Korupsi Peradilan
Marwan Mas ;
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa,
Makassar
|
KORAN SINDO, 28
Mei 2016
Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) lagi-lagi menangkap tangan (OTT) lima orang terkait transaksi
suap di ruang gelap Senin (23/5). Tiga orang yang kena jerat OTT itu dari
lingkungan peradilan.
Lebih celakanya lagi,
karena ketiganya berasal dari pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) yang
seharusnya lebih terjaga kredibilitasnya. Dua hakim di antaranya dari
Pengadilan Tipikor dan satunya lagi Panitera Pengadilan Tipikor Bengkulu. Dua
kalangan swasta yang menyuap adalah pejabat keuangan salah satu rumah sakit
di Bengkulu, yang ternyata menjadi terdakwa dugaan kasus korupsi
penyalahgunaan honor dewan pembina di rumah sakit itu tahun anggaran 2011. Tujuan penyuapan
sebesar Rp650 juta itu, majelis hakim menjatuhkan putusan bebas.
Ini yang kesekian kali
KPK menangkap pejabat dan hakim di lingkungan peradilan. Masih hangat dalam
pembicaraan di ruang publik, Kasubdit Kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata
Khusus Mahkamah Agung(MA) Andri Tristianto Sutrisna menjadi salah satu yang
tertangkap tangan KPK saat menerima suap dari pengusaha dan oknum pengacara
yang juga diduga terkait sekretaris MA. Tahun lalu majelis hakim Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) Medan yang sedang mengadili keputusan soal dana
bansos juga kena OTT KPK saat menerima suap dari oknum pengacara.
Lagi-lagi arahnya
bagaimana putusan hakim dimainkan sesuai kehendak pelaku korupsi. Ada juga
yang bertujuan agar MA memperlambat penerbitan salinan putusan kasasi
terhadap terdakwa Ichsan supaya eksekusi putusan tidak segera dilaksanakan
oleh kejaksaan. Padahal, yang bersangkutan divonis bersalah sejak 2014 dalam
kasus dugaan korupsi proyek Dermaga Labuhan Haji di Lombok Timur (KORAN
SINDO, 16/ 2/2016).
Sudah bukan rahasia
lagi, pola permainan putusan agar diputus bebas atau ditunda penerbitannya sebagai
salah satu bentuk permainan oknum pegawai MA dan hakim.
Merusak Wibawa Hakim
Bukan rahasia lagi,
setiap tahapan jalannya perkara di pengadilan memberi ruang bagi oknum
pegawai pengadilan dan hakim melakukan permainan untuk memperoleh sesuatu
dari pencari keadilan. Rangkaian perilaku korup di lingkungan peradilan,
bahkan di puncak peradilan MA, laksana bola salju yang terus menggelinding
liar. Semakin jauh menggelinding, akan semakin membesar.
Kenyataan tersebut
tidak boleh dibiarkan tanpa perbaikan dan tindakan tegas sebab pengadilan
adalah benteng terakhir suatu perkara diputuskan untuk mencapai tujuan hukum.
Rangkaian perilaku korup di dunia peradilan Indonesia telah merusak wibawa
hakim. Publik bisa saja tidak percaya pada kinerja hakim yang dianggap
sebagai wakil Tuhan didunia.
MA sebagai puncak
peradilan perlu banyak belajar dalam membenahi pegawai dan hakimnya. Tidak
boleh lagi menutup diri yang kadang berlindung dari posisi hakim sebagai
pengadil yang independen sehingga amat sulit pengawas eksternal melakukan
intersep ke dalam lingkungan MA. Ketertutupan MA dalam mengawasi pegawai dan
hakim telah mengonfirmasi bahwa pengawasan internal tidak efektif dan efisien
menjaga integritas hakim.
MA harus lebih terbuka
terhadap Komisi Yudisial (KY) dan KPK dalam menyikapi sejumlah skandal
korupsi dan mafia peradilan. Kalau pimpinan MA selalu tertutup dari
pengawasan KY terhadap perilaku hakim karena menjaga wibawa, semua usaha
untuk memberantas korupsi dilingkungan peradilan tak akan optimal. Pimpinan
MA perlu mengambil langkah progresif dalam membina dan mengawasi perilaku
pegawai dan hakim.
Jika pun ada yang
beranggapan bahwa berbagai kasus korupsi yang terjerat OTT bukan gambaran
umum lembaga peradilan, publik sudah punya jawaban sendiri. Secara kasatmata,
perilaku korup sejumlah hakim yang sepertinya tidak gentar pada ketegasan KPK
menjadi ukuran penilaian publik bahwa reformasi di tubuh peradilan belum
berjalan maksimal.
Langkah penting saat
ini memberi porsi yang lebih besar pada KY dalam membenahi integritas pegawai
dan para hakim. Bukan semata-mata menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim sesuai perintah Pasal 24B UUD 1945.
KY perlu diperluas kewenangannya untuk mengawasi dan menegakkan martabat dan
perilaku pegawai pengadilan sejak rekrutmen sampai pada pelaksanaan tugas.
Boleh jadi, permainan
putusan yang melibatkan pegawai pengadilan laksana gunung es. Hanya puncaknya
yang tersentuh, tetapi begitu diseruduk ke bawah akan jauh lebih banyak
boroknya. Profesionalitas hakim tidak akan mungkin berjalan baik apabila
integritas tidak hadir di dalamnya. Profesi yang mulia itu harus dijauhkan
dari orang-orang yang sejak awal integritasnya diragukan.
Maka itu, rekrutmen
hakim di tingkat pengadilan negeri sudah waktunya melibatkan peran KY. Bukan
hanya dalam memilih hakim agung sebab yang paling banyak merusak citra hakim
ada pada pengadilan di tingkat bawah yang tersebar di provinsi dan kabupaten/
kota.
Selalu Ada Harganya?
Penangkapan dan
penetapan tersangka sejumlah hakim bukan tidak mungkin memengaruhi
kredibilitas hakim agung yang layak diakui memberi progresivitas dalam
putusannya. Terutama pada perkara korupsi, tidak sedikit putusan pengadilan
di bawahnya dilipatgandakan hukumannya saat tiba di kamar Majelis Hakim
Tipikor MA.
Paling tidak,
pembenahan dimulai pada perbaikan informasi administrasi perkara secara
transparan. Ia dapat menutup celah permainan salinan putusan melalui
transaksi suap sekaligus mencegah oknum pengacara berhubungan langsung dengan
majelis hakim. Kalau hanya mencopot dari jabatannya atau memberhentikan jika
terbukti bersalah di pengadilan, sepertinya tidak cukup lantaran tidak
memberi efek jera atau menimbulkan rasa takut bagi yang lain.
Buktinya, sekian kali
KPK menangkap pegawai pengadilan dan hakim, kemudian membawanya ke ruang
tahanan, setiap kali ada yang terjerat OTT. Perlu menjatuhkan sanksi lebih
berat sebagai tanggung jawab agar menjadi contoh dalam merefleksi proses
peradilan yang transparan, objektif, dan berkeadilan.
Apabila ruang-ruang
pengadilan terkontaminasi perilaku korup secara liar, dipastikan persoalan
keadilan akan semakin jauh dari jangkauan publik. Betapa tidak, bukan hanya
perkara perdata yang sering terdengar ada permainannya. Tetapi, perkara
korupsi pun yang seharusnya membuat nurani hakim tergerak memeriksa dan
memvonisnya dengan tegas lantaran merampas hak-hak ekonomi dan sosial rakyat,
justru juga terkontaminasi korupsi.
Betul-betul luar
biasa. Sehingga, korupsi layak disebut sebagai ”nenek moyangnya” semua
kejahatan. Hampir semua perkara yang masuk dalam ranah proses hukum amat
berpotensi melahirkan korupsi dalam bentuk suap. Institusi pelaksana criminal
justice system tidak ada yang betul-betul kebal dari godaan korupsi. Ada
oknum penyidik, penuntut umum, pengacara, dan hakim meringkuk di penjara
karena menjadikan perkara hukum yang ditanganinya sebagai barang komoditas.
Hampir semua tingkatan
proses hukum selalu ada harganya karena bisa diperdagangkan. Gurita korupsi
yang begitu sistematis menembus institusi peradilan di negeri ini, bukan
tidak mungkin akan membuat publik beralih kepercayaannya pada peradilan yang
dibuatnya sendiri. Rakyat yang merasa menjadi korban korupsi bisa mendesain
sendiri dengan melakukan ”self help” atau menolong diri sendiri dengan
membuat peradilan sendiri terhadap para koruptor.
Sesuatu yang tidak
kita kehendaki karena belum tentu akan menyelesaikan substansi persoalan.
Perang melawan korupsi sepertinya akan panjang, apalagi kalau integritas para
pengadil tidak mampu dibenahi secara progresif. Gagasan Presiden Jokowi
melalui ”revolusi mental” bagi hakim dan pegawai pengadilan layak di
implementasikan.
Tentu dilakukan secara
bersinergi antara MA, KY, dan KPK yang memiliki tugas pencegahan korupsi
seperti dimaksud dalam Pasal 6 huruf-d UU Nomor 30/ 2002 tentang KPK. Hanya
dengan sistem yang kuat dengan melibatkan berbagai komponen bangsa yang dapat
mencegah, atau paling tidak mengurangi perilaku korup di lingkungan
peradilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar