Fenomena Kenaikan Harga Daging Sapi
Enny Sri Hartati ;
Direktur Institute for
Development of Economics and Finance
|
KOMPAS, 23 Mei
2016
Fenomena kenaikan
harga menjelang Ramadhan menjadi ritual tahunan. Untuk itu, Presiden Joko
Widodo dalam rapat terbatas kabinet menginstruksikan agar jajarannya
menurunkan berbagai harga kebutuhan pokok sebelum puasa tiba. Semestinya
antar-kementerian maupun lembaga bersinergi dan berkoordinasi melakukan
berbagai langkah antisipasi. Ironisnya, alih-alih menurunkan harga, kenaikan
harga menjelang Ramadhan tahun 2016 dapat dikatakan terburuk. Ramadhan masih
sebulan lagi, tetapi kebutuhan pokok, termasuk daging, telah berganti harga.
Awal Mei 2016, harga
daging sapi terseret tren kenaikan harga yang hampir merata di semua daerah.
Bahkan, kenaikan harga daging juga tidak luput di daerah yang notabene
menjadi sentra produksi sapi. Harga daging sapi naik Rp 5.000-Rp 10.000 per
kilogram. Akibatnya, harga daging berkisar Rp 115.000-Rp 120.000 per
kilogram.
Kenaikan harga daging
pada awal Mei 2016 sulit dijelaskan dari sisi faktor fundamental. Dari sisi
pasokan, pemerintah menjamin tambahan kuota pasokan. Dari sisi permintaan,
tak ada alasan logis soal tekanan kenaikan permintaan. Apa justifikasi
kenaikan harga daging ini?
Jika diuraikan dari sisi fundamental, salah satu pemicu
fluktuasi harga daging sapi antara lain inkonsistensi penetapan kebijakan
pemerintah dan ketiadaan akurasi data. Pemerintah membatasi pasokan di sisi hulu,
yaitu hanya boleh impor sejumlah kekurangan permintaan dalam negeri. Namun,
di sisi hilir, perdagangan daging sapi diserahkan pada mekanisme pasar. Tentu
maksud pembatasan itu mulia, yaitu agar terjadi pengendalian impor. Namun,
pembatasan ini harus didasarkan pada akurasi dan validasi data kebutuhan dan
pasokan. Jika salah satu data itu tidak akurat, tentu semua kebijakan yang
diambil bukan hanya tidak tepat atau bias, tetapi justru menimbulkan peluang
terjadinya moral hazard.
Sebagai contoh,
kebutuhan daging pada 2015 dinyatakan 654.000 ton, setara dengan 5,45 juta
ekor sapi. Sementara populasi sapi hanya 15,5 juta ekor, yang terdiri dari
5,5 juta ekor sapi siap potong, 6 juta ekor sapi bakalan, dan 4 juta ekor
sapi indukan. Sekitar 80 persen populasi sapi tersebut milik peternak rakyat.
Namun, jumlah pasokan dari peternak rakyat belum dapat dipastikan. Peternak
rakyat tidak dapat dipaksa menjual ternaknya sekalipun permintaan tinggi.
Data produksi dan
kebutuhan daging sapi belum sama antara Badan Pusat Statistik (BPS),
Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan. Akurasi perhitungan
angka-angka itu harus benar-benar valid dan dengan asumsi yang tepat.
Termasuk, perhitungan
kebutuhan daging sapi per kapita yang sebesar 2,56 kilogram per tahun.
Artinya, kebutuhan daging sapi nasional sebanyak 2,56 x 255.461.700 jiwa,
yakni 654.000 ton. Data Kementerian Pertanian, produksi daging sapi lokal
523.927 ton atau defisit daging sapi tak kurang dari 130.073 ton. Atas
perhitungan itulah, pemerintah memutuskan mengimpor daging sapi sebanyak 214.690
ton, dengan perincian 83.260 ton dalam bentuk daging dan 131.430 ton berupa
sapi yang berjumlah 773.149 ekor.
Dengan perhitungan di
atas, logikanya, harga daging bisa lebih murah. Jumlah stok daging sapi lokal
dan daging sapi impor melimpah dan melebihi kebutuhan daging secara nasional.
Namun, harga daging di pasaran ternyata tetap tinggi sampai menembus angka di
atas Rp 120.000 per kilogram, dari yang biasanya Rp 80.000 per kilogram. Itu
pun importir masih menekan pemerintah untuk menambah kuota impor.
Permasalahan harga
daging sapi yang mahal menjelang puasa dan Lebaran merupakan bentuk
ketidaksiapan pemerintah dalam mengantisipasi kenaikan permintaan yang bisa
diprediksi karena bersifat musiman. Pemerintah selalu menyalahkan kartel.
Untuk itu, perlu langkah strategis, di antaranya kerja sama antarlembaga
untuk membenahi logistik dan rantai pasokan dari peternak ke pasar.
Paket Kebijakan
Ekonomi IX tentang stabilisasi pasokan dan harga daging sapi belum efektif
menurunkan harga, padahal jumlah negara importir kini diperluas. Alternatif
lain, pemerintah dapat memberikan kesempatan bagi BUMN untuk mengimpor daging
sapi sebelum diserahkan kepada importir swasta. Perlu penguatan BUMN sebagai
importir prioritas. Masalah utama lain adalah importir memiliki corak
pembentukan harga yang bersifat oligopoli sehingga memungkinkan terjadinya
kartel daging sapi.
Kelembagaan yang dapat
dioptimalkan di antaranya tim pemantau inflasi daerah (TPID). Selama ini,
peran penting TPID belum berjalan optimal dalam mengendalikan inflasi di
daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar