Minggu, 30 Mei 2021

 

Bipang, Jokowi, dan Lebaran

Heddy Shri Ahimsa-Putra ; Dosen Antropologi Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

KOMPAS, 30 Mei 2021

 

 

                                                           

Pada tahun 1954, Clifford Geertz, seorang antropolog Amerika Serikat, melakukan penelitian di Mojokuto (Pare), sebuah kota kecil di Jawa Timur. Geertz sempat menyaksikan perayaan Idul Fitri di kota itu, yang lebih dikenal dengan istilah Riyaya.

 

Dalam bukunya, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Pustaka Jaya, 1981), Geertz menulis bahwa dalam Riyaya tersebut, ”abangan, santri, priayi, nasionalis yang bersemangat maupun nasionalis yang sudah menipis, petani, pedagang, dan kelerek (klerek/pegawai rendahan), orang kota dan orang desa, semua bisa menemukan jenis lambang yang cocok buat mereka dalam pesta rakyat yang paling sinkretik ini. Sinkretisme ini, toleransi yang lancar dalam keanekaragaman agama dan ideologi ini, …merupakan karakter kebudayaan Jawa yang fundamental....” (hal 506).

 

Geertz menambahkan bahwa ”upacara ini barangkali merupakan yang paling umum dilakukan di Mojokuto sekarang ini. Bahkan, banyak orang Kristen melakukannya sekalipun sebenarnya itu adalah hari raya Islam” (hal 507). Pada lingkungan yang lebih kekotaan, perayaan Riyaya sering diganti dengan ”pola kunjungan perorangan dengan semacam pesta sekuler—seorang priayi tinggi mengadakan pesta di mana dihidangkan juga minuman bir—yang disebut halal bi halal yang sekaligus menyederhanakan aspek upacara keagamaannya sampai ke tingkat tak kelihatan, dan sangat menekankan pada aspek pestanya” (hal 508).

 

Akhirnya, Geertz mengakhiri etnografi budaya Jawa-nya dengan simpulan yang sangat menarik mengenai Riyaya. Kata dia, ”Riyaya itu—karena merupakan perayaan yang paling umum, paling meriah dan paling kolektif—lebih jelas lagi menampakkan, sekalipun kurang terang-terangan, kesatuan dasar orang Jawa, dan di balik itu, kesatuan orang Indonesia pada umumnya….

 

Dengan cara yang luas panjang dan sangat umum ia menekankan kesamaan di antara semua orang Indonesia, menekankan toleransi dalam menghadapi perbedaan-perbedaan mereka, menekankan pada kesatuan, menekankan kesatuan mereka sebagai bangsa. Sebenarnya Riyaya adalah yang paling nasionalis di antara semua ritual mereka, dan begitu saja ia menandakan realitas dan kemungkinan tercapainya apa yang sekarang menjadi cita-cita semua orang Indonesia—kesatuan budaya dan kemajuan sosial yang teurs bersinambung” (hal 509).

 

Dari simpulan Geertz, ada setidaknya tiga ciri perayaan Idul Fitri di Mojokuto, yang juga dapat kita temukan di sejumlah kota dan wilayah di Indonesia dewasa ini. Pertama, bahwa perayaan tersebut bersifat sinkretis. Artinya, di situ ada berbagai unsur budaya lokal yang turut mewarnainya.

 

Kedua, bahwa perayaan tersebut tidak hanya milik umat Islam. Seperti halnya di Mojokuto, perayaan Idul Fitri di banyak tempat di Indonesia boleh dikata sudah menjadi perayaan semua orang Indonesia, terlepas dari suku, agama, dan kelas sosial mereka.

 

Ketiga, perayaan Idul Fitri tidak selalu menonjol nuansa keagamaannya karena sifatnya yang sudah menasional. Hal ini sangat terasa terutama di kota, di kampung-kampung di mana penduduknya sangat heterogen.

 

Apa hubungan etnografi Geertz tentang perayaan Idul Fitri di Mojokuto dengan kontroversi pernyataan Presiden Jokowi mengenai bipang ambawang?

 

Bipang merupakan akronim dari ”babi panggang”. Menurut Tribunnews.com, ”Bipang ambawang” adalah makanan khas saudara-saudara kita orang Dayak di Kalimantan Barat. Bahan dasarnya adalah babi muda berusia 3-5 bulan. Cara memasaknya dilakukan dengan memanggang babi tersebut di atas tungku arang. Penyajiannya diiringi dengan sambal antuha dan kit iu.

 

Antuha dalam bahasa Dayak setempat berarti ’tante tertua’. Entah mengapa disebut demikian. Kit iu adalah saus cocolan yang dibuat dari cabai, jeruk, dan gula pasir. Tentu saja pola penyajian ini dapat dibuat bervariasi sesuai dengan permintaan pembeli. Misalnya, saus cocolan bisa saja tidak hanya kit iu, tetapi juga saus yang lain. Begitu pula sayuran pelengkapnya.

 

Bipang ambawang juga merupakan nama restoran yang menyajikan makanan khas tersebut, yang berlokasi di Jalan Trans Kalimantan Km 23, Kalimantan Barat. Sebagai sebuah merek dagang, nama bipang ambawang telah didaftarkan oleh Juniarto pada 26 Agustus 2020.

 

Nama bipang ambawang menjadi viral karena disebut-sebut dalam pidato Presiden Jokowi tentang mudik, yang kemudian menuai perdebatan di sejumlah kalangan. Salah satu pendapat yang paling mencolok adalah yang intinya menyesalkan, jika tidak menyalahkan, Presiden Jokowi karena menyebut nama makanan khas tersebut sebagai salah satu makanan yang dapat dipesan secara daring untuk mereka yang ingin mudik guna merayakan Lebaran, tetapi tidak dapat melakukannya karena menaati anjuran pemerintah.

 

Dalam pidatonya—sebagaimana ditayangkan dalam video yang diunggah di Yotutube Kementerian Perdagangan—Presiden Jokowi, antara lain, mengatakan, ”Untuk bapak, ibu, dan saudara-saudara yang rindu khas kuliner daerah atau yang biasanya mudik membawa oleh-oleh, tidak perlu ragu untuk memesannya secara online.”

 

”Yang rindu makan gudeg jogja, bandeng semarang, siomay bandung, empek-empek palembang, bipang ambawang di Kalimantan, dan lain-lainnya tinggal pesan, dan makanan kesukaan akan diantar sampai ke rumah.”

 

Mereka yang tidak tahu mengenai bipang ambawang, tentu tidak akan merasakan adanya kejanggalan, apalagi kesalahan, dalam pidato tersebut. Sementara mereka yang tahu bereaksi menyesalkan atau menyalahkan Presiden.

 

Penyebutan nama kuliner ini mungkin tidak akan menimbulkan kegaduhan sosial jika dilakukan dalam konteks yang lain. Kebetulan Presiden Jokowi menyebut nama kuliner ini—yang bahan dasarnya diharamkan oleh agama Islam—dalam konteks perayaan hari besar Islam, yaitu Idul Fitri. Hal ini dipandang oleh sebagian orang sebagai ketidakpantasan, jika bukan sebuah kesalahan. Penjelasan tentang konteks pidato Presiden dan permohonan maaf telah disampaikan oleh Menteri Perdagangan.

 

Simbol budaya

 

Memahami simbol-simbol budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia—yang begitu beragam budaya, kepercayaan, agama, dan pola kehidupan sosialnya—sebenarnya tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan sudut pandang suatu budaya atau agama tertentu saja. Cara pandang seperti ini tidak sesuai dengan kerangka berpikir kebinekaan yang menjadi semboyan kebangsaan kita. Demikian pula halnya dalam memaknai perayaan Idul Fitri dan ritus sampingannya, mudik.

 

Pidato Presiden Jokowi akan dapat disikapi dengan lebih arif dan santai jika kita melihat perayaan Idul Fitri sebagai ”Lebaran”, yaitu sebuah ritus sosial nasional yang tidak hanya milik umat Islam. Kalau pada 1950-an saja masyarakat kota Mojokuto, yang hubungan sosial di antara tiga golongannya (abangan, santri, priayi) tidak sangat harmonis, dapat melakukan perayaan Riyaya, perayaan Idul Fitri, dengan penuh kebersamaan, di masa kini umat Islam Indonesia semestinya lebih mampu lagi melakukannya dengan penuh inklusivitas, tanpa harus melanggar norma-norma agama.

 

Umat Islam Indonesia patut merasa bangga bahwa paradigma Idul Fitri-nya, yaitu saling memaafkan, telah menjadi paradigma nasional. Umat Islam Indonesia semestinya bangga bahwa perayaan hari besarnya telah menjadi sebuah peristiwa nasional, yang melampaui sekat-sekat keagamaan, kesukuan, kedaerahan, ras, dan golongan sosial.

 

Presiden Jokowi menyebut bipang ambawang sebagai salah satu makanan khas Indonesia yang dapat dipesan secara online (daring) adalah dalam rangka untuk merayakan Lebaran. Beliau tidak menyebut perayaan Idul Fitri.

 

Merayakan ”Lebaran” tidak harus dimaknai sebagai hanya merayakan Idul Fitri. Lebaran dalam konteks masyarakat Indonesia adalah sebuah ritus nasional—yang di tingkat lokal dapat diberi nama lain, seperti Riyaya di Mojokuto—yang melibatkan hampir seluruh lapisan dan golongan masyarakat.

 

Merayakan Lebaran bukan hanya hak pemeluk agama tertentu. Lebaran dalam masyarakat Indonesia adalah berkumpul bersama keluarga, saling memaafkan, saling berkunjung, makan-makan enak bersama, berpakaian bagus, dan piknik atau jalan-jalan di mal. ●

 

 

Kebangkitan Makanan Tradisional

Posman Sibuea ; Guru Besar Tetap Ilmu Pangan Unika Santo Thomas, Medan; Anggota Pokja Ahli Ketahanan Pangan Nasional Kementerian Pertanian

KOMPAS, 30 Mei 2021

 

 

                                                           

Presiden Joko Widodo saat meresmikan Hari Bangga Buatan Indonesia awal Mei 2021 mengajak warga untuk bangga menggunakan produk lokal. Masyarakat yang rindu makanan tradisional, seperti gudeg Yogya, bandeng Semarang, siomai Bandung, empek-empek Palembang, bipang ambawang dari Kalimantan, dan lain-lain, tinggal pesan secara daring.

 

Tulisan ini tidak hendak membahas pro dan kontra penyebutan bipang ambawang dalam pidato Presiden. Tulisan ini mau meneropong makna di balik ajakan bangga produk lokal dalam konteks secara keseluruhan, yakni membangkitkan makanan tradisional Nusantara tidak saja untuk penguatan pilar perekonomian kerakyatan, tetapi juga mengatrol indeks kesehatan warga.

 

Makanan tradisional yang dikemas dalam industri kuliner Nusantara dapat dipastikan akan kembali menggelora dan menggeliat setelah ajakan Presiden. Masyarakat tak ragu lagi untuk menikmati makanan ”kampung” yang selama ini diserbu beragam makanan asing. Kebangkitannya menjadi sebuah penunjuk arah yang baik untuk kembali menemukan jati diri bangsa setelah industri kuliner dimasukkan sebagai subsektor industri kreatif sejak 2012 seiring dengan lahirnya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

 

Ingredien fungsional

 

Indonesia dilimpahi berbagai jenis dan ragam makanan tradisional yang aroma dan rasanya khas rempah lokal. Keberagaman rempah Indonesia itu menyusup masuk dalam berbagai menu kuliner eksotis yang indah dipandang mata sekaligus lezat dicecap lidah.

 

Eksotika rempah Indonesia tidak saja memadukan rasa dan aroma makanan tradisional yang khas, tetapi mengeksplorasi ingredien fungsional di dalamnya untuk berpindah dan bersemayam ke dalam tubuh sekaligus membuat raga menjadi prima dan lebih sehat. Kerinduan pun menggumpal untuk mencicipi berulang kali tanpa rasa bosan pada menu Nusantara beraura perdesaan.

 

Kebutuhan makanan yang mampu memperbaiki kesehatan menjadi ruang yang diisi oleh beragam makanan tradisional. Sesungguhnya fenomena kebangkitannya bukan gaya hidup baru di tengah masyarakat modern. Dalam suatu prasasti kuno Hippocrates, bapak ilmu kedokteran yang hidup pada 460- 370 SM, dinyatakan, let your food be your medicine and medicine be your food. Pesan ini menjadi landasan menjalani gaya hidup sehat dengan memperbanyak mengonsumsi makanan yang sarat antioksidan untuk meningkatkan imunitas tubuh.

 

Di tengah kemajuan ilmu dan teknologi pangan, makanan tradisional bisa dikembangkan menjadi makanan fungsional. Dalam fungsinya sebagai pendongkrak imunitas, makanan fungsional masuk kategori foods for specific health uses (FOSHU) sebab mengandung ingredien fungsional, seperti senyawa bioaktif, antioksidan, dan serat pangan.

 

Para ahli gizi merekomendasikan makanan fungsional untuk memulihkan stres oksidatif saat terjadi bencana. Ia tidak sekadar mengenyangkan perut dan pemuas rasa di mulut, tetapi memberi perlindungan dari gempuran radikal bebas yang mengganggu kesehatan.

 

Sekadar menyebut contoh, mengonsumsi makanan tradisional produk fermentasi susu dengan jus buah tomat dilaporkan dapat memperbaiki profil kandungan likopen sebagai antioksidan kuat untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Ia mampu mencegah stres karena beban kerja yang tinggi.

 

Saat ini tidak tertutup kemungkinan masyarakat mengalami stres oksidatif akibat masih tingginya angka kasus baru Covid-19 yang menguras daya tahan tubuh. Para ahli kesehatan jiwa menyebut stres oksidatif menyebabkan seseorang lebih mudah terserang demam dan influenza.

 

Sistem imunitas membutuhkan keseimbangan gizi untuk melawan gempuran penyakit yang datang dari luar. Tubuh harus mendapat asupan makanan yang kaya vitamin antioksidan dan sejumlah senyawa bioaktif lainnya. Berit Reiss-Andersen, Ketua Komite Nobel Norwegia, saat penganugerahan Hadiah Nobel Perdamaian 2020 kepada Program Pangan Dunia (WFP) menyebut, selama belum terdistribusi secara merata vaksin medis, makanan adalah vaksin terbaik mencegah Covid-19.

 

Pernyataan Berit Reiss-Andersen memiliki alasan ilmiah kuat. Dalam penelitiannya bertajuk ”The Immune System: A Target for Functional Foods” yang dipublikasi di British Journal of Nutrition, Calder dan Kew (2002) menyebut kekurangan zat gizi dapat menyebabkan gangguan imunitas. Zat gizi makro, seperti protein, asam lemak linoleat, dan palmitat, serta zat gizi mikro, seperti vitamin dan mineral tertentu, sangat dibutuhkan agar sistem imunitas berfungsi dengan baik. Jika terjadi defisiensi pada satu atau lebih zat gizi tersebut, sangat berpengaruh terhadap imunitas.

 

Industri pangan

 

Indonesia mempunyai tradisi kuat mengenai makanan fungsional. Masyarakat mengenal jamu dari ramuan bahan baku rempah lokal yang diseduh dan diminum sebagai upaya meningkatkan daya tahan tubuh. Konon, ramuan ini merupakan salah satu faktor yang membuat angka kasus baru Covid-19 di India sempat menurun tajam pada September 2020 hingga Februari 2021.

 

Pengembangan makanan tradisional ke arah produk pangan fungsional menjadi tantangan menarik ke depan. Pelaku industri pangan sangat diharapkan mengambil peran untuk memanfaatkan pangan lokal sebagai sumber bahan baku.

 

Penelitian yang mengelaborasi pemulihan stres oksidatif dengan mengonsumsi makanan tradisional yang sarat kandungan antioksidan telah banyak dilakukan. Fungsi rempah, misalnya, bukan sebatas menimbulkan rasa dan aroma sedap pada makanan tradisional, tetapi dapat memperbaiki sistem metabolisme tubuh dan sumber antibiotik yang ampuh.

 

Kemampuan makanan tradisional untuk meningkatkan status antioksidan telah diyakini dapat memperkuat imunitas yang pada akhirnya tubuh terhindar dari beragam penyakit. Penelitian terbaru yang dilakukan Shintaro Onishi, dkk (2020) bertajuk ”Green Tea Catechins Adsorbed on the Murine Pharyngeal Mucosa Reduce Influenza A Virus Infection” yang dimuat dalam Journal of Functional Foods menyebut bahwa antioksidan katekin pada teh hijau dapat mengurangi insiden influenza pada manusia.

 

Belum diketahui mekanisme senyawa bioaktif dalam teh hijau sebagai antivirus. Namun, diduga katekin yang dikenal sebagai antioksidan yang kuat dapat mencegah reaksi berantai radikal bebas yang menghambat infeksi virus influenza A dan menginduksi aglutinasi virus dalam sel serta memperkuat imunitas.

 

Pandemi Covid-19 menjadi blessing in disguise yang membuka peluang pengembangan makanan tradisional Nusantara yang sarat ingredien fungsional ke arah produk pangan baru. Kebutuhannya diyakini semakin tinggi seiring dengan menuanya populasi, perubahan gaya hidup yang menuntut pangan natural, dan kesadaran pentingnya pencegahan penyakit akibat virus. Sektor industri kuliner makanan tradisional menjadi gerbong penarik ekonomi kerakyatan.

 

Indonesia ke depan menjadi surga ingredien fungsional yang berasal dari makanan tradisional Nusantara. Bahan baku yang melimpah, seperti berbagai jenis rempah lokal, minyak sawit, cokelat, produk teh, susu fermentatif bagot ni horbo dari Toba, dan tempe, menjadi amunisi kebangkitan makanan tradisional. ●

 

 

Dunia dalam Kelindan Mitos, dari Virus hingga Sisyphus

Ni Wayan Idayati ; Penyair dan Penulis Lepas

KOMPAS, 30 Mei 2021

 

 

                                                           

Pandemi Covid-19 yang dialami seluruh dunia seolah sebuah siklus yang tidak ada ujungnya. Sesudah virus pertama yang ditemukan di Wuhan menjelang akhir 2019, dalam waktu lebih kurang setahun vaksin berhasil diciptakan. Di Indonesia, vaksin mulai didistribusikan kepada masyarakat pada 2021. Maka, setelah hampir dua tahun berhadapan dengan ancaman Covid-19, masyarakat kita, dan dunia, tentulah berharap pandemi akan segara dapat dilampaui, bahkan mungkin diakhiri.

 

Namun, belum lagi upaya ”preventif” dan ”perangkat imun” siap, kini muncul aneka varian baru virus Covid-19 yang bermutasi—konon memiliki tingkat penularan lebih tinggi daripada pendahulunya. Ada varian E484K atau Eek yang dilaporkan ditemukan pertama kali di Afrika Selatan dan Brasil, Corona B1525 yang memiliki mutasi ”Eek” E484K terdeteksi mulanya di Inggris, hingga jenis B.117 juga asal Inggris, B.1.351 asal Afrika Selatan, dan varian mutasi ganda dari India B. 1.617. Di luar itu, mungkin masih ada varian-varian lain yang telah atau tengah bermutasi dan bermigrasi dari satu negara ke negara lain sebelum perangkat kesehatan kita berhasil mendeteksinya.

 

Bagaimana kiranya jika ketika pertama kali virus ini ditemukan, pihak berwenang melakukan penanganan dengan cara yang berbeda? Mungkinkah situasi dunia akan berbeda? Tidak ada virus yang bermigrasi ke banyak negara, tidak ada penularan, tidak ada situasi darurat pandemi, tidak ada penguncian wilayah (lockdown), dan tidak ada peluang mutasi virus.

 

Ya, barangkali banyak orang berharap dapat kembali lagi ke masa-masa sebelum pandemi, sebelum virus korona baru menyerang. Kehidupan ketika kita tidak perlu setiap saat menggunakan masker, bebas bertemu dengan siapa saja tanpa perasaan cemas, dan bebas bepergian ke mana pun tanpa perlu melewati aneka syarat pemeriksaan dan bermacam berkas. Mungkinkah?

 

Siklus sang Sisyphus

 

Dalam latar situasi berbeda, drama Korea Selatan, Sisyphus: The Myth, yang tayang di Netflix (2021) boleh dikata merepresentasikan ide atau harapan orang-orang dapat melakukan perjalanan waktu ke masa lalu untuk mengubah situasi di masa depan.

 

Berbeda dengan kebanyakan imajinasi dan penggambaran soal masa depan—utopia kehidupan dengan segala kemudahan dan perangkat serba canggih—di sebuah dunia yang entah, di masa depan, bangunan dan gedung-gedung telah hancur, taman hiburan terbengkalai dipenuhi belukar merambat, setiap gang dan distrik telah jadi kota mati akibat perang nuklir. Orang-orang justru hidup dalam sebuah distopia atau sebuah situasi kelompok masyarakat yang tidak didambakan. Obat-obatan dan kebutuhan pokok sulit diperoleh, bahkan sekelompok orang ”terpaksa” jadi penyamun untuk bertahan hidup, menjarah sisa-sisa toko atau barang-barang apa pun yang bisa ditemukan.

 

Dalam situasi itu, orang-orang mulai berpikir untuk kembali ke masa lalu—ke masa, atau mungkin dimensi lain, di mana mereka bisa menjalani hidup dengan ”normal”. Dengan mesin waktu yang disebut ”pengunggah” dan ”pengunduh”, seseorang di masa depan dapat melakukan perjalanan waktu ke masa lalu, sebagaimana dilakukan Kang Seo Hee (Park Shin Hye). Seo Hee yang berasal dari masa depan kembali ke tahun 2020 dengan misi menyelamatkan Han Tae Sul (Cho Seung Woo), insinyur genius penemu alat transmisi kuantum. Seo Hee meyakini, dengan menyelamatkan Tae Sul dari kematian dan mencegahnya menciptakan mesin waktu, maka tidak akan terjadi peperangan yang menghancurkan dunianya di masa depan.

 

Ya, premis dari drama ini adalah mereka yang datang dari masa depan ke masa lalu (kini) memiliki tujuan untuk mengubah masa depan dengan ”memperbaiki” situasi di masa lalu (kini), atau justru secara diam-diam ”bermigrasi” ke masa lalu (kini) untuk mengelak dari distopia di masa depan.

 

Namun, tidak seperti kebanyakan kisah atau film-film hero Barat, ketika ”sang pahlawan” yang kembali ke masa lalu untuk menyelamatkan masa depan berhasil mengubah situasi, dalam Sisyphus: The Myth penonton seakan diminta untuk berhadapan dengan imajinasi dan pengharapan mereka masing-masing tentang akhir dari drama ini.

 

Drama 16 episode ini ditutup dengan open ending; tidak ada penegasan apakah sungguh Seo Hee berhasil menyelamatkan Tae Sul dan mencegah terjadinya kehancuran di masa depan, ataukah yang terjadi sesungguhnya hanya sebuah ilusi imajinasi. Entah ada berapa Seo Hee yang berulang melakukan perjalanan melintasi waktu untuk menyelamatkan Tae Sul, atau tidak menyelamatkan Tae Sul, bahkan mungkin menyelamatkan dirinya sendiri dari momen yang mungkin (akan) disesalinya. Tak ada yang dapat memastikannya, kecuali sang penulis naskah, Lee Je-in dan Jeon Chan-ho.

 

Dari judul drama ini, yang berangkat dari mitos Sisyphus, tentulah kita boleh menafsir bahwa sebuah perjalanan waktu (time travel), atau upaya mereka yang ingin kembali dan ”memperbaiki” masa lalu, ibarat sebuah siklus yang tiada habisnya.

 

Drama Sisyphus: The Myth menarik dibincangkan bukan semata karena naskah, kualitas, atau para pemainnya. Namun, lebih kepada ide yang menjadi titik berangkatnya, menautkan mitos dengan kekinian dan situasi dunia kita hari ini—sebuah gagasan yang tampaknya belum sampai pada wilayah kreatif para kreator sinema atau drama kita di Indonesia.

 

Apabila diselami lebih mendalam, sewaktu menonton drama ini kita sesungguhnya tidak sedang menyaksikan akting atau paras rupawan para aktor-aktrisnya—yang semata hiburan—melainkan merenungkan ulang hakikat keberadaan kita hari ini, dan bagaimana mitos-mitos meliputi keseharian kita, seakan menjadi jawaban atas pengharapan yang boleh jadi utopis.

 

Masa depan, masa kini, dan masa lalu saling bersinggungan dan melaju bersisihan. Kita bahkan tidak bisa lagi memastikan; mana waktu masa lalu, masa kini, dan masa depan. Semua menyatu menjadi waktu kita hari ini.

 

Mitos dalam keseharian kita

 

Dalam mitologi Yunani, Sisyphus atau Sisifus dikisahkan sebagai sosok yang harus menjalani hukuman dari dewa, yakni mendorong bongkahan batu besar dari lembah hingga ke puncak gunung. Namun, begitu tiba di puncak, batu itu akan kembali menggelinding ke bawah; dan Sisyphus akan terus-menerus mengulangi pekerjaan yang sama, kembali mendorong batu itu ke puncak hingga tiada habisnya.

 

Filsuf Albert Camus, melalui tulisannya, Le Mythe de Sisyphe, menerjemahkan mitos itu sebagai sebuah absurditas. Ia meyakini bahwa upaya pencarian tujuan oleh manusia adalah sesuatu yang sia-sia di tengah dunia yang tak terpahami. Camus mengungkapkan, ”Perjuangan itu sendiri... sudah cukup untuk mengisi hati manusia. Kita harus membayangkan bahwa Sisifus berbahagia.”

 

Apakah situasi yang tengah di hadapi dunia kita hari ini ibarat kisah Sisyphus? Benarkah upaya kita menghadapi virus adalah sebuah pertarungan yang sia-sia; siklus tak berujung? Apakah suatu saat, barangkali di masa depan, seseorang akan menemukan mesin waktu yang bisa membawa kita kembali ke masa lalu dan ”memperbaiki” keadaan?

 

Virus—dalam konteks hari ini—bukan lagi semata mikroorganisme patogen yang asal-usulnya diteliti secara ilmiah, melainkan telah ”bermutasi” menjadi ”mitos” yang mencekam keseharian kita. Virus tidak saja menjangkiti sebagai penyakit jasmani, tetapi juga hidup di alam pikir manusia sebagai sesuatu yang mengganggu atau diyakini, namun sekaligus juga penuh ”desas-desus”.

 

Apabila selama ini mitos dianggap hanya bagian dari kisah-kisah masa lalu, alam para leluhur, atau dongeng yang berkaitan dengan dewa-dewa, kini ia telah bertransformasi selaras dengan dinamika masyarakat kontemporer. Mitos telah menjelma dalam media sosial, berita-berita online (daring), hingga perangkat seluler.

 

Ibarat siklus, varian demi varian virus selalu datang berulang pada periode-periode tertentu kehidupan umat manusia. Karena itu, manusia mau tidak mau memang harus bersiap menghadapi batu nasibnya, laiknya Sisyphus. Ataukah, manusia di masa depan akan mencari jalan pembebasan lain; membuat mesin waktu dan kembali ke masa lalu—yang mungkin juga tiada berujung?

 

Drama Sisyphus: The Myth barangkali memang tidak hendak memberikan akhir yang pasti bagi para tokohnya. Penonton ditinggalkan dalam penutupan yang ambigu. Apakah dunia masa depan terselamatkan, ataukah para tokohnya hanya mengulang siklus yang sama seperti Sisyphus, kita tidak pernah tahu. Namun, setidaknya, marilah kita bayangkan Seo Hee dan Tae Sul telah hidup bahagia di sebuah tempat yang indah, barangkali pengujung tanjung pulau kecil Banda Neira, atau jangan-jangan di Sibanggede, Badung—desa kelahiran saya di Bali. ●

 

 

Mengenang Pak Pandir

Bre Redana ; Penulis Kolom “UDAR RASA” Kompas Minggu

KOMPAS, 30 Mei 2021

 

 

                                                           

Mungkin karena seringnya saya meragukan sumbangan intelijensia buatan (artificial intelligence) terhadap peningkatan kecerdasan manusia zaman ini, ada yang tanya saya: emang dulu gak ada orang bodoh? Saya jawab: tentu saja ada. Mungkin tak kalah banyak dibanding zaman ini. Bedanya, dulu kebodohan tidak diumbar ke publik dan kurang memiliki implikasi publik.

 

Sebelum ia bertanya lebih lanjut, saya bilang kita perlu bersepakat terlebih dahulu apa yang kita maksud dengan kebodohan. Saya mengutip Umberto Eco dan Jean-Claude Carriere. Dalam buku This is Not the End of the Book, Jean-Philippe de Tonnac mewawancarai keduanya, khusus mengenai kebodohan diberi subjudul ”In praise of stupidity”.

 

Eco memiliki sedikitnya dua pengertian mengenai stupidity. Yang pertama idiot. Saya tidak akan menerjemahkan kata ini. Sulit menemukan padanannya. Kalau nekat pilih kata yang menurut saya tepat, khawatir mengusik cita rasa adiluhung para priyayi penjaga bahasa.

 

Dia memberikan pengertian cara berpikir idiot, yang kalau saya analogikan kurang lebih begini: nenek moyang kita membangun mahakarya Borobudur dan Prambanan, oleh karenanya sekarang kita pasti mampu membikin pusat teknologi dunia di Muntilan. Atau contoh lain lagi. Mereka mengkritik pemerintah. Mereka ”kadrun”. Kesimpulannya: semua yang mengkritik pemerintah adalah ”kadrun”.

 

Kita tahu ada yang tidak beres dalam cara berpikir di atas, tapi tidak mudah untuk menyangkalnya. Diperlukan kerelaan buang waktu demi usaha serius membongkar paradigma di balik pemikiran tadi.

 

Yang kedua adalah fool. Untuk kata ini, saya ingin menerjemahkannya menjadi pandir. Semasa kecil kami akrab dengan dongeng si pandir, dengan berbagai episode yang masih melekat di ingatan, judulnya Pak Pandir.

 

Bagi yang belum pernah dengar, saya sajikan satu contoh.

 

Suatu ketika seorang penguasa menyelenggarakan sayembara, adu berani berenang menyeberangi sungai yang banyak buayanya. Yang berhasil melintasi sungai silakan pilih hadiah, dari uang sampai anak gadis si penguasa.

 

Banyak pemuda ambil bagian. Mereka nyemplung ke sungai mulai berenang. Tak ada yang selamat, kecuali satu orang, membuat semua kaget. Orang itu Pak Pandir.

 

”Pandir, hadiah apa yang engkau minta. Uang atau anak gadisku?” tanya penguasa.

 

”Pokoknya bawa dia kemari,” kata Pak Pandir bersungut-sungut.

 

”Oh, anak gadisku?”

 

”Bukan. Orang yang tadi mendorong saya,” jawab Pak Pandir.

 

Mungkin ada yang ketawa. Kebodohan zaman itu banyak yang terdengar jenaka.

 

Beda dengan zaman ini. Kebodohan bikin jengkel. Alih-alih menghibur, tapi malah membikin geram, kadang menusuk rasa keadilan.

 

Mana lucunya, mengucapkan bela sungkawa sambil mengiklankan dagangan. Orang yang babak belur mengejar koruptor, diuji wawasan kebangsaannya. Menyelenggarakan pesta ulang tahun di masa pandemi, katanya spontan. Seolah artis yang manggung di acara tersebut tengah ngamen di pagar tetangga, lalu mereka panggil untuk mengisi acara.

 

Kebodohan zaman ini terkesan diamplifikasi agar rakyat terbiasa dengan kebodohan, sudi menerimanya, lalu pada gilirannya benar-benar menjadi bodoh dan mudah dikuasai. Sumpah ini menyalahi amanat berbangsa.

 

Pada zaman ini pula kebodohan memiliki nilai jual. Bagi yang hendak menekuninya, modalnya sepertinya cukup satu, yakni ketidak-pedulian.

 

Mengunggah kebodohan secara konsisten dalam berbagai platform, seseorang bisa mendapat banyak pengekor. Pintu bisnis pun terbuka. Kliennya dari pengusaha sampai penguasa. Mereka mendapat istilah terhormat: influencer. Kalau nasib baik, ketiban jabatan.

 

Dalam dunia digital, posisi dan derajat seseorang ditentukan oleh jumlah like, repost, comment, viral, dan sejenisnya.

 

Nah, kalau ukurannya itu, makin jelas orang-orang zaman dulu jauh lebih bodoh dibanding manusia ”zaman now”. Pak Pandir tidak rela dirinya dipermainkan pihak lain, didorong nyemplung ke sungai yang banyak buayanya seperti cerita di atas.

 

Dia tidak pandai mendagangkan kebodohan dan terlalu lugu untuk ikut bermufakat membela kebodohan. ●

 

 

Takjub Ajoeb: Kepada Hendro Wiyanto

Aminudin TH Siregar ; Pengamat Seni

KOMPAS, 30 Mei 2021

 

 

                                                           

Bung, lama rasanya gak nulis di Kompas Minggu. Presiden berganti, menteri bertukar, tapi infrastruktur seni rupa kok gitu-gitu aja, ya? Koleksi negara masih cerai-berai. Negeri boleh luas, tapi museumnya sempit. Negeri sebelah mungil, museumnya segede gaban. Gelanggang kita semrawut. Lukisan palsu tayang terus. Makin banyak orang berlagak pintar, modalnya cuma pergaulan atau karena berduit. Yang benar-benar pintar makin sedikit, terkucil, lalu diam. Gagal paham seni rupa bangsa menggila. Begitulah terus, gak tahu sampai kapan.

 

Kini era pandemi. Ingar-bingar pameran yang menguras waktu dan tenaga sejak belasan tahun terakhir menurun drastis. Waktu luang mestinya dimanfaatkan untuk evaluasi. Bahwa sejauh ini kita gagal panen buah cendekia yang mustahak. Yang kita wariskan adalah gabah seni rupa kontemporer di piring kotor. Debat tanpa ujung: soal definisi, teori, paradigma, peluang, pasar, masih ingat? Belasan tahun kita bertebaran dari sanggar ke sanggar, steleng ke steleng, museum ke museum, dari Manhattan ke Nitiprayan, lalu senyap. O, iya, ada lagi warisan mental yang kronis dan norak: mabuk (pengakuan) internasional, tapi jago kandang. Menyedihkan.

 

Bung, dari zaman Persagi ngeraut pensil, kita sebenarnya gak pernah kekurangan karya seni dan watak seniman yang keren. Meski kemudian banyak juga seni yang butut yang dipaksain ada wacananya, ada risetnya, ada pasarnya. Kesenimanan jadi gimik doang. You know-lah. Tapi, yang pasti, sejak Noto Soeroto ngulas Raden Saleh, kita makin kekurangan sejarawan dan ahli kecam berpena tajam. Kurator? Itu mah cupang cendolan! Gak banyak yang bisa dipetik dari kerja kurasi belakangan ini. Teks-teks mereka seringnya melamun ketimbang berpijak. Menurutmu?

 

Menurutku yang kita perlukan adalah ”historiografi penyadaran”. Singkatnya: penulisan sejarah secara lebih progresif, panggungnya diperluas seraya mempertajam konteks untuk mengaktifkan kesadaran orang banyak. Jangan lupa, analisis arsip baik-baik! Dengan cara itu, insya Allah, kita lebih beradab memahami karya seni rupa dan kesenimanan bangsa sendiri.

 

Nah, tulisan Joebaar Ajoeb tentang seni rupa pasca-1965 mungkin bisa jadi ilustrasi. Puluhan tahun lalu dia pernah bilang: ”Seni rupa modern Indonesia sesudah 1965 cenderung menggerhana. Seni itu terdiam tidak menyatakan belasungkawanya ketika Presiden pertama Republik ini Sukarno yang telah lama menjadi saudara kandungnya meninggal dunia”. Ya, boro-boro melirik Sukarno, seni rupa setelah 1965 malah khusyuk meliris. Siapa lagi yang pernah melukis Sukarno selain Basuki Abdullah sewaktu revolusi Agustus 1945 pecah? Satu-satunya presiden yang cinta seni rupa, doyan blusukan ke sanggar, pameran, dan beli lukisan, kok segitu mudah dilupakan?

 

Ajoeb mengedepankan penyadaran. Apalagi yang ini: ”Di tengah gempita pembangunan sekian banyak bendungan, waduk, stasiun, pembangkit tenaga listrik, jalan dan jembatan, beribu pabrik, tambang gas bumi dan minyak anjungan beserta pipa-pipanya, irigasi, perkebunan, persawahan baru, industri kapal laut dan terbang, pencakar langit, supermarket, perumahan rakyat dan elite, lapangan golf, stadion, jaringan televisi, satelit Palapa. Seni rupa Indonesia seakan-akan hanya berpapasan dengan gempita pembangunan tersebut. Seni rupa ini seakan tidak ’diajak berpartisipasi’ atau mengalami inferioritas”. Waw, savage, Bung!

 

Okelah, kita punya celah memperkaya dalil-dalil Ajoeb dengan mengamati lagi karya-karya seni yang tercipta setelah 1965. Saya usulkan dua lukisan, yaitu S Sudjojono dengan ”Maka Lahirlah Angkatan 66” (1966) dan ”Mentari Setelah September 1965” (1968) dari AD Pirous.

 

Pemuda bertopi kuning adalah fokus ”Angkatan 66”. Ceklik, inilah potret generasi yang membangkang Sukarno! Tangannya memegang kuas dan kaleng cat—tapi perhatikan, dari balik jaketnya tersingkap benda tak lazim dijepit sabuk militer (?). Kalau sempat, tolong kau cermati lagi lukisan itu di Museum Seni Rupa dan Keramik!

 

Dia berjaket merah, bercelana jins, berdiri membelakangi kerumunan di Jalan Thamrin. Kita seakan menatap ke selatan Jakarta. Sementara si pemuda menantang ke utara, ke Istana Presiden! Di sebelah kiri, gedung bertingkat tampak mangkrak. Segerombolan orang mencoreti kendaraan dan dinding. Terbaca makian dan tuntutan yang diarahkan ke Subandrio (btw, Bung, tahu gak, sewaktu jadi duta besar, Subandrio itu nyuksesin pameran Affandi di Inggris, lho! Emangnya kau kira kenapa si John Berger ujug-ujug nulis di Art News and Review? Perihal ini kapan-kapan kita bahas).

 

Saya heran kenapa pemuda itu kelihatan kikuk. Siapa sih dia yang bekalnya sekaleng cat dan kuas (pelukis?), sampai bisa menggulingkan rezim Sukarno segala? Terus, kenapa gak segahar seperti di lukisan ”Sekko”: berpakaian seadanya, tapi berdaulat dan jatmika? Pada ”Sekko” terasa sekali—meminjam istilah Pak Djon sendiri: ”djiwa kaisar sang pemuda”. Sementara di ”Angkatan 66”, gestur si pemuda termangu seperti habis diperalat, pasrah kayak maling ketangkap basah. Apakah kesan gak berdaya itu yang mau ditonjolkan? Apakah Pak Djon sedang mengirim pesan ke masa depan bahwa ada yang gak beres dalam proses kelahiran Angkatan ’66?

 

Sekitar dua tahun setelah Pak Djon melukis ”Angkatan 66”, ”Mentari Setelah September 1965” tampil di Balai Budaya Jakarta. Judul lukisan abstrak Pak Pirous ini cukup gamblang. Bung tentunya ingat tulisan sejarawan Astri Wright perihal depolitisasi seni oleh rezim Orde Baru yang menyulitkan seniman mengekspresikan tragedi yang menimpa bangsa ini. Nah, lukisan ”Mentari 1965” adalah pengecualian. Kata Ibu Astri—konon dia melihatnya hanya dari foto hitam-putih, lukisan ini adalah reaksi atas iklim keheningan dan ketakutan terkait ingatan menyakitkan tentang pembantaian. ”Mentari 1965” adalah lukisan yang mempersoalkan situasi di masa itu.

 

Tapi pandangan antropolog Kenneth M George cenderung beda. Menurutnya, tafsir Ibu Astri kehilangan beberapa pertimbangan politik dan historis mendasar sehingga mengingkari konteks lukisan. Pak Ken justru bersandar pada konsep Pak Pirous sendiri bahwa ”Mentari 1965” sejatinya ditujukan untuk mensyukuri kemerdekaan individu; menyambut era keterbukaan seni.

 

Bung, ta’ sudahi dulu, nanti diteruskan lagi. Barangkali jij punya takjub lain setelah baca Ajoeb?

 

Salam dari Leiden. ●