Di Balik Jatuhnya EgyptAir
M Bambang Pranowo ;
Guru Besar UIN Jakarta;
Rektor Universitas Mathla’ul
Anwar, Banten
|
KORAN SINDO, 28
Mei 2016
Pesawat EgyptAir MS
804 yang mengangkut 66 orang dari Paris menuju Kairo jatuh di Laut
Mediterania, Sabtu (19/5/lalu). Seluruh penumpang dan awak pesawat diduga
tewas. Penyebabnya diduga kuat akibat serangan teroris. Kelompok teroris yang
berafiliasi ke Islamic State of Iraq
and Syiria (ISIS) juga sudah mengklaim bahwa mereka pelakunya.
Jika (dugaan dan
klaim) itu benar, jatuhnya EgytAir ini menandakan kehancuran musim semi
demokratisasi di Timur Tengah (Arab
Spring) sudah mendekati sempurna. Demokratisasi negara-negara Islam di
Timur Tengah itu kini sudah nyaris gagal total.
Majalah The Economist edisi 14 Mei 2016 dalam
ulasannya tentang Musim Semi Demokrasi di Dunia Arab menyatakan revolusi di
dunia Arab kini sudah tidak berbekas lagi. Demokrasi di Arab telah mengubah
dari satu keluarga pencuri menjadi banyak keluarga pencuri. Revolusi di Libya
dan Mesir misalnya telah mengubah ”satu keluarga penguasa maling” menjadi ”banyak
keluarga penguasa maling”. Ini artinya, alih-alih revolusi itu memperbaiki
tatanan demokrasi di Timur Tengah, yang terjadi adalah sebaliknya:
menghancurkan sistem politik demokrasi itu sendiri. Bahkan lebih jauh,
menghancurkan sendi-sendi ekonomi negara tersebut.
Awalnya Tunisia
digadang-gadang menjadi lokomotif demokrasi di Timur Tengah setelah jatuhnya
Zainal Abidin Bin Ali (Zine al-Abidine Ben Ali) pada 2011. Saat itu dunia
mengapresiasi peristiwa Tunis tersebut sebagai Arab Spring (musim semi
demokratisasi Arab). Sampai empat tahun setelah jatuhnya Ben Ali, dunia
internasional masih melihat Tunisia sebagai contoh proses demokratisasi di
Arab yang berlangsung mulus.
Dua kali pemilu,
Tunisia berhasil mengakomodasi politik pluralisme yang merupakan sendi utama
dalam demokrasi modern. Tapi, apa yang terjadi kemudian? Pada 27 Juni 2015
bom meledak di sebuah destinasi wisata di Tunisia menewaskan 39 orang yang
sebagian besar orang asing. Sebelumnya pada Maret 2015 dua orang bersenjata
menyerang Museum Nasional di Tunisia dan menewaskan sedikitnya 22 orang.
Sebuah kelompok yang berafiliasi dengan ISIS mengklaim serangan itu dan telah
berjanji akan melakukan serangan lanjutan. Tunisia yang perekonomiannya
mengandalkan pariwisata itu porak-poranda. Turis ketakutan dan tak mau datang
lagi ke Tunisia. Sejak ledakan-ledakan bom tersebut, ekonomi Tunisia pun
melemah.
Di pihak lain, para
politisi yang berkomitmen terhadap pengembangan demokrasi mulai terpengaruh
penyusup-penyusup ISIS. Krisis politik dan pembentukan blok-blok politik yang
saling mengecam makin memperparah proses demokratisasi di Tunisia. Pinjam
istilah The Economist, proses
demokratisasi di Tunisia kini mulai keropos dan mendekati kehancuran.
Arab Spring berganti
menjadi ”badai gurun” yang panas. Parahnya lagi, posisi Tunisia yang
bertetangga dengan Libya menjadi ”pintu masuk” para pengungsi dan teroris
yang berkeliaran di negerinya Moamar Khadafi itu. Banyak pengamat khawatir,
Tunisia akan menjadi ” Suriah” kedua yang menjadi tempat persemaian para
pemberontak dan teroris di Timur Tengah.
Hal ”serupa” dengan
akibat yang sama terjadi di Mesir. Jatuhnya rezim Mubarak yang digadang-gadang
akan menjadi benih tumbuhnya demokrasi di Mesir ternyata gagal. Pemilu yang
dimenangkan Partai Ikhwanul Muslimin pada 2012 ternyata gagal membentuk
pemerintahan karena kudeta militer. Presiden Mohamed Mursi dari Ikhwanul
Muslimin digulingkan Jenderal Abdel Fatah El-Sisi.
Pemilu demokratis
pertama yang bersih di Mesir pada 2012 itu pun berakhir dengan kebangkrutan
demokrasi setelah El-Sisi mengambil alih kekuasaan. Tragisnya, El-Sisi yang
menghancurkan demokrasi ini mendapat dukungan negara-negara Barat dan
kerajaan-kerajaan kaya minyak di Teluk Arab. Apa hasilnya?
Mesir kini makin
tertatih-tatih, baik secara politik maupun ekonomi. Pemilu terakhir pada 2014
yang dimenangkan El-Sisi hanya ” dagelan demokrasi” Mesir untuk memperkuat
kekuasaan militer. Di tengah kondisi politik dan ekonomi yang goyah, pesawat
metrojet Rusia meledak di atas Sinai, Oktober 2015, dalam penerbangan dari
Bandara Sharm el-Sheikh–kota wisata terkenal di Mesir–ke Moskow. Korban tewas
mencapai 224 orang tewas. Hampir semua penumpang adalah turis asal Rusia yang
berlibur ke destinasi wisata Sharm El-Sheikh. Penyelidikan menunjukkan bahwa
metrojet ini meledak karena bom. Dan, ISIS kemudian mengakui sebagai pihak
yang bertanggung jawab.
Sejak kasus tersebut,
turisme yang menjadi andalan pemasukan devisa Mesir langsung lumpuh. Tidak
hanya Sharm El-Sheikh yang lumpuh, turisme Mesir pun hancur. Akibatnya bisa
diduga: ekonomi Mesir pun krisis. Kota-kota wisata terkenal Mesir seperti
Alexandria, Hurghada, Aswan, Luxor, Dosuok, Port Said, dan Giza sepi. Hotel-hotel
kosong dan pengangguran pun makin banyak.
Tidak hanya Rusia yang
menghentikan penerbangan ke Mesir dan melarang warganya untuk berlibur ke
Negeri Piramida itu, tapi juga Inggris. Mesir pun kehilangan pemasukan dari
turisme yang amat besar. Pada 2015 misalnya jumlah turis merosot drastis,
dari semula 15 juta orang kini berkurang hingga 10 juta orang.
Dari perspektif ini,
jatuhnya EgyptAir pada 19 Mei lalu di Laut Mediterania yang diduga karena
sabotase teroris akan semakin menghancurkan perekonomian Mesir. Wisatawan
takut pesawat-pesawat yang menuju dan berangkat dari Mesir tidak aman.
Kenapa? Kelompok Islam garis keras yang sudah terpengaruh dengan jihad model
ISIS sudah masuk ke dalam industri pariwisata dan penerbangan Mesir. Ini
membahayakan keselamatan wisatawan.
Di sisi lain, konflik
di Timur Tengah makin luas setelah aliansi Arab (di mana Mesir berada di
dalamnya) ramai-ramai memerangi Yaman yang didukung Iran. Perang proksi
antara mazhab Sunni yang dipimpin Arab Saudi dan mazhab yang dipimpin Iran
kini makin memanaskan suhu Timur Tengah.
Dalam kondisi butuh
biaya perang tersebut, harga minyak jatuh sehingga Arab Saudi yang selama ini
menjadi ”donatur” Mesir mulai kepayahan.
Pada 2015 misalnya
Arab Saudi mengalami defisit anggaran USD98 miliar. Jika defisit ini
dibiarkan, dalam lima tahun ke depan perekonomian Arab Saudi akan bangkrut.
Jika klan Su’udiyah tak mampu lagi ”memproteksi Kerajaan Bani
Su’ud” dengan guyuran dolar, mampukan Arab Saudi bertahan?
Betapa suramnya masa
depan negara-negara Arab. Walid Jumblatt, pemimpin Druze Libanon,
menyayangkan konflik sektarian di Timur Tengah tersebut. ”Inilah masa-masa
yang diimpikan Zionis Israel, yaitu terpecahnya Timur Tengah menjadi
negeri-negeri sekte,” ujarnya kepada wartawan The Economist.
Jika melihat konflik
antarfaksi yang terjadi Libya, Tunisia, Suriah, kemudian konflik besar antara
Arab Saudi dan Iran–konflik sekte itu tengah berlangsung. Konflik itu terjadi
baik antarsekte kecil yang berbasis klan (suku) maupun antarsekte besar berbasis
mazhab.
Analis politik Timur
Tengah Stuart Mill mencoba mencari solusi: Mungkinkah negara-negara Arab
membentuk konfederasi agar bisa bersatu menjadi sebuah negara besar yang aman
dan stabil?
Solusi Mill tersebut
jelas tak mungkin. Jangankan membentuk negara konfederasi, mempersatukan Liga
Arab untuk menjadi ujung tombak diplomasi dalam menekan Israel saja tidak
bisa, apalagi membentuk konfederasi. Libya di bawah Gadafi, Irak di bawah
Saddam, dan Suriah di bawah Assad yang ingin membangkitkan nasionalisme dunia
Arab melalui Partai Ba’ath misalnya terbukti semuanya kandas.
Dan, kini dunia sedang
menonton saat-saat hancurnya Dunia Arab akibat gagalnya Arab Spring tersebut.
Dari perspektif inilah kita melihat jatuhnya EgyptAir di Laut Mediterania
tersebut. Sebuah simbol dari makin dalamnya kekacauan yang menimpa
negara-negara Arab akibat perbedaan-perbedaan kepentingan yang
mengatasnamakan pilihan mazhab dan tafsir Islam. Mengerikan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar