Internet dan Ancaman Polarisasi Opini
Ika Karlina Idris ;
Dosen Ilmu Komunikasi
Universitas Paramadina;
Mahasiswa Program Doktor Ohio
University
|
KOMPAS, 23 Mei
2016
Menyaksikan pemilihan
presiden Amerika Serikat dari dekat membuat penulis menyadari adanya kesamaan
dengan pemilu Indonesia tempo hari. Fenomena
pemberian dukungan terhadap para kandidat di media sosial serupa dengan apa
yang Indonesia alami pada Pilpres 2014. Opini masyarakat di media sosial
terpolarisasi pada dua titik ekstrem: dukung Donald Trump atau Bernie.
Di Jakarta, meski
pilkada DKI masih tahun depan, tetapi ”perang” status di media sosial sudah
marak. Para pengguna media sosial berubah jadi agen propaganda yang saling
kritik dan saling serang. Masyarakat saat ini tidak lagi membaca berita untuk
mencari kebenaran sebuah informasi. Kebenaran pada dasarnya sudah ada di
kepala mereka dan media hanya digunakan untuk mencari argumen pendukung.
Dalam mengakses
informasi, seorang bisa dengan tekun menyeleksi berita sesuai pandangannya,
tanpa peduli benar atau salah. Bila di media mainstream berbeda, ia akan
beralih ke media sosial untuk mencari pembenaran. Jika masih belum ada, ia
akan mencari di laman apa pun, meski pengelolanya tidak jelas dan kebenaran
informasinya diragukan. Setelah menemukan berita yang disukai, mereka akan
membaginya di lini masa media sosial.
Polarisasi opini
Polarisasi opini
sebenarnya sudah terjadi sejak dua dekade lalu saat media massa berkembang
sangat pesat. Namun, ia menjadi semakin ekstrem sejak kemunculan internet.
Mengapa?
Pekan lalu Gizmodo,
blog yang fokus pada informasi desain dan teknologi, menulis laporan tentang
bias pada sistem seleksi informasi Facebook. Laporan tersebut merujuk pada
wawancara anonim mantan kurator informasi Facebook dan segera dibantah oleh
CEO Facebook Mark Zuckerberg. Laporan tersebut menyebutkan bahwa Facebook
menyaring informasi dari kelompok konservatif AS sehingga berita dari
kelompok liberal muncul lebih banyak. Disebutkan juga bahwa dalam peristiwa
penyerangan Charlie Hebdo, 2015, Facebook mendorong isu tersebut agar menjadi
perhatian penggunanya dan jadi trending
topic.
Sejak internet dan
media sosial menjadi bagian dalam keseharian kita, laman berita bukan lagi
satu-satunya tempat masyarakat mendapatkan informasi. Bagi diaspora,
misalnya, situs jejaring sosial, seperti Facebook adalah media utama untuk
mencari informasi mengenai negara asal. Facebook yang kini juga berfungsi
sebagai news aggregator lebih
disukai ketimbang laman berita karena dua alasan. Pertama, karena aplikasinya
ada di telepon seluler dan tampilannya lebih akrab. Kedua, karena di Facebook
informasi lebih beragam—mulai dari status teman, berita terkini, hiburan,
hingga opini dan sikap teman kita mengenai sebuah isu.
Perlu kita ketahui,
Google dan Facebook sebagai mesin pencari dan situs jejaring sosial paling
populer memiliki sistem rekomendasi yang menyesuaikan dengan perilaku
berinternet kita. Pada 2011, Eli Pariser, seorang penggiat kampanye online
(daring), dalam bukunya The Filter
Bubble: What the Internet Is Hiding from You, menuliskan bahwa Google dan
Facebook melakukan personalisasi informasi dalam sistem rekomendasi mereka.
Setiap pencarian informasi di Google akan tercatat, setiap interaksi dan
perubahan profil di Facebook akan tercatat.
Nantinya, catatan
inilah yang digunakan dalam merekomendasikan sebuah informasi. Pariser pernah
menguji dengan cara meminta teman-temannya memasukkan kata yang sama di
Google dan ternyata hasil yang diberikan mesin pencari tersebut berbeda ke
setiap orang. Dengan kata lain, Google dan Facebook menciptakan gelembung
informasi yang berbeda pada tiap penggunanya.
Bagi saya hal itu
mengkhawatirkan. Mengapa? Bayangkan bahwa ternyata informasi yang kita
dapatkan adalah informasi yang itu-itu saja, atau informasi yang sebenarnya
meneguhkan pendapat dan sikap yang sudah ada selama ini. Lalu kapan kita bisa
belajar ada informasi berbeda dan pendapat yang lain?
Mari kita evaluasi
sejenak timeline Facebook kita masing-masing. Pernahkah Anda merasa bahwa
dari sekian ratus teman di Facebook, status yang pertama kali kita lihat di
urutan timeline adalah dari teman
yang itu-itu saja? Teman yang lebih sering berinteraksi baik dalam bentuk
saling memberi komentar ataupun likes.
Tahukah bahwa iklan yang muncul di timeline Facebook sudah disesuaikan dengan
profil Anda?
Keberadaan internet
sebagai media penyedia informasi telah mendorong polarisasi opini
publik—sebuah kondisi di mana opini terkonsentrasi pada dua titik ekstrem:
pro atau kontra. Pada level tertentu, polarisasi opini dapat mendorong sikap
ekstremisme dan intoleran terhadap perbedaan. Informasi yang terpersonalisasi
atau gelembung informasi adalah salah satu penyebab polarisasi opini.
Peran jurnalisme daring
Penyebab lain yang
membuat opini terpolarisasi adalah jurnalisme daring yang mengacu pada trending topic dan hits. Pada awal keberadaannya,
internet dianggap media ideal dalam menyuarakan ide setiap orang. James
Webster dalam The Marketplace of
Attention (2014) menuliskan bahwa media menerapkan long tail strategy agar bisa mendapat profit. Awalnya, laman
berita didirikan untuk mendapatkan ceruk pasar yang unik dan menyediakan
informasi yang sangat khusus yang belum ada di media lain.
Akan tetapi, jumlah
orang yang tertarik dengan informasi seperti itu sangat sedikit. Padahal,
pemilik media punya kepentingan agar sebuah berita mendapatkan banyak hits
sehingga bisa menarik pengiklan.
Agar bisa dapat banyak
pembaca, media akhirnya menulis berita berdasarkan informasi yang sedang
tren, populer, atau yang banyak mendapatkan komentar. Alih-alih menyajikan
informasi yang penting dan berguna bagi masyarakat, jurnalisme daring pada
akhirnya lebih banyak menyajikan informasi seputar seks, selebritas,
olahraga, kriminal, dan gaya hidup. Hasilnya, ketimbang memenuhi kebutuhan
informasi yang spesifik, jurnalisme akhirnya menyajikan informasi yang
itu-itu saja, dan antara laman berita satu dan yang lainnya hampir seragam.
Selain itu, faktor
profit dan page views juga
mendorong jurnalisme daring mengangkat isu yang sensasional. Karena sensasi
biasanya datang dari komentar dan argumen, serta mudah didapat, keduanyalah
yang mendominasi produk jurnalisme daring. Dalam berita yang sensasional,
jurnalisme akan terjebak dalam penggunaan stereotip, pemberian label, serta
mengambil suara yang paling vokal di media sosial.
Jurnalis paling tidak
harus menyadari bahwa opini dan tren di media sosial tidak menggambarkan
opini masyarakat, bahkan sering kali tidak menggambarkan kejadian yang
sebenarnya. Media sosial kini adalah tempat bermain para propagandis
pemasaran, public relations, dan
pemerintah, sehingga banyak yang berkepentingan untuk menyetir opini publik.
Dalam berbagai isu sosial,
misalnya, homoseksual, paham komunis, atau pemerkosaan, jurnalisme daring
cenderung memberi banyak porsi pada penekanan pro-kontra. Pengguna media
sosial juga ikut membagikan berita seperti itu. Kita perlu menyadari opini
tidak sebatas pro-kontra. Sebagaimana manusia diciptakan beragam, kondisi
mereka pun beragam, sehingga spektrum opini juga sangat luas.
Banyak pihak yang
berkepentingan untuk menguasai internet. Ingatlah bahwa opini publik yang ada
di media sosial tidaklah menggambarkan opini yang sebenarnya. Saat ini,
informasi bukan lagi sebatas hak, tetapi juga kewajiban. Mencari dan
menyebarkan informasi yang benar dan berkualitas tidak lagi hanya tanggung
jawab jurnalis, tetapi tanggung jawab kita bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar