Amerika Vietnam
Dinna Wisnu ;
Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 25
Mei 2016
Presiden Barack Obama
mengunjungi Vietnam kemarin. Kunjungan ini adalah yang pertama bagi seorang
presiden yang berkuasa di Amerika Serikat (AS) ke sebuah negara yang pernah
menjadi musuh yang tak dapat dikalahkan sepanjang Perang Vietnam 1954-1971.
Lawatan ini juga merupakan kunjungan tingkat tinggi pertama sejak normalisasi
hubungan diplomatik antara dua negara yang dibuka oleh Presiden Clinton sejak
20 tahun lalu atau tepatnya 11 Juli 1995.
Pendapat umum
mengatakan bahwa hubungan dua negara yang semakin erat ini bukan semata upaya
Vietnam untuk meningkatkan daya tawar terhadap posisi China di Asia,
khususnya dalam sengketa Laut China Selatan. Pendapat ini semakin kuat karena
Presiden Barack Obama akhirnya mengumumkan mencabut larangan penjualan senjata
ke Vietnam. Dari sisi politik, hal ini akan membuat daya gentar Vietnam di
Asia, khususnya Asia Tenggara semakin diperhitungkan. Dan secara ekonomi,
pencabutan ini akan menguntungkan perusahaan-perusahaan yang memproduksi militer seperti Lockheed
Martin, Boeing, BAE Systems, General Dynamics.
Keuntungan itu
sebetulnya tidak hanya akan dinikmati perusahaan- perusahaan AS, tetapi juga
menguntungkan negara lain seperti Rusia atau Israel. Karena negara-negara
tersebut bisa menjual peralatan militer yang sensitif ke Vietnam apabila
Amerika melakukannya juga. Stockholm
International Peace Research Institute mengatakan bahwa Vietnam adalah
salah satu importir peralatan militer terbesar ke-8 di dunia yang
pembelanjaannya di tahun anggaran 2011 ke 2015 meningkat 699% dari tahun
2006- 2010. Nilai impornya sekitar USD4,1 miliar. Angka ini menempatkan
Vietnam sebagai negara paling aktif membeli peralatan militer sejak
berakhirnya Perang Dingin.
Terlepas dari
keuntungan secara ekonomis, saya melihat bahwa normalisasi hubungan
diplomatik yang semakin erat antara AS dan Vietnam juga terlalu sempit
apabila hanya dikaitkan secara politik untuk meningkatkan daya gentar Vietnam
terhadap China yang akhir-akhir ini sedang panas dalam masalah Laut China
Selatan.
Saya lebih melihat
bahwa normalisasi ini adalah dampak secara langsung dari menguatnya kebijakan
pragmatis non-interference yang
saat ini menjadi semangat kebijakan politik luar negeri di hampir semua
negara di dunia.
Kebijakan non-interference tidak berarti lepas
dari hal yang ideologis.
China yang sosialis
pada masa Perang Dingin menjalankan kebijakan ini untuk membela
kepentingannya terhadap intervensi negara-negara kapitalis yang dimotori oleh
AS. Hampir dalam semua Sidang Umum PBB, China pasti akan menolak apabila ada
intervensi dalam bentuk apa pun dari satu negara ke negara lain. Kebijakan
ini juga yang membebaskan mereka untuk bisa bekerja sama dengan negara-negara
sosialis lain atau negara-negara secara ideologis berbeda dengan negara kuat
pada masa itu— yaitu mereka yang berada di Kutub Soviet dan Kutub Amerika.
Kebijakan
non-interfence pada masa setelah berakhirnya Perang Dingin berubah menjadi
lebih kuat pada era persaingan pasar ketimbang hal-hal yang sifatnya
ideologis. Pernyataan ini mungkin terlalu menyederhanakan situasi. Namun,
yang saya ingin tekankan adalah pertimbangan kebijakan politik luar negeri
negara-negara saat ini memang sangat ditentukan oleh motivasi bagaimana agar
kekuatan produksi (sumber daya alam, sumber daya manusia, dan hasil-hasil
produksi) di dalam negeri masing-masing negara dapat memengaruhi pasar,
sekaligus memetik keuntungan dari hubungan perdagangan yang sudah
terintegrasi saat ini.
China adalah negara
dengan ekonomi terbesar yang konsisten dengan kebijakan non-interference yang
sekarang mengedepankan pertimbangan pasar. Namun, China sendiri juga yang
menerima akibat dari kebijakan itu, contohnya dalam konteks semakin mesranya
hubungan antara Vietnam dan AS. China harus mengikhlaskan sekutu sosialisnya
tersebut merapat ke AS. Karena kebijakan noninterference menjunjung tinggi
kedaulatan negara untuk bekerja sama dengan negara manapun. Tidak hanya
Vietnam, negara lain yang bersengketa di Laut China Selatan (Malaysia,
Singapura, dan Brunei Darussalam) juga telah mengikatkan diri melalui
perjanjian perdagangan bebas Trans Pacific Partnership yang dikomandani AS.
Apa kemudian dampak
positif dan negatif dari kebijakan yang sangat pragmatis ini? Dampak positif secara umum adalah
terciptanya keseimbangan baru yang terus menerus diperbarui. Perjanjian atau
kesepakatan-kesepakatan bilateral atau multilateral baik ekonomi dan politik
akan semakin menguat, tetapi dengan bentuk-bentuk baru yang patut
diantisipasi. Karena kelebihan dan kelemahan masing-masing pihak dapat
diselesaikan sendiri bersama pihak yang berunding dibandingkan dengan
kebijakan yang lebih luas dan melibatkan banyak negara yang mungkin tidak
berkepentingan langsung dalam forum seperti di PBB atau WTO. Kerja sama akan didorong oleh indikator
keberhasilan yang lebih konkret untuk jangka pendek.
Dampak negatifnya
sejauh yang dapat kita saksikan saat ini adalah semakin intensnya persaingan
antarnegara, bahkan antarnegara yang jaraknya saling berdekatan. Modal sosial
seperti sejarah sebagai negara-negara bekas jajahan, kesamaan identitas
budaya, sebagai negara berkembang atau sebagai negara yang terpinggirkan
dalam ekonomi pasar tidak lagi menjadi dasar untuk mengikat rasa kepercayaan
dalam menghadapi tantangan bersama. Setiap negara juga saling menutup diri
terutama apabila terkait dengan masalah sosial yang terjadi di dalam negeri
seperti masalah korupsi, pelanggaran HAM, lingkungan dan lain sebagainya.
Dalam konteks ekonomi,
misalnya dalam masalah sektor minyak kelapa sawit, Indonesia-Malaysia belum
dapat menekan negara-negara maju seperti Eropa/AS untuk membeli minyak sawit
yang ramah lingkungan lebih tinggi daripada minyak sawit yang tidak
berstandar ramah lingkungan. Padahal, komitmen ini penting agar para produsen
minyak kelapa sawit dapat termotivasi untuk mengelola perkebunannya dengan
memperhatikan aspek lingkungan dan sosial.
Dalam konteks politik
keamanan, kedalaman kerja sama ASEAN makin diuji. Demikian pula kemampuan
Indonesia sebagai fondasi kerja sama ASEAN yang merekatkan kepentingan-kepentingan
yang berbeda di kawasan juga diuji. Kemampuan diplomasi Indonesia untuk
mencapai kepentingan-kepentingan jangka pendek dari para mitra kerja samanya
menjadi hal yang sangat ditunggu. Maklum dari sejarah, Indonesia dikenal
tidak sekadar ikut arah angin, tetapi aktif menentukan bentuk-bentuk kerja
sama antarnegara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar