Aspek Hukum Kebijakan Penyelenggara Negara
Romli Atmasasmita ;
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
|
KORAN SINDO, 25
Mei 2016
Ketika Undang-Undang
(UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Perubahan UU Tipikor Tahun 1971 disusun
belum terdapat suatu undang-undang payung tentang administrasi pemerintahan
yang memadai.
Sehingga, ketika
penyusunan UU Tipikor 1999 (penulis sebagai ketua tim RUU Tipikor 1999) belum
memiliki referensi undang-undang khusus terkait administrasi pemerintahan.
Akibat itu, unsur penyalahgunaan wewenang diserahkan penafsirannya kepada
praktisi hukum dan ahli hukum administrasi negara, yang dianggap memadai sebelum
berlaku UU RI Nomor 30/ 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP 2014).
Praktik penafsiran
unsur penyalahgunaan wewenang sebelum berlaku UU AP 2014 telah digunakan
dasar keputusan presiden tentang organisasi dan tata laksana kementrian/
lembaga (K/L). Atau, lazim dikenal dengan tugas pokok dan wewenang pejabat
K/L sebagai landasan penafsiran, ada atau tidak ada penyalahgunaan wewenang.
Dengan asumsi dasar bahwa penyimpangan dari tupoksi merupakan perbuatan yang
bersifat melawan hukum.
Yang kemudian
dikaitkan dengan penggunaan dana APBN/ APBD, atau penyimpangan dana dimaksud
yang bertentangan dengan maksud dan tujuan penempatan dana tersebut dalam
APBN/APBD. Tampak begitu mudah dan juga sulit karena hakim harus
memperhatikan fakta yang disampaikan/ ditemukan dalam persidangan diperkuat
oleh keterangan ahli administrasi negara yang kadang berbeda-beda satu sama
lain.
Pertanyaan yang sering
disampaikan para ahli hukum administrasi negara adalah kebijakan
(penyelenggara negara/PN) tidak dapat dihukum. Tetapi, tidak diperoleh satu
pun landasan hukum kebijakan PN yang tidak dapat dihukum; apakah dimaksudkan
hanya pelaksanaan atas kebijakan PN atau konten kebijakannya?
Kesimpangsiuran
definisi antara policy , discretion , dan abuse of power mengakibatkan UU
Tipikor 1999 telah banyak memakan ”korban”, yang seharusnya tidak dipidana
karena tipikor, melainkan hanya perbuatan ”maladministrasi”, yang seharusnya
dengan tindakan/ sanksi administratif. Perluasan subjek hukum mengenai
kalimat ”setiap orang” bukan hanya orang perorangan, tetapi juga orang lain
atau korporasi yang memperoleh keuntungan dari tipikor.
Termasuk penyelenggara
negara sebagaimana dimaksudkan dalam UU RI Nomor 28/1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN telah diamati oleh Wakil
Presiden Jusuf Kalla ketika memberikan sambutan pada peluncuran buku tentang
Sisi Lain Akuntabilitas KPK dan ICW pada minggu yang lampau. Wakil Presiden
berpendapat, (dengan perluasan pengertian subjek hukum) akhirnya tidak ada
lagi perbedaan yang tegas dan jelas antara orang berbuat baik dan tidak baik.
Dan, pada gilirannya,
yang terjadi adalah efek takut (bukan jera) untuk mengambil keputusan
pencairan dana APBD/APBN. Pernyataan tersebut merupakan sentilan untuk
pembentuk UU dan para ahli hukum pidana agar mereka dapat mempertimbangkan
kembali konsep dan batas luasnya definisi mengenai setiap orang di dalam
peraturan perundang-undangan.
Berikut unsur
penyalahgunaan wewenang cq Pasal 3 UU RI Nomor 31/1999 yang telah diubah
dengan UU RI Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pernyataan tersebut ditegaskan Wakil Presiden bukan berarti beliau
antipemberantasan korupsi. Beliau ingin agar pemberantasan korupsi tetap
dilaksanakan konsisten, namun tetap tidak menimbulkan ”kegaduhan” di dalam
pelaksanaannya.
Lembaga Pengkajian
Independen Kebijakan Publik (LPIKP) telah memperoleh masukkan dari Badan
Kebijakan Fiskal (BKF) dalam penyusunan hukum tentang KPK dan ICW (penerbit
Gramedia). Di mana terdapat korelasi antara penyelamatan kerugian negara oleh
KPK sepanjang lima tahun (2009-2014) dan penyerapan dana APBN/APBD yang
menunjukkan bahwa semakin tinggi angka penyelamatan kerugian keuangan negara
semakin rendah angka daya serap APBN/APBD.
Hasil pengkajian ini
telah memperkuat pernyataan Wakil Presiden tersebut di atas. Mengapa hal ini
perlu dikemukakan? Bahwa upaya pemerintah menerjemahkan bunyi Bab XIV UUD
1945 (Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan sosial) dan mewujudkannya tidak
terlepas dari bingkai negara hukum (Bab I UUD 1945).
Bahwa negara hukum
yang dicita-citakan di dalam UUD 1945 adalah negara hukum yang bertujuan
membangun dan memperkuat cita kesejahteraan bangsa Indonesia, bukan
sebaliknya. Dalam kaitan ini yang perlu direnungkan bahwa fungsi dan peranan
hukum dalam pembangunan nasional harus diarahkan untuk mengawal dan
memelihara kesinambungan upaya pemerintah membangun kesejahteraan nasional.
Wakil Presiden di
dalam kata sambutan buku Analisis Ekonomi Mikro tentang Hukum Pidana (Prenada
2016) menegaskan: ”Sebuah ekonomi yang kukuh hanya dapat tegak apabila
ditunjang oleh hukum yang kuat serta adil. Demikian juga sebaliknya, (dalam)
mencapai tujuan penegakan hukum dan pembangunan ekonom. Sehingga, jangan
sampai upaya kita dalam menegakkan hukum akan menghambat pembangunan ekonomi,
dan upaya kita dalam membangun ekonomi justru menginjak-injak hukum itu
sendiri”.
Suatu pernyataan yang
lugas dan jelas merupakan ”early warning signal ” yang ditujukan terhadap
para pengambil kebijakan (ahli ekonomi dan ahli hukum) untuk bersama-sama
bergandengan tangan membangun negara hukum RI yang adil dan sejahtera, tanpa
kecuali dan tanpa ada konsekuensi pemenjaraan.
Terkait kebijakan PN,
tentunya dasar hukum untuk menetapkan ada atau tidak adanya masalah kebijakan
bergantung pada ketentuan mengenai diskresi, konflik kepentingan, atau
penyalahgunaan wewenang oleh pengambil keputusan dalam jabatan publik
(ketentuan Pasal 1 angka 5, 9, 14, dan Pasal 17 jo Pasal 18). Selain itu,
juga dijelaskan dalam UU AP 2014, pengertian tentang atribusi, delegasi, dan
mandat sekaligus tersirat tentang siapa bertanggung jawab terhadap apa.
Secara keseluruhan
ketentuan AP 2013 adalah ketentuan mengenai asasasas umum pemerintahan yang
baik (AUPB) yang seharusnya dipahami oleh setiap PN baik di pusat maupun di
daerah. Termasuk di antaranya para kepala desa sebagai penyelenggara negara
terbawah dalam sistem pemerintahan Indonesia. Terhitung sejak secara formal
diatur ketentuan mengenai AUPB, tidak ada seorang pun PN termasuk gubernur/
kepala daerah yang dapat mengklaim bahwa kebijakan tidak dapat dihukum.
Jika konsekuensi hokum
dari kebijakannya merugikan kepentingan umum/ masyarakat luas, dan tidak ada
lagi PN termasuk gubernur, yang dapat mengklaim bahwa ”tujuan menghalalkan
cara” (het doel heilig de middelen).
Seharusnya berpedoman pada ”cara yang hendak digunakan untuk mencapai tujuan
harus benar dan sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar