Sekolah Gratis untuk Zaqia
Yenny Wahid ;
Aktivis Sosial; Direktur Wahid Institute
|
JAWA POS, 21 Mei
2016
VITA Kristiana tampak
menahan tangis ketika membacakan surat yang ditulis siswi kelas VII-F SMP
Negeri 24 Surabaya Zaqia Audiya untuk Presiden Jokowi (Jawa Pos, 27/3).
Isinya, sebuah permintaan sederhana: agar bisa meneruskan sekolah tanpa
biaya.
Gadis lugu itu punya
cita-cita menjadi seorang penulis dan dia rajin menulis untuk majalah dinding
sekolahnya. Saat ini, Zaqia dapat bersekolah dengan lancar karena semua biaya
sekolah ditanggung Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.
Pemkot Surabaya yang
dikomandani Tri Rismaharini mengalokasikan lebih dari 30 persen anggaran
untuk membiayai sektor pendidikan selama 12 tahun. Namun, semua itu terancam
berubah karena adanya rencana pemindahalihan pengelolaan SMA/SMK –yang
awalnya dikelola pemerintah kabupaten/kota (pemkab/pemkot)– ke pemerintah
provinsi (pemprov).
Rencana pemerintah
tersebut berlaku nasional karena merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). UU itulah, antara lain, yang
mengatur pemindahalihan pengelolaan SMA/SMK ke pemprov.
Kewenangan
pemkab/pemkot dipangkas hanya menangani sekolah dasar (SD) dan sekolah
menengah pertama (SMP). Konsekuensi dari pemindahalihan tersebut adalah dalam
hal alokasi anggaran. Pemprov Jawa Timur (Jatim) berencana mengucurkan dana
sekitar Rp 400 miliar untuk keperluan SMA/SMK seluruh provinsi.
Tentu sangat minim
bila dibandingkan dengan dana yang dikeluarkan Kota Surabaya sebesar Rp 1,3
triliun setahun, khusus untuk Surabaya saja! Inilah yang memungkinkan
pendidikan di Surabaya bisa diakses secara gratis selama 12 tahun.
Lebih dari 30 ribu
surat dilayangkan ke kantor Wali Kota Risma (sapaan Tri Rismaharini).
Semuanya berisi curahan hati para siswa yang takut tidak lagi bisa meneruskan
sekolahnya.
Zaqia termasuk di
antaranya. Yatim sejak bayi, Zaqia tinggal bersama neneknya karena ibunya
menikah lagi dan ikut suami barunya ke Kalimantan.
Neneknya hanyalah seorang
penjahit tirai dan harus menafkahi tiga cucu yang diasuhnya seorang diri.
Yang lebih tragis, saat ini neneknya terkena penyakit kanker sehingga harus
bolak-balik berobat ke dokter.
Dengan kondisi ekonomi
yang begitu pas-pasan, harapan Zaqia untuk bersekolah hanyalah apabila ada
pendidikan gratis di daerahnya. Kebijakan baru yang rencananya diberlakukan
serentak per 1 Januari 2017 tersebut memang memantik polemik.
Ada kekhawatiran
kolektif jika pengelolaan SMA/SMK ditarik ke provinsi, kebijakan sekolah
gratis yang sudah dinikmati para siswa di Surabaya akan dianulir.
Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan.
Pertama, kebijakan
tersebut merupakan perintah UU. Dengan demikian, secara hukum, setiap
aparatur negara –tidak terkecuali wali kota Surabaya– harus mematuhi dan
mengamankan pelaksanaannya.
Kedua, pejabat Pemprov
Jatim sendiri sudah melemparkan isyarat bahwa kebijakan sekolah gratis hingga
12 tahun sangat mungkin dihapus. Para pejabat Pemprov Jatim mendasarkan pada
dalil yang menyebut pemindahalihan pengelolaan SMA/SMK ke provinsi itu
dialasi visi bersama untuk mengatasi kesenjangan pendidikan antardaerah.
Dan dimaksudkan sebagai upaya melakukan
pemerataan pendidikan di semua daerah. Polemik akhirnya berujung ke Mahkamah
Konstitusi (MK).
Itu terjadi setelah
pada awal Maret lalu empat wali murid asal Surabaya mengajukan permohonan uji
materi terhadap UU 23/2014 ke MK.
Uji materi yang sama
diajukan Pemkab Blitar. Dalam permohonannya, mereka menyoal ketentuan pasal
15 ayat (1) dan (2) serta lampiran huruf A, yang mereka sebut berpotensi
memberikan kerugian konstitusional bagi pemohon.
Pasal tersebut akan
menghilangkan kewenangan pemkab/pemkot yang secara mandiri telah dan mampu
melaksanakan pengelolaan pendidikan tingkat menengah yang diterapkan di daerahnya.
Kalau dicari akarnya, problem pendidikan ini sebenarnya bersumber dari wacana
lama seputar urgensi program wajib belajar (wajar) 12 tahun.
Program wajar 9 tahun
dalam kenyataannya sudah tidak mampu melindungi hak atas pendidikan. Sebab,
terbukti banyak anak usia sekolah menengah yang tidak mampu melanjutkan ke
jenjang pendidikan tersebut.
Sementara itu, tamatan
SMP sudah sulit mendapatkan lapangan pekerjaan. Karena itu, masuk akal jika
muncul tuntutan kepada pemerintah untuk meningkatkan wajar dari 9 tahun
menjadi 12 tahun.
Konsekuensinya,
pemerintah harus siap mengakomodasi tuntutan tersebut dalam politik anggaran.
Revisi UU Sisdiknas pun menjadi keniscayaan.
Dalam praktiknya,
mengimplementasikan program wajar 12 tahun memang tidak semudah melontarkannya
sebagai janji politik di musim pemilu. Diperlukan peta jalan (road map) yang mencakup ketersediaan
perangkat hukum.
Berikut penyediaan
sarana dan prasarana berupa guru, unit sekolah baru, ruang kelas baru, di
samping –tentu saja– anggarannya.
Jadi? Sambil menunggu
ujung dari proses uji materi yang bergulir di MK, patut dipikirkan memberikan
diskresi kepada Pemkot Surabaya –juga kabupaten/kota lain yang sudah dan
mampu melaksanakan wajar 12 tahun secara gratis– untuk tetap melanjutkan
programnya. Tanpa harus melanggar ketentuan.
Banyak alternatif cara
yang sudah diwacanakan. Mulai peluang mencantumkan ”aturan pengecualian”
dalam peraturan pemerintah yang sedang disiapkan sebagai turunan dari UU
23/2014.
Juga kemungkinan
pemkab/pemkot (yang mampu) memberikan dukungan anggaran kepada pemprov untuk
melaksanakan wajar 12 tahun. Atau memberikan beasiswa hingga tetap
menyalurkan subsidi melalui bantuan operasional pendidikan daerah (bopda) dan
bantuan operasional sekolah (BOS) meskipun mekanismenya perlu diatur lebih
lanjut.
Yang pasti, wajar
belaka jika kita berharap implementasi UU 23/2014, khususnya yang berkaitan
dengan pembagian urusan pemerintahan di bidang pendidikan, tidak malah
membuat gadis pintar seperti Zaqia terpaksa menghapus mimpinya. Jangan sampai
dia kehilangan akses terhadap pendidikan gratis yang telah didapatkannya
selama ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar