Senin, 01 Agustus 2022

 

Hijrah dan Literasi Keagamaan Lintas Budaya

Muhbib Abdul Wahab  : Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah

MEDIA INDONESIA, 29 Juli 2022

 

                                                

 

 Baru-baru ini Presiden Amerika Serikat Joe Biden melakukan lawatan empat hari (13-16 Juli) ke Timur Tengah. Ia mengunjungi Israel, Otoritas Palestina di Ramallah (Tepi Barat), dan Arab Saudi.

 

Di Jeddah, Arab Saudi, selain bertemu Raja Salman bin Abdulaziz dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman, Biden juga mengadakan konferensi tingkat tinggi dengan enam negara Arab Teluk (Saudi, Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, dan Kuwait) plus Mesir, Jordania, dan Irak. Lawatan ini tak terlepas dari dinamika dalam dan luar negeri yang dihadapi pemerintahan Biden akibat perang Rusia-Ukraina.

 

Merosotnya popularitas Biden

 

Dalam jajak pendapat terbaru yang dirilis pada 11 Juli lalu oleh Siena College-New York Times, ditemukan keseluruhan rating approval Biden berada di level 33 persen, yang menunjukkan sebagian pemilihnya dalam pemilihan presiden 2020 telah meninggalkannya. Ini akan berdampak pada pemilihan sela (midterm election) pada 8 November mendatang.

 

Midterm election bisa dikata merupakan referendum terhadap kinerja pemerintahan AS dalam dua tahun terakhir. Realitas ini telah menimbulkan pesimisme di kalangan Demokrat, partainya Biden, akan masa depan politik presiden sehingga hanya 26 persen pendukung Demokrat yang menginginkan ia dicalonkan kembali dalam pilpres 2024.

 

Merosotnya popularitas Biden tak lepas dari inflasi di AS yang mencapai angka tertinggi (hampir 10 persen) dalam 40 tahun terakhir dan meroketnya harga gas di sana akibat perang Ukraina. Di luar itu, kebijakan Biden yang ingin memulihkan kesepakatan nuklir Iran—dikenal dengan nama resmi Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA)—mendapat resistansi dari lobi Yahudi, Israel, Saudi, dan UEA. Padahal, Biden memerlukan dukungan mereka dalam menjawab tantangan politik dan ekonomi internal.

 

Tak heran, ketika di Israel, Biden menandatangani kesepakatan militer dengan Israel yang siap menyerang instalasi nuklir Iran apabila JCPOA tak dapat dipulihkan akibat tuntutan Iran ”tidak realistis”. JCPOA dicapai pada 2015 antara Iran dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB plus Jerman. Perjanjian ini mengharuskan negara mullah itu membatasi program nuklirnya hanya untuk keperluan sipil. Sebagai imbalan, Teheran diizinkan mengekspor minyak dan gasnya ke pasar global.

 

Namun, pada 2018, Presiden Donald Trump mundur dari kesepakatan yang diikuti dengan sejumlah sanksi keras sebagai bentuk tekanan maksimum untuk melumpuhkan ekonomi Iran. Tujuannya, memaksa Iran merundingkan kembali JCPOA yang dipandang Trump terlalu menguntungkan Iran.

 

Tindakan Trump disambut Israel, Saudi, dan UEA. Bagaimanapun, tekanan Trump gagal total. Bukannya tunduk pada tuntutan Trump, Iran malah meningkatkan pengayaan uranium hingga 60 persen, yang hanya memerlukan sedikit langkah untuk memperkaya hingga 90 persen yang dibutuhkan untuk membuat bom nuklir.

 

Belakangan, Teheran malah mencopot 27 kamera pengawas nuklir PBB (IAEA) yang memonitor aktivitas nuklirnya. Sebelumnya, terjadi serangan terhadap tanker-tanker internasional di dekat Teluk dan instalasi minyak Saudi yang diduga kuat dilakukan Iran. Semua bertujuan meningkatkan bargaining power Iran vis a vis AS. Perseteruan dengan Iran yang mengganggu keamanan keseluruhan Timur Tengah di saat AS fokus kepada kawasan Indo-Pasifik menghadapi China dipandang merugikan kepentingan AS.

 

Maka, sejak April tahun lalu, Iran diajak berunding secara langsung dengan lima negara penanda tangan JCPOA (Rusia, China, Inggris, Perancis, dan Jerman) dan beruding tidak langsug dengan AS di Vienna. Sebagian besar isu yang dirundingkan telah mencapai hasil yang diharapkan.

 

Namun, perundingan macet karena AS tidak bersedia mengeluarkan pasukan elite Iran, Quds, yang merupakan bagian dari Korps Garda Revolusi Islam, dari daftar teroris. Quds adalah entitas yang diserahi tanggung jawab membentuk milisi-milisi Syiah di sejumlah negara Arab sebagai proksi Iran. Hal ini telah menimbulkan keprihatian di kalangan politisi AS, lobi Yahudi, Israel, dan negara-negara Arab.

 

Kendati perundingan macet, Biden masih berkomitmen memulihkan JCPOA yang ditentang sekutu AS di Timur Tengah. Maka, kunjungan Biden ke Israel yang diikuti komitmen menyerang Iran apabila usaha diplomasi gagal bertujuan meredakan ketegangan hubungan AS-Israel, menyenangkan lobi Yahudi, dan hawkish anti-Iran di tubuh Demokrat dan Republik. Juga untuk menenangkan Saudi dan UEA khususnya, yang hari ini peran mereka sangat strategis untuk menurunkan harga energi dunia.

 

Bahkan untuk itu, Biden terpaksa menemui penguasa de facto Saudi, Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman (MBS), yang ketika kampanye dulu Biden berjanji akan menjadikan Saudi sebagai negara paria. Dan memang sebelum perang Ukraina, Biden menolak berhubungan dengan MBS. Maklum, badan intelijen AS menyatakan MBS adalah otak pembunuhan jurnalis senior Saudi, Jamal Khashoggi, di Konsulat Saudi di Istanbul pada 2018. Kendati mengaku para pelaku pembunuhan berada di bawah tanggung jawabnya, MBS menyatakan sama sekali tidak memerintahkan aksi keji itu.

 

Biden bahkan tidak hanya bersalaman dengan MBS, tetapi juga mengumumkan penarikan pasukan perdamaian AS dari Pulau Tiran di Laut Merah pada akhir tahun ini setelah diplomasi senyap selama berbulan-bulan. Dan mentransfer area yang dulu mencetuskan perang-perang menjadi tempat pembangunan pariwisata dan ekonomi masa depan.

 

Mesir menyerahkan dua pulau kecil Tiran dan Sanafir, yang tidak berpenghuni tetapi memiliki nilai strategis, kepada Saudi pada 2016. Akan tetapi, status teritorinya masih perlu diratifikasi oleh Israel sebelum kedaulatannya dipindahkan. Penyerahan pulau-pulau ini kepada Saudi akan membuka akses kontak langsung Israel-Saudi karena pulau-pulau itu merupakan satu-satunya akses Israel ke Laut Merah. Persetujuan dari Israel ini tampaknya merupakan barter setelah Saudi mengumumkan kebebasan Israel menggunakan langitnya bagi pesawat sipil yang terbang dari dan ke Israel.

 

Ada lagi yang dilakukan Biden dalam rangka menarik simpati masyarakat Arab dan menenangkan sekutunya di sana. Pertama, dengan mengunjungi Presiden Otoritas Palestina Mamoud Abbas di Ramallah, disertai penegasan AS mendukung solusi dua negara dan menyejahterakan rakyat Palestina.

 

Mengunjungi Abbas juga penting saat legitimasinya merosot akibat mandeknya proses perdamaian dan meningkatnya dukungan rakyat Palestina pada Hamas. Kedua, Biden menyatakan AS tidak akan meninggalkan Timur Tengah dan berkomitmen menjaga keamanan dan integritas teritori mereka dari gangguan Rusia, China, atau Iran.

 

Dampak perang Ukraina

 

Kedatangan dan pertemuan Biden dengan MBS tak lepas dari dampak perang Ukraina. Pengurangan besar-besaran impor minyak dan gas dari Rusia ke Eropa telah menyebabkan krisis energi di kawasan itu, bahkan juga di AS, yang memicu inflasi tinggi. Krisis energi, bersamaan dengan krisis pangan dunia, ke depan bisa jadi lebih parah karena Rusia tampak lebih siap memikul beban perang dibandingkan negara-negara Eropa.

 

Tampak NATO pimpinan AS telah salah perhitungan tentang kemampuan perang Rusia dan hasil perang itu sendiri. Sanksi ekonomi sangat keras NATO terhadap Rusia untuk menguras kemampuan perangnya ternyata justru lebih memukul ekonomi Eropa, AS, dan banyak negara di dunia. Sebaliknya, kendati inflasinya juga tinggi, Rusia tak mengalami krisis energi ataupun pangan. Berkat pemborongan energi Rusia oleh China dan India, serta kewajiban Eropa membayar energi Rusia dengan mata uang rubel, ekonomi Rusia relatif aman.

 

Yang repot justru Eropa. Para pemimpin Eropa berdatangan ke Qatar, UEA, ataupun Saudi untuk meminta mereka memompa gas dan minyak lebih banyak ke pasar Eropa untuk mengatasi krisis energi. Namun, mereka menemukan sambutan dingin kerajaan-kerajaan Arab ini. Masalahnya, mereka tergabung dengan OPEC+, di mana Rusia adalah anggotanya, yang sebelumnya telah menetapkan pagu produksi.

 

Lebih jauh, mereka ingin mendapatkan pemasukan yang lebih besar dari tingginya harga energi dunia dan menjaga hubungan baik dengan Rusia yang tetap mendukung perang aliansi Arab pimpinan Saudi melawan milisi Houthi dukungan Iran di Yaman saat pemerintahan AS di bawah Biden tak lagi mendukung perang berkelanjutan. Negara-negara Arab ini juga mendukung sistem multipolar dunia.

 

Apakah misi Biden berhasil? Qatar dan UEA tak dapat memenuhi harapan Biden karena kapasitas produksi energi mereka telah mencapai level maksimum dan terikat kontrak dengan negara langganan. Akan tetapi, Saudi bersedia memompa minyaknya lebih banyak hingga mencapai 13 juta barel sehari dari 11 juta barel hari ini.

 

Namun, hal itu baru bisa direalisasikan pada bulan depan setelah OPEC+ melakukan sidang untuk menetapkan pagu produksi dan harga baru. Kendati sampai tingkat tertentu lawatan itu berhasil, Biden meningkatkan ketegangan dengan Iran, mengecewakan rakyat Palestina karena tidak menawarkan konsep perdamaian, tidak mengubah kondisi perang Ukraina, dan mengecewakan aktivis HAM dalam negeri karena merangkul MBS.

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/27/dinamika-politik-internal-dan-eksternal-membawa-biden-ke-timur-tengah

 

 

Stabilisasi Harga Tiket Penerbangan

Abra Talattov :  Ekonom INDEF

INVESTOR DAILY, 29 Juli 2022

 

 

                                                           

Seiring dengan tren penurunan kasus Covid-19 pada paruh kedua tahun 2021, mobilitas masyarakat berangsur pulih sehingga berdampak positif terhadap pemulihan ekonomi nasional sebesar 3,69% pada 2021. Momentum pemulihan ekonomi ini turut memberi angin segar bagi industri penerbangan yang selama dua tahun terakhir terpuruk dihantam pandemi.

 

Industri penerbangan di Indonesia mengalami turbulensi tercermin dari merosotnya jumlah penumpang angkutan udara domestik hingga 57,7% dari 76,6 juta orang pada 2019 menjadi 32,3 juta orang pada 2020, dan terus berlanjut menyusut menjadi 30 juta orang pada 2021. Selain itu, jumlah penumpang angkutan udara internasional juga tercatat merosot hingga 80% dari 18,8 juta orang pada 2019 menjadi 3,6 juta orang pada 2020, dan makin memburuk pada 2021 menjadi hanya 627 ribu orang.

 

Kini industri penerbangan mengalami rebound tercermin dari kenaikan jumlah penumpang udara domestik hingga 63% dari 12,1 juta orang selama Januari - Mei 2021 menjadi 19,7 juta orang pada Januari - Mei 2022. Begitupun dengan jumlah penumpang angkutan udara rute internasional yang meningkat drastis hingga 436,5% dari 212,3 ribu orang pada Januari - Mei 2021 menjadi 1,14 juta orang pada Januari - Mei 2022.

 

Namun, di tengah kembali bergeliatnya antusiasme masyarakat dalam melakukan perjalanan udara, muncul fenomena lonjakan harga tiket penerbangan secara tajam. Kombinasi antara kenaikan permintaan masyarakat dengan peningkatan harga tiket pesawat menghasilkan pertambahan transaksi penjualan tiket pesawat yang disediakan travel agent, dari hanya Rp450 miliar pada bulan Januari 2022 menjadi Rp1,7 triliun pada Juni 2022.

 

Kenaikan harga tiket penerbangan mulai dikeluhkan masyarakat dan dikhawatirkan akan menyulut kenaikan inflasi dari kelompok transportasi serta menghambat momentum pemulihan ekonomi khususnya pada sektor pariwisata. Bukan tanpa alasan apabila peningkatan harga tiket pesawat berpotensi menekan kinerja sektor pariwisata. Sebab, dari total pengeluaran wisatawan sebesar Rp745,6 triliun pada tahun 2020,  porsi untuk biaya jasa angkutan udara mencapai 29,7%. Sementara porsi pengeluaran wisatawan untuk biaya penyediaan akomodasi hanya 18,6% pada tahun 2020. Data tersebut menunjukkan bahwa biaya jasa angkutan udara akan sangat sensitif mempengaruhi sektor pariwisata di Indonesia.

 

Melejitnya harga tiket pesawat ini kemudian memunculkan pertanyaan besar faktor apa saja yang sebetulnya menyebabkan lonjakan harga tiket penerbangan?. Secara umum, struktur biaya penerbangan (cost structure airline) terbagi dalam tiga komponen biaya utama antara lain biaya terkait pesawat, biaya bahan bakar dan biaya lain-lain. Porsi biaya terbesar yaitu untuk biaya pesawat sekitar 43%, disusul biaya bahan bakar 24%, dan biaya lainnya 33%.

 

Komponen harga avtur menjadi faktor yang paling disorot karena dianggap menjadi penyebab utama melonjaknya harga tiket pesawat. Padahal, kenaikan harga avtur sebetulnya terjadi secara alamiah karena harga minyak mentah dunia juga mengalami kenaikan drastis pasca perang Rusia-Ukraina. Bahkan data The International Air Transport Association (IATA) juga menunjukkan pergerakan harga bahan bakar pesawat terbang telah melonjak hingga 150% pada bulan Mei 2022 (yoy) menjadi US$ 176/barel.

 

Kenaikan harga avtur di level internasional juga terjadi di Indonesia, dimana harga avtur yang dijual Pertamina di Cengkareng misalnya mengalami kenaikan sebesar 53,3% dari Rp10.544/liter pada awal Januari 2022 menjadi Rp16.806/liter per 31 Juli 2022. Karena avtur bukan jenis BBM yang disubsidi maka sangat rasional apabila harga jualnya pun mengikuti harga keekonomian yang dipengaruhi harga bahan baku crude.

 

Meskipun demikian, harga jual avtur di Indonesia ternyata relatif kompetitif dibandingkan harga di beberapa negara yang cukup apple to apple dibandingkan. Sebagai komparasi, harga avtur di Jakarta pada Mei 2022 sebesar US$3,5/US gallon, lebih murah dibandingkan harga di beberapa kota China seperti Kunming (US$3,9/USG), Wuhan (US$3,7/USG), Guangzhou (US$3,6/USG), serta di Melbourne - Australia (US$3,6/USG), dan Chiang Mai - Thailand (US$3,6/USG).

 

Meskipun Indonesia sudah bisa melepaskan diri dari ketergantungan impor avtur dengan memproduksi sendiri avtur di kilang dalam negeri, namun tetap saja biaya produksi avtur ikut terdampak dari kenaikan harga bahan baku crude yang dipatok dengan harga ICP. Ditambah lagi karakteristik geografi Indonesia yang unik menjadi tantangan tersendiri bagi Pertamina untuk memastikan pasokan avtur merata dan tersedia di seluruh 68 titik Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) se-Indonesia, termasuk di wilayah terpencil dengan konsekuensi biaya distribusi yang lebih mahal.

 

Bahkan ketika penjualan avtur domestik mengalami penurunan drastis dari 12 ribu KL/hari pada masa sebelum pandemi menjadi sekitar 5 ribu KL/hari pada puncak pandemi, Pertamina tetap harus memastikan ketersediaan dan stock level avtur. Kini sejalan dengan peningkatan mobilitas penerbangan udara, volume penjualan avtur pun mulai merangkak naik lagi ke level 9 ribu KL/hari, meskipun masih di bawah level pra pandemi.

 

Selanjutnya, faktor utama yang turut mendorong kenaikan biaya tiket penerbangan yaitu pada komponen biaya pesawat. Maskapai penerbangan domestik mengalami beban peningkatan biaya sewa akibat semakin terbatasnya supply armada pesawat serta pelemahan nilai tukar Rupiah. Menipisnya supply pesawat terlihat dari berkurangnya jumlah ketersediaan pesawat domestik dari 550 pesawat menjadi 350 pesawat per Mei 2022. Jumlah pesawat yang beroperasi pun berkurang drastis hingga 40% dibandingkan sebelum pandemi tahun 2019.

 

Sebagai contoh penurunan jumlah pesawat yang serviceable terjadi pada maskapai Garuda Indonesia yang pada bulan Juni lalu hanya mengoperasikan 33 pesawat dari sebelumnya 142 pesawat. Begitupun dengan Citilink yang memangkas jumlah pesawat dari 51 unit menjadi 34 pesawat. Selain menipisnya jumlah armada pesawat yang beroperasi, industri penerbangan domestik juga dihadapkan pada struktur pasar oligopoli dimana hanya dua grup maskapai yang menguasai pangsa pasar domestik.

 

Selain itu, mahalnya biaya pesawat juga tidak terlepas dari adanya skandal mark-up kontrak pesawat dengan lessor penyewaan pesawat seperti yang terjadi di tubuh Garuda Indonesia. Implikasinya, Garuda Indonesia menjadi maskapai dengan rasio biaya kontrak lessor terhadap pendapatan yang tertinggi di dunia yaitu 24,7% atau 4 kali lebih besar di atas rata-rata global 6,1%. Kesalahan besar itulah yang pada gilirannya terpaksa ditanggung konsumen dengan harga tiket pesawat yang mahal akibat bengkaknya biaya sewa pesawat.

 

Untuk mengurangi beban sewa pesawat itu, manajemen Garuda Indonesia dibantu pemerintah melakukan restrukturisasi utang yang salah satu hasilnya ialah kesepakatan untuk mengubah skema sewa pesawat kepada lessor menjadi power by the hour (PBH) dimana biaya sewa hanya dibayar ketika pesawat diterbangkan. Meskipun biaya sewa pesawat ditargetkan bisa ditekan hingga 31-55%, tetapi ada konsekuensi yaitu pengurangan jumlah pesawat yang dioperasikan Garuda Indonesia dari 210 pesawat menjadi 120 pesawat. Hukum ekonomi pun bekerja, berkurangnya supply disaat naiknya demand, maka akan mengerek naik harga tiket pesawat.

 

Kenaikan biaya operasional penerbangan juga dipengaruhi oleh meningkatnya biaya untuk maintenance, repair and overhaul (MRO), termasuk pengadaan sparepart yang mayoritasnya berasal dari impor. Beban impor onderdil pesawat juga semakin membengkak terdampak pelemahan nilai tukar Rupiah. Ditambah lagi dari seluruh pesawat yang beroperasi di Indonesia, hanya sekitar 30-40% pesawat yang dapat dilayani oleh fasilitas MRO di dalam negeri. Selebihnya, perawatan pesawat masih harus dilakukan di luar negeri sehingga biaya perawatan juga akan terpengaruh kurs Rupiah.

 

Berikutnya, terkesan mengambil kesempatan dalam kesempitan, lonjakan harga tiket pesawat juga dipengaruhi kenaikan tarif Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U) atau airport tax di beberapa bandara. Sebagai contoh, tarif airport tax di Bandara Soekarno-Hatta Terminal 2 dan 3 untuk rute domestik naik masing-masing sebesar 41% dan 30% menjadi Rp119.880 dan Rp168.720.  Lalu tarif airport tax di Bandara Pattimura Ambon naik 40% menjadi Rp70.000 dan Bandara El Tari Kupang naik 75% menjadi Rp70.000.  Kenaikan airport tax atau Passenger Service Charge (PSC) tersebut merupakan biaya jasa bandara yang akhirnya dibebankan ke penumpang melalui kenaikan harga tiket.

 

Kemudian, kenaikan harga tiket pesawat juga turut disebabkan ulah maskapai penerbangan yang memberlakukan biaya tambahan (fuel surcharge) untuk tarif tiket pesawat. Pengenaan biaya tambahan yang mencapai 10-20% dari tarif batas atas (TBA) tiket pesawat tentunya makin membebani konsumen.

 

Dengan melihat berbagai faktor tersebut, pemerintah perlu segera mengambil langkah taktis untuk dapat meredam lonjakan harga tiket penerbangan yang terlalu tinggi. Beberapa opsi kebijakan yang tersedia antara lain menunda kenaikan airport tax dalam jangka waktu tertentu semata-mata untuk menjaga kelangsungan bisnis industri penerbangan itu sendiri dan membantu pemulihan sektor pariwisata. Lalu, moratorium ataupun pemangkasan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) pada tiket pesawat, khususnya pada rute penerbangan domestik yang tidak menguntungkan bagi maskapai.

 

Untuk menjaga stabilitas harga tiket pesawat, Pemerintah juga sebaiknya mengevaluasi kembali pelaksanaan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 68 Tahun 2022 tentang biaya tambahan (fuel surcharge) tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri. Apabila terjadi tren penurunan harga avtur domestik, biaya tambahan juga seharusnya dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan sehingga harga tiket pesawat pun bisa berangsur turun.

 

Melalui upaya stabilisasi harga tiket penerbangan tersebut, diharapkan momentum pemulihan ekonomi dapat terjaga. Termasuk memastikan pemulihan yang merata di seluruh daerah melalui sektor pariwisata. Sebab, sektor pariwisata memiliki kontribusi terhadap PDB hingga mencapai 4,7% pada tahun 2019, dan ditargetkan bisa dijaga pada level 4,3% pada 2022 ini. Selain itu, sumbangan sektor pariwisata terhadap devisa juga sangat signifikan hingga pernah menyentuh US$ 16,9 miliar pada tahun 2019, namun akibat pandemi andilnya terhadap devisa merosot hanya US$ 0,36 miliar pada tahun 2021. Oleh karena itu, dengan upaya menjaga keterjangkauan harga tiket penerbangan diharapkan dapat mengangkat kembali sumbangan sektor pariwisata terhadap perekonomian nasional.

 

 

Hijrah dari Islamofobia

Yaqut Cholil Qoumas :  Menteri Agama RI

JAWA POS, 29 Juli 2022

 

 

                                                           

BESOK umat Islam memasuki Tahun Baru Islam 1 Muharam 1444 Hijriah, bertepatan dengan 30 Juli 2022. Kalender Hijriah identik dengan penanggalan umat Islam. Tepat bila momentum pergantian tahun Hijriah ini dijadikan sebagai tonggak kebangkitan Islam untuk makin maju. Setiap pergantian tahun layak dijadikan momentum evaluasi diri tentang perjalanan hidup setahun yang lalu dan merancang kehidupan baru yang akan datang.

 

Hijrah merupakan cerita tentang titik balik kehidupan sosok yang diagungkan umat Islam, yakni Nabi Muhammad SAW. Figur yang tidak mengenal fobia sedikit pun, entah terhadap bangsa asing (xenophobia) ataupun terhadap agama dan keyakinan saat itu. Nabi SAW tidak pernah menganggap agama lain sebagai musuh. Nabi mengajak umatnya menjadi umat terbaik (khaira ummat) dan selalu berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat).

 

Hijrah sejatinya kisah tentang perjuangan. Kekasih-Nya pun harus berjuang. Hidup dan pilihan hidup harus diperjuangkan. Kesuksesan tidak ada yang tiba-tiba turun dari langit. Perjalanan hijrah juga soal keimanan dan ketauhidan. Jika sudah diperintahkan, seluruh perintah-Nya harus dijalankan dengan penuh keyakinan. Dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

 

Hijrah juga merupakan cerita tentang visi, misi, dan strategi kehidupan manusia. Jika kehidupan ini mentok, pikirkan untuk berhijrah sebagai salah satu solusinya. Tentu hijrah dalam pengertiannya yang otentik dan ikhlas. Pindahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah inilah yang disebut hijrah. Hijrahnya Rasulullah SAW tidak sekadar bergeser tempat, tetapi juga berubah mindset (cara pikir) untuk meraih kehidupan yang lebih baik.

 

Hijrah Nabi

 

Sebelum hijrah, perjuangan Nabi Muhammad SAW di Makkah lebih dari sepuluh tahun (611–622 H) stagnan dan mendapatkan tantangan luar biasa. Banyak cara yang ditempuh oleh pemimpin Quraisy untuk mematikan dakwah Islam. Bujuk rayu, diplomasi, boikot ekonomi, intimidasi, hingga kekerasan fisik pernah dialami Nabi dan pemeluknya.

 

Sebelum hijrah ke Madinah, Nabi pernah beradu nasib ke Thaif, kota di atas bukit dan lebih ramah cuacanya. Mungkin penduduknya lebih ramah daripada suku Quraisy di Makkah. Tetapi, apa daya, Nabi diusir dari kota itu dan bahkan dilempari batu. Nabi Muhammad SAW kelara-lara hatinya. Masjid Qu’ dan kebun Addas di Thaif menjadi saksi sejarah hijrah yang belum sesuai harapan.

 

Keadaan berubah ketika Nabi SAW hijrah ke Madinah (622–632 H). Di kota itu Nabi beserta kaum Muhajirin disambut dengan sukacita oleh penduduk Madinah (kaum Anshar). Muhajirin dan Anshar disatukan oleh akidah. Mereka bersaudara dan bahu-membahu mendakwahkan Islam secara ramah dan beradab.

 

Setelah hijrah, umat Islam mulai berkembang dan mempunyai posisi yang baik. Umat Islam tumbuh menjadi satu komunitas yang kuat, mandiri, dan disegani. Madinah –yang dulunya bernama Yastrib– menjadi pusat penyebaran Islam ke seluruh dunia. Penduduknya relatif berbudaya mondial, terbuka, sopan, dan beradab.

 

Di dalam menerima ajaran Islam, penduduk Madinah telah meriset terlebih dahulu tentang siapa yang membawa risalah dan bagaimana ajaran Islam tersebut. Penduduk Madinah pernah mengirim utusan ke Makkah untuk mempelajari ajaran Nabi Muhammad SAW dan sekaligus berbaiat kepadanya.

 

Spirit Hijrah

 

Di awal saya nyatakan, Nabi Muhammad SAW merupakan sosok pemberani. Sifat tersebut diwariskan kepada para sahabatnya. Tetap tegar berdakwah meski dirundung berbagai masalah. Sepuluh tahun berdakwah di Makkah, pemeluk Islam tidak makin bertambah. Justru permusuhan, kebencian, dan ketakutan orang Quraisy terhadap Islam kian menjadi-jadi. Tepat jika disebut kaum Quraisy mengidap Islamofobia akut saat itu.

 

Apa yang dilakukan Rasulullah SAW? Tetap berdakwah dengan cara yang santun. Strategi baru juga dilakukan, misalnya dengan hijrah ke Ethiopia atau ke Thaif. Tetapi, strategi hijrah itu tidak berhasil. Bahkan, yang sangat menarik, terhadap pembenci Islam, Rasulullah SAW tidak pernah berdoa buruk untuk mereka. Allahummahdzi qaumi fainnahum la ya’lamun (Ya Allah, berilah kaumku petunjuk karena mereka tidak tahu). Inilah permakluman Nabi.

 

Saat terjadi peristiwa fathu Makkah (Makkah dikuasai umat Islam), Rasulullah dan para sahabatnya tidak balas dendam kepada kaum Quraisy. Ketika diusir dan dilempari batu hingga jubahnya berlumuran darah oleh penduduk Thaif, Nabi hanya berdoa yang menggetarkan penduduk langit. Melihat Nabi mengalami luka fisik dan hati, Malaikat Jibril berkata: ”Allah mengetahui apa yang terjadi padamu. Malaikat penjaga gunung siap menunggu perintahmu.”

 

Apa kata malaikat penjaga gunung: ”Ya Muhammad, in syikta an uthbiqa ’alaihim al-Akhsyanain” (Ya Muhammad, jika engkau mau, akan aku timpakan Gunung Akhsyabain untuk penduduk Thaif). Apa jawaban Rasulullah SAW: ”Jangan. Aku berharap mereka akan melahirkan keturunan yang beribadah kepada Allah SWT dan tidak menyekutukan-Nya.” Rasulullah melawan Islamofobia dengan akhlak yang mulia.

 

Islamofobia juga pernah dirasakan bangsa Barat, tapi penyebabnya berbeda. Islamofobia kaum Quraisy disebabkan anggapan bahwa Islam akan mengancam keberlangsungan keyakinan mereka, termasuk efek sosial, politik, dan ekonominya. Tetapi, Islamofobia di Amerika dan Eropa terjadi karena wajah Islam tampil dalam rupa yang buruk. Intoleransi, ekstremisme, dan terorisme dipraktikkan di mana-mana. Kebanyakan pelakunya adalah umat Islam. Celakanya, Barat menggeneralisasi seolah semua umat Islam adalah intoleran. Padahal, mayoritas umat Islam tasamuh terhadap berbagai perbedaan.

 

Dalam konteks Indonesia, kita yakin tidak ada Islamofobia di sini. Indonesia mayoritas muslim. Sangat aneh dan tidak mungkin seorang muslim fobia dengan Islam. Islamofobia yang belakangan disuarakan kelompok Islam tertentu sejenis barang mainan yang dijajakan menjelang momentum politik. Islamofobia sekomoditas dengan jualan politik identitas yang pernah dipraktikkan saat pilkada DKI Jakarta. Pada saat yang sama, kita berharap fobia terhadap agama lain juga perlu dikikis.

 

Nabi Muhammad SAW telah mewariskan kepada sahabatnya mental pemenang dan pemberani. Nabi menitipkan mental hijrah kepada umatnya, yakni mental berani menghadapi berbagai situasi yang baru akibat perubahan mindset, tempat, dan tantangan baru. Nabi tidak mengajarkan mental pecundang bagi umatnya. Karena itu, umat Islam tidak punya fobia terhadap apa pun lantaran keyakinan bahwa Allah SWT selalu bersama kita.

 

Sebagai manusia, pasti kita punya rasa takut atau khawatir. Persis seperti sikap Abu Bakar ketika persembunyiannya saat hijrah bersama Rasulullah SAW nyaris ditemukan tentara Quraisy. Abu Bakar merasakan takut, tetapi Allah SWT menguatkan dengan menyatakan (At-Taubah: 40): ”La tahzan innallaha ma’ana (Janganlah bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita).” Selamat Tahun Baru Islam 1 Muharam 1444 Hijriah.

 

Sumber :   https://www.jawapos.com/opini/29/07/2022/hijrah-dari-islamofobia/

 

 

Dinamika Politik Internal dan Eksternal Membawa Biden ke Timur Tengah

Smith Alhadar: Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)

KOMPAS, 29 Juli 2022

 

                                                

 

 Baru-baru ini Presiden Amerika Serikat Joe Biden melakukan lawatan empat hari (13-16 Juli) ke Timur Tengah. Ia mengunjungi Israel, Otoritas Palestina di Ramallah (Tepi Barat), dan Arab Saudi.

 

Di Jeddah, Arab Saudi, selain bertemu Raja Salman bin Abdulaziz dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman, Biden juga mengadakan konferensi tingkat tinggi dengan enam negara Arab Teluk (Saudi, Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, dan Kuwait) plus Mesir, Jordania, dan Irak. Lawatan ini tak terlepas dari dinamika dalam dan luar negeri yang dihadapi pemerintahan Biden akibat perang Rusia-Ukraina.

 

Merosotnya popularitas Biden

 

Dalam jajak pendapat terbaru yang dirilis pada 11 Juli lalu oleh Siena College-New York Times, ditemukan keseluruhan rating approval Biden berada di level 33 persen, yang menunjukkan sebagian pemilihnya dalam pemilihan presiden 2020 telah meninggalkannya. Ini akan berdampak pada pemilihan sela (midterm election) pada 8 November mendatang.

 

Midterm election bisa dikata merupakan referendum terhadap kinerja pemerintahan AS dalam dua tahun terakhir. Realitas ini telah menimbulkan pesimisme di kalangan Demokrat, partainya Biden, akan masa depan politik presiden sehingga hanya 26 persen pendukung Demokrat yang menginginkan ia dicalonkan kembali dalam pilpres 2024.

 

Merosotnya popularitas Biden tak lepas dari inflasi di AS yang mencapai angka tertinggi (hampir 10 persen) dalam 40 tahun terakhir dan meroketnya harga gas di sana akibat perang Ukraina. Di luar itu, kebijakan Biden yang ingin memulihkan kesepakatan nuklir Iran—dikenal dengan nama resmi Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA)—mendapat resistansi dari lobi Yahudi, Israel, Saudi, dan UEA. Padahal, Biden memerlukan dukungan mereka dalam menjawab tantangan politik dan ekonomi internal.

 

Tak heran, ketika di Israel, Biden menandatangani kesepakatan militer dengan Israel yang siap menyerang instalasi nuklir Iran apabila JCPOA tak dapat dipulihkan akibat tuntutan Iran ”tidak realistis”. JCPOA dicapai pada 2015 antara Iran dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB plus Jerman. Perjanjian ini mengharuskan negara mullah itu membatasi program nuklirnya hanya untuk keperluan sipil. Sebagai imbalan, Teheran diizinkan mengekspor minyak dan gasnya ke pasar global.

 

Namun, pada 2018, Presiden Donald Trump mundur dari kesepakatan yang diikuti dengan sejumlah sanksi keras sebagai bentuk tekanan maksimum untuk melumpuhkan ekonomi Iran. Tujuannya, memaksa Iran merundingkan kembali JCPOA yang dipandang Trump terlalu menguntungkan Iran.

 

Tindakan Trump disambut Israel, Saudi, dan UEA. Bagaimanapun, tekanan Trump gagal total. Bukannya tunduk pada tuntutan Trump, Iran malah meningkatkan pengayaan uranium hingga 60 persen, yang hanya memerlukan sedikit langkah untuk memperkaya hingga 90 persen yang dibutuhkan untuk membuat bom nuklir.

 

Belakangan, Teheran malah mencopot 27 kamera pengawas nuklir PBB (IAEA) yang memonitor aktivitas nuklirnya. Sebelumnya, terjadi serangan terhadap tanker-tanker internasional di dekat Teluk dan instalasi minyak Saudi yang diduga kuat dilakukan Iran. Semua bertujuan meningkatkan bargaining power Iran vis a vis AS. Perseteruan dengan Iran yang mengganggu keamanan keseluruhan Timur Tengah di saat AS fokus kepada kawasan Indo-Pasifik menghadapi China dipandang merugikan kepentingan AS.

 

Maka, sejak April tahun lalu, Iran diajak berunding secara langsung dengan lima negara penanda tangan JCPOA (Rusia, China, Inggris, Perancis, dan Jerman) dan beruding tidak langsug dengan AS di Vienna. Sebagian besar isu yang dirundingkan telah mencapai hasil yang diharapkan.

 

Namun, perundingan macet karena AS tidak bersedia mengeluarkan pasukan elite Iran, Quds, yang merupakan bagian dari Korps Garda Revolusi Islam, dari daftar teroris. Quds adalah entitas yang diserahi tanggung jawab membentuk milisi-milisi Syiah di sejumlah negara Arab sebagai proksi Iran. Hal ini telah menimbulkan keprihatian di kalangan politisi AS, lobi Yahudi, Israel, dan negara-negara Arab.

 

Kendati perundingan macet, Biden masih berkomitmen memulihkan JCPOA yang ditentang sekutu AS di Timur Tengah. Maka, kunjungan Biden ke Israel yang diikuti komitmen menyerang Iran apabila usaha diplomasi gagal bertujuan meredakan ketegangan hubungan AS-Israel, menyenangkan lobi Yahudi, dan hawkish anti-Iran di tubuh Demokrat dan Republik. Juga untuk menenangkan Saudi dan UEA khususnya, yang hari ini peran mereka sangat strategis untuk menurunkan harga energi dunia.

 

Bahkan untuk itu, Biden terpaksa menemui penguasa de facto Saudi, Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman (MBS), yang ketika kampanye dulu Biden berjanji akan menjadikan Saudi sebagai negara paria. Dan memang sebelum perang Ukraina, Biden menolak berhubungan dengan MBS. Maklum, badan intelijen AS menyatakan MBS adalah otak pembunuhan jurnalis senior Saudi, Jamal Khashoggi, di Konsulat Saudi di Istanbul pada 2018. Kendati mengaku para pelaku pembunuhan berada di bawah tanggung jawabnya, MBS menyatakan sama sekali tidak memerintahkan aksi keji itu.

 

Biden bahkan tidak hanya bersalaman dengan MBS, tetapi juga mengumumkan penarikan pasukan perdamaian AS dari Pulau Tiran di Laut Merah pada akhir tahun ini setelah diplomasi senyap selama berbulan-bulan. Dan mentransfer area yang dulu mencetuskan perang-perang menjadi tempat pembangunan pariwisata dan ekonomi masa depan.

 

Mesir menyerahkan dua pulau kecil Tiran dan Sanafir, yang tidak berpenghuni tetapi memiliki nilai strategis, kepada Saudi pada 2016. Akan tetapi, status teritorinya masih perlu diratifikasi oleh Israel sebelum kedaulatannya dipindahkan. Penyerahan pulau-pulau ini kepada Saudi akan membuka akses kontak langsung Israel-Saudi karena pulau-pulau itu merupakan satu-satunya akses Israel ke Laut Merah. Persetujuan dari Israel ini tampaknya merupakan barter setelah Saudi mengumumkan kebebasan Israel menggunakan langitnya bagi pesawat sipil yang terbang dari dan ke Israel.

 

Ada lagi yang dilakukan Biden dalam rangka menarik simpati masyarakat Arab dan menenangkan sekutunya di sana. Pertama, dengan mengunjungi Presiden Otoritas Palestina Mamoud Abbas di Ramallah, disertai penegasan AS mendukung solusi dua negara dan menyejahterakan rakyat Palestina.

 

Mengunjungi Abbas juga penting saat legitimasinya merosot akibat mandeknya proses perdamaian dan meningkatnya dukungan rakyat Palestina pada Hamas. Kedua, Biden menyatakan AS tidak akan meninggalkan Timur Tengah dan berkomitmen menjaga keamanan dan integritas teritori mereka dari gangguan Rusia, China, atau Iran.

 

Dampak perang Ukraina

 

Kedatangan dan pertemuan Biden dengan MBS tak lepas dari dampak perang Ukraina. Pengurangan besar-besaran impor minyak dan gas dari Rusia ke Eropa telah menyebabkan krisis energi di kawasan itu, bahkan juga di AS, yang memicu inflasi tinggi. Krisis energi, bersamaan dengan krisis pangan dunia, ke depan bisa jadi lebih parah karena Rusia tampak lebih siap memikul beban perang dibandingkan negara-negara Eropa.

 

Tampak NATO pimpinan AS telah salah perhitungan tentang kemampuan perang Rusia dan hasil perang itu sendiri. Sanksi ekonomi sangat keras NATO terhadap Rusia untuk menguras kemampuan perangnya ternyata justru lebih memukul ekonomi Eropa, AS, dan banyak negara di dunia. Sebaliknya, kendati inflasinya juga tinggi, Rusia tak mengalami krisis energi ataupun pangan. Berkat pemborongan energi Rusia oleh China dan India, serta kewajiban Eropa membayar energi Rusia dengan mata uang rubel, ekonomi Rusia relatif aman.

 

Yang repot justru Eropa. Para pemimpin Eropa berdatangan ke Qatar, UEA, ataupun Saudi untuk meminta mereka memompa gas dan minyak lebih banyak ke pasar Eropa untuk mengatasi krisis energi. Namun, mereka menemukan sambutan dingin kerajaan-kerajaan Arab ini. Masalahnya, mereka tergabung dengan OPEC+, di mana Rusia adalah anggotanya, yang sebelumnya telah menetapkan pagu produksi.

 

Lebih jauh, mereka ingin mendapatkan pemasukan yang lebih besar dari tingginya harga energi dunia dan menjaga hubungan baik dengan Rusia yang tetap mendukung perang aliansi Arab pimpinan Saudi melawan milisi Houthi dukungan Iran di Yaman saat pemerintahan AS di bawah Biden tak lagi mendukung perang berkelanjutan. Negara-negara Arab ini juga mendukung sistem multipolar dunia.

 

Apakah misi Biden berhasil? Qatar dan UEA tak dapat memenuhi harapan Biden karena kapasitas produksi energi mereka telah mencapai level maksimum dan terikat kontrak dengan negara langganan. Akan tetapi, Saudi bersedia memompa minyaknya lebih banyak hingga mencapai 13 juta barel sehari dari 11 juta barel hari ini.

 

Namun, hal itu baru bisa direalisasikan pada bulan depan setelah OPEC+ melakukan sidang untuk menetapkan pagu produksi dan harga baru. Kendati sampai tingkat tertentu lawatan itu berhasil, Biden meningkatkan ketegangan dengan Iran, mengecewakan rakyat Palestina karena tidak menawarkan konsep perdamaian, tidak mengubah kondisi perang Ukraina, dan mengecewakan aktivis HAM dalam negeri karena merangkul MBS.

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/27/dinamika-politik-internal-dan-eksternal-membawa-biden-ke-timur-tengah