempatkan negeri-negeri maju itu sebagai penjaga utama demokrasi dan hak asasi manusia universal. Penguasa dan negara mana pun yang dimasukkan sebagai rezim otoriter atau diktator, tidak demokratis, melanggar hak asasi manusia, bahkan mengembangkan proyek nuklir dapat dengan mudah diinvasi dan dihancurkan oleh negara-negara adidaya itu.

Berbagai aturan internasional hingga perlindungan institusi Perserikatan Bangsa-Bangsa dijadikan otoritas untuk mengabsahkan proyek pemusnahan bangsa atau negara lain yang sekiranya mengancam status quo negeri-negeri adidaya itu. Fakta pelanggaran hak asasi manusia dan demokrasi menjadi tidak penting seperti tidak terbuktinya Irak mengembangkan senjata kimia pemusnah, yang penting ketika dipandang mengancam status quo para polisi dunia itu, maka dengan gampang diinvasi dan diluluhlantakkan.

Akankah tragedi-tragedi Irak dan Libya akan terus terulang? Sejauh tidak ada pemberontakan baru dari negara-negara nonadidaya di belahan benua mana pun, rasanya sulit menghentikan bentuk kesewenang-wenangan atau kediktatoran baru yang membuana ini. Hampir pada umumnya rezim kekuasaan di setiap negara berkembang telah banyak diikat oleh berbagai regulasi politik, ekonomi, dan budaya yang mengabsahkan dan melanggengkan praktik Autschwitz dan holocaust baru itu.

Lembaga-lembaga dunia seperti PBB, G-20, NATO, ditunjang IMF, Bank Dunia, plus globalisasi yang meraksasa itu justru menjadi institusi pengabsah dan pengawet kamp-kamp konsentrasi dan pemusnah di abad modern tersebut. Setiap negara yang menunjukkan gelagat perlawanan, seperti Iran, Kuba, dan sejenisnya akan dengan mudah dimasukkan dalam daftar pelanggar demokrasi, hak asasi manusia, dan idiom-idiom modern lainnya, yang kapan saja siap untuk diinvasi dan diganti rezim.

Dunia saat ini telah kehilangan sosok Soekarno, Nehru, Nasser, Tito, dan tokoh-tokoh yang berjiwa merdeka lainnya. Mereka menjadi bagian dari dunia, tetapi kesadaran kritis dan kemandiriannya untuk menegakkan kedaulatan bangsa dan negara sungguh luar biasa. Sementara, tokoh-tokoh dunia lain saat ini telah mengalami penjinakkan dan menjadi bagian dari rezim kekuasaan adidaya yang lembek dan penurut.

Boleh jadi, Cina tampil menjadi pusat hegemoni baru, tetapi negeri ini lebih sibuk membangun imperiumnya sendiri. Sedangkan Rusia tak juga beranjak untuk menjadi kekuatan penyeimbang karena telah terlumpuhkan oleh pilihannya menjadi negara 'demokrasi'.

Sementara itu, para pemimpin civil society dan kaum intelegensia dunia pada umumnya tenggelam dalam rutinitas dan mobilitas yang justru bukan hanya masuk dalam perangkap dunia yang semakin mengokohkan posisi negara-negara adidaya. Bahkan, tidak sedikit yang berperan menjadi bagian dari aktor-aktor yang sadar atau tidak sadar ikut melanggengkan dan membesarkan hegemoni dunia yang sarat ketidakadilan dan menularkan virus Auschwitz dan holocaust baru itu.

Imperialisme baru
Ketika Michel Foucault mengkritik dunia modern yang melahirkan tragedi kegilaan (madness) yang meluas di negeri-negeri Eropa awal abad ke-20, bukankah apa yang terjadi di Irak, Libya, Afghanistan, dan negeri-negeri yang mengalami invasi dan penghancuran sesungguhnya merupakan bentuk kegilaan baru yang jauh lebih massif di abad ini? Tidakkah proyek Freeport, Newmont, dan proyek-proyek MNC atau TNC lainnya tidak jauh berbeda dari VOC di masa lampau dengan tampilan dan kontrak yang tampak lebih demokratis? Tidakkah yang terjadi di negeri-negeri Timur Tengah merupakan bentuk imperialisme baru?

Jika Foucoult sang pemikir postmodernis itu menyebut kegilaan sebagai unreason atau ketakmasukakalan, maka kegilaan NATO, Amerika Serikat, dan ulah sekutu lainnya yang terjadi di Irak dan Libya akan berlalu begitu saja sebagai reason atau masuk di akal oleh keabsahan demokrasi dan hak asasi manusia yang telanjur menjadi hegemoni baru yang mengikat atau lebih tepat mencengkeram relasi antarbangsa dan antarnegara saat ini.

Atas nama demokrasi dan hak asasi manusia yang dipatok universal, siapa pun dan negeri mana pun harus siap diintervensi, diinvasi, dan diluluhlantakkan oleh pa ra polisi dunia tanpa rasa sungkan dan perlawanan. Semua bentuk Autschwitz dan Holocaust baru itu menjadi reason atau masuk akal, bukan ketakmasukakalan apalagi kegilaan baru. Mungkin, inilah tragedi dunia di abad ini, yang entah sampai kapan akan berlangsung. ●

Jumat, 28 Oktober 2011

Dilema Etis Kebebasan Media


Dilema Etis Kebebasan Media
Agus Sudibyo, ALUMNUS MAGISTER FILSAFAT, SEKOLAH TINGGI DRIYARKARA JAKARTA, ANGGOTA DEWAN PERS
Sumber : Koran Tempo, 28 Oktober 2011




 Etiskah seorang pejabat yang belum terbukti melakukan korupsi telah disebut-sebut namanya alam pemberitaan tentang korupsi, tanpa adanya klarifikasi yang memadai? Adilkah seseorang yang belum tentu bersalah harus menghadapi opini yang negatif tentang dirinya—terlibat dalam korupsi, menyalahgunakan jabatan, dan melakukan tindakan asusila—akibat pemberitaan media yang tidak berimbang dan cenderung menghakimi?

Pertanyaan ini layak diajukan karena prinsip keberimbangan, keakuratan, dan kehati-hatian sering dinafikan dalam praktek jurnalisme kita belakangan ini. Demi mengejar aktualitas berita, beberapa media sering mengesampingkan kebutuhan melakukan verifikasi dan uji informasi. Demi memberikan kontribusi terhadap upaya memerangi korupsi, mereka begitu bersemangat menampilkan berita tentang korupsi sehingga menafikan hak setiap orang untuk mendapatkan pemberitaan yang fair dan berimbang. Guna menarik perhatian publik, media sering mengabaikan asas praduga tak bersalah dalam memberitakan pejabat-pejabat yang belum tentu melakukan pelanggaran atau penyimpangan.

Jurnalisme hit and run! Begitu istilah untuk tren yang saat ini marak di Indonesia. Jurnalisme yang serba menekankan aktualitas, kecepatan penyampaian informasi, dengan menomorduakan kelengkapan dan kelayakan jurnalistik. Jurnalisme yang lebih mengedepankan tujuan secara umum dengan mengesampingkan kebenaran proses. Perkembangan terbaru ini menarik untuk diteropong dari sudut pandang etika. Dengan tren yang lebih mengedepankan aktualitas, kecepatan transmisi pesan, dan tujuan secara umum itu, pers Indonesia tampaknya bertolak dari pendekatan etika yang bersifat teleologis-konsekuensialis. Etika yang diperkenalkan Aristoteles
ini menyatakan bahwa baik-buruknya suatu tindakan bergantung pada tujuan atau dampak yang ditimbulkan. Nilai moral suatu tindakan tidak ditentukan oleh prinsip-prinsip tentang tindakan yang benar, tapi oleh observasi atas dampakdampak tindakan. Jika dampaknya baik, baik pula tindakan itu, meskipun dilakukan dengan mengabaikan prinsip tindakan yang benar.

Dalam jurnalisme, prinsip tindakan yang benar itu termaktub dalam Kode Etik Jurnalistik yang menyatakan: pemberitaan media harus bertolak dari keharusan verifikasi, konfirmasi, uji informasi, kehati-hatian, dan penghargaan terhadap kepentingan pribadi. Data penyelesaian masalah di Dewan Pers menunjukkan prinsip-prinsip ini semakin lazim diabaikan. Namun perlu digarisbawahi pengabaian ini sering berlandaskan alasan yang sangat rasional. Dalam berita tentang korupsi, misalnya, jika media harus menunggu hasil verifikasi, bisa jadi seorang koruptor keburu kabur ke luar negeri atau keburu main mata dengan penegak hukum. Jika tidak diberitakan secara besar-besaran, bisa jadi sebuah skandal korupsi akan dibiarkan begitu saja oleh penegak hukum atau diselesaikan dengan cara manipulatif.

Pemberitaan pers tentang skandal M. Nazaruddin dapat menjadi contoh. Jika dicermati dengan teliti, banyak berita tentang skandal ini yang tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik serta merugikan Anas Urbaningrum dan lain-lain. Namun harus diakui, berkat pemberitaan pers pulalah, KPK dan pemerintah serius menangani skandal ini.Tanpa pemberitaan pers, sangat mungkin kontroversi tentang Nazaruddin akan “layu sebelum berkembang”, berakhir dengan antiklimaks. Sedikit menengok ke belakang, situasi serupa juga terjadi dalam kasus kriminalisasi
Komisi Pemberantasan Korupsi. Sangat jelas pembelaan pers terhadap KPK dalam kasus ini. Cukup jelas pula pemberitaan pers saat itu sering kurang fair terhadap Kepolisian RI. Namun, apa boleh buat, dengan cara itulah pers turut menyelamatkan KPK dari upaya pelemahan yang sistematis.Tanpa pemberitaan intensif pers, kasus “cicak vs buaya”niscaya akan benar-benar berakhir dengan pemidanaan Bibit-Chandra.

Pendek kata, pers Indonesia berusaha memperkuat upaya pemberantasan korupsi dengan menerapkan pendekatan etika pers yang mementingkan tujuan dan dampak pemberitaan, dengan menomorduakan kebenaran proses. Persoalannya, etika teleologis-konsekuensialis ini tidak hanya mengabaikan asas-asas jurnalistik yang baku, tapi juga tidak kompatibel dengan prinsip keadilan. Padahal prinsip keadilan sangat fundamental bagi ruang kehidupan bersama. Dan ruang publik media adalah sebentuk ruang kehidupan bersama pula.

Maka selalu perlu diproblematisasi, adilkah seseorang yang belum tentu bersalah dihakimi oleh pemberitaan media? Apakah kepentingan satu-dua orang dapat dikorbankan demi kepentingan banyak orang untuk mendapatkan informasi media? Dan apakah upaya pemberantasan korupsi dapat membenarkan media untuk mengesampingkan imperatif ruang publik media: berimbang, komprehensif, proporsional, akurat, serta memisahkan fakta dan opini?

Pada titik inilah Kode Etik Jurnalistik secara universal merumuskan etika yang bersifat deontologis atau etika kewajiban. Etika deontologis menegaskan kewajiban verifikasi dan uji informasi mutlak dilakukan tanpa memperhatikan dampak apa pun semata-mata karena kewajiban ini baik pada dirinya sendiri. Sebab, kebenaran jurnalistik tak lain adalah kebenaran verifikasi. Tanpa verifikasi, berita akan merosot menjadi sekadar informasi sepihak, gosip, dan rumor.Verifikasi adalah esensi dari jurnalisme itu sendiri.

Merujuk pada imperatif kategoris yang dirumuskan Emanuel Kant, sang pencetus etika deontologis, barangkali dapat dirumuskan imperatif jurnalisme sebagai berikut:                         (1) perlakukanlah semua orang secara adil, baik sebagai obyek berita, sumber berita, maupun sebagai khalayak; (2) sajikanlah berita sebaik mungkin sehingga berita itu menjadi kebenaran yang dapat dirujuk semua pihak untuk membuat penilaian atau keputusan yang tepat.

Inilah rigorisme moral dalam etika jurnalistik. Rigorisme moral ini bukannya tanpa kelemahan. Karena para jurnalis hanya terpaku untuk menaati kewajiban-kewajiban etis, jurnalisme dapat menjadi hambar dan kurang menarik. Jurnalisme harus senantiasa disterilkan dari gosip, syak wasangka, dan spekulasi yang selama ini justru menjadi daya magnetik diskursus media di hadapan khalayak. Namun, perlu digarisbawahi, rigorisme itu pulalah yang menandai jurnalisme sebagai suatu “isme”, suatu disiplin ilmu yang menuntut ortodoksi metodologis dalam mencari, mengolah, dan menyajikan fakta. Suatu disiplin ilmu yang harus dipraktekkan dengan sungguh-sungguh, serta tidak main-main dan sembrono, agar masyarakat tetap memandang pers dengan sikap segan dan respek.

Beberapa kondisi menyebabkan kesenjangan antara jurnalisme di lapangan dan jurnalisme di dalam teks. Namun esensi jurnalisme sendiri sesungguhnya tidak lekang oleh waktu. Perkembangan teknologi informasi hanya mengubah cara media dalam mengejar informasi, mengembangkan liputan, dan mentransmisikan pesan, tapi belum sampai mengubah hukum besi
bahwa jurnalisme adalah perkara kebenaran verifikasi.Tantangannya bagi pers Indonesia sekarang adalah bagaimana tetap memberikan kemaslahatan buat publik, tetap memberikan kontribusi berarti bagi pemberantasan korupsi, tapi tanpa mengesampingkan fundamen jurnalisme itu sendiri.