Kunjungan Kerja DPR
Emerson Yuntho ; Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption
Watch
|
KOMPAS, 27 Mei
2016
Badan Pemeriksa
Keuangan pada awal Mei 2016 melansir temuan adanya potensi kerugian negara
sebesar Rp 945 miliar dalam kunjungan kerja perorangan yang dilakukan anggota
DPR selama 2015.
Banyak ditemukan
laporan kunjungan kerja anggota Dewan yang tidak memenuhi persyaratan atau
susah diverifikasi dan bahkan fiktif.
Temuan BPK soal dana
kunjungan kerja DPR sungguh memalukan dan ironis. Penyimpangan justru
dilakukan wakil rakyat di Senayan yang katanya terhormat dan seharusnya bisa
menjadi panutan bagi seluruh rakyat di Indonesia. Kunjungan kerja fiktif DPR
tidak saja memperburuk citra DPR di mata publik, tetapi juga dapat menjadi cerminan
buruknya integritas sebagian anggota Parlemen.
Selain itu besaran
uang kunjungan kerja yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sungguh luar
biasa, yaitu Rp 945 miliar. Dengan nilai anggaran kunjungan kerja DPR tahun
2015 sebesar Rp 1,24 triliun, potensi penyimpangan yang terjadi adalah lebih
dari 75 persen. Padahal, uang negara sebesar ini dapat digunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, seperti membuka lapangan kerja baru,
beasiswa pendidikan, dan mengurangi kemiskinan.
Kunjungan kerja DPR fiktif
pada dasarnya bukan cerita baru dan kontroversi ini selalu muncul setiap
tahun. Dalam pengamatan Indonesia Corruption Watch, modus kunjungan kerja
fiktif anggota DPR juga beragam. Misalnya, menyuruh staf dari anggota DPR
untuk menggantikan kunjungan kerja, menggunakan foto-foto kunjungan kerja
yang lama atau mengambil dari internet, memanipulasi hari kerja, membuat
daftar kehadiran kegiatan kunjungan kerja secara palsu, hingga memalsukan
bukti tiket perjalanan dan akomodasi.
Setelah selesai
kunjungan kerja, laporan kunjungan dan pertanggungjawaban anggaran juga tidak
pernah dibuat oleh mayoritas anggota Dewan. Publik juga tidak pernah
mengetahui dan merasakan manfaat hasil kunjungan kerja yang dilakukan anggota
DPR.
Adanya kunjungan kerja
DPR fiktif juga diperkuat dari penelitian yang dilakukan Forum Masyarakat
Peduli Parlemen (Formappi) pada 2014 lalu. Hasil penelitian menyebutkan,
sebanyak 70 persen anggota DPR periode 2009-2014 tidak pernah melakukan
kunjungan kerja. Namun, Formappi mencatat keanehan bahwa jumlah anggota DPR
yang memiliki laporan pertanggungjawaban kunjungan kerja bukan 30 persen,
melainkan sebesar 49 persen dari seluruh anggota Dewan. Artinya, hampir 20
persen anggota Dewan melakukan kunjungan kerja fiktif.
Meski selalu ditemukan
banyak penyimpangan, ajaibnya anggaran kunjungan kerja DPR selalu meningkat
tiap tahun. Anggaran kunjungan kerja DPR pada 2014 berjumlah Rp 763 miliar,
tahun 2015 naik drastis menjadi Rp 1,24 triliun, dan pada 2016 meningkat
menjadi sebesar Rp 1,4 triliun.
Khusus pada 2016,
setiap masa reses anggota Dewan akan menerima uang Rp 225 juta untuk
melakukan kunjungan kerja. Jika setahun ada lima kali reses, besar uang yang
diterima setiap anggota DPR Rp 1,125 miliar. Jumlah tersebut masih ditambah
dana kunjungan kerja di luar masa reses Rp 420 juta per tahun.
Pembiaran
Munculnya kunjungan
kerja DPR fiktif tidak saja terjadi karena masalah integritas anggota Dewan,
tetapi juga akibat lemahnya pengawasan—bahkan pembiaran—dari internal DPR dan
setiap parpol. Jika ada temuan anggota DPR yang melakukan kunjungan kerja
fiktif, sudah menjadi kebiasaan masalah ini diselesaikan secara ”adat” dan
kekeluargaan. Selama dana kunjungan kerja fiktif dikembalikan, tidak akan
dilakukan pengusutan atau penjatuhan sanksi. Hingga saat ini belum pernah
terdengar adanya sanksi yang dijatuhkan pimpinan parpol atau Majelis
Kehormatan Dewan (MKD) terhadap anggota DPR yang diketahui melakukan
kunjungan kerja secara fiktif.
Agar polemik soal
kunjungan kerja DPR tidak terus-menerus terjadi dan tanpa ada solusi, hasil
audit BPK seharusnya menjadi momentum bagi DPR untuk membenahi diri. Hal ini
penting supaya citra dan kepercayaan DPR di mata masyarakat tidak semakin
luntur. Langkah pencegahan dan penindakan perlu dilakukan agar masalah kunjungan
kerja fiktif DPR tidak kembali terulang di masa mendatang.
Sebagai langkah
pencegahan, sebaiknya DPR atau parpol tak hanya sekadar memberikan surat
teguran, tetapi juga perlu membuat pelatihan singkat atau asistensi kepada
anggota DPR dalam membuat laporan pertanggungjawaban kunjungan kerja.
Pelaksanaan kunjungan kerja anggota DPR harus dilakukan secara efektif,
efisien, dan akuntabel. Kunjungan kerja DPR perlu menekankan pada urgensi
kunjungan, ketepatan sasaran, penghematan, dan pertanggungjawaban anggaran.
Sebagai bagian dari transparansi dan akuntabilitas penggunaan uang rakyat,
laporan hasil kunjungan kerja setiap anggota DPR wajib diumumkan secara
terbuka agar dapat diakses publik.
Sekjen DPR juga perlu
melakukan reformasi terhadap mekanisme pencairan dan pertanggungjawaban
anggaran kunjungan kerja anggota DPR. Misalnya, dana kunjungan kerja tidak
diberikan kepada anggota DPR secara langsung (lump sum), tetapi hanya dibayar
untuk kegiatan yang benar-benar dilakukan (actual cost). Selain itu dana
kunjungan kerja hanya dapat dicairkan jika para anggota DPR telah memberikan
laporan pertanggungjawaban kunjungan kerja periode sebelumnya.
Pada sisi penindakan
dan untuk memberikan efek jera, pimpinan parpol dan MKD DPR dapat saja
melakukan upaya pro aktif menindaklanjuti atau melakukan investigasi
berdasarkan hasil audit BPK. Anggota DPR yang nakal dan terbukti melakukan
kunjungan kerja fiktif perlu diberikan sanksi yang tegas, bahkan jika
diperlukan sebaiknya dicopot dari jabatannya.
Untuk menghindari
penyelesaian secara ”adat”, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebaiknya juga
dilibatkan dalam mengusut adanya kerugian negara dari kunjungan kerja fiktif
para anggota DPR ini. Jika ditemukan bukti korupsi dana kunjungan kerja,
sebaiknya KPK tidak perlu segan untuk memproses oknum anggota Dewan ini
hingga ke pengadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar