Posisi Tap MPR Sekarang
Moh Mahfud MD ;
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum
Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara
(APHTN-HAN): Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN SINDO, 21
Mei 2016
Masih saja banyak yang
kaget ketika dikatakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)
yang berlaku sekarang ini tidak bisa dicabut oleh MPR sendiri. Padahal
kedudukan dan wewenang MPR sudah berubah seiring dengan amendemen UUD 1945
(1999-2002). Tegasnya, MPR sekarang tidak bisa lagi mengeluarkan atau
mencabut Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan yang kedudukannya di
bawah UUD dan di atas UU.
Itulah sebabnya,
ketika ada ide untuk menghidupkan GBHN melalui Tap MPR, masalahnya menjadi
sulit. Ini karena MPR tidak bisa lagi mengeluarkan Tap seperti dulu. Itu
pulalah sebabnya, ketika ada ide agar Tap MPR tertentu dicabut, maka
jawabannya, ”Sekarang secara konstitusional MPR tidak bisa mencabut Tap MPR”.
Mengapa begitu?
Mengapa pula di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan masih disebutkan Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan
level kedua? Inilah yang harus dipahami. Menyusul reformasi tahun 1998 yang
spektakuler itu muncul gagasan bahwa UUD 1945 harus diubah (diamendemen).
Alasannya, banyak lope
holes atau lubang-lubang di dalam UUD 1945 itu yang menjadi pintu masuk
terjadinya otoriterisme. Buktinya, setiap pemerintahan yang dibentuk
berdasarkan UUD 1945 selalu menjadi otoritarian.
Terlepas dari persoalan,
apakah alasan itu benar atau tidak dan apakah ide itu rasional atau
emosional, terjadilah perubahan UUD 1945 melalui mekanisme konstitusional
yang sah. Yang melakukan perubahan adalah MPR periode 1999-2004 yang, demi
demokratisasi, berani mengamputasi kekuasaan dan kewenangannya sendiri.
Dari antara sekian
banyak perubahan, yang sangat mendasar adalah perubahan struktur
ketatanegaraan dari yang semula vertikal-struktural menjadi
horizontal-fungsional. Kalau dulu, menurut Angka III Penjelasan UUD 1945, MPR
merupakan lembaga tertinggi negara maka sekarang ia disejajarkan dengan
lembaga negara yang lain dalam poros-poros hasta as politika (delapan poros
kekuasaan).
Kalau dulu, menurut
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, MPR adalah pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat,
sekarang kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD, tidak lagi dilakukan
sepenuhnya oleh MPR. Kalau dulu, menurut Pasal 3 UUD 1945, MPR diberi
wewenang menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara,
sekarang ia hanya diberi wewenang mengubah dan menetapkan UUD. Itu pun dengan
mekanisme yang sulit.
Dengan sistem
ketatanegaraan yang demikian, MPR tidak bisa lagi membuat atau mencabut Tap
MPR sebagai peraturan perundang-undangan level kedua di bawah UUD atau satu
tingkat di atas UU. Itulah sebabnya ketika mengatur tentang wewenang Mahkamah
Konstitusi (MK) dalam Pasal 24C, UUD hanya memberi kewenangan kepada MK untuk
menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD, bukan menguji UU terhadap Tap MPR
atau menguji Tap MPR terhadap UUD. Tepatnya, sejak amendemen UUD 1945, MPR
tidak boleh lagi membuat Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi daripada UU.
Soalnya: bagaimana
nasib Tap-Tap MPR yang sudah ada dan berlaku sejak sebelum amendemen? Untuk
menyelesaikan ini maka di dalam Pasal I Aturan Tambahan UUD ditegaskan bahwa MPR
ditugasi untuk meninjau kembali dan memosisikan ulang semua Tap MPR(S) yang
sudah ada dalam ke dalam tata hukum baru pada Sidang MPR tahun 2003.
Berdasar itu MPR
membuat Tap MPR No. I/MPR/2003 yang memosisikan semua Tap MPR(S) yang masih
ada ke dalam tata hukum Indonesia. Tap No. I/MPR/ 2003 adalah Tap terakhir
MPR yang masih berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pelaku
sepenuhnya kedaulatan rakyat.
Di dalam Tap No.
I/MPR/ 2003 semua Tap MPR(S), sejumlah lebih dari 130 Tap, yang sudah ada
berdasar UUD sebelumnya ditentukan nasibnya. Ada yang dinyatakan masih tetap
berlaku permanen, ada yang dinyatakan berlaku sampai waktu atau keadaan
tertentu, dan yang terbanyak (104 Tap) dinyatakan tak berlaku lagi. Ada dua Tap MPR yang dinyatakan tetap
berlaku penuh yakni Tap No. XXV/MPRS/1966 yang berisi pembubaran PKI dan
larangan penyebaran Komunis/Marxisme- Leninisme dan Tap MPR No. XVI/MPR/1998
berisi Politik Ekonomi.
Setelah keluarnya Tap
MPR No. I/MPR/2003 maka tugas MPR lama, yakni MPR yang masih berkedudukan
sebagai lembaga tertinggi negara, menjadi berakhir dalam membuat Tap MPR.
Itulah sebabnya Tap MPR No. I/MPR/2003 sering disebut sebagai Tap Sapujagat,
yakni Tap terakhir yang menyapu (memosisikan lagi) Tap-tap MPR produk MPR
model lama. MPR tidak bisa lagi membuat Tap baru atau mencabut Tap lama yang
sudah diposisikan menurut tata hukum baru itu.
UU No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak lagi mencantumkan Tap
MPR(S) sebagai peraturan perundang-undangan. Tetapi karena berdasar Tap No.
I/MPR/ 2003 ternyata masih ada Tap-tap MPR yang dinyatakan tetap berlaku maka
pada tahun 2011 diundangkanlah No. 12 Tahun 2011 yang memasukkan lagi Tap MPR
sebagai peraturan perundang-undangan level kedua. Penempatan Tap MPR sebagai
peraturan perundang-undangan level kedua menurut UU No. 12 Tahun 2011 hanya
dimaksudkan untuk memberi posisi pada Tap MPR yang sudah ”telanjur” ada dan
masih diberlakukan berdasar konstitusi yang baru. Artinya, MPR tetap tidak
boleh membuat Tap MPR baru dan mencabut Tap MPR yang sudah ada. Ibaratnya, pemberlakuan Tap MPR No. I/MPR/2003 merupakan langkah
konstitusional untuk memasukkan semua Tap MPR ke dalam satu lemari besi untuk
kemudian kuncinya dibuang sehingga tak bisa dibuka lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar