Senin, 31 Desember 2012

2013 Tahun Penentuan


2013 Tahun Penentuan
Yudi Latif ;   Pakar Politik
MEDIA INDONESIA, 31 Desember 2012



AKU memohon pada seorang tua yang berdiri di ambang tahun baru, ‘Berilah aku cahaya yang memungkinkan melangkah aman menuju kegelapan’. Orang itu pun menjawab, ‘Pergilah menuju kegelapan dan letakkan tanganmu pada Tangan Tuhan. Hal itu akan lebih baik bagimu ketimbang cahaya, dan lebih aman daripada jalan yang dikenal’.” Begitulah King George VI memberi wejangan menyambut Hari Natal 1939. Sebuah tamsil bagaimana sepatutnya bangsa Inggris menghadapi pergantian tahun dalam suasana krisis berkepanjangan, menyusul depresi ekonomi dunia dekade 1930-an.

Sebuah krisis muncul karena warisan sisi-sisi gelap masa lalu yang tak sepenuhnya kita kenali. Untuk mengenali sebab-sebabnya, kita harus berani menyusuri lorong gelap masa lalu untuk menemukan visi dan formula perubahan yang tepat, bukan mengandalkan resep-resep umum yang telah dikenal. Untuk menemukan pencerahan di belam lorong kelam, kita perlu ketulusan dan kepasrahan pada bimbingan Sang Mahapetunjuk.

Bagi mereka yang memiliki keberanian dan kepasrahan, krisis yang diwariskan itu bukanlah alasan untuk mencari kambing hitam, melainkan membuka peluang bagi perubahan fundamental. Untuk melakukan perubahan fundamental itu terlebih dahulu harus disadari bahwa apa yang kita petik hari ini merupakan buah dari apa yang kita tanam di masa lalu; siapa menebar angin akan menuai badai, siapa menciptakan drama akan mendapatkan karma.

Sepanjang 2012, publik menyaksikan arus balik dari suatu pemerintahan yang berdiri di atas pilar kebohongan. Jika pemilihan umum sebagai input demokrasi diwarnai aneka ‘kebohongan’, kekuasaan akan menggunakan kebohongan sebagai cara mempertahankan kekuasaan.

Namun, kebebalan setiap rezim kebohongan ialah kepercayaan bahwa rakyat selalu bisa dibohongi. Padahal rakyat sebagai ‘suara Tuhan’ tidak pernah tidur. Serapi apa pun kebohongan ditutupi, selalu ada risiko kebocoran. Secara perlahan, partai politik yang dalam janji kampanyenya paling lantang mengatakan, “Tidak,” pada korupsi dirundung skandal korupsi. Orang-orang dari lingkaran inti partai itu satu per satu terbongkar menjadi bagian dari sindikat korupsi. Lebih dari itu, sesuatu kekuasaan yang dimulai dengan dusta bisa melahirkan efek peniruan di tingkat bawah.

Tidak hanya berhenti pada korupsi, orang-orang dari lingkaran dalam kekuasaan itu juga secara dingin terus , memperlihatkan ketegaan untuk memanipulasi memperlihatkan ketegaan untuk memanipulasi nalar publik. Dalam menghadapi ketidakpercayaan publik pada kinerja pemerintah, yang mereka kembangkan ialah sikap apologetika. Apologetika adalah suatu sikap untuk mengambil sebagian pandangan yang memperkuat pendakuan (klaim) seraya menolak sebagian lain yang melemahkan. Seperti sikap pemerintah yang begitu doyan mengumbar penilaian dunia luar yang menguntungkan, tetapi begitu reaktif menolak penilaian lain yang mementalkan klaim keberhasilan mereka.

Sikap seperti itu melahirkan standar ganda. Di satu sisi, pemerintah membanggakan keberadaan Indonesia dalam kelompok G-20. Di sisi lain, dalam menetapkan ukuran kemiskinan di negeri ini, pemerintah tidak mengikuti standar yang dipakai dalam kelompok elite itu, tetapi memakai ukuran yang berlaku di negara-negara terbelakang.
Pemerintah bangga dengan penilaian bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, tetapi memicingkan pandangan terhadap indeks demokrasi global dari Economist Intelligence Unit pada 2011 yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 167 negara yang diteliti; jauh di bawah Timor Leste (42), Papua Niugini (59), Afrika Selatan (30), dan Thailand (57). Indonesia masuk kategori flawed democracy (cacat demokrasi) yang ditandai, antara lain, dengan pemilu yang tidak bersih, pemerintahan yang korup dan ingkar janji-janji pemilu, serta keterancaman pluralisme.

Pencapaian pertumbuhan ekonomi terus dirayakan seraya melupakan kesenjangan yang kian melebar dengan gini ratio mencapai 0,41% (tertinggi dalam puluhan tahun terakhir). Diabaikan juga kemunduran Indonesia dalam indeks korupsi yang pada tahun lalu menempati urutan ke-100 dari 182 negara, dan dalam indeks pendayagunaan SDM yang menempatkan Indonesia di urutan ke-124 dari 187 negara.

Sikap apologetika, menempatkan penilaian luar sebagai alat pencitraan, bukan sarana mawas diri. Sikap seperti itu mengekang pencapaian kebenaran dan kedewasaan. Kebenaran diraih melalui ketidaktertutupan. Kedewasaan ditempa melalui kesediaan menginsafi sisi terlemah dari diri sendiri.

Celakanya, kecenderungan pemerintah untuk menutupi kenyataan dan menyadari kelemahannya itu diberi peneguhan oleh akademisi lingkar dalam istana. Jika Joseph Stiglitz menganjurkan pemimpin politik mau terlibat dalam menganjurkan pemimpin politik mau terlibat dalam forum-forum ilmiah agar kebijakannya bersifat objektif, para ilmuwan di lingkaran dalam istana justru cenderung mengabaikan sikap kritis dan objektivitas di hadapan kuasa.

Sikap defensif terhadap kritik dan objektivitas itulah yang membuat permasalahan tidak sungguh-sungguh diatasi, tetapi ditutupi rekayasa pencitraan. Selama tahun 2011, tokohtokoh lintas agama dan Forum Rektor telah mengeluarkan peringatan akan situasi genting yang mengancam bangsa, yakni posisi Indonesia di ambang negara gagal. Namun, peringatan seperti itu justru ditanggapi sinis oleh ilmuwan di lingkaran dalam istana yang menuduhnya sebagai celoteh busuk ‘gagak hitam’.

Ternyata peringatan tokoh-tokoh bangsa itu bukanlah isapan jempol semata. Berdasarkan publikasi The Fund for Peace 2012, posisi Indonesia dalam Failed States Index 2012 memburuk, dari urutan ke-64 pada tahun lalu menjadi urutan ke-63 pada 2012.

Yang lebih merisaukan bukanlah penurunan indeks itu sendiri, melainkan cara pemerintah dan ilmuwan lingkaran dalam istana menanggapi indeks tersebut. Sikap apriori dan kritisisme tanpa pemahaman mendalam atas basis penilaian indeks tersebut dikembangkan secara reaktif dengan maksud melemahkan validitasnya.

Padahal, dengan mengedepankan sikap hanif (membuka diri pada kebenaran) orang awam pun dengan mudah bisa meraba berbagai fenomena
negara gagal di negeri ini. Ciri-ciri Indonesia sebagai negara di ambang
kegagalan terlihat dari performa pemerintah pusat yang lemah atau tidak
efektif dalam mengendalikan cabinet dan pemerintah daerah, kelumpuhan
pelayanan publik, penyebarluasan korupsi dan kriminalitas, eksodus
buruh migran, dan memburuknya kesenjangan ekonomi.

Korupsi Politik Menggila

Tahun 2013 merupakan tahun penentuan bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk menentukan nilainya dalam sejarah Republik. Namun, pada tahun ini pula kegawatan korupsi politik akan semakin menggila seiring dengan persiapan kontestasi Pemilu 2014. Tahun 2013 juga kelihatannya akan diwarnai ‘kegaduhan politik’ karena terbongkarnya keterlibatan ‘aktoraktor kelas kakap’ dalam skandal megakorupsi yang terus dibiarkan menggantung.

Sementara itu, para aspiran kekuasaan akan berlomba mengundi peruntungan dengan saling curi kesempatan. Tak segan dengan menabrak lampu merah dan membobol keuangan negara, yang menimbulkan tubrukan kepentingan di persimpangan jalan. Maju kena, mundur kena; semua pengemudi kendaraan bisa saling mengunci, berpotensi menimbulkan gridlock dalam tata hubungan kenegaraan, yang menimbulkan kemacetan di semua jalur.

Padahal 2013 juga merupakan titik rawan dalam perkembangan demokrasi Indonesia. Kita menghadapi titik genting perjalanan 15 tahun transisi demokrasi, yang jika gagal mengelolanya bisa berayun kembali menuju anarki atau tirani. Tingkat kepercayaan publik pada demokrasi dan pemerintah berada di titik nadir, yang bisa mengancam keberlangsungan demokrasi.

Seperti diingatkan Robert Maynard Hutchins, “Kematian demokrasi bukanlah karena pembunuhan oleh penyergapan secara tiba-tiba, melainkan merupakan kepunahan secara perlahan yang disebabkan oleh apatis, ketakhirauan, dan kemelaratan.“ Kita juga dihadapkan pada tantangan global yang kian kencang menggedor pintu: tantangan Asian free trade, AFTA, pemenuhan MDGs, dan berbagai tekanan kapitalisme global yang jika gagal dihadapi, bisa menimbulkan kerugian besar bagi bangsa ini.

Menyusuri lorong gelap masa lalu tidaklah dimaksudkan untuk membuat kita kehilangan harapan. Pengalaman menjadi Indonesia menunjukkan spirit perjuangan memiliki kemampuan yang tak terbatas untuk menghadapi berbagai rintangan karena adanya harapan. Kemarahan, ketakutan, dan kesedihan memang tak tertahankan, tetapi sejauh masih ada harapan semangat tetap menyala.

Maka, seperti tertulis dalam Injil Matius (6:34), “Jangan cemaskan esok hari karena hari esok akan mencemaskan dirinya sendiri.“ Dikatakan pula oleh Nabi Muhammad, “Sekiranya engkau tahu kiamat terjadi esok hari, sedangkan di genggaman tanganmu ada benih, tanamkanlah.“

Seorang muda bertanya kepada syekh tua yang sedang menanam pohon. “Untuk apa menanam sesuatu yang tuan tak akan menikmati buahnya?“ Syekh itu pun menukas, “Apakah yang kamu makan ialah hasil yang kau tanam sendiri?“ Kecemasan akan hari esok hanya bisa diatasi dengan menanam kebajikan hari ini. Jika pandangan kita ke depan digayuti kabut kerisauan dan pesimisme, sebab utamanya karena kita berhenti menanam harapan untuk masa depan.

Waktu bukanlah keabadian, sekadar labirin tanda tanya yang di setiap ujung jeda dan pintunya selalu sisakan misteri. Akan tetapi, setiap jejak tidaklah sia-sia. Seperti samudra bermula dari tetes air. Setiap darma memberi harapan masa depan. Lukisan masa depan adalah pilihan kita menggoreskan warna pada kanvas masa kini.

Kesadaran yang Tertipu


Kesadaran yang Tertipu
Radhar Panca Dahana ;   Budayawan
MEDIA INDONESIA, 31 Desember 2012



MENEKUNI perjalanan ke lebih dari 20 kota utama dan puluhan kota-kota madya dan kecil lainnya di seantero Indonesia pada kuartal akhir 2012 lalu, saya seperti mendapatkan kenyataan hidup yang bergerak. Subuh, orang-orang di desa, pinggir kota, juga di pusat kota, sudah seperti rayap yang menggerogoti hari dengan semangat, ambisi, dan kreasi-kreasi. Pamong dan pangreh praja berjaga-jaga melayani publik dengan fasilitas yang kini tidak kalah dengan bank internasional. Para pejabat daerah, juga pusat tentu, menyusun agenda, merinci item yang memberi mereka peluang mengakses dan diakses publik, media massa kalau bisa. Indonesia bekerja.

Indonesia bekerja? Ya, tentu saja. Negeri ini sedang bekerja, insya Allah.
Bukankah itu yang kita dapatkan dari informasi-informasi resmi, bahkan juga dari luar negeri? Pencapaian pertumbuhan 6,3% untuk GDP kita bukanlah hal yang main-main, bahkan untuk tingkat dunia. Hanya hitungan jari satu tangan negara di dunia yang dapat menandingi angka itu. Perdagangan dan industri menggeliat. Infrastruktur fisik tumbuh dengan percepatan tertentu.

Diplomasi keras ditingkatkan di mancanegara. Kerusakan dan kelemahan, juga kebodohan, disusun ulang atau diperbaiki. Presiden seperti memegang pecut warok Pacitan untuk mengingatkan dan mengendalikan kerja kolega dan anak buahnya.
Indonesia bekerja? Ya, tentu saja. Di balik semua fenomena yang manifes di atas, di atas bangunan konstruktif yang positif, juga bekerja--ternyata-satu barisan masyarakat lain dalam fenomena yang lebih laten, tepatnya tersembunyi (hidden). 

Gairah kerja bangsa yang membuat penghasilan tetap tahunan bangsa ini mendekati genre triliun dolar AS (sebagaimana G-10) ternyata dimanfaatkan secara masif juga, tapi secara negatif, destruktif, bahkan kriminal. Oleh para pencoleng, koruptor, pedagang manusia, pengedar narkoba, pelaku illegal logging, penyelundupan ke dalam dan keluar, dan sebagainya. Semua apa yang bisa kita sebut atau kategori sebagai hidden economy, sebuah aktivitas ekonomi masif dengan kapasitas yang diperkirakan tidak kalah nilainya dengan yang manifes. Namun, lolos dari amatan, dari angka Dirjen Pajak, Kemenkeu, atau BI.

Dengan hitungan kasar saja, atau dengan kenaifan logika ekonomi warung kopi, bila ekonomi laten atau tersembunyi tersebut turut memproduksi pangsa 30% saja dari yang manifes, berapa angka pertumbuhan yang kita dapat? Bisa Anda hitung sendiri. Hampir dua digit! Artinya, realitas ekonomi--juga politis, sosial, yuridis, spiritual, hingga kultural--tidaklah dapat kita tarik (alang kah naifnya) bila hanya berdasar pada yang manifes, yang tampak, atau ditampakkan (di bagian lain ‘ditampangkan’). Ada kulit-kulit kenyataan lain yang melapisi realitas-tampak itu dan perlu kita cermati dengan baik, agar kita bisa melihat dan membaca kenyataan sesungguhnya diri sendiri, mereka, dan kita.

IMPLIKASI atau konsekuensi dari pembacaan kulit kenyataan itu tidaklah kecil. Sebuah negara atau pemerintah sebenarnya tidak bisa menciptakan klaim tentang kesuksesan ketika ia gagal total mengurusi atau membenahi apa yang hidden dalam peri kehidupan kita, dalam peradaban dan kebudayaan kita.
Di situlah sumber semua yang kita sebut kotor, gelap, negatif, hitam, haram, degil, deviatif, dan seterusnya. Semua hal yang menjadi racun dan virus mematikan dunia terang dan positif, yang menjadi bagian dari limbah kebudayaan dan peradaban kita.

Maka, saat kita sedikit jeli melihat kulit-kulit realitas 2012, kita akan mendapatkan banyak cerita tentang lemahnya, kurangnya, bahkan gagalnya pemerintah sebagai penyelenggara negara menghadapi limbah yang mengisap keringat, bahkan darah, rakyat negeri itu. Bukan saja kriminalitas yang merajalela, pengisapan sumber daya alam terus menggila, perdagangan wanita tambah marak, kumulasi finansial narkoba kian meningkat, penyelundupan menggerus ekonomi rakyat, dan sebagainya. Kulit itu masih ditambah lagi dengan kenyataan aparatus negara yang ternyata tidak menjalankan tugas dan obligasi secara optimal, bahkan yang turut menggeser loyalitas aparatusnya justru birokrasi limbah di atas. Menjadi vampir bagi bangsanya sendiri.

Dua kenyataan kerja yang saling menegasi itu sesungguhnya menciptakan semacam kerancuan bahkan keraguan publik pada kualitas dan kapasitas pemerintah dalam pengelolaan negara yang dipercayakan kepadanya. Perilaku pejabat, sebagai aparatus, yang deviatif secara moral, spiritual, dan kultural, juga tentu secara politis, ekonomis, dan yuridis, mendorong masyarakat untuk menurunkan tingkat kepercayaan mereka kepada pemerintah. Pemerintah yang mengalami krisis atau kemerosotan kepercayaan publik bukan hanya menjadi tidak efektif, bahkan justru bisa menjadi stimulan bagi terjadinya tindak-tindak kasar dan deviatif, konfl ik horizontal, dan sebagainya.

Ketidakefektifan itu diperparah lagi oleh kenyataan kerja pembangunan yang sangat minim di tingkat hasil (output) dan kualitasnya. Sampai pertengahan 2012 tercatat oleh publik, bahkan ada beberapa kementerian (seperti Kemenpora) yang masih 0% dalam menyerap anggaran yang disediakan untuk (dan atas permintaan) mereka sendiri. Hingga akhirnya November 2012, Menkeu menyatakan hanya sekitar 70% dana APBN, yang sekitar Rp1.700 triliun, mampu terserap, walau kemudian dikatakan di akhir tahun ia bisa mencapai sekitar 98%.

Cobalah kuliti data dan kata-kata realitas informatif pemerintah itu. Bila hampir 30% dana APBN dihamburhamburkan hanya dalam sebulan terakhir, apa yang bisa kita sebut sebagai `pembangunan' kecuali pesta-pesta kecil, foto-foto, dan tumpukan faktur yang direkayasa? Apa yang dimaknai dari growth dan development di sini? 

Apa yang didapat dari 70% anggaran terserap jika 30%-nya sudah dikorupsi lebih dulu oleh pihak birokrasi dan penyelenggara kegiatan? Dikurangi keuntungan penyelenggara 20% dan korupsi di pengadaan/pembelian 10%, apa tidak tertinggal sedikit persen yang akhirnya mewujud sebagai pembangunan?

Berahi Kekuasaan

Di situkah nilai dan makna 6,3%? Ah, betapa kulit-kulit informasi, bahkan yang media massa sodorkan, bisa membuat kita tertipu. Angka 6,3% boleh jadi bukan sebuah dusta. Namun, kenyataan hidup ekonomi, politik, dan sosial kita sesungguhnya jauh lebih dari itu. Jika Anda perhitungkan semua yang terurai tadi, mulai hidden economy, inefektivitas pemerintah, hingga korupsi masif yang terjadi, angka itu seharusnya sudah melampaui dua digit. Lebih dari dua digit.

Jadi, sesungguhnya, jujur dan terbuka, saya harus menyatakan digit-digit yang hilang itu ialah sebuah indikator yang jelas dan kuat bahwa kita, bangsa Indonesia, sedang dirampok. Oleh kekuatankekuatan ekonomi, politik, dan kebudayaan asing dan lokal yang menjadi kompradornya. Buat saya, ini sebuah perang, tanpa tanda kutip. 
Perang modern, perang global, bukan jenis asimetri sebagaimana dikenal dalam militer. Ini perang yang menyangkut keseluruhan (level dan dimensi) hajat hidup rakyat dan bangsa kita.

Ekonomi di ujung keuntungan besarnya, politik menjadi retorikanya, dan kebudayaan menjadi arsenal utamanya. Hollywood, Bollywood, hingga Gangnam Style bukanlah sekadar perkara kebebasan anak remaja untuk bergaya. Itu juga sebuah infiltrasi moral dan mental untuk menyiapkan sebuah generasi akrab, tidak menolak, dan ikhlas mengonsumsi Apple, Samsung, atau bajaj, bahkan menempatkan semuanya sebagai sumber identitas kita.

Itu ialah perang peradaban hari ini, yang sesungguhnya, bukan bagi keuntungan peradaban dan kebudayaan itu sendiri, melainkan untuk profit segelintir penguasa kapital yang tidak bernegara.

Tahun 2013 haruslah menjadi tahun yang memastikan apakah kita mau terlibat dalam perang itu. Atau kita sudah lebih dulu menyerah, dan kalah sebagaimana biasanya. Untuk itu, mereka yang menganggap dan punya berahi besar memimpin negeri ini, takarlah dirimu untuk tantangan sebesar itu, apakah kamu sesungguhnya cukup mampu? Atau sekadar remang lampu yang untuk menyala pun tidak mau. 

Edukasi Hak Asasi Manusia


Edukasi Hak Asasi Manusia
Agus Wibowo ;   Pemerhati Pendidikan
MEDIA INDONESIA, 31 Desember 2012



INDONESIA dikenal se bagai bangsa yang kaya akan keberagaman suku, bangsa, budaya, bahasa, dan agama. Kekayaan multikultural itu mestinya menjadi aset bagi pembangunan bangsa. Sayangnya, kemajemukan justru lebih sering diwarnai hiruk pikuk konflik dan dilumuri tetesan darah anak bangsa. Benar, sepanjang sejarah bangsa ini, konflik multikultural yang berlatar rasial, etnik, ekonomi, agama, sosial, dan politik sarat terjadi di Indonesia. Terutama dalam sepuluh tahun terakhir.

Konflik multikultural itu bukan saja telah mencederai kemerdekaan, nilai-nilai keadilan, persamaan martabat, hak hidup bebas, hak menyembah beda Tuhan, dan sebagainya. Iklim saling curiga, syak wasangka, ketidakpercayaan, kemarahan dan kekecewaan, lebih sering membalut di samping derita politik yang tidak ada habisnya.
Pada kondisi demikian, mendesak dihidupkan lagi pendidikan hak asasi manusia (HAM). Melalui pendidikan HAM, keberagaman dan kekayaan multikultural bangsa ini bisa terawat. Pertanyaannya kemudian, apa yang dimaksud dengan pendidikan HAM? Bagaimana strategi implementasinya di sekolah?

Hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki dan diperoleh semenjak manusia terlahir ke dunia (given). Hak tersebut bersifat asasi, umum (universal), dan dimiliki setiap manusia tanpa mengindahkan perbedaan kelamin, status sosial, agama, harta benda, dan sebagainya. Berdasarkan konsep HAM itu, setiap manusia berhak untuk mengembangkan cita-cita, bakat (potensi), dan kemampuan yang dimiliknya.

Kesepakatan universal tentang nilai-nilai HAM awal mula tertuang dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada 10 Desember 1948. Momentum itulah yang setiap tahun diperingati sebagai Hari HAM Sedunia. PBB melalui Dewan Hak Asasi Manusia (Dewan HAM) menginstruk sikan kepada negara-negara anggotanya untuk menegakkan HAM warganya tanpa pandang bulu.

Upaya penegakan HAM selanjutnya mendapat dukungan penuh dari negara-negara penganut demokrasi yang kebetulan telah memiliki pemerintahan maju dan kondusif. Seperti Inggris dengan perjuangan Bill of Rights-nya, berhasil diterima parlemen pada 1968. Prancis juga melakukan upaya yang sama dengan Declaration des Droits de I’homme et du Citoyen (Pernyataan Hak Asasi dan Warga Negara) pada 1789.

HAM Pendidikan

Di Indonesia, upaya penegakan HAM tertuang dalam Pasal 12 Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam UU itu disebutkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan se jahtera sesuai dengan hak asasi manusia.

Berdasarkan kedua UU itu, tugas negara ialah melindungi, memberikan kesempatan, dan memfasilitasi hak asasi pendidikan atas warganya. Pendek kata, setiap orang berhak mendapat pendidikan. Pendidikan harus gratis, setidaknya untuk tingkat sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. 

Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya, serta memperkukuh rasa penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi.
HAM pendidikan mestinya tidak saja dilihat dari sisi kualitas, tetapi juga akses terbuka dengan mudah dan murah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Selama ini, hanya golongan berada yang mampu mengenyam pendidikan, sementara masyarakat miskin hanya mampu melihat dari luar. Pendidikan, meminjam istilah Denny Ardiansyah (2009), telah menjelma menjadi barang `amat mewah (lux)' yang hanya bisa dinikmati kaum berduit. Seakan di setiap pintu sekolah atau kampus kita tertempel kalimat dis krimi natif dan menya kitkan; `hanya untuk orang kaya!'.

Rendahnya ketersediaan akses itu memicu terampasnya HAM pendidikan masyarakat miskin. Padahal, pendidikan merupakan aset penting sebuah bangsa. Pendidikan menjadi semacam kunci sebuah bangsa menggapai kemajuan.

Dihidupkan Lagi?

Di sisi lain, kesadaran generasi muda, khususnya peserta didik, akan HAM perlu lebih ditingkatkan lagi. Benar selama ini pengetahuan tentang HAM sudah tersosialisasi lewat pelajaran PKn atau tayangan di media massa. Namun, hal itu belum cukup memberikan pencerahan bagi siswa akan urgennya HAM. Pengetahuan akan HAM yang baik, hanya bisa didapat optimal melalui pendidikan di sekolah. Pengetahuan akan HAM yang memadai, akan menimbulkan kesadaran peserta didik terhadap hak-hak mereka, orang lain, masyarakat dan bangsa.

Sebenarnya, pada 2006 Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) telah menerbitkan buku pendidikan berbasis HAM. Adanya pendidikan berbasis HAM menjadi penting, bagi negara kita yang memiliki pengalaman panjang dengan pelanggaran HAM, diskriminasi ras dan etnik, dan minim toleransi terhadap perbedaan. Namun sayangnya, pendidikan HAM belum menjadi sesuatu yang penting bagi pemerintah kita.

Akibatnya, pendidikan HAM seperti kehilangan gaungnya lagi--lantaran tertutupi dengan kebijakan-kebijakan baru di bidang pendidikan. Pendidikan HAM (human rights education), menurut MOE Taiwan (2003), adalah mendidik setiap individu untuk dapat memperjuangkan hak-haknya sekaligus untuk dapat menghargai hakhak orang lain. Sang individu diharapkan dapat membangun sebuah budaya HAM dan peduli dengan pembangunan sosial, budaya, politik masyarakatnya, serta mengarahkan pembangunan tersebut ke arah keadilan.

Pendapat lain menyebutkan pendidikan HAM merupakan sebuah pembelajaran human rights learning, yaitu suatu proses untuk memodifika si pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan yang telah eksis melalui penga laman, praktik, dan latihan-latihan. Pendidikan adalah proses belajar yang berlokasi di sekolah ataupun lingkungan seperti sekolah, atau dalam arti luas adalah proses transmisi nilainilai dan pengetahuan yang telah terakumulasi dalam suatu masyarakat (Pimple, 2005).

Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran HAM, mengacu pada pedagogi kritis dan transformatif. Pedagogi kritis, tulis Tilaar (2005), adalah pendekatan pendidikan yang melihat masyarakat, pendidikan atau persekolahan sebagai sebuah arena-arena di mana terjadi kontestasi kekuasaan dan kontrol. Kendati tidak bersifat netral dalam kontestasi tersebut, pedagogi kritis mempunyai komitmen untuk memberdayakan yang tertindas atau kelompok-kelompok yang disubordinasikan. 

Dalam kaitan ini, pedagogi kritis adalah pedagogi transf formatif yang bertujuan mengu ubah proses pendidikan sebagai proses yang mengubah status quo, dan memberikan kesadaran akan kebebasan manusia dari berbagai jenis penindasan.
Dengan mengacu ke pedagogi kritis sebagaimana diuraikan, sasaran dari pendidikan ataupun pembelajaran HAM ialah pada transformasi sosial, baik pada level individu maupun kelompok. Transformasi di sini mencakup perubahan dalam aspek pengetahuan, keterampilan, sikap, perspektif, dan kesadaran diri (Heru Susetyo, 2009). Nilai dan prinsip dasar yang mendasari pendidikan HAM di antaranya persamaan, keadilan, kemerdekaan, martabat manusia, universalitas, inalienability (tak dapat dikecualikan), indivisibility (tak dapat dipisahkan), dan nondiskriminasi.

Implementasi pendidikan HAM di sekolah, sebagaimana pendidikan karakter dan pendidikan antikorupsi, dapat dilakukan melalui beberapa cara. Di antaranya (1) terintegrasi dalam pembelajaran dan (2) terintegrasi dalam pengembangan diri melalui kegiatan ekstrakurikuler. Pendidikan HAM yang terintegrasi dalam proses pembelajaran, artinya pengenalan nilai-nilai, kesadaran akan pentingnya nilainilai, dan penginternalisasian nilai-nilai HAM ke dalam tingkah laku peserta didik melalui proses pembelajaran; baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran.

Dengan demikian, kegiatan pembelajaran selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilainilai HAM dan menjadikannya perilaku.

Sementara pendidikan HAM yang terintegrasi dalam kegiatan pengembangan diri, artinya berbagai hal terkait dengan HAM diimplementasikan dalam kegiatan pengembangan diri melalui kegiatan ekstra kurikuler, seperti keagamaan, seni budaya, KIR, kepramukaan, dan sebagainya.

Dalam struktur kurikulum di sekolah kita, ada dua mata pelajaran yang terkait 
langsung dengan pendidikan HAM, yaitu pendidikan agama dan PKn. Kedua mata pelajaran tersebut merupakan mata pelajaran yang secara langsung (eksplisit) mengenalkan nilai-nilai, dan sampai taraf tertentu menjadikan peserta didik peduli dan menginternalisasi nilai-nilai HAM.

Selain itu, integrasi pendidikan HAM pada mata-mata pelajaran selain pendidikan agama dan PKn yang dimaksud, lebih pada memfasilitasi internalisasi nilai-nilai di dalam tingkah laku sehari-hari melalui proses pembelajaran dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian. Pengenalan nilai-nilai sebagai pengetahuan melalui bahanbahan ajar tetap diperkenankan, tetapi bukan merupakan penekanan. Yang ditekankan atau diutamakan ialah penginternalisasian nilai-nilai melalui kegiatan-kegiatan di dalam proses pembelajaran.

Para guru sebagai aktor utama pembelajaran, harus lebih mendalami hal-hal terkait HAM. Tujuannya agar mereka lebih paham mengenai HAM, serta bisa merancang model pembelajaran HAM yang menarik dan tidak menjemukan. Sudah saatnya pendidikan HAM dihidupkan lagi di sekolah-sekolah kita. Kita berharap generasi muda mendatang tidak gagap akan HAM sehingga apa yang menjadi hak mereka tidak terampas begitu saja oleh penguasa tanpa bisa berbuat apa-apa. Semoga. 

Catatan Pendidikan 2012


Catatan Pendidikan 2012
Ahmad Baedowi ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 31 Desember 2012



DUNIA pendidikan kita masih tampak buram sepanjang 2012. Baik capaian di bidang akademis maupun nonakademis. Yang paling menonjol ialah data terbaru dari TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Studies) dan PIRLS (Progress in International Reading Literacy Studies). Kemampuan para siswa kita di bidang matematika dan sains terus turun, bahkan di lingkungan Asia Tenggara.

Rata-rata matematika siswa kelas VIII di Indonesia hanya 386 dan menempati urutan ke38 dari 42 negara. Hasil sains tak kalah mengecewakan. Indonesia di urutan ke-40 dari 42 negara dengan nilai rata-rata 406. Di bawah Indonesia ada Maroko dan Ghana. Yang mencengangkan, nilai matematika dan sains siswa kelas VIII Indonesia bahkan berada di bawah Palestina yang negaranya didera konflik berkepanjangan.

Di bidang literasi, posisi Indonesia juga masih memprihatinkan meskipun sedikit mengalami kenaikan. Siswa kelas IV Indonesia berada di urutan ke42 dari 45 negara dengan nilai rata-rata 428. Di bawahnya ada Qatar, Oman, dan Maroko. Rendahnya kemampuan siswa-siswa Indonesia di matematika, sains, dan membaca juga tecermin dalam Program for International Student Assessment (PISA) yang mengukur kecakapan anak-anak berusia 15 tahun dalam mengimplementasikan pengetahuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia nyata.

Masih terkait dengan capaian di bidang akademis, kecurangan dalam ujian nasional (UN) juga masih menandai lemahnya sistem evaluasi pendidikan kita. Jika dikaitkan dengan capaian di bidang nonakademis seperti berfungsi dan tidaknya pendidikan karakter, situasinya mungkin bisa dibilang lebih parah. Hal itu bisa dilihat dari maraknya kasus kekerasan di sekolah, baik yang bersifat individual maupun kelembagaan.

Di Jabodetabek saja sepanjang 2012 tawuran pelajar telah menewaskan 17 pelajar. Jumlah itu sangat besar karena mereka ialah para siswa yang notabene ialah pelajar yang tidak seharusnya melakukan tawuran.

Belum lagi kasus-kasus terungkapnya lembar kerja siswa (LKS) yang memasukkan gambar bintang porno Jepang, Miyabi, serta cerita tentang poligami yang juga masuk praktik belajar-mengajar di sekolah. Buku ajar berbahan dasar bahasa daerah bahkan juga tak luput dari minimnya sensitivitas para pendidik kita dalam memilih bahan ajar.

Buku ajar Bahasa Jawa SD terbitan CV Sindunata, misalnya, memuat cerita berjudul Resepe Simbah yang memuat percakapan seorang pemuda bernama Glendhoh dengan seorang kakek bernama Klithuk.

Pemuda itu bertanya tentang cara agar awet muda. Sang kakek lalu menjawab, caranya dengan nyimeng (mengonsumsi ganja), ngombe rong gendul (minum minuman keras dua botol), dan merokok sebanyak dua bungkus dalam sehari (Tempo.co, 12 November 2012).

Masih banyak lagi potret buram pendidikan, yang kesemuanya harus diselesaikan dalam satu tarikan napas yang bernama sistem pendidikan.
Jika sistem harus diterjemahkan ke dalam bentuk petunjuk operasional, konsep pengembangan kurikulum ialah salah satu solusinya. Karena itu, rencana pemerintah mengganti orientasi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dengan kembali lagi kepada pola lama, yaitu kurikulum berbasis kompetensi (KBK), dengan titik tekan pada pembentukan sikap, keterampilan, dan pengetahuan perlu didukung semua pihak secara kritis. Salah satu caranya ialah dengan memberikan rekomendasi perbaikan manajemen dan leadership kepala sekolah.

Salah satu temuan menarik dari Research Findings to Support Effective Educational Policies: A Guide for Policymakers (2011) ialah perlunya melakukan investasi dengan mengangkat para kepala sekolah yang memiliki visi yang baik dalam membangun budaya sekolah yang sehat. Tata cara dan prosedur pengangkatan kepala sekolah yang diduga penuh dengan praktik koruptif dan nepotisme harus segera dihentikan, terutama dalam rangka mempersiapkan proses implementasi kurikulum baru.
Tanpa ada perubahan berarti pada sisi leadership kepala sekolah dan manajemen sekolah, akan sulit mencapai target kompetensi sikap.

Seperti diketahui, perdebatan tentang perbedaan mendasar antara kepemimpinan (leadership), manajemen (management), dan administrasi (administration) ialah hal biasa dan lumrah dalam ilmu pendidikan modern. Dimmock (1999: 442) secara tegas dan menarik berusaha membedakan ketiga kata kunci di atas dalam konteks kepemimpinan sekolah. Dalam analisisnya, tensi di antara ketiga kata kunci itu terlihat pada aspek yang ditanganinya. Jika titik tekan leadership ialah pada pengalaman dalam mengambil keputusan secara seimbang antara aspek pengembangan kapasitas serta student and school performance, manajemen lebih berorientasi pada aspek operasional dan pemeliharaan (fi sik dan nonfi sik) kondisi sekolah.

Administrasi ialah fungsi yang melekat baik pada aspek leadership maupun management karena orientasinya lebih banyak pada hal-hal teknis yang rutin dan sangat dibutuhkan keduanya. Dari sudut pandang pedagogis, jelas sekali perebutan kewenangan antara leadership dan management kerap terjadi dan berlangsung secara terus-menerus. Keuntungan leadership ialah dapat mengambil bentuk lain dan keluar dari faktor management yang kerap dilingkupi sebuah proses dan prosedur yang kaku sehingga leadership bisa secara bebas dinilai berdasarkan pe ngaruh sosial yang dimilikinya.

Dalam konteks implementasi kurikulum baru, definisi leadership dalam konteks pendidikan dikatakan berhasil jika pengaruh (influence) seorang kepala sekolah secara sosial dan individual tetap hidup dalam pikiran dan perilaku banyak orang, terutama guru dan siswa (Yukl, 2002:3). Dalam skala yang lebih kecil, seorang kepala sekolah dapat dikatakan memiliki pengaruh yang kuat bagi para guru lainnya jika mereka mampu menebarkan ide dan gagasan yang terus hidup di hati dan pikiran rekan sekerjanya. Selamat tahun baru 2013, semoga dunia pendidikan Indonesia menjadi lebih baik. 

Tahun 2013 yang Juga Tahun Permen


Tahun 2013 yang Juga Tahun Permen
Dahlan Iskan ;   Menteri BUMN
JAWA POS, 31 Desember 2012



TAHUN 2013 bagi BUMN tetap saja tahun plus-minus. Harga sawit, karet, dan hasil tambang belum akan membaik. Perusahaan-perusahaan BUMN di sektor-sektor komoditas primer itu masih akan berat. 

Padahal, sektor tersebut sangat besar di BUMN. Tapi, begitulah komoditas: punya siklus naik-turunnya sendiri. Tapi, dibilang terlalu berat juga tidak. Hanya, tidak lagi bisa diandalkan untuk memupuk pundi-pundi dividen.

Yang masih akan terus hebat adalah sektor perbankan, industri semen, dan telekomunikasi. Program Bank Mandiri untuk menyatu dengan Taspen dan Pos Indonesia akan menandai perkembangan bank itu di tahun 2013. Bahkan kalau ada langkah lebih radikal dari itu pun akan didukung. Demikian juga Bank Rakyat Indonesia. Beberapa aksi korporasi besarnya akan dilakukan pada 2013. Dua bank tersebut memiliki dukungan teknologi yang sangat kuat.

Sektor telekomunikasi juga terus didorong untuk melakukan ekspansi, termasuk ke luar negeri. PT Telkom Indonesia dengan anak bongsornya, PT Telkomsel, kini memiliki kemampuan yang luar biasa untuk bisa diandalkan. Demikian juga industri semen. PT Semen Indonesia sudah resmi berdiri minggu lalu. Dengan demikian, PT Semen Gresik, PT Semen Padang, PT Semen Tonasa, dan PT Thang Long Vietnam kini menjadi anak perusahaan PT Semen Indonesia.

Di sektor layanan publik, tahun 2013 juga memiliki arti khusus. PT Pupuk Indonesia yang merupakan induk PT Pupuk Kaltim, PT Pupuk Sriwidjaja, PT Pupuk Kujang, dan PT Petrokimia Gresik melakukan perubahan besar di bidang sistem pendistribusian pupuk. PT Pupuk Indonesia melakukan rayonisasi tanggung jawab penyaluran pupuk.

Tiap-tiap anak perusahaan mempunyai wilayah tanggung jawab sendiri-sendiri. Tidak seperti dulu, pupuk dari satu pabrik bisa ke daerah mana pun. Akhirnya terjadi saling serang, saling tumpang tindih, dan salah-menyalahkan. Dulu, bisa saja di suatu daerah pupuk berasal dari berbagai pabrik. Padahal, semua pabrik itu BUMN. Namun, dengan kendali holding sekarang ini, pembagian wilayah bisa dilakukan.

Di libur Natal pekan lalu saya melakukan pengecekan ke kios-kios pupuk di daerah Sleman. Saya sengaja berkunjung diam-diam, tidak memberi tahu lebih dulu dan tidak didampingi staf. Saya ingin mengecek langsung apakah rayonisasi tanggung jawab penyaluran pupuk tersebut bisa berjalan baik. Mumpung hari-hari ini adalah hari-hari petani sangat memerlukan pupuk.

Hasil rayonisasi itu sangat baik. Tidak ada lagi penimbunan pupuk di satu daerah dan kekurangan pupuk di daerah lain. "Sekarang tidak ada lagi pupuk selundupan," ujar pemilik kios pupuk di desa Krapyak, Sleman. Dia sendiri tidak berani menyelundupkan pupuknya ke desa lain. "Takut izin saya dicabut oleh Pupuk Indonesia," katanya. 

Saya sangat menghargai ide rayonisasi tanggung jawab penyaluran pupuk tersebut. Dengan rayonisasi itu, bisa diketahui dengan jelas siapa yang bersalah. Misalnya bila terjadi kelangkaan pupuk di suatu daerah. Para tengkulak yang selama ini mendapat keuntungan dari penimbunan pupuk memang akan kehilangan objekan.

PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) pada 2013 juga masih akan jadi sorotan. Bahkan, sorotan itu mungkin akan lebih keras. Sebab, di tahun 2013 PT KAI mulai melakukan pembenahan KRL di Jabodetabek. Di KRL itu, setiap perubahan akan menimbulkan kebisingan yang luar biasa.

Saya sangat terkesan dengan strategi pembenahan PT KAI itu. Dua tahun terakhir ini fokus pembenahan KAI diperuntukkan kereta api rute jauh. Bukan KRL. Memang KRL dibenahi juga, tapi tidak sehabis-habisan pembenahan kereta api jarak jauh. Mengapa? Begitulah memang strateginya. Bagi yang ingin belajar mengenai strategi manajemen baik juga diceritakan di sini.

Bagi manajemen yang biasa-biasa saja tentu akan langsung membenahi KRL dulu. Dengan membenahi KRL, direksinya akan cepat mendapat pujian dan terhindar dari segala caci maki. Tapi, direksi PT KAI tidak tergoda dan tidak tergiur oleh pikiran jangka pendek seperti itu. Direksi PT KAI memilih membenahi dulu rute jarak jauh. Memang caci maki terus bertubi-tubi dari pengguna jasa KRL, tapi direksi PT KAI teguh pendirian untuk tetap pada strateginya.

Alasannya sangat baik: Rute jarak jauh adalah sektor yang bisa dipakai untuk memupuk modal. Hasil rute itu bisa memperkuat keuangan perusahaan. Itu terbukti. Meski jumlah penumpang turun (karena tidak boleh lagi ada yang berdiri), penghasilan perusahaan naik. Dengan demikian, pelayanan juga bisa lebih baik: Semua penumpang mendapat tempat duduk.

Dengan modal itu, PT KAI kini lebih memiliki kekuatan untuk melakukan pembenahan KRL. Kereta api jarak jauh sudah tidak terlalu membebani pikiran direksinya. Tahun 2013 konsentrasi direksi bisa lebih fokus ke KRL. 

Kalau yang dibenahi dulu adalah KRL, direksi akan memikul dua beban sekaligus. Pembenahan KRL tidak bisa memperkuat keuangan perusahaan. Akhirnya KRL sendiri tetap sulit dan rute jarak jauh juga tidak tertangani. Ini karena KRL, ditangani sebaik apa pun, tidak akan bisa menghasilkan modal yang besar bagi pembenahan seluruh rute kereta api Indonesia.

Maka, tahun 2013 adalah tahun bagi KRL: Stasiun-stasiun dibenahi, emplasemen ditambah, sinyal diperbaiki, kereta ditambah.

BUMN pangan juga harus bekerja keras di tahun 2013. PT Sang Hyang Seri (SHS) baru memulai proyek pencetakan sawah baru besar-besaran di Ketapang, Kalbar. PT Pertani akan berubah total dengan mulai berkonsentrasi pada pascapanen. Gudang-gudang Pertani akan dilengkapi dengan mesin pengering gabah secara besar-besaran. Dengan demikian, kehadiran PT Pertani benar-benar dirasakan oleh petani dan memiliki arti yang strategis. 

PT Berdikari pada 2013 juga memulai kerja sesungguhnya untuk mengatasi kekurangan sapi di dalam negeri, baik sapi potong maupun sapi anakan. Dan PTPN XII akan habis-habisan memulai sejarah baru bagi Indonesia: menanam sorgum dalam jumlah yang belum pernah terjadi dalam sejarah kita.

Sorgum itu akan ditangani dengan pendekatan sains modern bersama PT Batantek. Mulai bibitnya sampai soal pascapanennya. Kini sedang dirancang penanaman sorgum di Atambua, NTT, yang mengandalkan sains itu. Termasuk akan diproduksi "permen sorgum" untuk makanan ternak. "Permen" tersebut akan sangat mudah dikirim ke mana-mana untuk mempercepat penggemukan sapi.

Begitulah. Tahun 2013 adalah tahun kerja yang akan sangat menantang! Karena itu, seorang direksi BUMN mengusulkan agar angka 13 tidak perlu dipakai. Kita sebut saja tahun depan adalah tahun 2012-B!
 

“State Never Sleeps” dan Birokrat Kita


“State Never Sleeps” dan Birokrat Kita
Supono Soegirman ;   Dosen Sekolah Tinggi Intelijen Negara,
Penulis dua buku tentang Intelijen
JAWA POS, 31 Desember 2012



PADA 26 Desember 2012 berlangsung sidang kabinet yang membahas implementasi APBN 2012. Kemudian sidang pleno kabinet 27 Desember mendengarkan paparan serta rekomendasi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan evaluasi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Presiden SBY di antaranya menekankan perlunya memahami filosofi bernegara bahwastate never sleeps atau negara tak perah tidur.

Penegasan Presiden SBY kepada para menterinya selama ini sering dikritisi para pengamat sebagai sekadar upaya pencitraan. Sebab, negara sering dianggap absen ketika diperlukan masyarakat. Karena itu, layak ditunggu apakah statement Presiden SBY kali ini juga akan memunculkan penilaian sebagai sekadar upaya pencitraan atau akan segera ditindaklanjuti oleh jajaran kementerian dan badan-badan pemerintah. 

Persoalannya, pada masa libur panjang sebagian besar aparat birokrasi memanfaatkan cuti. Akibatnya, setiap tahun roda pemerintahan mulai menggeliat lamban baru pada akhir Januari dan menggelinding pelan mulai Februari. Dampaknya, serapan dana APBN tersendat dan menumpuk pada Oktober dan November. Cuti panjang pada musim libur tidak salah karena merupakan hak. Ia juga bukan penyebab tunggal tersendatnya kinerja birokrasi. Banyak andil faktor lain, terpisah maupun akumulatif atas situasi yang tidak kondusif.

Pertanyaannya, seberapa berat beban aparat birokrasi bila bertugas pada musim libur panjang. Jawabannya, bergantung bagaimana pimpinan di setiap eselon birokrasi mengatur kebijakan cuti dan bagaimana persepsi tiap-tiap individu aparat birokrasi dalam menyikapi tanggung jawab yang seyogianya tetap terpanggul meski pada musim liburan.

Kreativitas 

Kisah P. Monat, atase militer Polandia yang bertugas di AS pada 1950-an, dapat diangkat untuk sekadar perbandingan (dikisahkan Monat dan Dille John: 1962). Pada liburan Natal 1952 sampai awal tahun baru dia ditugasi instansi induknya di Warsawa untuk mencermati pangkalan AU Patrick, instalasi AL di Key West, dan pangkalan AU Eglin di Florida Selatan serta mengontak sleeping agent (agen yang ditanam di lingkungan target) di New Orleans. 

Dia sadar, FBI pasti melakukan surveillance, yakni membuntuti dirinya. Karena tidak ingin kegiatan klandestin (kegiatan rahasia) itu diketahui, dia merasa perlu melakukan aktivitas kontra surveillance dengan sangat hati-hati. Selain agar tidak justru menimbulkan kecurigaan, juga demi keberhasilan tugasnya. Untuk itu, Monat mengajak istri dan seorang anaknya. 

Beberapa kali Monat melakukan trik standar yang terkait dengan kontra surveillance. Demikian pula sebaliknya. Aparat FBI yang bertugas membuntuti gerak-gerik Monat juga terpaksa mengeluarkan beberapa jurus surveillance dengan lebih cermat. Kedua pihak sama-sama bisa melaksanakan tugas demi negara masing-masing meski pada musim liburan panjang. 

Singkat cerita, Monat berhasil melakukan semua tugas yang diperintahkan Warsawa tanpa melanggar UU maupun berbagai ketentuan yang berlaku di wilayah AS. Sebaliknya, aparat FBI juga berhasil memonitor hampir seluruh aktivitas penting Monat tanpa "menyentuh" secara fisik maupun "menyinggung" perasaan Monat yang ketika itu berstatus diplomat -sehingga pada tingkat tertentu memiliki kekebalan diplomatik. 

Persepsi dan Penyikapan 

Sikap dan kiat Monat melaksanakan tugas pada masa libur tanpa mengeluh sungguh menarik. Dia menunjukkan dedikasi dalam pelaksanaan tugas dan loyalitas yang tinggi terhadap pimpinannya di Warsawa. Keluarganya diajak agar dapat berwisata sambil mendukung keberhasilan pelaksanaan tugasnya. Keikutsertaan keluarganya memperkuat kedok kegiatan rahasianya, yakni seakan-akan sekadar menjadi turis. Hasilnya, dia mampu melaksanakan tugas sambil berwisata. Bukan sebaliknya, berwisata yang seakan-akan sedang bertugas. 

Sikap terpuji dan cerdas dalam melaksanakan tugas saat liburan panjang, yang mungkin menjengkelkan bagi kebanyakan orang. Diyakini banyak elite, pejabat, dan aparat birokrasi di Indonesia yang memiliki kemampuan sama bahkan lebih cerdas dan lebih terpuji dibanding Monat. Tetapi, jangan-jangan masih banyak pula yang memiliki kualitas sebaliknya, terutama terkait dengan dedikasi dan loyalitas yang bersumber pada persepsi dan penyikapannya terhadap tugas. 

Kenyataan menyedihkan bila banyak aparat birokrasi mengidap penyakit strategic myopia, yakni sikap yang senantiasa mengeluh karena mempersepsikan tugas sebagai beban. Padahal, bagi yang tidak mengidap penyakit tersebut, tugas yang dibebankan kepadanya justru dimaknai sebagai peluang, terlebih di masa liburan. Pasti banyak profesi selain intelijen yang juga memiliki kisah sepadan atau bahkan lebih menarik. 

Kisah singkat tersebut meskipun ringan diharapkan dapat menjadi perbandingan dan renungan dalam membangun persepsi positif demi penyikapan yang konstruktif terhadap penugasan atau situasi yang mungkin dirasa kurang menyenangkan, yang biasa dihadapi siapa pun dan profesi apa pun. Banyak profesi yang menghendaki kalangan profesionalnya tidak pernah tidur. Sebut saja media massa, transportasi, pariwisata, perdagangan, keamanan, dan lainnya. 

Semakin banyak aparat birokrasi yang tidak pernah tidur dan tidak mengidap penyakit strategic myopia, penugasan pada musim liburan panjang akan disikapi sebagai berkah. 

Sebaliknya, jika aparat birokrasi gagal mengejawantahkan filosofi state never sleeps dan terjangkit penyakit strategic myopia, tidak perlu heran bila pada "tahun politik" 2013 sinisme yang mengkritisi statement Presiden SBY tersebut sebagai sekadar upaya pencitraan akan terdengar semakin nyaring.