Ashoka
Trias Kuncahyono ;
Penulis Kolom KREDENSIAL Kompas Minggu
|
KOMPAS, 29 Mei
2016
Syahdan, pada suatu
ketika pada tahun 321 SM, Chandragupta Maurya, dengan menggunakan tentara
bayaran berhasil mengakhiri kekuasaan Dinasti Nanda. Inilah awal dari
kelahiran Dinasti Maurya dengan Chandragupta Maurya sebagai raja pertama
(321-297 SM).
Kekuasaannya
membentang dari Himalaya dan lembah Sungai Kabul (sekarang Afganistan) di
utara dan barat hingga jajaran Pegunungan Vindhya di selatan, sekarang
wilayah Madhya Pradesh, India. Sejarah menyebut Chandragupta Maurya berhasil
menyatukan sebagian besar wilayah India di bawah kekuasaannya.
Kebesaran Dinasti
Maurya dengan wilayah yang begitu luas itu bertahan hingga dua generasi.
Chandragupta digantikan putranya, Bindusara Maurya; dan Bindusara digantikan
oleh putranya, Ashoka Maurya, yang berkuasa pada 272-232 SM.
Di zaman Ashoka inilah
cerita besar tentang Dinasti Maurya banyak didengar orang dan dibicarakan,
bahkan, hingga kini. Ashoka dicatat sebagai raja yang ambisius dan memiliki
keinginan untuk menjadi ”Chakravartin” atau ”Penguasa Alam Semesta”, ”Raja
Dunia.”
Ashoka, yang sering
disebut Kaisar Ashoka, memeluk Buddhisme. Namun, menurut Amartya Sen dalam Identity and Violence: Their Illusion of
Destiny (2006), Ashoka sangat mendukung dan menjunjung tinggi toleransi
beragama dan bentuk-bentuk toleransi lainnya. Ia menyusun code of conduct tentang nilai-nilai
hidup, misalnya penghormatan terhadap orang yang lebih tua, mengikuti jalan
non-kekerasan, serta toleran terhadap gagasan-gagasan dan kepercayaan orang.
Code of conduct inilah yang disebut Dhamma, yang menjadi pegangan tidak hanya
bagi orang-orang yang beragama Buddha, tetapi juga para penganut agama lain
meski merupakan kelompok minoritas. Aturan hidup bersama ini ditulis dan
ditempel di mana-mana; di tatah di batu-batu dan pilar-pilar di seluruh
negeri.
Toleransi yang
dijunjung Ashoka tidak mampu terus bertahan. Meskipun kemudian di India pada
masa pemerintahan Akbar (1542-1605), Mogul yang Agung, membuat aturan serupa
mengenai toleransi. Ia memperlakukan para pemimpin agama dengan perhatian
besar, terlepas dari keyakinan yang dianut dan menghormatinya. Akbar tidak
hanya memberikan tanah dan uang untuk masjid, tetapi juga sejumlah candi
Hindu di utara dan tengah India, gereja Kristen di Goa, dan menghibahkan
lahan untuk keyakinan Sikhisme yang baru saja lahir sebagai pembangunan
tempat ibadah. Kuil Emas yang terkenal di Amritsar, Punjab, dibangun di
tempat yang sama.
Tetapi, kita juga
menyaksikan India—di kemudian hari—dirobek-robek oleh ketegangan dan konflik
agama. Konflik antara Hindu dan Muslim memainkan peran vital dalam partisi
India Inggris menjadi India dan Pakistan (1947). Pada 1969, terjadi konflik
agama di Gujarat (Hindu-Muslim) yang menewaskan lebih dari 400 orang. Tahun
1989, terjadi lagi kerusuhan agama di Bihar dan menewaskan sekitar 1.000
orang. Tiga tahun kemudian, 1992, pecah kerusuhan di Ayodhya, sebuah kota di
India bagian utara. Kerusuhan bernuansa agama terus terjadi di tahun-tahun
berikutnya.
Kerusuhan dan konflik
seperti itu tidak hanya terjadi di India, tetapi juga terjadi di banyak
negara, termasuk Indonesia, yang para pemimpinnya sudah berulang kali bertemu
dan mengikrarkan untuk hidup berdampingan, saling menghormati. Dialog
antar-iman berkali-kali dilakukan, tetapi mengapa negeri yang ber-Pancasila
ini masih juga selalu dikotori oleh sikap-sikap dan tindakan intoleran.
Inilah barangkali yang
oleh Amartya Sen disebut sebagai kekerasan yang terkait dengan konflik
identitas. Identitas bisa memberikan sumbangan berarti bagi kekuatan dan
kehangatan hubungan suatu kelompok dengan kelompok lain, atau orang dengan
orang lain, penganut agama satu dengan penganut agama yang lain. Tetapi,
identitas juga bisa memicu pembunuhan dan membuat orang mati sia-sia; juga
bisa membuat orang tidak bernalar dan tidak berhati serta menganggap dirinya
paling benar dan pihak lain sebagai yang salah.
Padahal, ”Tidak
seorang pun sepenuhnya berdiri sendiri laksana sebuah pulau yang terpisah,”
begitu tulis pendapat penyair besar dan salah seorang penulis prosa terbesar
Inggris abad ke-17, John Donne (1572-1631). Dengan kata lain, manusia saling
membutuhkan satu sama lain meski berbeda-beda sedari awal; majemuk sejak
awal. Kemajemukan adalah anugerah yang diberikan Tuhan yang tidak mungkin
dapat kita ubah. Tuhan menciptakan kita majemuk dari segi apa pun, terutama
agar kita saling mengenal satu sama lain.
Dalam masyarakat yang
majemuk seperti itu, toleransi menjadi penting sebagai modal awal agar kita
terbebas dari intoleransi. Toleransi tidak pernah mengajarkan kita berdiri
setara karena konsep ini lahir dari struktur sosial yang timpang di mana yang
satu—biasanya mayoritas—dituntut untuk bersikap toleran terhadap ”yang lain”,
biasanya minoritas yang mengalami persekusi sosial, agama, dan politik.
Karena itu, toleransi di Indonesia lebih sebagai peneguhan bahwa masyarakat
kita itu majemuk. Dalam konteks dunia pun, demikian: masyarakat dunia itu
juga majemuk.
Pertemuan, pelukan,
dan diskusi serta dialog antara Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar Syeh
Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyed di Vatikan beberapa hari lalu, kiranya dalam
konteks itu pula: bahwa kemajemukan semestinya tidak menjadi alasan untuk
saling memusuhi, seperti yang terjadi di berbagai belahan dunia saat ini.
Kedua pemimpin itu ingin menegaskan bahwa ”kita bersaudara”. Sudah selayaknya
sebagai sesama saudara saling menghormati, saling percaya, dan saling
tenggang rasa. Misi suci agama adalah ”membuat umat manusia bahagia di
mana-mana.” Misi suci yang pernah dijalankan dan diwujudkan oleh Ashoka,
lebih dari 2.000 tahun silam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar