Ada Apa dengan Golkar, Mr Setnov?
Ramadhan Pohan ;
Politisi; Alumni Ilmu Politik FISIP UI;
Master School of International
Service, The American University, Washington DC
|
KORAN SINDO, 23
Mei 2016
Setya Novanto terpilih
sebagai ketua umum Partai Golkar setelah meraih suara tertinggi pada
penghitungan suara putaran pertama pada munaslub yang diselenggarakan di Bali
pada 15-17 Mei 2016. Putaran kedua tidak dilanjutkan setelah Ade Komaruddin
menyatakan mundur dan menyerah dalam kontestasi perebutan orang nomor satu
Partai Golkar.
Keberhasilan Mr
Setnov— sebutan media atas pengganti Aburizal Bakrie ini—menjadi ketua umum
Partai Golkar sesungguhnya tidak mengejutkan. Pada pramunaslub hawa
keunggulan Setnov sudah terasa. Sudah lama diakui pengamat, Setnov piawai
berpolitik. Pribadinya yang supel, latar pengusaha, dan sosoknya yang tak
ambisius pribadi, permudah manuver dan tiki-taka politiknya. Bukan perkara
pelik baginya mengumpulkan dukungan politik dari ragam latar dan kepentingan.
Selain itu, jika kita
lirik lagi pramunaslub, kehadiran lebih lama dan cuti kerjanya Menko Polhukam
Luhut Binsar Pandjaitan, jelas tak biasa. Apalagi tujuannya jika bukan untuk
penguatan keunggulan Setnov?
Betul bahwa Wapres
Jusuf Kalla (JK) juga hadir di munaslub, tapi publik tahu, tak banyak peran
dan manuver yang dibangun JK saat itu. Bagi para peserta munaslub, antusiasme
dan keaktifan peran Luhut itu sinyal penting yang juga perlu.
Gebrakan Awal
Begitu Setnov
ditetapkan sebagai ketua umum dan munaslub berakhir, mulai saat itu pula
Golkar menegaskan haluan politik baru. Partai Golkar bergabung dan menyatakan
diri masuki gerbong pemerintahan Jokowi. Semua media ramai memberitakannya
dan heboh. Bukan main-main, elite baru Partai Golkar serta-merta mencapreskan
Joko Widodo untuk Pilpres 2019. Wow, ini berita baru, ini baru berita.
Langkah taktis Setnov
dan para elite baru Golkar mencapreskan Jokowi 2019, bagi banyak pihak, jelas
terlalu cepat. Saya ikut kaget luar biasa. Banyak yang terperangah atas maneuver
dini tersebut. Bagi saya, sebagai paktisi dan analis politik, ini sangat
nggak Golkar banget . Ada apa dengan Golkar, Mr Setnov?
Selama ini publik
memahami Golkar biasanya jago ayun politik sampai betul-betul pasti tercapai
kepentingan demi raihan politiknya. Banyak pertanyaan melintas di benak
publik. Kok ini terlalu pagi menetapkan capres, dari kader partai lain pula?
Kenapa Setnov pagi-pagi buta seperti menafikan ada kader Golkar yang layak tarung
pada Pilpres 2019? Fungsi parpol, yakni kaderisasi, mempromosikan produk
sendiri, diabaikan Setnov dkk. Padahal, dalam tiga tahun dari sekarang,
menuju 2019 banyak yang bisa terjadi. Politik begitu dinamisnya, tapi kini
sudah dikunci sedari awal.
Seolah-olah Setnov
takut ketinggalan kereta? Bagaimana jika terjadi sesuatu yang negatif
terhadap Jokowi? Tidak ada yang tahu hari esok, apalagi untuk masa tiga tahun
ke depan. Apakah para elite Golkar siap mengubah haluan politik? Adapun para
fungsionaris di pusat maupun daerah yang tersebar di antero negeri jelas tak mau
segala sesuatu diputus terburu-buru.
Belum lagi secara
etika kepada PDIP yang justru partai pengader Jokowi,
PDIP saja belum bicara
capres, lha kok bisa-bisanya partai lain mendahului. Apakah ini tidak
menabrak etika politik partai sebelah?
Tak masalah jika PDIP
ataupun Ketua Umum Megawati Soekarnoputri sudah diinfoi, dikulonuwuni, sudah
dikomunikasikan ihwal pencapresan PG atas Jokowi. Termasuk belum juga terang
apakah Megawati nyaman dan sepakat dengan skenario politik tersebut.
Ada apa dengan Golkar,
Mr Setnov? Ada apa antara Setya Novanto dengan inner circle Istana Presiden? Apa ini tengarai barter politik
antara Golkar dengan Jokowi belaka atau juga dengan PDIP? Saya condong
melihat ini skenario atau manuver Setnov dan elite baru Golkar dengan
Lingkaran Istana semata, minus keterlibatan Megawati dan PDIP, apalagi koalisi
lainnya.
Langkah Selanjutnya?
Kalau Golkar sudah
sejak awal banting harga dan jual murah buru-buru mencapreskan Jokowi, boleh
jadi Golkar akan minta cawapres Jokowi dari Golkar. Tidak mungkin Golkar akan
minta cawapres Jokowi juga dari PDIP. Mosok PDIP semua? Lebih-lebih jika kita
flashback pada dua pekan terakhir
pramunaslub, tak bisa dimungkiri orang-orang pemerintah yang berjasa menanam
saham meng-ketua-umum-kan Setnov. Ini yang dalam bahasa ilmu politiknya,
dalam istilah Filipino, utang na loob.
Utang budi. Di antaranya jelas termasuk Jokowi dan orang terkuatnya, Luhut
alias LBP. Siapa pun tahu peran, jasa, dan kecanggihan politik LBP dalam
mengamankan Setnov sebagai ketua umum. Apakah Jokowi tahu itu? Logikanya, ya
jelas dong!
Akhirnya, ini memang
soal Pilpres 2019. Bola cawapres terserah Jokowi: apakah pasangan Jokowi-LBP
atau Jokowi-Puan. Di sini Puan hanya salah satu contoh kader PDIP, Anda
tinggal masukkan nama-nama lain seperti Ganjar Pranowo, Risma, dll. Mana yang
lebih laku dan menguntungkan politik Jokowi sebagai incumbent ?
Jika Megawati tahu dan
diberi tahu skenario Setnov di atas, berarti aman, no problem. Kompensasi JKW-LBP
adalah 7 kursi menteri PDIP, misalnya. Tapi bagaimana jika ternyata fait accompli, Megawati tidak
tahu-menahu skenario itu, pasti turbulensi politik tinggal menunggu waktu.
Bagi publik,
konstelasi terkini Golkar sendiri belum clear. Begitu juga di elite internal
Golkar. Apakah skenario Golkar mencapreskan Jokowi itu sudah sepengetahuan
JK, Akbar Tanjung, BJ Habibie, Ginanjar Kartasasmita, Agung Laksono? Saya kok
ragu, belum.
Sekali lagi, saya
melihat pola ini anomali dalam tradisi politik Golkar. Biasanya Golkar pandai
dan piawai mengayun, berproses sampai kemudian matang dan keputusan
dikeluarkan. Solid.
Munaslub Golkar sudah
berakhir. Ini jelas bukan akhir dari permainan politik, jika bukan awal dari
geliat dan dinamika panjang kontestasi lebih lanjut. Koalisi pemerintahan
Jokowi, termasuk PPP, PKB, NasDem, masih mencermati situasi. Jika Pilpres
2019 menjadi target akhir, reshuffle kabinet sebagai sasaran antara. Kita
tunggu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar