Musik Tradisi di Panggung Kehidupan Terkini
Erie Setiawan ;
Direktur Art Music Today; Aktivis Musik
|
KOMPAS, 28 Mei
2016
Apa yang umumnya orang
tahu tentang musik tradisi adalah sesuatu yang jarang sekali muncul di
televisi. Kalah oleh gemuruh industri musik populer yang menyuguhkan
spektakel gemerlap lampu panggung, juga dandanan para penyanyi.
Musik tradisi berada
di lapis kerdil dari kedigdayaan narasi besar Nusantara ini. Ia bertahan di
sudut-sudut. Alhasil, kalau kita tidak ”turun gunung” menyisir daerah-daerah,
kita tak akan tahu bahwa musik tradisi Nusantara memang benar-benar kaya.
Ribuan jenisnya. Itulah salah satu yang membuat bangsa lain mengaguminya.
Atas dasar fakta
itulah, Forum Musik Tembi, di Tembi Rumah Budaya, Sewon, Kabupaten Bantul, DI
Yogyakarta, menyelenggarakan kegiatan tahunan Festival Musik Tradisi Baru.
Tujuannya untuk mengetengahkan kembali sesuatu yang inti dari roh kultur
negeri sendiri, melalui suguhan musik yang diaransemen mengikuti zaman.
Menyaksikan festival
ini, kita seperti menikmati ”Nusantara Kecil” melalui rangkuman kekayaan
musik-musik tradisinya. Ada unsur sakral berupa ritual melalui mantra-mantra,
juga pesona tersendiri dalam kemasan suguhannya. Menampilkan sesuatu yang
telah terwaris berabad-abad silam dengan bahasa baru yang cenderung egaliter
untuk segala usia. Maka tepat adanya, penyelenggara festival ini mengusung
konsep ”Musik Tradisi Baru”, untuk memberi aksen kekinian.
Penggalian nilai
Festival ini bukan
merupakan kompetisi atau persaingan antarkelompok musik. Memang mereka
melewati seleksi administratif sebelum tampil, tapi itu hanya demi keperluan
efektivitas manajemen. Motivasi festival ini lebih kepada ”uji nyali”, apakah
setiap kelompok musik yang mendaftar dari berbagai daerah betul-betul
memiliki niat sungguh-sungguh untuk turut membantu menjabarkan nilai-nilai
kebudayaan melalui musik yang mereka kreasi.
Ada dialog tentang
konsep yang mereka usung, dipandu para pengamat yang didatangkan secara
khusus untuk memoderasi peristiwanya. Peserta berasal dari berbagai daerah
dengan membawa warna-warni kekhasan musik tradisi masing-masing. Perkara
nilai-nilai kultural yang ingin diketengahkan melalui ekspresi seni itulah
yang penting untuk digarisbawahi dan penting untuk direfleksikan terus-menerus.
Misalnya, apa yang
diekspresikan oleh kelompok Tingang Tatu (Kalimantan). Karya mereka yang
diberi judul ”Utus Batang Petak” mengetengahkan tentang ucapan syukur atas
perlindungan Rahying Hatala Langit (Tuhan Yang Maha Esa) dan Tata Hiang (Leluhur)
dalam kepercayaan suku Dayak Ngaju-Ot Danum, Dayak Ikei-Harajur Tingang Tatu,
dan Hong Kueh Bewei Ikei Namuei. ”Tingang Tatu” sendiri artinya adalah
sebutan lain untuk Tuhan atau Leluhur.
Kelompok Mantradisi
dari Yogyakarta mengusung konsep sastra musik melalui Macapat dan Shalawat
yang dilagukan bersama iringan musik eklektik (campuran), termasuk
menggunakan teknologi komputer musik. Ada pula empat kelompok lain yang
membawa kekhasannya masing-masing, yaitu NN, Allegro Sanaparane, WP Ground,
dan Sanggar Seni Kakula. Ada sebuah kelompok yang berhalangan hadir karena
sesuatu hal, yaitu Suara Lisan dari Riau.
Tantangan
Musik tradisi, nilai
budaya, dan gelombang zaman adalah tiga variabel yang saling berhubungan dan
akan menentukan arah Festival Musik Tembi ke depan. Dari penyelenggaraan
festival sebelumnya (1-5) mereka telah berhasil melakukan kerja dokumentatif
melalui peng-abadi-an karya-karya dalam bentuk album kompilasi, juga di tahun
ini. Upaya itu sekaligus menjadi metode riset kualitatif yang memberi
gambaran terkini dari perwujudan ekspresi bangsa Indonesia melalui kreasi
seni.
Ada banyak tantangan
menarik yang kemudian muncul dari upaya penggalian nilai kebudayaan melalui
musik tradisi tersebut. Pertanyaannya kemudian, apakah keseluruhan ekosistem
kesenian, termasuk audiens dan pendukung yang lain, menyadari pentingnya
festival ini? Apakah benar para audiens yang datang ke festival merupakan
audiens yang menganggap festival ini selalu aktual di tengah dinamika zaman
yang cenderung makin mengultuskan individualisme ini?
Musik tradisi hanyalah
salah satu unsur yang sedemikian abstrak jika itu hanya kita dengarkan begitu
saja dan tidak berhasil menjadi memori atau laku kehidupan. Padahal, tolok
ukur keberhasilan festival ini bukan kepada gegap gempita hiburan, melainkan
adanya upaya serius dari berbagai pihak untuk lebih serius mengeksplorasi
kandungan esensinya.
Dalam konteks kesenian
di Asia Tenggara yang memiliki watak berbeda dengan Eropa ataupun belahan
benua lain, lahir suatu ciri khas di mana seni itu sendiri sangat terikat
dengan masyarakat pendukungnya, baik pesisir maupun agraris.
Umar Kayam (1981)
berpandangan bahwa seni tradisi merupakan bagian dari satu ”kosmos” kehidupan
yang bulat dan tidak terbagi-bagi dalam pengotakan spesialisasi. Sebab itu,
dukungan masyarakat akan menunjang hidupnya suatu karya atau kreativitas
manusia. Maka peradaban dapat terus maju.
Pada saat ini, ada
pertumbuhan luar biasa di lingkup akademik yang mencoba menggali ulang
nilai-nilai musik tradisi yang belum terungkap melalui riset-riset yang
mereka lakukan. Kita bisa memiliki gambaran yang lebih jelas tentang fakta
serta relevansinya bagi kehidupan masyarakat masa kini melalui data.
Riset-riset yang khusus berfokus pada penelitian mengenai musik tradisi kiranya
juga perlu untuk dibuatkan direktori khusus supaya kita makin lebih mengenal
kekayaan kita sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar