Kebiri yang Memecah Belah Kita
Amir Sodikin ; Wartawan, menyukai isu-isu tradisionalisme
sekaligus perkembangan teknologi informasi
|
KOMPAS.COM, 26
Mei 2016
Pantaskah para
pemerkosa dikebiri? Apakah etis? Apakah efektif? Inikah solusi yang
dinantikan? Dengan aturan hukum yang baru, bisakah negara berhasil mengontrol
libido para predator seks?
Sebelum ke situ,
marilah kita pahami kemarahan warga. Berita pemerkosaan dan pembunuhan
terhadap Yn, siswi SMP di Rejang Lebong itu dengan cepat menjadi pembicaraan
publik. Saking sadisnya, banyak yang tak kuasa untuk mengklik tautan terkait
berita-berita Yn.
Yn adalah seorang
siswi SMP di Desa Padang Ulak Tanding, Kecamatan Rejang Lebong, Provinsi
Bengkulu. Pada pertengahan April 2016, Yn diperkosa 14 pemuda saat pulang
sekolah. Yn ditemukan tewas di dalam jurang.
Terlalu “ngilu” untuk
merasakan pedihnya derita Yn dan tak kuasa membayangkan bagaimana jika Yn
adalah sebenarnya anak kita. Ya, bagi mereka yang (terutama, tapi tak
terbatas) telah memiliki anak, membaca kasus pemerkosaan dan pembunuhan ini
akan disertai dengan ketakutan.
Ketakutan menghadapi
semakin liarnya dunia luar, bagaimana kita bisa membesarkan anak-anak kita,
bebas dari ancaman predator seks? Bagaimana kita memastikan, bahwa di
lingkungan kita telah aman dari para paedofil atau aman dari residivis
pemerkosa?
Tahukah Anda, atau
yakinkah Anda, bahwa para pemerkosa dan pembunuh Yn itu baru sekali melakukan
kejahatan seksual? Ataukah justru kita
lebih yakin bahwa sebenarnya para pelaku itu sudah berkali-kali melakukan
kejahatan seksual sebelumnya?
Untuk makin memahami
tingkat kepiluan para orangtua, mari kita simak kasus paedofilia di Kediri,
Jawa Timur, yang dilakukan oleh seorang pengusaha. Pada kasus ini, jelas
bahwa para korbannya adalah anak-anak di bawah umur.
Selain korbannya
anak-anak, jumlah korban juga tak sedikit. Di beberapa media, bahkan
disebutkan jumlahnya mencapai puluhan anak dan kasusnya berulang.
Walaupun untuk kasus
yang sudah disidangkan dan sudah divonis, jumlah pelapor yang berani melapor
hingga ke pengadilan hanya beberapa orang. Sisanya merasa takut karena harus
berurusan dengan "orang kuat" di Kediri.
Untuk kasus yang di
Kediri ini, yakinkah Anda saat pelaku dibebaskan dari penjara, dia tak akan
mengulangi perbuatannya? Yakinkah Anda, para pemerkosa dan pembunuh Yn jika
nanti sudah bebas, tak lagi mencari korban-korban baru lagi?
Kebiri libido
Akhirnya, hukuman
tambahan terhadap para pemerkosa anak-anak telah tersedia. Presiden Joko
Widodo telah menandatangani Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Perppu ini memperberat
sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur
hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara. Perppu juga mengatur tiga sanksi tambahan,
yakni kebiri kimiawi (bukan kebiri secara fisik atau bedah), pengumuman
identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik.
Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengatakan, hukuman tambahan yang diatur dalam
Perppu tersebut akan menyasar pelaku kejahatan seksual dengan kondisi khusus.
"Nanti hakim lihat fakta-fakta dan itu diberikan kepada pelaku berulang,
pelaku beramai-ramai, paedofil pada anak-anak. Bukan pada sembarang,"
kata Yasonna.
Maka, pro dan kontra
pun menyeruak terkait pemberlakuan hukuman tambahan berupa kebiri ini. Ada
yang tak setuju dengan alasan hak asasi manusia, ada pula yang merasa kenapa
bukan langsung hukuman mati saja. Ada
pula yang berpendapat, hukuman tambahan ini tak menjawab persoalan
perlindungan anak. Kritik ini bukan tanpa alasan. Perppu ini sebenarnya
ditunjukkan untuk perlindungan anak. Namun, isi perppu justru miskin dengan
regulasi dan kewajiban terkait perlindungan anak. Dalam konteks ini, memang
ada yang salah sasaran dengan perppu ini.
Direktur Eksekutif
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono
mengatakan, ancaman hukuman yang bertujuan memberikan efek jera tak cukup
untuk menekan tindak kejahatan seksual.
"Daripada cuma
bermain dengan mantera-mantera efek jera harusnya perkuat aspek rehabilitasi
bagi korban dan pelaku, itu lebih mendesak," ujar Supriyadi.
Kritik ICJR memang
mendesak untuk didengar karena perppu tersebut terlalu fokus ke pelaku.
Bagaimana nasib korban, apa yang harus dilakukan untuk memulihkan dan
merehabilitasi kondisi korban, tak banyak disinggung di perppu.
Dari pantauan Aliansi
99 bersama ICJR, berdasar layanan Medis dan Rehabilitasi Psikologis dan
Psikososial bagi seluruh korban kejahatan yang ditangani Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK) selama 2011-2014, jumlah yang dilayani 2.317 layanan.
Jumlah itu sudah mencakup seluruh korban dewasa dan anak untuk semua jenis
tindak pidana.
Dari angka itu, yang
mendapat layanan medis dan rehabilitasi psikologis dan psikososial dari LPSK
ternyata tak mencapai 3 persen. Perppu Perlindungan Anak telah
ditandatangani, namun bagaimana negara dengan perangkatnya akan memulihkan
dan merehabilitasi anak-anak korban
kekerasan seksual itu?
Fenomena narkolema
Banyak hal yang bisa
dilakukan semua pihak di tingkat pencegahan. Banyak aspek yang belum
diperhatikan untuk bagaimana memastikan lingkungan kita secara cepat memiliki
respons atau memiliki sistem peringatan dini terhadap kasus-kasus seperti
ini.
Misalnya, di tengah
derasnya arus informasi, dengan internet sebagai salah satu aksesnya, kita
semakin menyadari bahwa ada akses tak terbatas terhadap konten pornografi
berbasis web.
Pada ranah ini, sudah
banyak pihak yang bekerja untuk mengkampanyekan internet sehat, memberikan
edukasi kepada netizen, namun masih perlu upaya lebih untuk memastikan semua
warga teredukasi dan melek terhadap literasi digital.
Pornografi melalui web
memang diyakini memiliki tingkat kecanduan yang sama dengan narkotika. Sebuah
video yang dibuat Kementrian Sosial RI bekerja sama dengan Kita dan Buah Hati
Fondation, pakar psikologi Elly Risman, dan gerakan SEMAI2045, menggambarkan
bagiamana bekerjanya narkolema, narkotika lewat mata.
Disebutkan, ada bagian
otak manusia yang bernama pre-frontal cortex (PFC) yang menjadi pembeda
antara perilaku manusia dengan binatang. Sayangnya PFC rentan rusak, dan
rusaknya PFC dapat berakibat perubahan tingkah laku manusia.
Pornografi merupakan
penyebab paling merusak PFC. Efek candu pornografi sama dengan efek candu
narkotika. Oleh karena itu, pornografi adalah Narkolema, Narkoba Lewat Mata.
Di berbagai media
massa, tak sedikit yang memberitakan bagiamana anak-anak yang kecanduan
pornografi di internet ini pada akhirnya menaikkan level “hobi” mereka ke
dalam bentuk kekerasan seksual di dunia nyata. Kasus Yn juga tak lepas dari
persoalan ini.
Terkait narkolema ini
disampaikan bukan untuk menjadi pembenar bahwa pelaku kejahatan seksual layak
dikebiri kimiawi karena alasan ini. Bukan. Fenomena narkolema hanya untuk
menyajikan perspektif umum bahwa memang sebagian kasus pemerkosaan dipicu
hasrat seksual, bukan semata karena hasrat kekerasan atau hasrat kebencian
terhadap jender tertentu.
Pandangan yang
mengatakan bahwa perkosaan hanya dilandasi pada hasrat kekerasan, tak
selamanya berlaku untuk semua jenis perkosaan.
Alasan mengebiri
Lalu, apa kaitannya
dengan hukuman kebiri secara kimiawi? Banyak yang beranggapan bahwa kasus
pemerkosaan itu terjadi karena “power”, karena kekuasaan, bisa berupa kuasa
terhadap uang, kuasa terhadap pengaruh, maupun kuasa karena merasa superior
secara jender.
Jika seseorang
melakukan pemerkosaan berulang-ulang karena dilandasi pada hasrat kekerasan
semata, atau karena benci terhadap jender tertentu, maka mengebiri pemerkosa
jenis seperti ini akan kehilangan alasannya.
Namun, jika seseorang
memerkosa anak-anak secara sadistis dan berulang-ulang karena benar-benar
terkait hasrat seksual, maka kebiri kimiawi bisa menjadi jalan keluar.
Sebentar, pasti tak
semua orang setuju dengan poin kedua ini. Kata-kata kebirilah yang telah
membuat efek ngeri terhadap hukuman tambahan ini. Tak manusiawi.
Bagaimana kalau
teksnya kita ubah begini: Untuk memastikan para paedofil dan pemerkosa
sadis-berulang yang telah menjalani masa hukumannya tak mengulangi
perbuatannya, pengadilan memerintahkan agar pemerkosa ini diobati.
Apa obatnya? Berikan
depo-provera (misalnya jenis cyproproterone atau medroxyprogesterone).
Fungsinya apa? Untuk menurunkan hormon testosteron ke level pra-pubertas.
Lihat "Thinking about the Sexually Dangerous: Answers to Frequently
Asked Questions" yang ditulis
Ellsworth Fersch dan Ellsworth Lapham Fersch.
Untuk menurunkan
hormon testosteron tersebut, maka pelaku secara sukarela mau datang ke klinik
setiap rentang hari yang ditentukan atau tiap sepekan sekali. Menurut Perppu
yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo tersebut, rentang pengobatan
ini maksimal hingga dua tahun.
Teks alternatif kedua
ini terdengarnya berbeda dengan kata-kata kebiri. Namun, secara kimiawi,
metode ini mampu menurunkan level testosteron ke titik rendah, mirip dengan
kebiri (kastrasi) dengan membuang organ fisik.
Terdengar masih tidak
manusiawi? Baiklah, ternyata kebiri kimiawi ini bukan kebiri permanen.
Efeknya bisa kembali hilang setelah pengobatan dihentikan.
Anda tetap khawatir
bahwa hukuman ini tak manusiawi? Yang harus lebih dikhawatirkan sebenarnya
adalah bagaimana Anda memastikan setelah sekian tahun dipenjara kemudian si
paedofil ini kembali pulang ke rumahnya yang kebetulan rumahnya di samping
rumah Anda?
Anda yakin bahwa dia
telah insaf dan tak mengulangi perbuatannya? Ataukah Anda sudah puas dengan
hukuman tambahan lainnya berupa penanaman cip mikro di tubuh paedofil yang
bisa digunakan untuk memonitor keberadaan paedofil?
Padahal, hingga kini
penanaman cip di tubuh manusia untuk digunakan mengontrol perilaku manusia
masih eksperimen. Memang ada komunitas bio-hacking yang kini gemar mengoprek penanaman
implan cip atau sejenisnya ke dalam tubuh manusia (yang paling marak
penanaman RFID), namun sifatnya masih eksperimental.
Seandainya penggunaan
cip ini sudah matang teknologinya, apa yang bisa Anda lakukan saat paedofil
ini beraksi di lingkungan Anda? Apakah Anda yakin petugas akan segera datang
jika si paedofil ini sedang melakukan kejahatan yang didorong oleh libido
seks yang tiba-tiba tinggi?
Di negara luar
Terus terang,
bagaimana mengontrol dan menghukum paedofil ini menjadi persoalan pelik yang
belum terselesaikan, bahkan oleh negara-negara maju. Hukuman kebiri, terutama
mengacu pada kebiri bedah atau fisik, dianggap hukuman keji, tak bermoral,
dan bertentangan dengan hak asasi manusia.
Satu fakta lagi, benar
bahwa di negara-negara yang telah menerapkan hukuman kebiri (baik secara
bedah maupun kimiawi), ternyata angka kejahatan seksual tak juga turun.
Atul Gawande dalam
tulisannya di Slate.com berjudul ""The Unkindest Cut"
memaparkan, hukuman kebiri di beberapa negara bisa berlangsung efektif, namun
ada pula yang salah sasaran.
Disebutkan Gawande, di
Republik Ceko dan Jerman, kebiri secara kimiawi ini diberlakukan hanya untuk
kalangan pelaku seks yang sekarela mau mengikuti pengobatan.
Di Amerika Serikat,
hukuman kebiri diterapkan di beberapa negara bagian dengan beberapa variasi.
California hanya memberlakukannya untuk pemerkosa yang telah berkali-kali
melakukan kejahatannya.
Montana membolehkan
untuk mengebiri secara kimiawi pelaku pemerkosaan, bahkan untuk kasus
pemerkosaan tunggal jika kasusnya keji.
Masih menurut paparan
Gawande, studi di Eropa lebih menjanjikan. Lebih dari 700 pelaku kejahatan
seks di Denmark dikebiri. Hasilnya, tingkat kambuh turun dari antara 17
persen hingga 50 persen menjadi hingga dua persen. Hal yang sama juga terjadi
di Norwegia.
Di Skandinavia dan
Italia, penggunaan cyproproterone untuk kebiri kimiawi di kalangan pelaku
yang secara sukarela mau “diobati” untuk menurunkan libido seksnya, ternyata
efektif digunakan terutama di kalangan pelaku paedofil.
Harus diakui, banyak
pula pelaksanaan kebiri yang tak sesuai harapan atau secara teknis sulit
dilakukan. Pertama, mengebiri pelaku pemerkosaan tanpa menganalisis alasan
pelaku memerkosa. Mengebiri pelaku pemerkosaan yang memperkosa karena hasrat
kebencian terhadap perempuan, jelas tak sesuai dengan tujuan awal hukuman
kebiri.
Kedua, kebiri kimiawi
juga memerlukan dokter yang bersedia melakukannya atas perintah pengadilan.
Tak hanya itu, dokter perlu mendampingi para "pasien" ini untuk
memastikan dosisnya tepat dan tak ada efek samping yang berbahaya.
Ketiga, bagaimana
memastikan para pemerkosa dan paedofil ini setelah menjalani hukuman utama
berupa penjara, mau datang ke klinik setiap hari tertentu atau setiap pekan
untuk secara sukarela disuntik dengan cyproproterone? Yakinkah Anda dengan
komitmen kriminal paedofil ini untuk secara reguler datang?
Terlepas dari itu,
berbagai studi, terutama terkait penggunaan zat kimia untuk menurunkan hormon
testosteron, ternyata memang mampu meruntuhkan teori bahwa perkosaan adalah
semua terkait “kekuasaan” dan “kekerasan” sehingga pemberlakuan kebiri pasti
tak akan efektif.
Dunia semakin terbuka
dengan cara yang tak kita pahami sepenuhnya, kejahatan siber mengintai dunia
nyata yang sebagian (tidak semuanya) dipicu oleh hasrat seksual yang tak
terkendali. Jika kita tak awas sejak awal, maka kita tak sadar bahwa
predator-predator seks itu telah berada di sekitar anak-anak kita.
Banyak fakta
menunjukkan, kebanyakan perilaku manusia itu dikontrol oleh hormon. Orang
marah, orang memperkosa, orang agresif, ternyata ada kaitannya dengan hormon.
Mengendalikan hormon adalah terapi
yang umum saat ini.
Bahkan, Anda ingin
berkulit cantik pun bisa terapi hormon. Walaupun memang, kebiri kimiawi tak
bisa disamakan dengan terapi hormon agar kulit cantik atau tubuh
langsing.
Walaupun yang dipilih
Indonesia bukanlah kebiri bedah/kebiri fisik, tapi memang, penggunaan kata
kebiri ini benar-benar memprovokasi kita, bahkan memecah belah antara yang
pro-HAM dan yang merasa darurat kekerasan seksual ini harus segera diakhiri.
Masih perlu penjelasan tambahan, apa itu kebiri kimiawi? Manusiawi kah? Etis
kah?
Rehabilitasi para
predator seks, setelah mereka menyelesaikan hukuman penjara, dengan memberi
obat penekan hormon testosteron, rasanya memang masih pro dan kontra di
kalangan kita.
Kita memerlukan
penjelasan dari pembuat produk undang-undang dan juga dari pakar di bidangnya
yang bisa menjelaskan secara gamblang, bagaimana cara kerja obat penurun
testosteron ini, apakah benar-benar tak manusiawi?
Apakah lebih pedih
dari terbunuhnya Yn? Ah, maaf saya masih terbawa perasaan sebagai seorang
ayah dari anak-anak. Apakah bisa efektif memastikan para paedofil ini tak
lagi memerkosa di kemudian hari?
Kita tunggu
penjelasan, entah dari dokter ataupun dari otoritas lainnya, yang lebih
edukatif dan berperspektif HAM, bukan yang sifatnya politis untuk sekadar
menyenangkan banyak pihak.
Oh iya, satu lagi,
sekalian saja mau tanya, adakah obat kebiri kimiawi untuk menurunkan hormon
terkait hasrat korupsi? Jika iya, kami semua pasti akan senang mendengarkan
jenis hukuman tambahan berupa kebiri hasrat korupsi. Kali ini, pasti suara
kami tak akan terpecah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar