Sekularisme Turki
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 20
Mei 2016
Istilah sekuler dan sekularisasi
memiliki banyak dimensi. Dalam politik, artinya terjadinya pemisahan antara
negara dan agama. Agama adalah urusan pribadi, simbol-simbol agama tidak
boleh masuk ke ruang negara. Tetapi dalam praktiknya tidak semudah itu.
Misalnya Amerika atau Eropa yang menganut paham sekularisme politik,
penguasanya tidak bisa netral terhadap sentimen dan sikap keberagamaannya.
Terlebih masyarakat dan pemerintah Turki yang masih kuat tradisi
keislamannya, maka kita sering salah paham terhadap konsep dan praktik
sekularisme Turki.
Ada lagi istilah secularization of consciousness. Yaitu
sebuah sekularisasi kesadaran, di mana rasa dan komitmen kebertuhanan semakin
menghilang, terlepas apakah seseorang hidup di negara sekuler atau bukan.
Sebuah penelitian menyebutkan, masyarakat Amerika lebih religius dibandingkan
masyarakat Eropa, sekalipun secara politik AS lebih konsekuen menerapkan
sistem sekuler.
Selama ini sosok
Mustofa Kemal, tokoh sentral pendiri dan presiden pertama Republik Turki,
diposisikan sebagai anti-Islam setelah menggulingkan Imperium Usmani (Ottoman
Empire), lalu mendirikan republik sekuler Turki. Tentu saja berakhirnya
Imperium Usmani ini tidak semata kehebatan Mustofa Kemal. Sekitar enam abad
Usmani berjaya malang melintang, kekuasaan dan pengaruhnya menjangkau seluruh
dunia Islam, termasuk Aceh, bahkan sampai Eropa. Jadi terlalu hebat
menempatkan Mustofa Kemal sebagai sosok sentral yang mengakhiri eksistensi
Imperium Usmani.
Jika disebut Imperium
Usmani, di dalamnya terkandung tiga ideologi, yaitu satu, paham dinastisme
yang berpusat pada keturunan Usman. Dua, ideologi Turkisme yang berakar pada
semangat dan solidaritas bangsa Turk yang berasal dari Asia Tengah. Tiga,
ideologi Islamisme yang dianut oleh sultan keturunan keluarga Usman.
Benih-benih kerapuhan Kaisar Usmani sesungguhnya sudah muncul jauh sebelum
Perang Dunia Pertama, yang puncaknya ketika Kesultanan Usmani bersama Jerman
dikalahkan oleh Inggris dan sekutunya.
Pada awal abad ke-19
ekonomi dan teknologi Eropa mulai bangkit, dunia Islam masih terlalu yakin
dirinya tak tertandingi karena selalu melihat kehebatan masa lalunya dan
yakin sekali Allah berada di pihaknya. Inggris dan Prancis dengan
kecerdikannya berusaha meracuni tokoh-tokoh kabilah Arab untuk melakukan
pembangkangan terhadap kekuasaan Istanbul, dengan janji mau diberi wilayah
sendiri sebagai sultan.
Makanya ketika meletus
PD I, Jerman telah melakukan salah kalkulasi. Semula dia bayangkan Kesultanan
Usmani sangat perkasa dan mampu mengerahkan dunia Islam untuk ikut melawan
sekutu, tetapi ternyata dugaan dan harapan Jerman meleset. Bersama Jerman,
Kesultanan Usmani kalah. Wilayah Arab yang semula di bawah kekuasaan Istanbul
beralih tangan ke Inggris dan Prancis yang pada urutannya bermunculanlah
kesultanan-kesultanan Arab dalam bayang-bayang Inggris, Prancis, dan Amerika.
Namun, sebagian lalu
mendekat ke poros blok Uni Soviet. Jadi, jika di Indonesia dulu banyak
kesultanan yang ikut berperang melawan penjajah dan setelah merdeka lalu
melebur ke pangkuan republik, maka genealogi kesultanan di Arab ceritanya
sangat berbeda.
Melihat kekuatan
Usmani sudah rapuh tak mampu menguasai dunia Islam dan menghadapi kekuatan
Barat, Mustofa Kemal tampil mengobarkan semangat nasionalisme-Turkisme. Dia
yakin bahwa hanya ideologi nasionalisme Turkisme yang bisa menyelamatkan
bangsa Turki di tengah gencarnya agresivisme-imperialisme Barat. Di saat
Kesultanan Usmani runtuh tak berdaya menghadapi serangan sekutu, Mustofa
Kemal tampil memimpin gerakan nasionalisme Turkisme dan menggusur Islam
politik, lalu menggantinya dengan ideologi sekuler.
Ideologi Kemalisme ini
merupakan antitesis terhadap kekuatan Sultanisme Islamisme yang dianggap tak
mampu menyelamatkan bangsa Turki, lalu dimunculkanlah ideologi
republikanisme. Beberapa pengamat menyebutkan bahwa Mustofa Kemal
sesungguhnya merupakan eksekutor dari pemikiran Ziya Gokalp yang merupakan
pengagum Emile Durkheim.
Gokalp mengatakan
bahwa Islam tetap diperlukan bangsa dan negara Turki sebagai identitas dan
kekuatan pengikat sosial, namun sistem kesultanan dan kekhalifahan mesti
diganti dengan ideologi nasionalisme yang lebih powerful untuk membangun Turki ke depan. Oleh karena itu, pada
awal-awal pendirian Republik Turki terjadi perpecahan di kalangan ulama, ada
yang pro dan antirepublikanisme. Dan ternyata Mustofa Kemal menang.
Sejarah mencatat,
Mustofa Kemal jelas-jelas anti-Kesultanan Usmani.
Tapi ada yang melihat
dari sisi lain, kalau waktu itu tak ada gerakan republikanisme di bawah
Mustofa Kemal mungkin sekali Istanbul hari ini sudah menjadi wilayahnya
Eropa. Kritik yang sering dialamatkan kepada Kemal Attaturk adalah terlalu
drastis melakukan de-Arabisasi yang pada urutannya menggusur tradisi dan
khasanah intelektual Islam, mengingat kala itu Islam dan budaya Arab sulit
dipisahkan. Attaturk artinya bapak bangsaTurki, sebuah nama yang melekat pada
Mustofa Kemal.
Turki hari ini tengah
membangun keseimbangan baru dengan menghubungkan dan menghargai khasanah
Islam semasa kejayaan Usmani dengan spirit kemodernan dalam sistem republik
sekuler. Sebuah negara dengan mayoritas warganya 99% muslim. Mereka menyadari
bahwa dirinya bukan Arab dan bukan pula Barat. Namun anehnya, bagi dunia
Islam, Turki dianggap saudara yang nakal karena terlalu berorientasi ke
Barat, sementara di mata Barat, Turki adalah negara muslim dengan tradisi
Islamnya yang kental dan kekuatan militernya yang disegani.
Hari-hari ini Turki
sedang memainkan posisi strategisnya dengan menampung eksodus korban perang
Suriah sebagai kekuatan tawar agar Turki bisa masuk menjadi anggota MEE
(Masyarakat Ekonomi Eropa). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar