Sketsa tentang Hukuman
Kurnia JR ;
Sastrawan-Esais
|
KOMPAS, 21 Mei
2016
Bukan bermaksud usil.
Tatkala banyak orang mengutuk kejahatan seksual terhadap anak-anak sehingga
pemerintah menerapkan pemberatan hukuman, berita rutin korupsi tak memancing
gagasan atas isu yang sama hingga memuncak ke upaya konkret.
Bila pemerkosaan yang
brutal disertai pembunuhan terhadap kaum perempuan di bawah umur dinyatakan
sebagai kejahatan luar biasa, bagaimana kasus uang negara yang tak dilaporkan
oleh anggota DPR yang ditengarai melakukan kunjungan kerja fiktif, misalnya?
Belum lagi rupa-rupa tindak korupsi yang lain.
Mari kita amati sketsa
sosial kedua jenis kejahatan itu. Pada umumnya kasus kejahatan seksual
disertai pembunuhan terhadap anak-anak yang terungkap terjadi pada kelas
sosial menengah ke bawah. Umumnya di kawasan kumuh atau pinggiran kota besar,
di kota kecil kabupaten atau pedesaan, di lingkungan berstatus sosial rendah,
dari segi ekonomi dan pendidikan.
Sementara kasus-kasus
korupsi yang merugikan negara dalam jumlah raksasa terjadi di pusat negara,
lembaga-lembaga pemerintahan di kota-kota utama, melibatkan penyelenggara
negara dan orang-orang dari kelas sosial elite dari segi ekonomi dan
pendidikan. Penikmat hasil kejahatan yang merampas hajat hidup seluruh rakyat
Indonesia ini mencakup lingkup kekerabatan yang relatif luas.
Korupsi tak selalu
didorong oleh rasa ngeri tak ada jaminan simpanan harta buat hari tua atau
anak-cucu, juga untuk memenuhi tuntutan sosial, tradisi, adat istiadat, dan
urusan kekerabatan. Keserakahan pun terbalut oleh dalih dan sikap hidup
seolah-olah altruistik atau filantropis. Maka, para koruptor Indonesia kerap
mengecoh publik dengan penampilan yang bersahaja dan gaya hidup sangat
sederhana. Semua yang dia lakukan semata-mata demi kekerabatan yang
cakupannya luas. Kita tak bisa menduga di kedalaman hati kecilnya apakah ia
berkenan mengakui ketamakan kriminal yang bercadar sutra halus.
Pers yang silau oleh
gaya moral demikian tak jarang secara tergesa-gesa melemparkan pujian,
terlebih sanak keluarga yang bersangkutan. Lantaran sistem kekerabatan yang
erat di dalam tradisi Indonesia, pujian itu mudah digemakan dan
disebarluaskan oleh kerabat sang koruptor yang bertebaran di mana-mana, bukan
hanya di kampung halamannya belaka. Nah, saking luasnya lingkup kekerabatan
sang koruptor, mereka tampak di mata kita dengan topeng anonimitas bernama
masyarakat.
Jadi, apakah aneh
apabila setiap kali muncul gagasan tentang pemberatan hukuman atas para
koruptor selalu ditukas oleh penolakan yang lekas dan keras, bahkan secara
misterius diaborsi oleh suatu kekuatan yang tak kasatmata? Boleh jadi, itulah
aksi masyarakat yang definisinya mengikuti perumusan paragraf di atas.
Saudara dari saudara iparnya, teman dari saudaranya, teman dari teman
perkongsiannya, oknum yang mengelola bisnis pencucian uang haram, dan
seterusnya, membentuk masyarakat tersebut. Hukuman seumur hidup tanpa remisi
ditambah perampasan seluruh harta koruptor oleh negara, misalnya—tak harus
hukuman mati—sudah menakutkan siapa pun yang tangannya turut berlumur lumpur
korupsi.
Siapa pun presidennya,
rasanya kita belum dapat berharap koruptor Indonesia bakal dihukum
seberat-beratnya, sebagaimana Presiden Joko Widodo mengucapkan kalimat
semacam itu atas isu kejahatan seksual paedofilia.
Di media massa kita
saksikan sang Presiden tampaknya piawai mengelola politik sehingga
partai-partai lawan rontok, takluk satu demi satu, jadi pendukung pemerintah
nyaris tanpa syarat. Kita dapat berdiskusi, apakah Jokowi tetap sakti kalau
dia berdiri di Istana dan secara resmi membuat pernyataan instruktif kepada
segenap pembantunya agar koruptor dihukum seberat-beratnya? Akankah angin
tetap berkesiur lembut di seluruh negeri dan tiada badai dahsyat yang
mengusik fondasi negara?
Kita setuju, sang
Presiden memang sakti. Memantulkan suara rakyat, titahnya tak terbantah saat
ia menginstruksikan supaya penjahat paedofilia dihukum seberat-beratnya.
Segenap alam raya maklum. Langit terang. Angin pun diam. Siapalah dan
berapalah yang terlibat kejahatan itu per kasusnya? Keluarga siapa pula
pelakunya? Para pejabat segala lini siap melaksanakan titah itu. Entah jika
di tengah perjalanan, kasus semacam itu terjadi di rumah seorang pejabat
penting. Pada saat-saat semacam itu, ketajaman hukum kita diuji. Biasanya
selalu begitu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar