Aktualisasi Kebangkitan Nasional
Sudjito ;
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
|
KORAN SINDO, 20
Mei 2016
Hari Kebangkitan
Nasional, 20 Mei, mengandung makna historis dan futuristik bagi bangsa
Indonesia dalam menatap masa lalu, masa kini, dan masa depannya. Kita tidak
boleh apatis, pasrah, dan pesimis untuk mewujudkannya kembali.
Kebangkitan nasional
nan indah di masa lalu, namun kini muram dalam keterpurukan, mesti dicari
sebab-musababnya. Apa yang salah dengan bangsa ini, sekalian diikuti dengan
komitmen untuk mengaktualisasikannya kembali. Saya cermati, api kebangkitan
nasional tidak pernah padam. Ada di mana-mana. Percikannya perlu
dikobar-kobarkan. Komitmen putra-putri mutiara bangsa berikut, dapat
dipandang sebagai buktinya.
Tanggal 9 Mei 2016,
saya menjadi penguji eksternal untuk promosi doktor ilmu hukum di Universitas
Hasanuddin, Makassar. Judul disertasinya cukup provokatif dan inspiratif,
”Hakikat Keadilan Dalam Penerapan Prinsip Kenasionalan Hukum Agraria”.
Dimaksud prinsip kenasionalan adalah prinsip bahwa seluruh pemanfaatan ruang
lingkup agraria semata-mata ditujukan untuk kepentingan nasional, bangsa, dan
warga negara dengan menerapkan hak bangsa, hak menguasai negara, hak ulayat,
dan hak-hak individual, dalam peraturan perundang-undangan di bidang agraria.
Oleh Promovenda,
kenasionalan dipandang penting dan menjadi prasyarat terwujudnya keadilan
sosial. Berbagai dasar filsafat dan teori dikemukakan sebagai argumen ilmiah
untuk mendukung pendapatnya. Disimpulkan bahwa negara sebagai badan penguasa
dalam konteks hak dan kewajibannya, mengemban amanah mewujudkan keadilan
sosial di bidang agraria bagi seluruh rakyat, sebagai kristalisasi
nilai-nilai Pancasila.
Sejurus dengan
Promovenda, tokoh ekonomi kerakyatan, Sri Edi Swasono, dalam pesan-pesannya
melalui Whats-App, mengadvokasi: ”Kita
patut prihatin dan harus bergandeng tangan menyelamatkan NKRI. Krisis
konstitusi dan krisis kepemimpinan mendekati puncaknya. Mari kita stop. Para
pemimpin negara tidak kunjung malu dan tidak henti-hentinya berebut kekayaan
negara. Ibu pertiwi dicabik-cabik, dimangsa untuk bancakan di depan
dewan-dewan kehormatan. Orang-orang berkuasa bukan lagi berwajah dewata,
melainkan berperangai sangar, Leviathan, teramat mengerikan. Parlemen berubah
menjadi wadah wakil-wakil partai, bukan lagi wakil-wakil rakyat. Pemerintahan
dipenuhi birokrat petugas partai. Daulat pasar menggusur daulat rakyat. Mari
bergandeng tangan erat-erat, menjaga ibu pertiwi, demi kejayaan, keadilan,
dan kebahagiaan bernegara”. Saya sependapat dengan Sri Edi Swasono, bahwa
keterpurukan bangsa ini berawal dari mentalitas ”pemburu rente” pada
oknum-oknum elite partai. Negara ini tunanegarawan.
Secara empiris dan
sporadis, telah banyak, tak terbilang, putra-putri mutiara negeri berupaya
mengkritisi, dan mengoreksi perilaku korup di kalangan oknum-oknum penguasa.
Di kampus-kampus, di desa-desa, di kota-kota, pada strata sosial menengah ke
bawah, banyak komponen bangsa berhati mulia, bersemangat baja, berjiwa
kebangsaan, memiliki komitmen tinggi terhadap masa depan bangsa.
Alangkah elegan bila
komponen bangsa yang beranekaragam dipersatukan, digerakkan secara
sistematis, dipompakan semangat kebangsaan, untuk mengendalikan arah
perjalanan negara, sehingga ke depan dapat dipastikan kebangkitan kolektif
yang bersifat progresif, inovatif, dan kreatif, dalam rangka mewujudkan
kemandirian dan integritas bangsa, melalui program-program konkret.
Persoalannya, dari mana aktualisasi kebangkitan nasional dimulai?
Pasti harus dimulai
dari diri sendiri. Spiritualis Gede Prama, mengingatkan bahwa dalam kadar dan
bentuk yang berbeda, manusia (komponen bangsa) kebanyakan seperti orang buta.
Menduga kehidupan hanya seluas mata memandang, sejauh yang dipikirkan,
sesempit perasaan. Bahayanya, berbekalkan wawasan terbatas kemudian menyerang
dan menghakimi orang lain.
Mereka juga rakus
terhadap harta benda dan kekuasaan. Seolah serigala, mereka saling mencakar
memperebutkan tulang. Kalau filsuf Rene Descartes menulis ”cogito ergo sum”,
artinya saya berpikir maka saya ada, tidak demikian pada mereka yang
tergolong oknumoknum penguasa; mereka justru mengubah slogan itu menjadi
”saya berpikir maka saya menyerang”. Bak pakai kacamata kuda, kehidupan
dilihat dan diyakini akan tetap ada dan tetap hidup, bila mampu meraih
kemenangan dalam cakar-mencakar, persaingan, dan peperangan.
Slogannya: Kompetisi
yes, kooperasi no. Kolusi yes, kolaborasi no. Korupsi yes, kontribusi no.
Begitu seterusnya. Bagi mereka, ilmu politik, ilmu hukum, ilmu ekonomi, dan
sebagainya, didayagunakan sebagai sarana menaklukkan orang lain, tak peduli
walaupun ter-hadap saudara sendiri, sesama bangsa Indonesia. Sejurus dengan
Gede Prama dan filosof Socrates, saya sependapat bahwa dialog perlu dilakukan
untuk mengawali aktualisasi kebangkitan nasional.
Dialog sebagai etika
dan sopan santun komunikasi kebangsaan, perlu dipraktikkan sehari-hari. Dalam
dan melalui dialog, intelektualitas dan moralitas diasah dan dipertukarkan
secara timbal balik. Analog dengan cahaya, melalui dialog, sinar dan
kehangatannya dapat dipancarkan ke pihak lain dalam nuansa persahabatan.
Diajarkan oleh Socrates bahwa dialog yang baik adalah dialog yang dilakukan
mengikuti hukum alam dan kodrat kemanusiaan.
Bukan tanpa makna,
setiap orang diberi dua telinga, dan satu mulut. Dari penciptaan demikian,
dapat ditimba hikmah pelajaran bahwa mendengarkan pembicaraan orang lain,
mestinya dua kali lebih banyak dibandingkan berbicara kepada orang lain.
Itulah gambaran orang tawaduk, akomodatif, jauh dari kesombongan dan
kerakusan. Kalau sikap elegan demikian, menjiwai semua komponen bangsa,
utamanya pada elite penguasa, masya Allah, luar biasa, pastilah negeri ini
menjadi tata, titi, tentrem, kerta, rahardja. Indah sekali.
Dari tahun 2016 dan
seterusnya, kita stop kegaduhan politik, sibuk berdebat, cakarmencakar,
mengumbar nafsu kekuasaan, menjual kedaulatan bangsa, menggelembungkan
tabungan pribadi. Selanjutnya kita aktualisasikan kebangkitan nasional,
sehingga negeri ini bebas dari dominasi dan utang luar negeri, mampu berdiri
di atas kaki sendiri. Wallahu’alam ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar