Kamis, 31 Mei 2012

Pendidikan Gaya Katak


Pendidikan Gaya Katak
Arifin Nugroho ; Guru SMA Kolese De Britto, Yogyakarta
SUMBER :  KORAN TEMPO, 31 Mei 2012


Pendidik dan mendidik bagaikan dua sisi mata uang, proses yang tidak dapat dipisahkan. Situasi ini mengindikasikan bahwa seo rang pendidik berada dalam sebuah sistem mendidik yang ia buat sendiri maupun dibuat oleh orang lain, yang lazim disebut kurikulum pemerintah. Dari sini terlihat bahwa ada tiga matra utama dalam pendidikan formal, yaitu peserta didik, guru, dan sistem pendidikan.

Dalam situasi saat ini, hierarki ketiga komponen tersebut mengalami kegamangan interaksi. Pemerintah pusat berada pada puncak tertinggi dalam sebuah hierarki piramida pendidikan. Di bawahnya ada pemerintah daerah sampai tingkat satuan pendidikan terendah, yaitu sekolah. Kemudian para peserta didik dengan jumlah terbesar di alas piramida. Dengan situasi semacam ini, dinamika pendidikan sering mengalami karut-marut kepentingan. Demi menjaga prestise kastanya, komunitas di puncak tertinggi terlalu sering menginjak komunitas strata di bawahnya. Akibatnya, siswa sebagai hierarki terbawah merupakan komunitas yang paling banyak dikorbankan.

UN dan Sertifikasi

Dalam sekumpulan populasi katak, manakala ada seekor katak yang akan menghirup udara segar di daratan, ia tidak segan melompat dari air dengan cara menginjak katak yang lain. Celakanya, gaya katak ini telah menjadi tradisi pendidikan yang dianggap biasa dan wajar.

Kita bisa melihat gaya katak sistem ujian nasional (UN) yang baru saja selesai digelar. Lepas dari silang pendapat perlu tidaknya UN, aturan kelulusan telah menjadi komoditas pencitraan belaka. Formulasi nilai kelulusan tahun ini adalah (0,6 x UN)+(0,4 x nilai sekolah) = tidak kurang dari 4. Jika peserta didik memiliki nilai sekolah (NS) = 9,0; ia hanya butuh nilai UN = 0,67; atau jika mau aman dengan syarat rata-rata semua pelajaran UN = 5,5 maka cukup butuh nilai UN = 3,2 (jawaban benar 13 dari 40 soal yang dikerjakan).

Dengan formulasi ini, pencitraan menggunakan gaya katak pun dilakukan.
Pemerintah pusat akan “menginjak“ pemerintah daerah agar “kualitas pendidikan“di daerah bermutu tinggi. Jika “kualitas pendidikan“tidak sesuai dengan harapan, jelas hal itu akan menurunkan pencitraan politis jabatan. Pemerintah daerah pun akan melakukan hal yang sama terhadap lembaga di bawahnya. Bahkan ada pemerintah daerah yang secara tegas menginstruksikan agar NS yang disetor ke Dinas Pendidikan memiliki nilai lebih dari 5. Jika ada sekolah yang menyerahkan NS kurang dari 5, daftar nilai tersebut akan ditolak dan dikembalikan. Akibatnya, sekolah akan mengubah nilai sesungguhnya dan bahkan mengubah nilai rapor yang telah dibagikan di semester III, IV, dan V.

Selain itu, sudah menjadi rahasia umum pula bahwa di daerah-daerah tertentu, “main mata“antarpemegang kebijakan telah banyak dilakukan demi kelulusan siswa 100 persen. Tujuan sebenarnya yang dilakukan bukan lagi demi prestasi siswa, melainkan hanya untuk menyelamatkan jabatan semata karena bisa dianggap tidak becus memajukan pendidikan. Lalu, inikah kualitas pendidikan yang dikehendaki? Siapa yang menjadi korban? Tentu, peserta didik! Peserta didik tidak lagi diberi teladan kejujuran.

Selain UN, ada lagi gaya katak dalam pendidikan dan bahkan dilakukan oleh beberapa pendidik. Jika UN ingin meningkatkan prestasi peserta didik, lain halnya dengan sertifikasi yang ingin meningkatkan prestasi para guru. Aturan sertifikasi yang serba berubah membuat para guru pontang-panting. Akibatnya, banyak guru meninggalkan kelas demi mengurus sertifikasi. Banyak guru yang harus bernegosiasi dengan kepala sekolah untuk memanipulasi jumlah jam tatap muka sebagai salah satu syarat menerima finansial sertifikasi. Bahkan banyak guru kasta senior “berperang“dengan guru kasta yunior yang merasa diinjak karena direbut jatah jam mengajarnya.

Hasil akhir yang didapat bukan lagi profesionalisme, melainkan sekadar perubahan gaya hidup borjuasi belaka. Kompetensi guru yang tetap saja stagnan, bahkan merosot, karena sibuk melengkapi berkas sertifikasi, mengakibatkan banyak peserta didik telantar. Jika nilai para siswanya jeblok, guru tidak akan menyalahkan diri sendiri, melainkan memberi stigma peserta didik yang bodoh. Lalu, sekali lagi, siapa yang dikorbankan? Jawabannya tetap sama, peserta didik!

Belajar dari Jurnalis

Jika kita melihat kerja jurnalis, guru bisa belajar darinya. Jurnalis tidak sekadar memaparkan ilmu pengetahuan baru kepada pembaca. Namun, lebih dari itu, ia mampu menajamkan dan bahkan mengarahkan sudut berpikir seseorang.
Kenaikan harga BBM yang secara kalkulasi matematis sangat wajar bisa menjadi tidak logis manakala ada pesan politis tersirat dan ranah humanistik yang diungkap para jurnalis.

Sistem jurnalistik yang dibangun media juga patut dicontoh dengan adanya kejujuran dan manajemen yang cantik. Tercela, saat sajian media bersifat manipulatif demi pencitraan semata dan sekadar untuk kepentingan politik tertentu. Seorang guru seharusnya otentik dan jujur dalam melayani peserta didik. Sistem pendidikan yang dibangun bukan untuk kepentingan kastanya, melainkan mutlak untuk melayani peserta didik. Selain dibekali ilmu pengetahuan, peserta didik juga dibekali cara merasakan dari sisi hati nurani dan keberpihakan kepada sesama.

Hierarki piramida pendidikan harus dibalik 180 derajat menjadi model pelayanan utuh (dux servus est). Peserta didik dengan jumlah paling besar harus menjadi bos. Guru, lembaga sekolah, dan pemerintah dengan jumlah lebih sedikit harus menjadi pelayan yang memfasilitasi. Semoga...

Menggugat Rezim Baru Zakat


Menggugat Rezim Baru Zakat
Yusuf Wibisono ; Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FEUI
SUMBER :  KORAN TEMPO, 31 Mei 2012


Tanpa hiruk-pikuk yang berarti, DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat pada 27 Oktober 2011, menggantikan UU Nomor 38/1999. Disahkannya undang-undang ini berdampak luas pada dunia filantropi Islam nasional yang dalam tiga dekade terakhir menunjukkan perkembangan yang sangat menjanjikan.

Di bawah undang-undang baru ini, rezim pengelolaan zakat nasional mengalami perubahan drastis di mana pemerintah melakukan sentralisasi pengelolaan zakat nasional melalui Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang didirikan dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota di mana Baznas di setiap tingkatan dapat membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) hingga ke tingkat kelurahan. Pada saat yang sama, partisipasi masyarakat sipil dalam pengelolaan zakat nasional melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ), yang dalam rezim UU Nomor 38 Tahun 1999 diakomodasi secara luas, kini dimarginalkan.

Kehadiran UU Nomor 23/2011 ini merupakan langkah mundur dan sangat berpotensi melemahkan dunia zakat nasional mendatang yang saat ini sangat ditopang oleh LAZ, yang dikelola oleh masyarakat sipil. Dengan pengelolaan zakat secara profesional-modern berbasis prinsip manajemen dan tata kelola yang baik, zakat nasional mengalami kebangkitan di tangan LAZ. Melalui gerakan sadar zakat kepada publik secara luas, inisiatif pengelolaan zakat secara kolektif, dan pendayagunaan zakat secara produktif oleh LAZ, potensi zakat nasional mulai tergali dengan dampak yang semakin signifikan dan meluas.

Marginalisasi Masyarakat Sipil

Marginalisasi LAZ dalam UU Nomor 23/2011 sangat jelas dan eksplisit. undang-undang mengamanatkan bahwa yang memiliki kewenangan atas pengelolaan zakat nasional hanya Baznas, sedangkan pendirian LAZ oleh masyarakat hanya sekadar membantu Baznas. Lebih jauh lagi, pendirian LAZ direstriksi secara ketat, di mana restriksi yang sangat krusial adalah keharusan LAZ didirikan oleh ormas Islam. LAZ yang sekarang sudah dikukuhkan memang tetap diakui dalam undang-undang ini, namun maksimal dalam 5 tahun mereka diharuskan menyesuaikan diri dengan undang-undang baru, artinya harus mengikuti persyaratan pendirian LAZ baru jika ingin pengukuhannya tidak dicabut oleh Menteri Agama. Pasal ini sangat potensial digunakan untuk melemahkan bahkan "membunuh" LAZ, karena lembaga-lembaga besar saat ini tidak berafiliasi dengan ormas Islam.

Undang-Undang Nomor 23/2011 juga menerapkan persyaratan pendirian LAZ harus mendapat rekomendasi dari Baznas. Padahal, berdasarkan undang-undang ini, Baznas juga menyandang status sebagai operator zakat nasional, status yang sama sebagaimana halnya dengan LAZ. Hal ini secara jelas menimbulkan conflict of interest: Baznas memiliki motif, insentif, dan kewenangan untuk menjegal pendirian LAZ baru yang berpotensi menjadi pesaingnya. Lebih jauh lagi, LAZ yang tetap beroperasi tanpa izin, meski mendapat kepercayaan luas dari masyarakat, terancam dikriminalkan oleh undang-undang ini yang melarang LAZ yang beroperasi tanpa izin dari pejabat yang berwenang dan memberi ancaman pidana penjara dan/atau pidana denda bagi LAZ ilegal.

Seluruh hal di atas secara jelas kontraproduktif dengan upaya peningkatan kinerja zakat nasional, khususnya dalam upaya mengoptimalkan potensi dana filantropi Islam yang besar untuk penanggulangan kemiskinan. Kinerja penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat lebih banyak ditentukan oleh legitimasi dan reputasi lembaga pengumpul, bukan oleh sentralisasi kelembagaan oleh pemerintah. Kinerja zakat nasional di Indonesia terbukti justru meningkat setelah dikelola oleh masyarakat sipil yang kredibel. Undang-Undang Nomor 23/2011 ini berpotensi melanggar Pasal 28 C ayat (2) UUD 1945 di mana LAZ sebagai badan hukum publik memiliki hak untuk turut membangun masyarakat.

Superioritas Negara

Rezim baru zakat nasional juga memberi privilege secara luar biasa kepada Baznas. Ketika LAZ mendapat persyaratan pendirian yang ketat, hal yang sama tidak diterapkan kepada Baznas, hanya karena ia adalah operator zakat bentukan pemerintah. Bahkan pendirian Baznas menjadi amanat undang-undang. Ketika LAZ dihadapkan kepada disiplin pasar yang tinggi karena kelangsungan operasionalnya sepenuhnya bergantung pada zakat yang dihimpun, Baznas mendapat pembiayaan dari APBN dan APBD, serta tetap berhak menggunakan zakat untuk kegiatan operasionalnya, yaitu hak amil.

Meskipun undang-undang menyatakan bahwa Baznas adalah lembaga pemerintah non-struktural, pendirian Baznas secara jelas mengikuti struktur pemerintah dari tingkat pusat hingga kelurahan. Jika mengikuti amanat undang-undang, ke depan selain Baznas di tingkat pusat akan terdapat 33 Baznas provinsi dan 502 Baznas kabupaten/kota. Jika Baznas di setiap tingkatan membentuk UPZ dengan mengikuti struktur pemerintahan, akan terdapat 6.636 UPZ tingkat kecamatan dan 76.155 UPZ kelurahan/desa.

Dengan konsep sentralisasi pengelolaan zakat versi Kementerian Agama dengan Baznas yang didirikan mengikuti struktur administrasi pemerintahan, jumlah operator zakat menjadi sangat besar dan secara jelas mengindikasikan inefisiensi dunia zakat nasional terkait penghimpunan dana zakat yang relatif masih kecil. Pengelolaan zakat nasional menjadi tidak efisien karena mayoritas operator beroperasi pada skala usaha yang terlalu kecil. Pada 2010, penghimpunan dana zakat Baznas, 33 Bazda provinsi, dan 447 Bazda kabupaten/kota hanya mencapai Rp 865 miliar, atau secara rata-rata masing-masing BAZ hanya mengelola dana kurang dari Rp 2 miliar per tahun.

Berbagai ketentuan di atas secara jelas bersifat diskriminatif, di mana tidak terdapat kesetaraan perlakuan di antara sesama warga negara di hadapan hukum. Secara teknis-ekonomi, diskriminasi yang dilakukan UU Nomor 23/2011 terhadap LAZ, dengan memberikan berbagai privilege kepada Baznas sebagai operator zakat bentukan pemerintah, telah menciptakan level of playing field yang tidak sama di antara sesama operator zakat nasional. Karena itulah, UU Nomor 23/2011 ini juga berpotensi melanggar Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, di mana LAZ berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Arah Reformasi

Peran negara dalam pengelolaan zakat semestinya difokuskan pada perlindungan bagi warga negara yang membayar zakat dan mencegah penyalahgunaan dana zakat, serta mendorong praktek masyarakat sipil yang sudah berjalan baik dengan memfasilitasi sektor filantropi Islam untuk perubahan sosial dan memberi insentif bagi perkembangan dunia zakat nasional. Terlebih dengan kondisi birokrasi saat ini, yang dipersepsikan lemah dan korup, sentralisasi pengelolaan zakat nasional oleh UU Nomor 23/2011 jelas merupakan kebijakan yang tidak bijak.

Di masa mendatang, rezim desentralisasi pengelolaan zakat sebagaimana diterapkan UU Nomor 38/1999 semestinya dipertahankan. Yang perlu diperkuat adalah tata kelola pengelolaan zakat nasional, yaitu dengan mendirikan otoritas zakat yang kuat dan kredibel, katakan Badan Zakat Indonesia (BZI), yang akan memiliki kewenangan regulasi dan pengawasan terhadap seluruh organisasi pengelola zakat (OPZ), baik Baznas maupun LAZ, di tiga aspek utama, yaitu kepatuhan syariah, transparansi dan akuntabilitas keuangan, serta efektivitas ekonomi dari pendayagunaan dana zakat.

Di masa mendatang, BZI harus memperkuat konsolidasi OPZ dengan memperketat pendirian OPZ baru, mendorong konsolidasi melalui merger/akuisisi antar OPZ, serta penurunan status OPZ dengan kinerja rendah, yaitu penghimpunan dana di bawah Rp 5 miliar per tahun, menjadi UPZ. Lebih jauh lagi, BZI juga dapat mengarahkan OPZ untuk melakukan spesialisasi: OPZ dengan penghimpunan dana di atas Rp 250 miliar per tahun sebagai OPZ nasional sekaligus OPZ jangkar, Rp 50-250 miliar sebagai OPZ fokus program pendayagunaan, dan di bawah Rp 50 miliar sebagai OPZ fokus wilayah.

Terakhir, perlu digagas kemitraan pemerintah-OPZ untuk akselerasi penanggulangan kemiskinan. Kemitraan dapat berupa pemberian hibah (block-grant) ataupun kontrak penyediaan jasa sosial (specific-grant). Pemerintah dapat menerapkan kriteria dan persyaratan (eligibility criteria) bagi OPZ penerima dana program penanggulangan kemiskinan, seperti transparansi finansial, efektivitas pendayagunaan, dana dan kesesuaian dengan prioritas nasional/daerah.

Siklus Korupsi di Daerah


Siklus Korupsi di Daerah
Israr Iskandar ; Pengajar Sejarah Politik Universitas Andalas Padang
SUMBER :  REPUBLIKA, 31 Mei 2012


Pesta demokrasi di aras lokal dewasa ini ternyata berbanding terbalik dengan indeks korupsi di daerah. Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan, sebanyak 173 kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota) terjerat kasus hukum sejak 2004 hingga awal 2012 karena kasus korupsi.

Intensifnya korupsi kepala daerah belakangan ini seakan menggantikan kecenderungan maraknya korupsi legislatif lokal pada masa awal penerapan otonomi daerah (1999-2004). Kewenangan besar tanpa adanya kekuatan pengontrol yang memadai selama ini telah memicu maraknya korupsi pejabat publik di daerah yang sebarannya membentang dari Sabang sampai Merauke.

Korupsi kepala daerah dewasa ini hampir selalu dihubungkan dengan pemilihan kepala daerah (pemilukada/pilkada) langsung sejak diberlakukannya UU 32 Tahun 2004. Krusialnya, dalam sistem pilkada langsung, kebutuhan dana yang besar seakan menjadi keniscayaan bagi calon-calon kepala daerah, baik untuk “sewa perahu“ (partai) maupun biaya sosialisasi dan kampanye.

Dalam konteks itu, logika politik yang kemudian berkembang bahwa peluang seorang kandidat untuk terpilih sebagai kepala daerah kian besar jika ia memiliki kocek lebih tebal. Kekuatan dana bisa “membeli“ partai dan bahkan dapat “memblokade“ pesaing mendapatkan kendaraan untuk maju, seperti terjadi pada Pemilukada Jakarta 2007. Selain itu, kandidat juga butuh dana besar untuk sosialisasi kampanye.

Modal dari sponsor inilah yang menjadi awal malapetaka. Kepala daerah terpilih seolah (bahkan, agaknya sudah menjadi pengetahuan umum) wajib mengembalikan dana dari investor politik.

Jika sponsornya kalangan pengusaha, tindakan balas budi kepala daerah umumnya dalam bentuk kompensasi bisnis, seperti proyek-proyek APBD dan izin pengolahan hasil kekayaan alam, seperti pertambangan dan kehutanan.
Jika sponsornya kumpulan birokrat korup dan haus kekuasaan, kompensasinya adalah pemberian jabatan-jabatan birokrasi, sekalipun tidak sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas.

Realitas inilah antara lain yang memicu pelbagai kerusakan dan pelambatan pembangunan di daerah, termasuk daerah-daerah hasil pemekaran. APBD jadi sasaran utama perampokan uang negara oleh pejabat daerah dan kroninya. Padahal di sisi lain, sebagian besar APBD sudah pula habis untuk belanja rutin pemda, seperti gaji pegawai dan perjalanan dinas pejabat daerah.

Salah Kaprah

Namun demikian, menjadikan sistem pemilukada langsung sebagai satu-satunya akar penyebab maraknya korupsi kepala daerah tentu juga menyederhanakan masalah. Sejarah politik lokal di era reformasi menunjukkan, apa pun sistem pemilukada (langsung ataupun tidak langsung), potensi korupsi tetap terbuka, jika mekanisme check and balances yang dimainkan aktor-aktor demokrasi di daerah tak berjalan baik dan pola pikir politikus tak berubah.

Pemilukada di DPRD sekalipun, sebagaimana kini diusulkan pemerintah dan beberapa kalangan konservatif, khususnya untuk pemilihan gubernur, tidak akan menjamin keadaan menjadi lebih baik. Jika tak ada sistem kontrol yang ketat dan berkelanjutan, korupsi kepala daerah dan jajarannya tetap terbuka lebar. Pelaksanaan pilkada di DPRD bahkan tidak hanya menjadi ajang politik uang antara kandidat dan anggota dewan, tapi juga bisa menandai proses kolusi eksekutif-legislatif lokal.

Tentu saja di luar masalah sistem, maraknya korupsi di daerah pada era reformasi dan otonomi daerah, sebenarnya juga terkait mind-set (pola pikir) para politikus kita yang harus diluruskan. Sebagian politikus kita melihat politik sebagai lahan pekerjaan. Sebagian lainnya malah menjadikan politik sebagai arena menumpuk kekayaan. Partai politik pun diperlakukan seperti korporasi yang tujuannya memupuk dan memburu keuntungan.

Seorang anggota DPRD provinsi, misalnya, bisa menghabiskan dana kampanye Rp 1 miliar, tapi akumulasi keuntungan lima tahun menjabat wakil rakyat bisa mendapatkan puluhan miliar lewat permainan proyek-proyek APBD.

Seorang calon wali kota menghabiskan dana kampanye Rp 10 miliar, tapi akumulasi keuntungan selama menjabat, jauh lebih besar untuk modal maju ke periode kedua, merebut jabatan lebih tinggi atau jabatan sama di daerah lain.

Padahal, politik semestinya menjadi arena pengabdian bagi kepentingan rakyat dan negara. Politikus sejatinya menjadi pekerjaan mulia, dedikatif, dan aktualitatif tanggung jawab karena mereka sebagai pemegang otoritas dapat mengagregasi kepentingan rakyat.

Jika politikus lebih banyak menjadikan politik sebagai arena menumpuk keuntungan pragmatis, oportunistik, dan jangka pendek, seperti terjadi belakangan ini maka yang rusak bukan hanya citra politikus, tapi juga kans demokrasi itu sendiri sebagai cara terbaik untuk mewujudkan cita-cita rakyat (demos) dan negara.

Oleh karena itu, seraya memperbaiki sistem pilkada ke arah lebih demokratis, pembenahan sektor “hulu“ ini juga mesti segera dilakukan. Partai harus benarbenar dapat merekrut kader atau tokoh yang tidak hanya populer, tapi juga punya kapabilitas, integritas, dan dedikasi yang tinggi kepada rakyat.

Hanya dengan karakter kepemimpinan politik seperti itulah potensi siklus korupsi pejabat publik, termasuk di daerah, bisa dikurangi secara signifikan, kalau bukan dihilangkan.

Merindukan Toleransi


Merindukan Toleransi
Marwan Ja’far ; Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR RI,
Ketua Dewan Pembina Laskar Ahlussunah wal Jama'ah (Aswaja)
SUMBER :  REPUBLIKA, 31 Mei 2012


Hingga kini, kita masih kerap disuguhi adegan penggerebekan dan penggusuran. Kisruh pem bangunan tempat ibadah menjadi satu contoh adanya afinitas antarpemeluk agama. Banyak yang melihat bahwa salah satu sumbu pemicu kerap terjadinya ketegangan antarumat beragama adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Izin Pembangunan Rumah Ibadah. Padahal, tugas pemerintah adalah menjamin kebebasan umat beragama untuk beribadah.

Agaknya ada sesuatu yang “tidak beres“ di negeri ini menyangkut jaminan keselamatan warga negara dan semangat tenggang rasa dalam ranah keagamaan. Aksi main larang dan penggerebekan sering memancang atas nama agama.

Ada dugaan toleransi antarumat beragama belakangan mulai meluntur. Angka perusakan rumah ibadah dan tindakan anarkistis antarumat beragama meningkat. Mengapa konflik sejenis itu masih terjadi di negeri yang majemuk ini? Kita tahu bahwa negara kita adalah negara hukum. Konstitusi menjamin kepada setiap warga negara untuk memeluk dan beribadah menurut agama kepercayaannya.

Keberagaman agama dan tempat ibadah merupakan kehendak Tuhan untuk menciptakan keseimbangan hidup manusia di bumi. Keseimbangan itu harus tercipta agar masyarakat menjadi dinamis dan mampu berkembang. Alquran surah al-Hajj ayat 40 menyatakan bahwa gereja, sinagog, masjid, dan rumah ibadah lainnya merupakan tempat banyak orang mengagungkan dan membesarkan nama Tuhan.

Untuk menjaga keseimbangan, ini bertemali dengan keadilan. Penegakan keadilan dan penghapusan segala bentuk ketidakadilan sesungguhnya telah ditekankan Islam dalam Alquran sebagai misi utama para nabi (al-Hadid:25).

Madjid Khaduri dalam The Islamic Conception of Justice (1984) mengungkapkan, tidak kurang dari seratus ungkapan yang berbeda redaksinya dalam Alquran mengandung makna keadilan, baik secara langsung seperti ungkapan `adl, qisth, mizan, maupun dalam berbagai bentuk redaksi yang menyiratkan secara implisit. Terdapat lebih dari 200 peringatan dalam Alquran yang menentang ketidakadilan, seperti dzulm, itsmun, ataupun dhaallun.

Tak heran, Ibnu Taimiyah dalam al-Hisbah fi al-Islam (1967) menyatakan bahwa negara yang adil meskipun kafir lebih disukai Allah daripada negara tidak adil meskipun beriman. Dan, dunia akan dapat bertahan dengan keadilan meskipun tidak beriman, tetapi tidak akan bertahan dengan ketidakadilan meskipun Islam. Ketidakadilan dan Islam tidak bisa bersenyawa tanpa salah satu harus dihapuskan atau dilemahkan.

Nabi Muhammad pun banyak menyajikan teladan. Misalnya, ketika mendengar ada penduduk Madinah beragama Yahudi terbunuh, Nabi Muhammad segera memobilisasi dana masyarakat untuk diberikan kepada pihak keluarganya.

Nabi Muhammad menegaskan, pentingnya menjaga kesatuan semua manusia tanpa memandang agama, suku, dan atribut primordial lain. Semua manusia merupakan ciptaan Tuhan, maka pembunuhan, gangguan, atau perusakan terhadap manusia dan harta miliknya merupakan penghinaan terhadap penciptaan Allah.

Rekonstruksi

Bila kita telusuri konsep hubungan Muslim dan non-Muslim pada masa klasik lebih didasarkan pada hukum perjanjian perlindungan. Di sini, lalu lahirlah istilah ahl al-dzhimma. Dalam perjanjian tersebut, ahl al-dzhimma wajib membayar pajak (jizyah) sebagai substitusi untuk melindungi mereka.

Al-Shaybani dalam al-Siyar al-Kabir menjelaskan bahwa larangan membangun gereja baru hanya berlaku apabila kaum Muslimin merupakan mayoritas di wilayah tersebut. Alasannya, di daerah itu, kaum Muslimin melakukan ibadah shalat Jumat dan Idul Fitri serta hukum hudud diberlakukan.

Mengizinkan mereka membangun gereja berarti memperlemah dan melawan kaum Muslimin secara formal. Namun, bila mereka mayoritas sehingga shalat Jumat dan hukum hudud tidak diberlakukan, mereka tidak dilarang membangun gereja baru.

Menurut al-Sarakhsi dalam al-Mabsuth, para ahli fikih klasik ada yang berpendapat bahwa ahl al-dzhimma tidak dilarang sama sekali membangun gereja baru di desa. Sebab, adanya larangan didasarkan pada alasan (illat) bahwa kota merupakan tempat munculnya simbol-simbol Islam, seperti shalat Jumat, Idul Fitri, dan hukum hudud.

Menarik dicatat, pandangan fikih klasik tersebut menunjukkan, betapa pun para ahli fikih klasik mengakui keberadaan agama lain, mereka cenderung menempatkan agama lain dalam kedudukan inferior dan dalam konteks kondisi perang. Kecuali bagi ahl al-dzimma yang berkewajiban membayar pajak sebagai pengganti perang.

Pandangan fikih klasik pada dasarnya dilatari berbagai faktor. Pertama, secara historis, pengaruh-pengaruh kumulatif sebagai akibat pertentangan antara Muslim dan non-Muslim (terutama dengan umat Kristiani) telah menciptakan sikap dan perilaku superioritas terhadap yang lain.

Kedua, mode berpikir atomistik yang mendominasi kebudayaan Islam masa lampau telah mengadang para ahli fikih klasik untuk melakukan kontekstualisasi atas teks. Para ahli fikih klasik masih sangat terwarnai oleh teologi superior.

Ketiga, pada umumnya sebuah sistem nilai yang normatif entah itu agama atau ideologi tak dapat mengelakkan sumber yang bersifat eksklusif. Setiap sistem normatif menuntut komitmen pada pengikutnya dan memberikan sanksi bagi pembangkangan terhadap doktrin. Dasar komitmen itu adalah keyakinan bahwa ketaatan terhadap sistem akan membawa pada keuntungan moral dan material yang tak dapat dicapai tanpa menaati sistem normatif.

Kita perlu kembali pada prinsip umum ajaran Islam (maqhashid al-syari'ah) tentang eksistensi agama lain, yakni pengakuan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keabsahan de facto dan de jure sebagai bagian integral dari sebuah komunitas. Hubungan Muslim dengan pemeluk agama lain wajib dipandang sebagai anggota yang memiliki tanggung jawab terhadap keutuhan komunitas.