Selasa, 30 Maret 2021

 

RUU BPIP dan Institusionalisasi Pancasila

 Guntur Soekarno ;  Putra Sulung Presiden Soekarno dan Pemerhati Sosial

                                                        KOMPAS, 30 Maret 2021

 

 

                                                           

Syaiful Arif, di harian Kompas (16/2/2021), menulis artikel berjudul ”RUU BPIP dan Institusionalisasi Pancasila”. Dalam Peraturan Presiden No 7 Tahun 2018, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila merupakan unit kerja Presiden yang bertugas membantu Presiden merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila.

 

Karena terkait Pancasila yang digali Bung Karno, saya terpanggil untuk memberikan beberapa pandangan. Hal itu karena saya sering berdiskusi tentang Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang saya lakukan bersama Bapak sejak di Sekolah Menengah Atas Perguruan Cikini, Jakarta.

 

Sebelum mengupas pandangan dan komentar Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila Syaiful Arif, saya bertanya, apakah Pancasila yang digali Bung Karno dikemukakan pada 1 Juni 1945 masih perlu diotak-atik dan diperdebatkan?

 

Apakah pikiran, artikel-artikel, pidato-pidato di mana-mana, dan tulisan Bung Karno yang bertebaran di buku-buku, antara lain Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Pancasila sebagai Dasar Negara, Di Bawah Bendera Revolusi jilid I, Jilid II, bahkan otobiografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams, belum cukup menjelaskan serta menegaskan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia?

 

Menurut hemat saya, di mana pun Pancasila itu berada, selama Pancasila tak dilepaskan dari sumber dan asal-muasalnya, yaitu Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, tentu tidak akan ada masalah dan menimbulkan perdebatan.

 

Sebagaimana kita tahu, hari lahir Pancasila telah ditetapkan dan diakui sebagai hari libur nasional. Dalam hal ini, tentu, konteks Pancasila yang mendasari lahirnya Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP) dan institusionalisasi seperti dimaksud Syaiful Arif mengacu pada Pancasila 1 Juni 1945.

 

Namun, persoalannya, hingga kini masih banyak kalangan, terutama para elite, pakar politik dan ideologi yang meminjam istilah Bung Karno ”Mahawikan-mahawikan”, yang menulis dan mengupas Pancasila terlepas dari sumber aslinya, yaitu Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945.

 

Dalam artikelnya, Syaiful Arif menulis, ”Ketika pemerintahan Presiden Jokowi mengajukan RUU ini tahun lalu, beberapa kalangan menolak. Alasannya, RUU tersebut dinilai sama dengan RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diajukan sebelumnya dan dinilai kontroversial. Padahal, dua RUU ini sangat berbeda.

 

Pertama, karena RUU HIP berhasrat menyusun tafsir tentang Pancasila dengan menentukan sendi pokok dan ciri pokok Pancasila. Sendi pokoknya merujuk pada keadilan sosial. Kedua, RUU BPIP tak akan mengacaukan hierarki sistem hukum nasional karena ia tak mengatur hakikat Pancasila, tetapi mengenai upaya pembinaan ideologi Pancasila.

 

Selanjutnya, dalam uraiannya terkait RUU HIP yang berhasrat menyusun tafsir Pancasila dengan menentukan sendi pokok dan ciri pokok Pancasila, dengan sendi pokoknya yang merujuk pada keadilan sosial, Syaiful Arif mengutip tulisan Bung Hatta dalam Pengertian Pancasila (1977). ”Misalnya, menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar yang memimpin dan membimbing sila-sila lainnya”.

 

Jika dikatakan bahwa Bung Hatta dalam penjelasannya mengenai pengertian Pancasila pada 1977, misalnya menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar yang memimpin dan membimbing sila-sila lainnya, kita perlu menyimak surat wasiat Bung Hatta kepada penulis pada 16 Juni 1978.

 

Inti isi surat wasiat Bung Hatta tersebut tidak mempermasalahkan kedudukan sila-sila Pancasila dalam pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Bung Hatta hanya menyatakan bahwa berdasarkan keputusan Panitia 9, yang dipimpin Bung Karno sebagai ketua, sila-sila pada Pancasila 1 Juni 1945 disempurnakan dan diubah susunannya sehingga Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila pertama. Jadi, hal ini berarti kelima sila dari Pancasila, setiap sila-silanya saling mengisi dan tak terpisahkan satu sama lain.

 

Kini , pertanyaan lain, mengapa Bung Karno mengatakan dalam pidatonya 1 Juni 1945 bahwa Pancasila dapat diperas menjadi Trisila, yaitu Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa? Kemudian, dari Trisila dapat diperas lagi menjadi Ekasila, yaitu Gotong Royong, yang menurut Bung Karno adalah satu perkataan Indonesia yang tulen ”Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong. Alangkah hebatnya negara gotong royong!” (Pidato Bung Karno, 1 Juni 1945)

 

Sejatinya, apa yang Bung Karno maksud dengan peras-memeras dari Trisila menjadi Ekasila adalah sekadar menawarkan kepada publik.

 

Siapa yang tidak senang dengan simbolik angka lima, boleh diperas tinggal tiga atau satu saja. Lalu, bagi mereka yang tidak senang atau tidak setuju dengan simbolik angka tiga dan minta satu dasar saja, maka ambillah Dasar Negara Gotong Royong. Karena itu, tak berarti—walaupun dalam Sila Gotong Royong—tak terdapat sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila-sila lainnya. Dalam Sila Gotong Royong itu, semua sila dari Pancasila ”dikumpulkan” jadi satu dalam Sila Gotong Royong.

 

Selanjutnya, untuk mereka yang tak setuju adanya perasan-perasan Trisila dan Ekasila, menurut saya, hal itu dapat berarti tidak setuju kepada Pancasila itu sendiri.

 

Jika konteks ini dihubungkan dengan RUU BPIP, sejauh ini Pancasila dalam RUU tersebut adalah Pancasila yang berasal dari Pidato Bung Karno Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945. Dengan demikian, tidak ada masalah dan sah-sah saja untuk diundangkan oleh DPR.

 

Empat pilar

 

Terkait dengan Empat Pilar NKRI, yang disosialisasikan oleh Ketua MPR almarhum Taufiq Kiemas, menurut penulis, jika ditinjau dari kacamata ajaran-ajaran dan pikiran-pikiran Bung Karno, maka Pancasila yang menurut Bung Karno adalah Dasar Negara dalam Empat Pilar itu hanya dinilai sebagai satu pilar atau sekadar tiang berbangsa dan bernegara sehingga jelas tidak tepat.

 

Dalam teori ideologi, Bung Karno menyatakan, Pancasila adalah suatu meja statis di mana NKRI diletakkan di atasnya. Selain itu, Pancasila juga satu leitstar atau bintang penuntun dinamis yang menunjukkan ke mana arah NKRI harus dibawa. Arah itu ialah mendirikan suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sosialistis, modern, tetapi bersifat religius dan Berketuhanan Yang Maha Esa.

 

Hal ini berarti, Pancasila tak dapat diposisikan sekadar menjadi pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Harusnya lebih dari pemahaman sebatas pilar semata. Seseorang yang menyetujui Pancasila adalah salah satu pilar berbangsa dan bernegara, maka orang tersebut masih tetap dapat dikatakan sebagai seorang yang Pancasilais, akan tetapi, yang ”Pancasila-nya sudah tidak prinsipiil lagi”.

 

Institusionalisasi Pancasila

 

Menurut Syaiful Arif, penting dalam pembinaan Pancasila ialah institusionalisasi atau pelembagaan Pancasila itu sendiri. Disebutkan, internalisasi itu mengacu pada ”penyuntikan” Pancasila ke dalam individu manusia atau institusionalisasi dapat mengacu pada ”pembenaman” Pancasila dalam peraturan perundang-undangan, kebijakan publik, serta tata kelola lembaga negara.

 

Inilah yang menjadi sasaran utama dari RUU BPIP sebagai UU penguatan Pancasila dalam struktur kenegaraan.

 

Namun, menurut Syaiful Arif, kendala terbesar untuk melaksanakan institusionalisasi Pancasila adalah belum dijadikannya Pancasila sebagai dasar bagi penyusunan naskah akademik dari sebuah UU. Pasalnya, karena adanya faktor yang lebih mendasar lagi, yakni belum disusunnya ”Pedoman Teoretik Pancasila” bagi naskah akademik lainnya.

 

Di samping itu, Pancasila juga belum dijadikan ”batu uji” dalam judicial review saat ini. Menurut hemat saya, belum adanya naskah akademik ataupun ”batu uji” dalam judicial review, hal itu hanyalah menyangkut masalah yuridis formal yang menyangkut hukum ketatanegaraan.

 

Menjadi pertanyaan, mengapa kita selalu berpikir bahwa semua hal harus ada landasan hukum dan pasal-pasalnya? Jika seperti itu, hal ini akan dapat membuat kita menjadi suatu bangsa yang terlalu legalistik dan lupa bahwa banyak hal penting, bahkan amat penting, tidak ada dasar dan pasal-pasal hukumnya.

 

Salah satu contohnya, apa dasar hukum Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan Indonesia menjadi negara merdeka pada 17 Agustus 1945? Soekarno dan Hatta justru melanggar, bahkan merobek-robek hukum kolonial yang mengekang kemerdekaan Indonesia saat itu.

 

Lalu apa dasar hukum Bung Karno menyelundupkan senjata ke Aljazair dengan kapal selam untuk pejuang-pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam FNPA pada 1960-an? Bukankah dengan tindakannya itu justru Bung Karno melanggar hukum internasional?

 

Jadi, landasan hukum apa yang digunakan Bung Karno untuk meluluskan permintaan dari sahabat-sahabatnya di Aljazair?

 

Dalam hal ini, Bung Karno menggunakan landasan kearifan Indonesia, Indonesian wisdom! Dalam Pancasila 1 Juni- lah terdapat ”kearifan Indonesia; Indonesian wisdom”.

 

Karena itu, kembali ke soal RUU BPIP dan institusionalisasi Pancasila, jika didasarkan pada Pancasila 1 Juni 1945, seharusnya tak ada lagi kendala-kendala yang dapat menghalangi pelembagaan Pancasila dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, serta tidak lagi ada hal-hal yang perlu diperdebatkan sekarang dan masa datang! ●

 

 

Sastra Hijau Sastra Berpihak

 Ranang Aji SP ;  Penulis fiksi dan nonfiksi. Esainya Sepotong Senja untuk Pacarku: Antara Sastra Modern-Pascamodern, Makna dan Jejak Terpengaruhannya menjadi nomine dalam Sayembara Kritik Sastra 2020 Badan Bahasa

                                                        KOMPAS, 30 Maret 2021

 

 

                                                           

Pada tahun 1962, di bulan Juni, The New Yorker mulai menerbitkan tulisan secara serial dari buku berjudul Silent Spring karya Rachel Carson. Buku ini menyuarakan ketertindasan alam dari kaum kapitalis yang mengeksploitasi alam. Terutama berkenaan penggunaan pestisida berlebihan yang digunakan untuk sasaran hama di Amerika.

 

Penggunaan pestisida itu berakibat pada kerusakan ekosistem dan hancurnya ekologi. Banyak burung didapati mati atau menghilang, mata rantai ekosistem terputus, dan manusia sendiri terdampak kanker. Buku itu selanjutnya memberikan pengaruh besar terhadap regulasi di Amerika. Beberapa negara bagian kemudian melarang penggunaan bahan kimia tertenu untuk melindungi alam dari kehancuran.

 

Silent Spring akhirnya juga memengaruhi gerakan literasi hijau yang berwawasan lingkungan hidup. Di tahun 1992, di Amerika kemudian berdiri sebuah lembaga yang bergerak pada literasi yang mencakup isu lingkungan, Association for the Study of Literature and Environment (ASLE). Cheryll Glotfelty dan Michael P Branch adalah tokoh pertama dan utamanya. ASLE kemudian mempromosikan setiap karya baik humaniora, sastra, seni, dan lainnya yang mengangkat isu lingkungan hidup.

 

Gerakan ini juga kemudian mempromosikan sastra hijau di dunia. Sebuah gerakan sadar lingkungan yang disuarakan melalui sastra hijau atau environment literature. Melalui ekokritisisme, sebuah metode kritis yang menelisik sastra dan lingkungan, kemudian mencoba merangsang tumbuhnya minat para pengarang untuk peduli terhadap lingkungan hidup melalui karya mereka.

 

Hanya saja, sastra hijau bukan semata sastra yang bercorak romantisisme yang sekadar memuja keindahan. Namun, sastra hijau menuntut lebih dari sekadar pemujaan terhadap senja (misalnya). Jenis apokaliptis dan precautionary tale dipandang memiliki efektivitas fungsi dari tujuan yang hendak dicapai. Dalam gerakan ini, ASLE meyakini bahwa sastra, baik puisi atau prosa dinilai memiliki suara yang mampu membawa kesadaran karena bersifat lembut dan imajinatif.

 

Sayangnya di Indonesia sendiri, di mana kondisi kerusakan lingkungan sudah dinilai sangat parah, belum banyak media dan pengarang yang berpihak pada isu lingkungan. Dalam catatan riset Prof Novita Dewi dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (misalnya), pengarang di Indonesia yang cenderung tertarik pada tema-tema sosial-politik dan budaya masih dominan.

 

Sementara pengarang yang menulis karya sastra dengan perspektif lingkungan hidup masih sangat minim. Dewi hanya mencatat beberapa novel yang terbit dalam tema ini, di antaranya karya Ahmad Tohari berjudul Ronggeng Dukuh Paruk (1982), dan novel karya Martin Alieda berjudul Jamangilak Tak Pernah Menangis (2004). Sementara cerpen yang diteliti dari 2010 hingga 2015 hanya ditemukan 25 cerpen yang bertema lingkungan (Dewi, 2015).

 

Sastra berpihak

 

Gambaran tersebut pada dasarnya memberikan kesadaran bahwa sastra setidaknya memang harus berpihak. Meskipun secara sadar atau tidak, seluruh karya sastra yang dianggap bernilai menyuarakan keberpihakan pada sesuatu yang bernilai etis dan ideologis.

 

Jean-Paul Sartre (misalnya) di tahun 1948 menerbitkan buku tipisnya berjudul What’s Literature? yang memberikan pengertiannya bahwa sastra harus berpihak pada kemanusiaan, harus menjadi saksi bagi proses dehumanisasi. Sartre pada saat itu tengah melawan para penulis yang ia sebut melayani tradisi kaum borjuis yang hanya semata menyuarakan ”rasa” ala kaum borjuis.

 

Demikian pula Marxim Gorky dengan gagasan realisme sosialisnya di Rusia. Di Amerika Latin, realisme magis adalah jenis sastra yang juga berpihak secara jelas. Basis perlawanannya adalah bentuk estetika yang harus lepas dari kebudayaan Eropa yang semata berangkat dari rasionalisme. Dalam sebuah wawancara, di tahun 1980-an Octavia Paz menolak realisme magis sebagai bagian dari sastra posmodern karena dinilai bukan dari kebudayaan Amerika Latin.

 

Dus, di sini, pada dasarnya, Silent Spring kemudian memberikan gambaran yang optimis bahwa suara dalam literasi memiliki potensi besar di dalam gerakan perubahan. Seperti juga novel One Hundred Solided karya Gabriel Gracia Marquez yang mampu memberikan perubahan pandangan Barat terhadap sastra dan kebudayaan Amerika Latin.

 

Perubahan demikian juga kita dapatkan setelah Simone de Beauvoir menulis The Second Sex (1949) atau Gayatri Spivak menulis esai Can The Subaltern Speak? (1988). Kedua karya itu memberikan inspirasi secara luas bagi gerakan feminisme yang mengubah pandangan dunia terhadap posisi perempuan.

 

Maka, demikian pula dengan posisi sastra hijau yang tak antroposentris, kesediaan atau keberpihakan pengarang pada isu lingkungan hidup diharapkan akan membawa perubahan pada apa saja yang diharapkan, seperti keasadaran masyarakat luas, kebijakan dan regulasi pemerintah yang melindungi alam lingkungan, dan akhirnya, semoga mampu menyelamatkan lingkungan hidup yang saat ini sudah semakin mengkhawatirkan. Semoga pula, para pengarang di Indonesia bersedia menjadi bagian dari gerakan ini. ●

 

 

Mencermati Data Impor Beras

 Margaretha Ari Anggorowati ;  Statistisi Badan Pusat Statistik

                                                        KOMPAS, 30 Maret 2021

 

 

                                                           

Data impor beras menjadi polemik setelah ada dugaan kebocoran beras impor asal Vietnam merembes ke pasar tradisional dengan harga yang lebih murah dari beras medium dalam negeri. Hal ini sempat menjadi sorotan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Bulan Januari 2021 lalu.

 

Hal yang dikhawatirkan adalah jika terjadi kebocoran beras impor ke pasar maka dapat terjadi harga beras lokal akan turun karena kelebihan pasokan dan ini akan merugikan petani. Bulog sendiri sudah memastikan stok beras nasional aman dengan kapasitas 1 juta ton dari hasil penyerapan produksi padi para petani di masa panen raya 2021. Bulog juga menjelaskan sampai dengan 26 Maret 2021, Bulog sudah menyerap sebanyak lebih dari 180.000 ton.

 

Cakupan dan sumber data

 

Dalam memahami data impor beras, cakupan dan sumber data merupakan hal penting. Sumber data impor beras dikumpulkan berdasarkan transaksi impor beras yang ada di Bea Cukai. Keseluruhan transaksi ini mencatat impor beras baik yang dilakukan oleh pemerintah (khususnya Bulog) maupun nonpemerintah (importir umum).

 

BPS mencatat data impor beras yang meliputi beberapa jenis yaitu beras medium, premium, ketan, dan beras pecah. Pencatatan kode impor beras di BPS meliputi 9 kategori yaitu HS 10061010 (Gabah, cocok utk disemai), HS 10061090 (Gabah, tidak utk disemai), HS 10062010 (Gabah dikuliti, jenis beras Hom Mali), HS 10062090 (Gabah dikuliti, jenis beras selain Hom Mali), HS 10063030 (Beras ketan, setengah giling/giling seluruhnya, disosoh atau dikilapkan maupun tidak), HS 10063040 (Beras Hom Mali, setengah giling/giling seluruhnya, disosoh atau dikilapkan maupun tidak), 10063091 (Beras setengah masak, dari beras setengah giling/giling seluruhnya, disosoh atau dikilapkan maupun tidak), HS 10063099 (Beras setengah giling/giling seluruhnya, disosoh atau dikilapkan maupun tidak, selain beras ketan/Hom Mali/beras setengah masak), dan HS 10064090 (Beras pecah, layak dikonsumsi manusia).

 

Hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa dalam pencatatan BPS impor beras medium (yang diimpor oleh pemerintah khususnya Bulog) dan premium (yang juga diimpor oleh non Bulog) dikategorikan pada kode HS 10063099.

 

Data impor beras

 

Berdasarkan data impor beras BPS dalam delapan tahun terakhir mulai tahun 2010 sampai dengan 2018 diketahui bahwa impor beras didominasi oleh kode HS 10063099 (beras medium dan premium baik yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun nonpemerintah) dengan puncak-puncak pada tahun 2011 sebesar 2.218.342,690 ton, tahun 2016 sebesar 997.468,148 ton dan tahun 2018 sebesar 1.801.275,894 ton.

 

Data impor beras dengan kode HS 10063099 tercatat menurun drastis pada 2019 menjadi 6.197,038 ton. Turunnya impor beras dengan kode HS 10063099 pada tahun 2019 disebabkan oleh tidak adanya impor yang dilakukan pemerintah pada tahun tersebut. Tahun 2019 impor beras didominasi oleh beras jenis HS 10064090 (beras pecah, layak dikonsumsi manusia) dengan jumlah sebesar 444.508,789 ton. Beras pecah umumnya digunakan untuk industri tepung beras.

 

Mecermati data yang ada maka dapat diperjelas bahwa data impor beras yang dikeluarkan oleh BPS mencakup data impor yang dilakukan oleh pemerintah (khususnya Bulog) dan nonpemerintah. Impor beras yang dilakukan oleh pemerintah ini khususnya adalah beras medium untuk pangan.

 

Impor beras oleh pemerintah dilakukan sampai dengan tahun 2018. Tahun 2019 sampai 2020 impor yang ada dilakukan oleh nonpemerintah (kebutuhan khusus) dengan jumlah yang tidak besar dan tahun 2019 sampai 2020 kebutuhan impor beras lebih ditujukan pada pemenuhan kebutuhan industri tepung beras (HS 10064090).

 

Kejelasan dari polemik

 

Membaca data membutuhkan pencermatan yang dalam. Data harus dipahami dan dicermati, apalagi jika data tersebut ada dalam kelompok atau kategori-kategori tertentu dan sekaligus ada pada series waktu tertentu.

 

Terkait polemik data impor beras, yang kemudian mendapat respons Presiden Joko Widodo dengan menjelaskan bahwa tidak ada impor beras tiga tahun terakhir, maka yang dimaksud adalah impor beras jenis medium yang dilakukan oleh pemerintah untuk pemenuhan kebutuhan pangan (yang dalam hal ini dilakukan oleh Bulog).

 

Keputusan untuk tidak melakukan impor beras medium sejak tahun 2019 ini terkait adanya panen raya petani. Hasil panen raya ini dapat memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Data impor beras yang dicatat oleh BPS seperti sudah disampaikan di atas mencakup data impor yang dilakukan oleh pemerintah dan nonpemerintah.

 

Maka mengacu pada data yang ada, impor beras pada tahun 2019 lebih menunjukkan data impor beras jenis premium yang dilakukan oleh nonpemerintah (dengan angka yang tidak terlalu besar, dan umumnya beras jenis ini digunakan untuk kebutuhan khusus seperti kebutuhan untuk penderita diabetes, diet, dll).

 

Data impor beras yang tercatat cukup besar pada tahun 2019 adalah beras jenis pecah (kategori HS 10064090) yang dibutuhkan untuk pemenuhan bahan baku industri tepung. Impor beras jenis pecah ini untuk kestabilan pasokan bagi untuk industri tepung. ●

 

 

Terorisme yang Bermain di Dua Kaki

 Sarie Febriane ;  Wartawan Kompas

                                                        KOMPAS, 30 Maret 2021

 

 

                                                           

Pagi itu, 1 Februari 2019, langit Jakarta membentang biru cerah. Matahari menyeruak menyinari senyum anak-anak yang asyik berjoget senam pagi di lapangan luas sebuah panti sosial di Bambu Apus, Jakarta Timur. Salah satu anak di barisan terdepan asyik mengikuti gerakan instruktur senam. Kerudung hitam panjangnya terayun-ayun ketika tubuhnya bergoyang. Tujuh bulan sebelumnya, gadis kecil itu mendadak jadi yatim piatu ketika kedua orangtua dan dua kakaknya yang remaja meledakkan diri di Markas Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, 14 Mei 2018.

 

Sesekali senyum gadis kecil berusia delapan tahun itu tersungging saat mengikuti irama lagu. Pagi itu, sang instruktur senam menyetel lagu dari Ratih Purwasih berjudul ”Kau Tercipta Bukan Untukku” yang mengalun dalam irama dangdut. ”Dia mau joget seperti itu sudah suatu pencapaian luar biasa,” bisik salah seorang kakak pendamping di panti itu.

 

Di panti sosial tersebut, sang gadis kecil menjalani program rehabilitasi bersama anak-anak lain dengan beragam latar belakang masalah, selain terorisme. Seorang psikolog secara khusus membantunya menjalani terapi, terutama untuk mengatasi trauma berat yang dialami si gadis kecil. Bagaimana tidak, ia kehilangan keluarganya secara tragis di depan matanya sendiri. Dirinya selamat dari ledakan itu ketika seorang polisi dengan cukup nekat membopong tubuhnya keluar dari titik ledakan.

 

Selama tujuh bulan pertama di panti itu, kemajuan pada si gadis kecil cukup signifikan. Sebelumnya, akibat indoktrinasi kedua orangtuanya, si gadis meyakini bahwa musik adalah sesuatu yang haram, apalagi berjoget-joget mengikuti alunan musik. Tak hanya itu, ia juga sempat menolak berkawan campur dengan teman-teman lainnya di panti, apalagi yang berbeda agama. Ia bahkan juga menolak memakan ayam yang tidak ia ketahui bagaimana disembelihnya. Namun, setelah tujuh bulan menjalani terapi, ketika itu, saat ditanya apa makanan favoritnya, dengan malu-malu ia menjawab, ”ayam goreng”. Apalagi ayam goreng dari suatu restoran waralaba terkenal asal ”Negeri Paman Sam” yang berlogo kakek-kakek itu.

 

Proses melunakkan "ideologi" yang telanjur terbentuk kuat di kepala si gadis kecil tentulah tak mudah. Terlebih lagi ia sosok yang amat pendiam dan tertutup. Perlahan terkuak dari pengakuannya kepada psikolog pendamping, proses indoktrinasi dari kedua orang tuanya cukup intens. Ia hidup dalam isolasi keluarga yang amat ketat, tak boleh berbaur dengan anak-anak lain. Kedua orangtuanya secara intensif terus-menerus mencekokinya dengan ajaran-ajaran ekstrem, menciptakan imaji perjuangan suci yang sedang mereka jalani sekeluarga.

 

Di garis depan

 

Potret radikalisasi atau ekstremisme di keluarga seperti yang dialami dalam kasus Bom Surabaya di atas boleh dibilang secara dramatik menandai gejala kemunculan sel keluarga dalam peta gerakan terorisme di Indonesia belakangan ini. Disebut "sel keluarga" dalam hal ini yakni ketika lingkup satu keluarga berperan langsung di garis depan serangan teror. Seperti juga yang terjadi dalam peristiwa bom di gereja di Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/3/2021). Pelaku bisa disebut sel keluarga, yakni sepasang suami istri yang baru menikah.

 

Ketika sel teror yang bermain di garis depan aksi berupa keluarga, manajemen persiapan serangan menjadi lebih mudah dan tak perlu sering-sering menggunakan perangkat telekomunikasi yang berisiko disadap polisi.

 

Feomena keterlibatan keluarga sendiri sebenarnya juga bukan sesuatu yang benar-benar baru. Kristalisasi paham ekstremisme di lingkup keluarga sudah terjadi sejak era Jamaah Islamiyah di masa lampau, yakni ketika kerap terjadi kawin-mawin di antara anggota jejaring. Hanya saja, peran keluarga inti tidak benar-benar aktif di garis depan serangan teror. Keluarga, seperti pihak istri, misalnya, kalau toh terlibat, sebatas di lini belakang secara tak langsung.

 

Kemudian di era Negara Islam  di Irak dan Suriah (NIIS), gambaran peran keluarga  juga kuat ketika banyak keluarga yang ”hijrah” ke Suriah untuk bergabung dengan NIIS. Kini, ketika pamor NIIS meredup, gejala sel keluarga tersebut mewujud untuk proyek serangan teror di dalam negeri.

 

Organisasi-organisasi teror boleh saja sudah lewat masanya akibat dihabisi. Namun, residu ideologi ekstrem (atau biasanya disebut radikal) tak berarti ikut habis begitu saja. Laporan IPAC yang dirilis 21 Januari 2021 sebenarnya telah cukup terang memberi isyarat. Laporan itu berjudul ”The Decline of ISIS in Indonesia and The Emergence of New Cells”, memaparkan berbagai kelompok-kelompok dalam gerakan esktrem, juga yang saling-silang (crossover) di antara mereka, termasuk yang beririsan dengan ormas.

 

Laporan tersebut juga menyorot pentingnya tetap mewaspadai sel-sel yang dormant alias tidur. Meskipun tidak secara khusus mengulas gejala sel keluarga, salah satu kesimpulan laporan menggarisbawahi pentingnya aparat menyimak dan mengikuti perkembangan ceramah-ceramah (agama) ataupun webinar di kalangan masyarakat. Kegiatan-kegiatan semacam itu yang juga jamak diikuti oleh keluarga-keluarga.

 

Ansyaad Mbai, pemerhati terorisme yang juga mantan Kepala BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) juga mengamini gejala sel keluarga tersebut. Internalisasi doktrin pro-ekstremisme justru solid ketika mewujud di level keluarga sepenuhnya. Imaji tentang surga yang bisa dicapai oleh seluruh anggota keluarga—lewat aksi jihad bersama—menjadi gambaran kebahagiaan yang sempurna.

 

Di level elite

 

Walaupun begitu, Ansyaad mengingatkan juga, bagaimanapun potret keluarga yang terjerat paham ekstrem demikian sejatinya mereka adalah korban. Mereka menjadi korban dari penyesatan dalam memahami ajaran agama. Di sinilah ia menyoroti pentingnya negara atau pemerintah memberikan perhatian yang lebih penuh pada pihak-pihak di level elite yang berperan dalam menyebarkan, mendukung, ataupun bersimpati pada pemahaman-pemahaman ekstrem tersebut.  Pihak-pihak di level elite yang ia maksud itu, termasuk di lingkup parpol ataupun ormas.

 

Berbeda dengan mereka yang bermain kotor di lapangan bergumul dengan bahan peledak dan bom, pihak-pihak di level elite yang berpengaruh dalam mematangkan narasi pro-ekstremisme ini ”bermain tangan bersih”. Dalam artian, secara sadar tidak menceburkan diri dalam kegiatan yang semata-mata mudah dijerat secara pidana.

 

Secara singkat, Ansyaad menyimpulkan, gerakan ekstremisme saat ini bermain di dua kaki. Keduanya yaitu jalan kekerasan, yakni terorisme, dan jalan politis lewat seruan atau narasi yang pro-ekstremisme. Ia menyebut contoh seperti gerakan politik yang digelorakan kelompok 212, yang menjadi bagian dari dinamika politik praktis sejak beberapa tahun lalu.

 

Menurut Ansyaad, narasi turunan pro-ekstremisme yang mudah dideteksi paling tidak ada empat parameter, yakni narasi khilafah, konsep hukum Tuhan, takfiri atau pengafiran, jihad (dalam arti kekerasan), serta ”hijrah”—yang dahulu dimaksudkan pergi ke Suriah bergabung dengan NIIS.

 

Narasi-narasi turunan itulah yang tak hanya kerap dikobarkan oleh pihak-pihak di level elite, tetapi juga menyusup hingga ke dalam berbagai kelompok-kelompok kecil kajian keagamaan  yang berhaluan puritanisme, yang jamak diikuti keluarga-keluarga. Apalagi di tengah tren ”hijrah” di keluarga muda di kawasan urban saat ini.

 

Tanpa mengatasi diseminasi ideologi pro-ekstremisme oleh pihak-pihak elite tersebut, sel-sel keluarga bisa terus bermunculan. Awalnya sekadar teradikalisasi sekeluarga, lama-lama sekeluarga bermain di garis depan aksi teror. Di level keluarga inilah instrumentalisasi agama dalam  gerakan terorisme menjadi lebih solid.

 

Lantas bagaimana bisa dalam negara yang mengusung demokrasi, narasi demikian bisa dihadang? Konsep kebebasan dalam demokrasi, menurut Ansyaad, memang menemui ujian krusial. Gerakan ekstremisme, termasuk yang mengusung jalan teror, selama ini justru sukses berkembang biak di suatu negeri dengan memanfaatkan iklim demokrasi yang memberi pengakuan universal yang setara akan eksistensi semua manusia dengan latar belakang apa pun.

 

Sementara, bagi kelompok ekstrem demokrasi itu sendiri serupa jalan setan, yang tak dikehendaki Tuhan. Ansyaad berargumen, apakah adil membiarkan diseminasi narasi pro-ekstremisme yang ternyata terbukti berakibat pada terampasnya kemanusiaan dan terancamnya koeksistensi sesama manusia?

 

Tuntutan atas martabat

 

Francis Fukuyama dalam bukunya, Identity: The Demand for Dignity and The Politics of Resentment (2018), mengulas soal bagaimana pengakuan universal dalam konsep demokrasi (liberal) saat ini memang sedang ditantang oleh bentuk pengakuan yang lebih sempit berdasarkan, misalnya, ras, agama, sekte, etnis, yang mengakibatkan populisme anti-imigran hingga kebangkitan Islam yang terpolitisasi.

 

Fukuyama bertolak dari pemikiran bahwa manusia tak melulu termotivasi oleh kebutuhan rasional (ekonomi) dan keinginan atau hasrat (desire) semata, tetapi juga oleh thymos, yakni bagian ketiga (setelah akal/rasio dan desire) dari jiwa yang mendamba pengakuan dan penghormatan atas martabatnya. Konsep itu merujuk pada pemikiran dalam karya Plato, Republic, yang memuat dialog  antara filsuf Socrates dengan dua aristokrat muda Athena, Adeimantus dan Glaucon, tentang kondisi kota yang adil.

 

Yang dimaksud dengan thymos itu sendiri kemudian mewujud menjadi dua, yakni isothymia dan megalothymia. Isothymia yakni ketika orang ingin diakui setara dengan manusia lainnya. Sementara megalothymia justru sebaliknya, ingin diakui lebih superior dibandingkan (kelompok) manusia lainnya. Di situlah Fukuyama menyatakan, thymos adalah pusat dari politik identitas masa sekarang. Dan di situlah pula terjadi kontestasi yang sengit antara isothymia dan megalothymia.

 

Dalam kaitannya memahami fenomena ekstremisme di tengah kaum Muslimin, Fukuyama membedah pandangan dua pemikir yang saling beradu argumen, yakni sarjana Timur Tengah dari Perancis, Oliver Roy, dan cendekiawan Islam dari Perancis, Gilles Kepel.

 

Menurut Roy, yang terjadi dalam fenomena terorisme saat ini bukanlah radikalisme Islam, melainkan Islamisasi radikalisme, yang mana anak-anak muda yang terlibat di dalamnya mendapatkan komunitas, penerimaan dan martabat. Menurut dia, motif di balik terorisme jihadis lebih pribadi dan bersifat psikologis daripada agama. Pandangan Roy akan jihadisme kontemporer yang meremehkan dimensi religius itu yang lalu dikritik oleh Kepel.

 

Menurut Kepel, peralihan ke jalan kekerasan dan ekstremisme itu tidak dapat dipahami terpisah dari doktrin agama yang dikumandangkan ke seluruh dunia dan khususnya paham ultrakonservatif yang diekspor Arab Saudi. Fukuyama lantas mengajukan salah satu pertanyaan penting berdasarkan perdebatan tersebut, yakni apakah kebangkitan radikalisme Islam lebih baik dipahami sebagai masalah identitas atau pada dasarnya murni merupakan fenomena religius?

 

Menurut Fukuyama, pandangan kedua cendekia tersebut bisa saling melengkapi. Baginya, baik fenomena nasionalisme (sempit) maupun islamisme dapat dilihat sebagai jenis politik identitas. Kedua fenomena itu memiliki kesamaan, salah satunya menuntut pengakuan martabat dengan cara yang terbatas: tidak untuk semua manusia, tetapi untuk anggota kelompok nasional atau agama tertentu.

 

Oleh karena itu, tak mengherankan kita menyaksikan soal menguatnya gejala "permainan di dua kaki” yang dicermati oleh Ansyaad Mbai tadi. Instrumentalisasi agama dalam permainan politik identitas saat ini tak malu-malu lagi untuk mewajah dalam dua outlet, yaitu melalui jalan kekerasan, yakni terorisme, dan jalan politis lewat retorika narasi pro-ekstremisme di elite parpol dan ormas.

 

Siapa yang menjadi korbannya? Tak hanya orang-orang tak berdosa yang tewas dalam serangan teror, tetapi juga si gadis kecil tadi yang mendadak harus menjadi sebatang kara. ●

 

 

Candu Impor Pangan

 Enny Sri Hartati ;  Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance

                                                        KOMPAS, 30 Maret 2021

 

 

                                                           

Dalam era keterbukaan ekonomi, impor barang ataupun jasa tentu merupakan suatu yang lumrah, bahkan sebuah keniscayaan. Pasalnya, kerja sama perdagangan tidak mungkin terjadi jika tidak ada hubungan timbal balik atau resiprokal. Pendek kata, tidak ada satu negara pun yang membuka ekonominya dengan mengekspor, tanpa melakukan impor. Apalagi, di tengah perdagangan bebas ketika hambatan perdagangan utamanya, baik tarif bea masuk maupun bea keluar, ditiadakan.

 

Hampir semua negara berlomba mengejar efisiensi dengan fokus spesialisasi pada produk yang memiliki daya saing tinggi. Apalagi, teknologi dan jaringan produksi global (global supply chain) semakin merebak dan maju. Demi mengejar efisiensi, sebuah produk tak lagi mengejar brand satu negara, tetapi gabungan komponen produk dari berbagai negara.

 

Tentu hanya negara-negara yang memiliki daya saing tinggi yang terpilih dalam jaringan produk global tersebut. Dalam kondisi seperti itu, impor tentu tidak jadi masalah, bahkan impor semakin memacu produktivitas perekonomian dalam negeri. Termasuk jika importasi dilakukan guna mendorong berbagai investasi pada sektor-sektor riil, terutama industri pengolahan.

 

Sementara itu, Indonesia memiliki keragaman komoditas hasil sumber daya alam yang melimpah. Mulai dari komoditas yang berasal dari perut bumi (hasil tambang) hingga di atas perut bumi (pertanian, perkebunan, kehutanan). Termasuk hamparan lautan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, yakni  95.181 kilometer (perikanan, garam).

 

Ironisnya, Indonesia justru memiliki ketergantungan berbagai bahan baku impor untuk industri. Hingga Februari 2021, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, komposisi impor terdiri 74,39 persen bahan baku/penolong, barang modal 14,93 persen, dan barang konsumsi 10,68 persen. Artinya, arah kebijakan industrialisasi tidak berbasis pada pengembangan nilai tambah (value added) kekayaan komoditas dalam negeri. Lebih ironis lagi, sekalipun porsi impor terbesar merupakan bahan baku, ekspor Indonesia tetap didominasi sektor primer 53,5 persen, sementara ekspor industri manufaktur hanya berkontribusi 46,5 persen.

 

Padahal, proporsi industri nonmigas terbesar adalah industri makanan, yakni mencapai sekitar 24 persen. Sayangnya, bahan bakunya sangat bergantung pada impor. Sepanjang tahun 2020, impor serealia menduduki empat besar impor nonmigas Indonesia, yakni 3,23 miliar dollar AS. Impor komoditas pangan terbesar sepanjang 2020 antara lain gandum (2,6 miliar dollar AS), gula (1,94 miliar dollar AS), kedelai (1 miliar dollar AS), bawang putih (585,78 juta dollar AS), jagung (172,6 juta dollar AS), dan garam (94 juta dollar AS).

 

Rente ekonomi

 

Ketergantungan impor pangan yang semakin meningkat ternyata tidak semata-mata disebabkan oleh persoalan kekurangan pasokan di dalam negeri. Contoh paling mutakhir adalah polemik impor  beras, yang akan dilakukan saat produksi beras surplus sekitar 12,5 juta ton. Pasalnya, BPS memperkirakan sampai Mei 2021 produksi beras 17,5 juta ton dan ditambah sisa stok akhir Desember 2020 masih 7,3 juta ton. Sementara perkiraan kebutuhan beras nasional hanya 12,3 juta ton.

 

Ajaibnya, pemerintah memutuskan akan mengimpor 1 juta ton beras. Akibatnya, harga gabah kering panen (GKP) petani anjlok, hanya berkisar Rp 3.300-Rp 3.700 per kilogram. Jauh di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 4.200 per kg untuk GKP. Sekalipun akhirnya Presiden menegaskan tidak ada beras impor hingga Juni 2021, belum tentu serta-merta gabah petani akan terserap oleh Bulog menggunakan HPP. Pasalnya, harga beras di Indonesia memang 1,5-2 kali lebih mahal ketimbang harga beras di Vietnam atau Thailand. Karena itu, diperkirakan rente ekonomi impor 1 juta ton beras mencapai lebih dari Rp 2,5 triliun. Ditambah lagi, Bulog tidak lagi menyalurkan bantuan pangan (Rastra) sehingga kehilangan pasar (captive market) 2,5-3,4 juta ton.

 

Selain beras, polemik juga terjadi pada keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian ketika menambah kuota impor garam mencapai 3,07 ton. Pasalnya, di tengah garam rakyat tidak terserap di tengah pandemi, pemerintah justru menambah kuota impor 13,8 persen dibandingkan dengan impor tahun 2020 yang mencapai 2,7 juta ton. Dalihnya, kebutuhan garam industri mencapai 3,8 juta ton, artinya diasumsikan hampir seluruh kebutuhan garam industri hanya bisa dipenuhi dari impor.

 

Bisa jadi kebutuhan industri kimia 2,4 juta ton memang memerlukan kadar NaCl berkisar 95-98 persen. Selebihnya atau 1,4 juta ton garam masuk untuk memenuhi aneka industri, yang sebagian besar adalah usaha mikro, kecil, dan  menengah (UMKM) yang mampu dipenuhi oleh garam rakyat.

 

Tak kalah menarik adalah problem klasik dan mengakar pada importasi gula. Pasalnya, Indonesia merupakan importir gula terbesar di dunia, yakni mencapai 4,7 juta ton. Pemerintah seolah dihadapkan pada dilema, apalagi mendekati bulan Ramadhan dan Idul Fitri.

 

Dengan dalih stabilisasi harga gula, pemerintah memutuskan telah mengeluarkan izin impor 680.000 ton gula mentah (raw sugar) dan 150.000 ton gula kristal putih (GKP). Sementara itu, realisasi nilai impor gula Januari-Februari 2021 mencapai 481,7 juta dollar AS atau naik 99,38 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2020.

 

Candu Impor

 

Disparitas harga pangan internasional dan harga di dalam negeri memang selalu memberi insentif ekonomi untuk melakukan impor. Termasuk dijadikan justifikasi untuk melakukan stabilisasi harga agar tidak terjadi fluktuasi harga pangan pokok. Sementara sumber inefisiensi produk pangan di dalam negeri tidak pernah diselesaikan secara tuntas dari fundamental akar masalah.

 

Konyolnya lagi, ketiadaan peningkatan produktivitas pangan dijadikan alasan menghapus subsidi pupuk. Padahal, subsidi pupuk semestinya ditujukan untuk memberikan insentif ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan petani. Nyatanya, alih-alih meningkat kesejahteraannya, petani selalu dikorbankan demi menjaga stabilisasi harga.

 

Jadi, jangan salahkan jika impor pangan justru semakin menjadi candu dalam perekonomian. Juga jangan salahkan jika tidak ada lagi yang tertarik menjadi petani dan memilih menjual lahan suburnya sehingga alif fungsi lahan semakin masif. Tentu akan menjadi paradoks tragis bagi sebuah negeri agraris. ●