Minggu, 22 Mei 2016

Sketsa tentang Hukuman

Sketsa tentang Hukuman

Kurnia JR ;   Sastrawan-Esais
                                                         KOMPAS, 21 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bukan bermaksud usil. Tatkala banyak orang mengutuk kejahatan seksual terhadap anak-anak sehingga pemerintah menerapkan pemberatan hukuman, berita rutin korupsi tak memancing gagasan atas isu yang sama hingga memuncak ke upaya konkret.

Bila pemerkosaan yang brutal disertai pembunuhan terhadap kaum perempuan di bawah umur dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa, bagaimana kasus uang negara yang tak dilaporkan oleh anggota DPR yang ditengarai melakukan kunjungan kerja fiktif, misalnya? Belum lagi rupa-rupa tindak korupsi yang lain.

Mari kita amati sketsa sosial kedua jenis kejahatan itu. Pada umumnya kasus kejahatan seksual disertai pembunuhan terhadap anak-anak yang terungkap terjadi pada kelas sosial menengah ke bawah. Umumnya di kawasan kumuh atau pinggiran kota besar, di kota kecil kabupaten atau pedesaan, di lingkungan berstatus sosial rendah, dari segi ekonomi dan pendidikan.

Sementara kasus-kasus korupsi yang merugikan negara dalam jumlah raksasa terjadi di pusat negara, lembaga-lembaga pemerintahan di kota-kota utama, melibatkan penyelenggara negara dan orang-orang dari kelas sosial elite dari segi ekonomi dan pendidikan. Penikmat hasil kejahatan yang merampas hajat hidup seluruh rakyat Indonesia ini mencakup lingkup kekerabatan yang relatif luas.

Korupsi tak selalu didorong oleh rasa ngeri tak ada jaminan simpanan harta buat hari tua atau anak-cucu, juga untuk memenuhi tuntutan sosial, tradisi, adat istiadat, dan urusan kekerabatan. Keserakahan pun terbalut oleh dalih dan sikap hidup seolah-olah altruistik atau filantropis. Maka, para koruptor Indonesia kerap mengecoh publik dengan penampilan yang bersahaja dan gaya hidup sangat sederhana. Semua yang dia lakukan semata-mata demi kekerabatan yang cakupannya luas. Kita tak bisa menduga di kedalaman hati kecilnya apakah ia berkenan mengakui ketamakan kriminal yang bercadar sutra halus.

Pers yang silau oleh gaya moral demikian tak jarang secara tergesa-gesa melemparkan pujian, terlebih sanak keluarga yang bersangkutan. Lantaran sistem kekerabatan yang erat di dalam tradisi Indonesia, pujian itu mudah digemakan dan disebarluaskan oleh kerabat sang koruptor yang bertebaran di mana-mana, bukan hanya di kampung halamannya belaka. Nah, saking luasnya lingkup kekerabatan sang koruptor, mereka tampak di mata kita dengan topeng anonimitas bernama masyarakat.

Jadi, apakah aneh apabila setiap kali muncul gagasan tentang pemberatan hukuman atas para koruptor selalu ditukas oleh penolakan yang lekas dan keras, bahkan secara misterius diaborsi oleh suatu kekuatan yang tak kasatmata? Boleh jadi, itulah aksi masyarakat yang definisinya mengikuti perumusan paragraf di atas. Saudara dari saudara iparnya, teman dari saudaranya, teman dari teman perkongsiannya, oknum yang mengelola bisnis pencucian uang haram, dan seterusnya, membentuk masyarakat tersebut. Hukuman seumur hidup tanpa remisi ditambah perampasan seluruh harta koruptor oleh negara, misalnya—tak harus hukuman mati—sudah menakutkan siapa pun yang tangannya turut berlumur lumpur korupsi.

Siapa pun presidennya, rasanya kita belum dapat berharap koruptor Indonesia bakal dihukum seberat-beratnya, sebagaimana Presiden Joko Widodo mengucapkan kalimat semacam itu atas isu kejahatan seksual paedofilia.

Di media massa kita saksikan sang Presiden tampaknya piawai mengelola politik sehingga partai-partai lawan rontok, takluk satu demi satu, jadi pendukung pemerintah nyaris tanpa syarat. Kita dapat berdiskusi, apakah Jokowi tetap sakti kalau dia berdiri di Istana dan secara resmi membuat pernyataan instruktif kepada segenap pembantunya agar koruptor dihukum seberat-beratnya? Akankah angin tetap berkesiur lembut di seluruh negeri dan tiada badai dahsyat yang mengusik fondasi negara?

Kita setuju, sang Presiden memang sakti. Memantulkan suara rakyat, titahnya tak terbantah saat ia menginstruksikan supaya penjahat paedofilia dihukum seberat-beratnya. Segenap alam raya maklum. Langit terang. Angin pun diam. Siapalah dan berapalah yang terlibat kejahatan itu per kasusnya? Keluarga siapa pula pelakunya? Para pejabat segala lini siap melaksanakan titah itu. Entah jika di tengah perjalanan, kasus semacam itu terjadi di rumah seorang pejabat penting. Pada saat-saat semacam itu, ketajaman hukum kita diuji. Biasanya selalu begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar