Jumat, 30 April 2021

 

Riset Gaib Dari California

 Raymundus Rikang dkk ;  Wartawan Tempo

                                                          TEMPO, 24 April 2021

 

 

Dinyatakan tak lolos uji klinis, penelitian vaksin Nusantara yang digagas Terawan Agus Putranto terus berjalan meski menggunakan nama lain. Tentara Nasional Indonesia disebut-sebut terbelah menyikapi polemik vaksin Nusantara. Di Amerika Serikat, penelitian ini ditengarai juga bermasalah. Penelusuran Tempo menunjukkan sejumlah klaim Aivita, perusahaan pengembang metode dendritik, tak sesuai dengan kenyataan.                                                  

 

 

TELEPON seluler Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy berdering pada Jumat, 16 April lalu. Di ujung telepon, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo meminta Muhadjir segera menuntaskan polemik vaksin Nusantara. Muhadjir pun berjanji masalah itu bisa dibereskan dalam tiga hari.

 

Sepanjang hari itu, Muhadjir langsung mengontak Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa serta Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny Kusumastuti Lukito. Dia juga menghubungi Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan penggagas vaksin Nusantara, Terawan Agus Putranto. Sepanjang akhir pekan itu pula ia memerintahkan semua eselon I kementerian terkait menyiapkan draf nota kesepahaman. “Alhamdulillah, semua bisa selesai,” katanya kepada Tempo di kantornya pada Kamis, 22 April lalu.

 

Bertempat di Markas Besar TNI Angkatan Darat, Muhadjir menggelar rapat bersama Andika Perkasa, Penny Lukito, dan Budi Sadikin pada Senin, 19 April lalu. Menurut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu, pertemuan sempat berjalan alot. Penny kukuh menyebutkan riset vaksin Nusantara masih banyak kekurangan dan uji klinis tak bisa dilanjutkan. Penny sebelumnya menyatakan vaksin dendritik—bagian dari sistem imun bawaan yang berpatroli di dalam tubuh untuk mendeteksi penyusup, seperti bakteri atau virus, dan melahapnya—tak lolos uji klinis tahap pertama.

 

Setelah rapat berlangsung lebih dari dua jam, Andika, Penny, dan Budi akhirnya meneken nota kesepahaman setebal tiga halaman. Dalam dokumen itu, uji klinis vaksin Nusantara disepakati disetop. Tapi penelitian sel dendritik tetap bisa dilaksanakan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta, sebagai riset berbasis pelayanan. Terapi itu juga tak boleh diperdagangkan dan tak butuh izin edar. “Semua pihak menang,” ujar Muhadjir.

 

Sore seusai pertemuan di Mabes TNI Angkatan Darat, Muhadjir langsung melaporkan hasil pertemuan kepada Presiden Jokowi dalam rapat terbatas. Kepada Presiden, Muhadjir mengatakan persoalan vaksin Nusantara sudah selesai dengan penandatanganan nota kesepahaman. Jokowi disebut-sebut memang kesal terhadap kegaduhan vaksin Nusantara. “Sudahlah, ini kan urusan ilmiah. Masak, politikus dan lawyer mengurusi vaksin?” kata Presiden pada Selasa, 20 April, sehari setelah mendapat laporan dari Muhadjir.

 

Jokowi dikabarkan juga geram terhadap sikap Terawan atas pencalonan duta besar. Pemerintah telah mengusulkan purnawirawan letnan jenderal itu menjadi duta besar di Spanyol, tapi belakangan dia mengirimkan surat pengunduran diri. Empat pejabat pemerintah yang mengetahui pencalonan Terawan menyatakan dokter spesialis radiologi itu beralasan ingin berfokus pada pengembangan vaksin Nusantara. Namun seorang pejabat tinggi Kementerian Luar Negeri memastikan lembaganya belum menerima surat pengunduran diri secara resmi dari Terawan.

 

Isi perundingan di Mabes TNI Angkatan Darat sebenarnya sudah disiapkan sepekan sebelumnya. Menteri Budi Sadikin, Kepala BPOM Penny Lukito, dan Menteri Muhadjir Effendy mengadakan rapat ihwal vaksin Nusantara di Kementerian Kesehatan pada Selasa, 13 April lalu. Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi mengusulkan dalam forum itu agar vaksin Nusantara dialihkan menjadi riset berbasis pelayanan.

 

Kebijakan serupa diterapkan mantan Menteri Kesehatan, Nila Moeloek, ketika mengatasi polemik metode intra-arterial heparin flushing alias praktik “cuci otak” ala Terawan pada 2018. Saat itu, Ikatan Dokter Indonesia memecat Terawan, yang ketika itu menjabat Kepala RSPAD, karena metodenya dianggap melanggar kode etik kedokteran. “Opsi itu dipilih karena riset ini tak mungkin menjadi vaksin,” Muhadjir menuturkan.

 

Besoknya atau 14 April, Menteri Budi Sadikin bertemu dengan Jenderal Andika Perkasa. Salah satu yang dibahas adalah usul solusi vaksin Nusantara sebagaimana dibahas dalam rapat dengan Muhadjir Effendy dan Penny Lukito. Andika tak merespons permohonan wawancara yang dikirimkan melalui WhatsApp dan surat resmi ke Dinas Penerangan Angkatan Darat hingga Sabtu, 24 April lalu. Adapun Menteri Budi Sadikin membenarkan kabar tentang pertemuan dengan Andika, tapi menolak membahas soal penelitian itu. “Sudah tutup buku,” ujarnya.

 

PENELITIAN vaksin Nusantara yang diklaim sebagai uji klinis tahap kedua di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto mendapat dukungan dari sejumlah tokoh dan politikus. Pada pekan pertama April lalu atau seminggu sebelum sejumlah pejabat menjalani prosedur pengambilan darah, Wakil Ketua Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar, Emanuel Melkiades Laka Lena, mengirimkan pesan kepada semua anggota komisi perihal jadwal uji klinis vaksin Nusantara.

 

Dia mengaku dihubungi staf Terawan Agus Putranto terkait dengan jadwal vaksinasi dan mempersilakan anggota DPR yang berminat untuk mendaftar. Sehari sebelum vaksinasi atau Selasa, 13 April, Melkiades kembali mengirimkan undangan kepada para koleganya di Senayan—lokasi gedung DPR di Jakarta—dengan dalih staf Terawan meminta konfirmasi data sukarelawan. “Semua orang prinsipnya siap menjadi relawan,” ucap Melkiades.

 

Dukungan juga datang dari Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad. Politikus Partai Gerindra itu sempat menelepon Terawan setelah Komisi Kesehatan berkunjung ke Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi, Semarang, pada 16 Februari lalu. Menurut Dasco, Terawan menjelaskan prinsip kerja vaksin Nusantara yang berbasis sel dendritik ternyata mirip terapi cell cure yang pernah dijalaninya. Dasco, yang dua kali menjadi pasien “cuci otak” Terawan, langsung mendaftar sebagai sukarelawan.

 

Di Surabaya, mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara, Dahlan Iskan, mencarter bus khusus dan memboyong 30 anggota klub senamnya untuk menjalani pengambilan darah di RSPAD Gatot Soebroto pada Senin, 19 April lalu. Namun hanya sebelas orang yang lolos menjadi sukarelawan. Dahlan termasuk yang gagal menjadi relawan karena mengonsumsi obat, tapi ia tetap bersedia menerima suntikan sel dendritik. “Saya mendukung risetnya, bukan mendukung barang ini harus menjadi vaksin,” kata Dahlan, juga menjadi pasien praktik “cuci otak” Terawan.

 

Banjir dukungan dari tokoh dan politikus, tidak demikian di Markas Besar TNI. Seorang pejabat tinggi di Cilangkap—lokasi Mabes TNI—mengatakan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto berniat meluruskan keterlibatan militer dalam penelitian sel dendritik. Narasumber ini bercerita, pejabat kesehatan di lingkungan TNI juga gamang karena dasar hukum riset vaksin Nusantara di RSPAD tak terang. Sejak awal program penelitian sel dendritik untuk vaksin Covid-19 merupakan kerja sama antara Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan dan PT Aivita Biomedical Indonesia. Tak ada perjanjian kolaborasi lintas institusi ataupun militer.

 

Dalam jumpa pers pada Senin, 19 April lalu, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Achmad Riad menegaskan bahwa vaksin Nusantara bukan program lembaganya. Meski begitu, TNI mendukung inovasi riset vaksin sepanjang memenuhi syarat Badan Pengawas Obat dan Makanan. Legalitas riset vaksin Nusantara pun turut disinggung dalam acara itu. Kepala Pusat Kesehatan TNI Mayor Jenderal Tugas Ratmono mengatakan penelitian yang saat ini berjalan di RSPAD Gatot Soebroto harus memiliki dasar hukum karena melibatkan personel militer dan menggunakan fasilitas milik TNI.

 

Sekitar dua pekan sebelum konferensi pers di Mabes TNI, Kepala RSPAD Letnan Jenderal Albertus Budi Sulistya berupaya mengklarifikasi polemik vaksin Nusantara. Dia mengirimkan pesan kepada Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa pada Rabu, 7 April lalu. Budi menjelaskan, antara lain, izin etik vaksin Nusantara masih dibahas di komite etik rumah sakit. Dia juga menerangkan bahwa sejumlah pejabat yang akan datang ke RSPAD Gatot Soebroto baru diambil darahnya, bukan diberi vaksin Nusantara. “Kami perlu menyampaikan pesan itu kepada beliau karena sudah ramai di media sosial,” ujar Budi kepada Tempo pada Sabtu, 24 April lalu.

 

Budi menyatakan nota kesepahaman antara Mabes TNI Angkatan Darat, BPOM, dan Kementerian Kesehatan menjernihkan polemik riset sel dendritik untuk meningkatkan imunitas terhadap Covid-19. Menurut dia, hasil penelitian sel dendritik ini nanti bisa dijadikan dasar untuk pengembangan ilmiah lanjutan.

 

Adapun Terawan Agus Putranto tak merespons permintaan wawancara Tempo hingga Sabtu, 24 April lalu. Ia juga tak berada di kantornya di lantai dua paviliun Cerebro Vascular Center di RSPAD ketika Tempo bertandang pada Jumat, 23 April lalu. Saat rapat dengan Komisi Kesehatan DPR, Terawan menyatakan vaksin berbasis sel dendritik aman untuk individu dan bisa ikut mengatasi pandemi Covid-19. “Ini menjadi solusi ataupun alternatif yang bisa digunakan,” kata Terawan mengklaim.

 

PENELUSURAN Tempo menunjukkan pengembangan vaksin Covid-19 berbasis sel dendritik di Amerika Serikat yang dikembangkan Aivita Biomedical Inc juga jalan di tempat. Dikutip dari Clinicaltrials.gov—situs penyedia data uji klinis milik Departemen Kesehatan Amerika Serikat—Aivita berupaya memperoleh izin uji klinis dari badan pengawas obat dan makanan Amerika, Food and Drug Administration. Dalam proposalnya, Aivita mengajukan 175 relawan untuk uji klinis dan menyatakan belum merekrut para relawan itu.

 

Dalam situs yang sama, uji klinis sel dendritik untuk vaksin Covid-19 di Indonesia dinyatakan sudah tuntas pada 5 April lalu. Riset itu tercatat dikerjakan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi, Semarang. Namun tak ada laporan hasil riset yang diklaim sebagai uji klinis tahap pertama di situs itu. Peneliti vaksin Nusantara di RSUP Dr Kariadi, Yetty Movieta Nency, menolak berkomentar tentang kelanjutan penelitian itu di rumah sakitnya. “Saya sedang mengoperasi pasien,” ujarnya, kemudian menutup panggilan telepon.

 

Walau begitu, Aivita mengklaim uji klinis tahap pertama di Indonesia berjalan tanpa kendala. Dalam siaran pers pada 25 Februari lalu, Aivita menyatakan bahwa pengobatan kepada 27 partisipan menunjukkan peningkatan antibodi dan tak ada gejala efek samping. Klaim ini bertolak belakang dengan temuan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito mengungkapkan 20 relawan uji klinis tahap pertama mengalami kejadian tak diinginkan, seperti peningkatan kolesterol dan kadar natrium dalam darah.

 

Di tengah simpang-siur nasib program vaksin Nusantara, Aivita mengumumkan rencana aksi korporasi. Perusahaan mengklaim akan segera mengantongi pendanaan senilai US$ 25 juta atau sekitar Rp 360 miliar. Pendanaan itu akan dipakai untuk pengembangan sejumlah riset. Salah satunya vaksin Covid-19 berbasis sel dendritik. Anehnya, dalam pengumuman aksi korporasi itu, riset sel dendritik disebut telah masuk fase kedua atau ketiga. Padahal perusahaan itu belum mengantongi uji klinis di Amerika Serikat. Adapun di Indonesia, BPOM tak memberikan izin penelitian fase kedua.

 

Kontributor Tempo di California, Amerika, James Mills, mengunjungi kantor pusat Aivita di Irvine, sekitar 80 kilometer dari pusat Kota Los Angeles, pada Jumat, 23 April lalu. Aivita berkantor di sebuah bangunan bertingkat dan menyewa lebih dari separuh bagian dari gedung perkantoran itu. Resepsionis Aivita tak bersedia menghubungkan dengan Chief Executive Officer Aivita Hans Keirstead, yang sebenarnya ada di kantor pada hari itu. Kehadiran Keirstead tampak dari sepeda motor yang terparkir di baris khusus yang terpacak papan namanya.

 

Surat elektronik dan panggilan telepon ke nomor Keirstead tak direspons. Pun dengan konfirmasi yang dikirimkan melalui e-mail kepada Chief Medical Officer Robert O. Dillman dan Wakil Presiden Bidang Regulasi Candace Hsieh. Namun, dalam podcast yang disiarkan Tech Nation pada 13 April lalu, Keirstead menyatakan Aivita hanya akan memproduksi perangkat utama vaksin, selebihnya peralatan pendukung metode itu bisa dibuat oleh perusahaan lokal. “Ini akan menjadi stimulus ekonomi untuk negara tersebut,” ujar Keirstead. ●

 

 

Memperdebatkan Tuhan Dalam Ruang Immanent

 Kang Warsa ;  Staf Wakil Wali Kota Sukabumi

                                                     WATYUTINK, 27 April 2021

 

 

 

Armstrong dalam buku Masa Depan Tuhan menuliskan satu kalimat sederhana: Kita terlalu sering membahas Tuhan dengan pikiran dangkal. Maksud utama dari kalimat itu adalah pembahasan tentang Tuhan akan terus dilakukan oleh manusia, akan terjadi pengulangan, perdebatan, dan percekcokan.

 

Fenomena ini telah terjadi sejak ribuan tahun lalu. Hebatnya pembahasan ini bukan hanya terjadi dalam sejarah Barat dari sejak mula pencarian Tuhan hingga meninggalkannya kembali karena manusia telah merasa cukup sebagai manusia (antrophosentris). Demikian juga dalam dunia Islam, ilmu Tauhid disebut ilmu kalam (perbincangan) salah satunya disebabkan oleh hal ini.

 

Perdebatan tentang Tuhan ini terjadi disebabkan oleh cara manusia yang sering berpikir dengan membatasi kemahakuasaan Tuhan oleh rasionalitasnya sendiri. Hal lain yang menjadi penyebab pengulangan wacana ini yaitu: proyeksi Tuhan yang sering dihadirkan dalam pikiran manusia, menyejajarkan apa yang berlaku bagi manusia tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi dengan Tuhan sendiri. Pemberian atribusi-atribusi kemanusiaan kepada Tuhan-lah yang menyebabkan perdebatan panjang tentang-Nya.

 

Tampak berbeda dengan para nabi, filsuf, dan sufi-sufi terdahulu. Dalam mencerna keberadaan Tuhan, mereka memiliki pikiran sederhana: yakini saja Tuhan itu ada. Dalam kisah Nabi Musa dan Bani Israil, Musa telah mencapai konklusi tentang keyakinannya kepada Yang Tunggal, tidak terjangkau oleh rasio, jauh dari pikiran manusia. Bani Israil kemudian mendesak Musa untuk membuktikan jika Tuhan itu memang ada dan tentu saja karena pandangan bangsa Yahudi ini menitikberatkan pada hetnoteisme: maka Tuhan dihadirkan dan dipinta oleh mereka agar berpihak kepada kelompoknya saja. 

 

Saat wabah melanda Mesir, Ramses II berkata kepada Musa, saudara angkatnya, "inikah hasil kerja Tuhanmu yang telah memorakporandakan negeriku?" Hal senada pernah diucapkan oleh Bani Israil sendiri ketika diperbudak oleh Firaun, mereka berkata: Dimana Tuhanmu saat ini ketika kaumnya sendiri ditindas oleh musuh-musuhnya.

 

Muhammad SAW pun dicemooh oleh penduduk Mekah ketika anaknya bernama Ibrahim meninggal dengan perkataan: Kasihan sekali, Muhammad telah ditinggalkan oleh Tuhannya. Dalam beberapa kisah disebutkan, meskipun sebagai seorang nabi namun sifat-sifat dasar sebagai manusia, Muhammad SAW hampir terpengaruh oleh olok-olok seperti ini, selama beberapa  bulan wahyu tidak turun juga. Ini memiliki kemiripan dengan Isa yang mengatakan: Eli.. Eli.. lamaa sabakhtani? Tuhanku.. Tuhanku, mengapa Engkau meninggalkanku?

 

Dari belahan dunia kuno ini melahirkan pandangan Tuhan yang berpihak dan Tuhan yang memusuhi manusia lain sebagai ciptaannya. Dalam tradisi Biblikal malah disebutkan ketika Izebel istri Ahab, raja yang semula patuh kepada Elia atau Ilyas , berkata dengan lantang: Siapapun yang tidak meyakini Baal sebagai tuhan maka hunusan pedang menjadi temannya. Bagi Izebel, Baal, tuan orang Samaria itu merupakan tuhan yang sebenar-benarnya tuhan sementara Yahweh yang disembah oleh Bani Israil merupakan tuhan palsu.

 

Di abad ke-8 SM ini, para nabi bukan hanya mengaku-ngaku merupakan pelayan Tuhan, bahkan bagi tuhan-tuhan yang diyakini oleh setiap suku pun memiliki nabi-nabinya tersendiri. Dalam satu kota bisa ditemui hingga 200 orang yang mengaku dirinya sebagai utusan dari tuhan-tuhan yang mereka yakini.

 

Pembahasan tentang Tuhan sering menemui benturan dengan hakikat Tuhan itu sendiri. Banyak lahir paradoks dan kontradiksi dimana-mana. Sebagai contoh: dalam Surat Al-Ikhlas telah diyakini: tidak ada satupun yang setara dengan-Nya. Hanya saja manusia bahkan diri kita sering jatuh ke dalam perangkap antrophomorfisme, memberikan atribusi mahluk kepada Tuhan, bisa jadi hal seperti ini dilakukan agar keberadaan Tuhan lebih  bisa dijiwai dan lebih dekat dengan manusia. Meskipun ayat ke-4 dari Surat Al-Ikhlas ini begitu sederhana, jika Tuhan tidak setara dengan mahluk maka apa saja yang dimiliki oleh mahluk, dirasakan oleh mahluk, nihil dari Tuhan.

 

Ockham merupakan seorang penganut Kristen Ortodoks yang menjadi seorang deis, dia cukup meyakini Tuhan itu ada. Tanpa basa-basi dan menghubung-hubungkannya dengan tafsiran apapun yang dibuat oleh manusia. Bagi Ockham, Tuhan adalah, seperti dalam Inji; Aku adalah Aku. Tuhan, sangat jauh dengan pikiran manusia tentang-Nya. Hanya saja, pemikiran Ockham seperti itu pun berkontradiksi dengan kemahakuasaan-Nya sendiri. Sangat paradoks ketika Tuhan Maha Kuasa lantas tetap dibatasi oleh deisme tentang ketidakterikatan Tuhan oleh persoalan-persoalan dunia ini.

 

Ada cuplikan menarik dalam film The Birth of Nation (2016), sebuah film yang mengisahkan upaya pembebasan perbudakan oleh Nat Turner di Amerika. Nat telah diramalkan oleh cenayang asal Afrika yang dijadikan budak di Amerika, kelak dia akan menjadi seorang pembebas dan itu merupakan takdir yang telah menetap dalam diri Nat. Dalam kehidupan sebagai budak, kusam, diperlakukan tidak manusiawi oleh warga kulit putih, Nat tumbuh menjadi seorang pendeta. Derita yang dialami oleh warga kulit hitam telah mengubah cara pandang Nat terhadap ayat-ayat dalam Bible. Bagi Nat, ayat-ayat dalam Bible tentang keharusan para budak taat dan patuh pada tuannya telah disalahgunakan oleh warga kulit putih untuk memperbudak warga kulit hitam.

 

Nat melakukan ceramah-ceramah sederhana tentang hal ini. Bagi Nat, ayat-ayat Tuhan yang diperjualbelikan tersebut telah merusak pesan penting dalam Bible tentang kasih. Dia termenung ketika istri Hark, saudaranya, sesama budak dipaksa untuk memuaskan birahi seorang kulit putih. Satu sisi, warga kulit putih menggunakan ayat-ayat dalam Bible tentang perbudakan, pada waktu yang bersamaan, Nat dan para budak kulit hitam pun menggunakan ayat-ayat dalam Bible untuk menghapus perbudakan. Hark bertanya kepada Nat saat kepedihan dialami olehnya: Dimanakah Tuhan saat ini? Dia membiarkan hambanya dipaksa meladeni nafsu bejat manusia serakah itu? Banyak sekali paradoks dan kontradiksi antara kenyataan yang dialami oleh warga kulit hitam dengan apa yang sering diceramahkan oleh Nat tentang Tuhan.

 

Leibniz sebenarnya telah menguraikan persoalan ini dengan mengatakan: Tuhan bukan  tukang servis jam yang selalu harus turun tangan ketika ada kejadian-kejadian di dunia ini. Bagi seorang saintis dan kosmolog lainnya, kesempurnaan Tuhan itu hadir dalam sistem yang telah disematkan kepada alam ini dalam bentuk tetapan kosmik. Keberlangsungan kehidupan ini merupakan sistem sangat sempurna yang telah diciptakan-Nya, sehingga seorang Leibniz berani mengatakan: Tuhan bukan seorang tukang servis jam! 

 

Berbeda dengan Newton, dalam Principia Matematica edisi ke-3, Newton kembali menghadirkan Tuhan dalam karyanya tersebut. Ada alasan, menghadirkan Tuhan dalam karya tersebut sekadar untuk menghibur temannya saja. Di kemudian, kehadiran Tuhan dalam buku ilmiah ini dicemooh oleh Leibniz dengan kata-kata: O, sangat kasihan sekali tuhannya tuan Newton ini, Dia harus selalu mengoreksi apa-apa yang ada di alam ini. 

 

Ada lagi satu hal menarik, tentang kemahabesaran Tuhan. Sebuah pertanyaan mungkin akan mengusik diri kita: Apakah Tuhan dapat menciptakan sebuah batu yang besarnya lebih besar dari Tuhan sendiri? Jika pertanyaan ini dijawab dengan sederhana maka akan menimbulkan berbagai ketimpangan. Pertama, jika jawaban terhadap pertanyaan tadi adalah "dapat", maka akan ada mahluk yang besarnya melebihi Tuhan. Kedua, jika dijawab "tidak", justru akan menghilangkan kemahabesaran-Nya.

 

Penjabaran dari persoalan di atas adalah: pertanyaan tersebut berada pada ranah immanent bukan pada persoalan transenden. Berkutat pada dugaan besar yang bisa diukur oleh penginderaan manusia. Dengan bahasa sederhana, maka dapat disimpulkan: manusia terlalu sering memandang Tuhan dengan rasionalitasnya sendiri, hal inilah yang telah melahirkan paradoks disana-sini. Karena Tuhan merupakan hal yang transenden, maka Dia hanya akan mampu diserap oleh pendekatan transenden, bukan dengan kegaduhan berdebat dan mempersoalkannya dengan pikiran dangkal. ●

 

Jalan Tengah Nusantara

 Dahlan Iskan  ;  Mantan CEO Jawa Pos

                                                         DISWAY, 25 April 2021

 

 

                                                           

INI hanya testimoni. Yang dalam hierarki penelitian derajatnya paling rendah. Dan wartawan terlalu banyak menulis berbasis testimoni. Pun seperti yang saya tulis hari ini.

 

“Alhamdulillah, tidak ada keluhan apa pun,” ujar Siti Fadilah Supari, mantan menteri kesehatan yang gelar akademisnya profesor doktor.

 

Fadilah menjalani “vaksinasi Nusantara” Jumat pagi lalu. Kesaksian ini diucapkan Sabtu petang kemarin.

 

“Apakah tidak meriang?”

 

“Tidak,” jawabnya.

 

“Tidak mengantuk?”

 

“Tadi malam mengantuk sekali. Tidur nyenyak. Senang sekali bisa tidur nyenyak,” katanya.

 

Saya juga mendapat WA testimoni suka rela dari Sudi Silalahi. Ia mantan sekretaris kabinet. Letnan Jenderal purnawirawan.

 

“Mas DI, Alhamdulillah, sejak ambil darah sample, sampai dengan pasca suntik Vaknus tidak ada keluhan apa-apa,” tulisnya. Jam 17.00 kemarin saya menelepon Pak Sudi. Dengan ragu. Saya ingin testimoni lebih banyak. Tapi saya tahu, di bulan puasa seperti ini, pada jam seperti itu Pak Sudi pasti sudah di masjid.

 

Testimoni lainnya dari pionir VakNus: Aburizal Bakrie. Ia konglomerat yang pernah kesasar ke politik.

 

Kemarin adalah hari ke-6 setelah disuntik VakNus. “Tidak ada keluhan apa-apa,” katanya.

 

Tiga tokoh itu sudah tua semua. Punya penyakit-penyakit ikutan semua.

 

Pak Ical –nama panggilan Aburizal Bakrie– hari itu disuntik bersama istri, anak, dan sekretaris. Anaknya yang perempuan, Anindhita Anestya Bakrie. Empat-empatnya, kata beliau, tidak punya keluhan.

 

Dengan demikian tidak perlu menulis apa pun di formulir keluhan. Semua relawan VakNus memang diberi segepok dokumen. Ada penjelasan teknis. Ada hak dan kewajiban relawan. Ada formulir kesediaan secara suka rela. Ada pula lembaran untuk pelaporan keluhan.

 

Relawan harus menulis apa pun keluhan yang dirasakan. Termasuk yang paling ringan sekali pun. Bahkan pun yang tidak ada hubungannya dengan VakNus. Misalnya: diserempet sepeda motor.

 

Di samping menulis keluhan mereka juga harus menulis telah melakukan tindakan apa. Misalnya untuk yang pusing, minum obat apa. Semua harus ditulis dalam laporan sebagai persyaratan jadi objek penelitian.

 

Lalu mereka memperoleh daftar nomor telepon yang harus dihubungi kalau ada perkembangan yang dianggap penting atau darurat.

 

“Saya tidak menulis apa-apa. Demikian juga istri, anak saya, dan sekretaris saya,” kata Pak Ical.

 

“Saya juga tidak menulis apa-apa. Benar-benar tidak ada keluhan,” ujar Siti Fadilah.

 

Tapi mereka itu mungkin seperti saya: relawan yang tidak masuk daftar objek penelitian. Saya ternyata tidak memenuhi syarat jadi objek penelitian. Itu karena saya harus minum obat penurun imunitas. Setiap hari. Sejak transplant hati 15 tahun lalu. Untuk seumur hidup saya.

 

“Kalau saya ini tidak tahu masuk objek penelitian atau tidak,” ujar Pak Ical. “Terserah tim peneliti. Kalau memenuhi syarat silakan masukkan. Kalau tidak jangan dimasukkan,” tambahnya.

 

Saya sendiri sebenarnya berharap dokter Terawan mengalah. Lakukanlah tahap penelitian sejak dari binatang lagi. Memang rugi waktu. Memang tidak cocok dengan prinsip kedaruratan. Memang bisa bilang ”untuk apa lagi?” Atau: bukankah penelitian lewat binatang itu sudah dilakukan di Amerika?

 

Tapi para pengkritik Anda sekarang ini mempersoalkan itu: atas nama doktrin penelitian normal. Para pengritik Anda tidak mengakui adanya kedaruratan. Mereka bilang: penelitian lewat binatang di Amerika itu kan untuk kanker.

 

Sejak awal saya juga setuju jalan tengah: kalau begitu janganlah VakNus ini disebut vaksin. Ide I-Nu dari dr Tifa itu juga sangat seksi.

 

Pikiran seperti itu muncul karena saya sangat takut ide mengembangkan VakNus ini macet di tengah jalan. Saya membayangkan kalau VakNus ini berhasil, inilah saatnya Indonesia tampil di peta bumi secara global.

 

Apalagi saya memang orang yang suka mengalah – -sesekali. Jadi saran untuk mengalah tadi lebih mencerminkan sikap pribadi saya.

 

Mumpung sudah terbukti: di masa darurat ini anak bangsa mampu melahirkan ventilator (ITB) dan deteksi Covid Ge-Nose (UGM).

 

Tapi syukurlah ide pengembangan VakNus ini tidak sampai macet. MoU tiga instansi telah menemukan jalan tengah itu: TNI-AD, BPOM, dan Kemenkes.

 

Dengan MoU itu penelitian VakNus –atau apa pun namanya– tetap bisa dilakukan. Yakni di RSPAD. Bahkan proses pengambilan darah objek penelitian sudah selesai. Sudah mencapai jumlah yang dipersyaratkan dalam penelitian fase 2. Sebagian, bahkan, sudah disuntikkan. Sebagian lagi, seperti rombongan saya, mendapat giliran Selasa depan.

 

Saya harus minta maaf kepada calon relawan yang ingin jadi objek penelitian yang mendaftar lewat saya. Tidak bisa lagi. Jumlahnya sudah mencukupi. Saya anjurkan untuk ikut vaksinasi lain yang digalakkan sekarang. Atau ikut jadi relawan fase 3 kelak.

 

Atau ikut ramai-ramai jadi relawan salah satu Vaksin Merah Putih. Unair, UI, UGM, LIPI, Eijkman lagi mengembangkan itu. Dengan cara mereka sendiri-sendiri. Tinggal kita tunggu kapan salah satu dari lima Vaksin Merah Putih itu memasuki uji coba fase 1. Saya juga berharap dengan sabar siapa yang duluan memasuki fase 1 itu.

 

Merah Putih adalah Nusantara. Nusantara adalah Merah Putih. ●

 

https://www.disway.id/r/1293/jalan-tengah-nusantara

 

 

 

Antara Jozeph Paul Zhang dan Kiai Hasyim Asy'ari

Erman Suparno  ;  Warga NU yang pernah menjadi Politisi PKB dan Menteri Naker SBY

DETIKNEWS, 23 April 2021

 

                                                

Alhamdulillah, 10 hari pertama Ramadhan sudah kita lalu bersama. Insya Allah, semua yang menjalankannya dengan khusuk mendapat rahmat-Nya. Tapi jujur saja, dalam sepekan terakhir ini saya agak terganggu dengan dua isu: Jozeph Paul Zhang yang mengaku sebagai nabi ke-26, dan tidak dicantumkannya nama Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari dalam kamus sejarah Indonesia.

 

Bagi saya, persoalan mengaku-ngaku nabi kok ya dibuat polemik. Isu seperti itu kan bukan hal baru. Sejak zaman penjajahan Belanda, menurut kajian Profesor Al Makin dari UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta sudah ada sekitar 600 orang di Indonesia yang mengaku mendapat wahyu. Tapi kok ya masih dianggap sangat serius. Sampai harus dikomentari Menteri Agama, bikin sibuk polisi, pegawai imigrasi, hingga diplomat kita di luar negeri.

 

Padahal bagi kaum muslim yang benar-benar yakin dengan Rukun Iman ke-4, kan mestinya ya selow saja. Sebab umat Islam cuma diperkenalkan dengan 25 nabi dan rasul yang wajib diimani, yakni dari Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul terakhir. Artinya, kalau ada yang mengaku sebagai Nabi ke-26 dan seterusnya otomatis palsu. Anggap saja sedang bercanda, ngelindur, berhalusinasi, atau paling ekstrem ya mengalami gangguan jiwa. Gitu aja kok repot, kata Gus Dur.

 

Tapi karena menganggap serius, akhirnya kan "si nabi" jadi ngelunjak. Nantang debat! Beruntung Dik Menteri Agama insyaf. Sing waras ngalah. Masih banyak isu yang perlu diperhatikan, dijawab, dicarikan solusi, atau dibuatkan kebijakan. Ngapain ngabisin energi cuma untuk ngurusi nabi ke-26.

 

Aparat hukum juga nggak usah repot-repot mencari, menjemput, mengadili. Wah, penjara kita sudah bertahun-tahun kelebihan kapasitas. Masih ingat Sensen Komara asal Sukabumi kan? Akhir 2018 lalu, dia yang mengaku mendapat wahyu dari Tuhan lalu mengubah syahadat dengan mengganti nama Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah dengan namanya sendiri. Pengadilan tak mengirimnya ke penjara karena menista agama, tapi ke rumah sakit jiwa.

 

Lantas bagaimana dengan kasus kamus sejarah?

 

Dari penjelasan Dirjen Kebudayaan, Mas Menteri Nadiem, juga Pak Muhadjir Effendy, kamus itu dibuat pada 2017. Masih draf sehingga sangat terbuka peluang untuk dikoreksi, ditambahi, disempurnakan. Komitmen itu sudah disampaikan Mas Menteri. Dia juga sudah sowan ke PBNU dan meminta maaf. Mestinya ya sudah, selesai. Eh, malah ada politisi yang entah latar belakangnya mengklaim bahwa keluarga besar NU selama ini sering menjadi korban dari penyusunan sejarah yang manipulatif dan tidak jujur.

 

Lho, nanti dulu. Jangan lebay begitu, Ferguso! Kalau memang Kemendikbud atau Pak Menteri dan Mas Menteri memang punya iktikad buruk, ya untuk apa mereka terlibat dalam pembangunan Museum Islam Nusantara KH Hasyim Asy'ari?

 

Museum itu diresmikan Presiden Jokowi pada 12-12-2018. Lalu ada penyusunan buku biografi KH Hasyim Asy'ari dalam rangka memperingati 106 tahun Kebangkitan Nasional. Tim penulisnya dipimpin oleh sejarawan NU, KH Agus Sunyoto. Dengan begitu sudah jelas to, pengakuan seputar ketokohan dan kepahlawanan Sang Hadratussyekh?

 

Di luar itu, tentu media juga punya peran mendewasakan semua pihak. Bukan sekadar mem-viral-kan, mengamplifikasi, atau malah terus mengompori. Semua media punya tanggung jawab untuk mendidik dan menyajikan informasi yang benar-benar substansial dengan narasumber yang kredibel.

 

Mari kita semua menghemat energi dan menyalurkannya ke hal-hal substansial. Salah satu persoalan kita semua dalam setahun terakhir kan Covid-19. Lalu vaksinasi yang prosesnya berjalan merayap. Juga kebijakan larangan mudik yang terus disiasati untuk lebih dilonggarkan dengan berbagai dalih.

 

Tujuan utama mudik itu kan untuk silaturahmi dengan orangtua dan kerabat. Nah, di era digital saat ini silaturahmi kan tetap bisa dilakukan tatap muka. Virtual. Setiap saat asal punya pulsa dan jaringan di kampung memadai.

 

Di tengah pandemi, menjaga dan melindungi kesehatan diri dan keluarga tentu lebih utama. Jangan sampai hal utama atau wajib ini lantas ditinggalkan demi mengejar mudik yang sunah. Sebab teknologi telah memberi solusi untuk silaturahmi.

 

Kalau ada warga, tetangga kita tak punya android dan pulsa ya mari gotong-royong. Pak RT/RW bisa ikut mengkoordinasi, memfasilitasi pengadaan kuota bagi yang membutuhkan. Yang punya telepon pintar, mbok ya bisa meminjamkan 5-10 menit ke tetangganya yang tidak punya, agar tetangganya bisa berkomunikasi visual dengan keluarganya di kampung.

 

Perusahaan telekomunikasi penyedia jasa provider juga bisa ikut serta mengalokasikan dana CSR-nya untuk aktivitas baru yang layak dijadikan tradisi ini. Insya Allah semua berkah. Amin. ●

 

 

Sains sebagai Basis Formulasi Kebijakan

Satryo Soemantri Brodjonegoro ;  Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

KOMPAS, 30 April 2021

 

 

                                                           

Formulasi kebijakan sering kali dilakukan tanpa menggunakan basis bukti ilmiah sehingga kebijakan tersebut tidak dapat diimplementasi dengan baik dan benar, bahkan tidak jarang kebijakan tersebut justru menimbulkan permasalahan baru.

 

Terutama, dalam bidang kesehatan, khusus saat pandemi sekarang, vaksin baru dapat digunakan setelah melalui uji klinis yang cukup ketat secara prosedur ataupun ilmiah. Hasil uji klinis tersebut harus akurat dan sesuai dengan kaidah ilmiah, setelah itu digunakan sebagai basis dalam formulasi kebijakan penggunaan vaksin.

 

Dalam bidang lain, formulasi kebijakan harus disusun berdasarkan basis bukti ilmiah yang sahih meskipun tidak semudah di bidang kesehatan karena dapat melakukan uji klinis yang terukur dan berkaidah.

 

Dalam bidang sosial kemanusiaan diperlukan suatu metode yang mampu menghasilkan basis bukti ilmiah yang diperlukan untuk formulasi kebijakan terkait, tidak mungkin dilakukan ”uji klinis” seperti pada bidang kesehatan.

 

Proses untuk menghasilkan basis bukti ilmiah umumnya melalui kegiatan riset dan kajian ilmiah oleh para ilmuwan dan periset. Hasil riset dan kajian dimaksud harus melalui proses sanctioning/peer review yang ketat sesuai dengan kaidah keilmuan dan kebenaran ilmiah yang mutakhir.

 

Salah satunya adalah melalui publikasi ilmiah pada jurnal bereputasi dan bermartabat. Kuncinya terletak pada kebenaran ilmiah, di mana dengan kebenaran ilmiah tersebut, suatu kebijakan dapat diformulasikan dengan baik dan benar.

 

Dalam kenyataannya, implementasi kebijakan yang berbasis bukti ilmiah harus didukung oleh political will (kemauan politik) supaya berdampak dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat/pemangku kepentingan.

 

Sebagai contoh, riset membuktikan bahwa merokok akan menimbulkan kanker paru-paru dan berbagai penyakit lain sehingga terbitlah kebijakan untuk mengurangi (karena tidak mungkin menghilangkan) kebiasaan merokok.

 

Sementara itu, industri rokok besar bertahun-tahun berupaya mematahkan basis bukti ilmiah bahaya merokok di hadapan publik sambil menyembunyikan temuan-temuan mereka tentang bahaya merokok.

 

Formulasi kebijakan yang bersifat lintas sektor dan kompleks tidak dapat hanya mengandalkan eksperimen ilmiah, tetapi tinjauan (review) sistematis terhadap bukti-bukti ilmiah yang relevan (evidence summit).

 

Tinjauan sistematis tak sekadar tinjauan riset sederhana terhadap topik yang dipilih, tetapi tinjauan terhadap sejumlah bukti ilmiah yang relevan dengan persoalan spesifik yang akan diselesaikan.

 

Kebijakan berinformasi bukti ilmiah

 

Dalam beberapa kasus, beberapa eksperimen yang bermutu tinggi dapat dilengkapi oleh lebih banyak kumpulan data bermutu yang memberikan bukti ilmiah tambahan yang berharga terhadap aplikasi yang lebih luas dari suatu kegiatan. Dalam hal terjadi hasil review yang bertentangan, kualitas bukti ilmiah akan sangat menentukan interpretasi dan kesimpulan yang dihasilkan.

 

Riset ilmiah sangat penting sebagai informasi yang dibutuhkan dalam formulasi kebijakan, khususnya di bidang kesehatan, karena dapat mengidentifikasi persoalan yang mengemuka, memberikan solusi untuk mengatasi persoalan tersebut, dapat memprediksi dampak yang mungkin terjadi dari pilihan kebijakan yang diambil.

 

Potensi informasi riset ilmiah itu tak berarti pertimbangan demokratis dan hak asasi manusia dapat atau bahkan harus dikesampingkan. Karena itu, pendekatannya tak semata-mata ”formulasi kebijakan berbasis bukti ilmiah”, tetapi lebih kepada ”formulasi kebijakan berinformasi bukti ilmiah”.

 

Formulasi kebijakan kesehatan harus mempertimbangkan pengaruh faktor kekuatan lain selain sains. Hal ini untuk memastikan akuntabilitas para politisi dan para ilmuwan, dan untuk menjustifikasi kebijakan yang melanggar prinsip dasar masyarakat demokratis.

 

Kita tak perlu mempertentangkan antara sains dan politik karena kami para ilmuwan punya komitmen politik dan norma tersendiri. Dan dalam hal itu kami berdiri sama tinggi dengan masyarakat, tidak lebih tinggi. ●