Tata Kelola dan Anti Korupsi
Adnan Topan Husodo ;
Koordinator ICW
|
KOMPAS, 24 Mei
2016
Dari aspek akademis,
konsep tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) belum selesai dari perdebatan. Kritik utamanya
terletak pada kepentingan ekonomi yang melekat pada agenda tersebut karena
sering kali, dalam praktiknya, tata kelola pemerintahan yang baik harus
disandingkan dengan agenda restrukturisasi ekonomi. Sebutlah seperti
privatisasi ataupun pengurangan wewenang negara pada sektor ekonomi, di mana
strategi semacam ini dianggap mewakili ideologi ekonomi tertentu yang tengah
berkuasa. Pendek kata, tata kelola yang baik dituduh tidak lahir sebagai
sebuah konsep ideal yang dipahami sebagai cara untuk menjelaskan fenomena
tertentu.
Meskipun demikian,
tata kelola yang baik sudah telanjur menjadi mantra pembangunan. Negara yang
menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, seperti transparansi,
akuntabilitas, dan partisipasi, diasumsikan akan lebih kompetitif secara
ekonomi karena penghalang pertumbuhan, yakni korupsi, bisa dihilangkan.
Penerapan tata kelola
yang baik juga dipandang mampu meningkatkan efisiensi pelayanan publik dan
mendorong peningkatan kualitas capaian program pembangunan. Tata keola yang
baik kemudian jadi prasyarat untuk mewujudkan pemerintahan yang akuntabel,
transparan, dan partisipatif dalam pengelolaan sumber dayanya.
Dalam konteks pemilu,
sebagian pemilih juga telah menjadikan kriteria anti korupsi seorang calon
pemimpin sebagai instrumen penilai saat menentukan pilihan mereka. Demikian
halnya dengan politisi merespons tuntutan itu dengan menawarkan dan menjual
berbagai macam janji anti korupsi pada pemilihnya meski cenderung
manipulatif. Hal ini terutama jadi fenomena kekinian di kota-kota besar dan membuat
kompetisi politik menjadi lebih ketat, terutama dibandingkan dengan daerah
yang basis primordialismenya masih sangat kuat.
Presiden Joko Widodo,
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Wali Kota Surabaya
Tri Rismaharini, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Bupati Batang Yoyok Riyo
Sudibyo, dan Bupati Bojonegoro Suyoto—untuk menyebut sebagian contoh—sering
dianggap mewakili pemimpin yang lahir dari tuntutan anti korupsi.
Mereka juga dianggap
telah mempraktikkan prinsip tata kelola yang baik dalam gradasi kualitas yang
berbeda-beda. Mereka kini telah menjelma menjadi ”media darling” karena
dahaga publik atas pemimpin yang bersih seakan terobati dengan kehadiran dan
sepak terjang mereka sebagai pemimpin politik. Terlebih-lebih di saat wakil
rakyat yang sejatinya menjadi alat kontrol eksekutif tidak kunjung membaik
tabiatnya, hingga selalu menempatkan mereka dalam posisi buncit dalam
persepsi kepercayaan publik.
Setelah anti korupsi, apa?
Jika diasumsikan tata
kelola dan sikap anti korupsi adalah kebutuhan yang mendasar dalam mengelola
pemerintahan, hal selanjutnya yang harus dilacak adalah pengaruh model
kepemimpinan itu terhadap peningkatan kesejahteraan publik, khususnya pada
kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses sama sekali kepada pelayanan
publik. Di sini masalah kerap timbul. Acap kali, pemimpin yang dipersepsikan
bersih dari korupsi tak serta-merta dapat menyelesaikan jurang pemisah yang
lebar antara kelompok kaya dan miskin.
Karena korupsi pada
prinsipnya adalah konsentrasi dan akumulasi sumber daya ekonomi dan kekayaan
material pada segelintir orang atau kelompok yang dilakukan dengan cara
kolutif, maka anti korupsi adalah prinsip untuk memangkasnya. Semestinya
pemimpin yang memiliki prinsip anti korupsi harus dapat melahirkan situasi
yang kondusif bagi pemerataan sumber daya publik. Pada saat yang sama, ia
mampu menyediakan akses pelayanan publik yang berkualitas pada kelompok
rentan.
Dalam situasi tak
berimbang, di mana relasi antar-kelas sosial sangat timpang, kebijakan publik
tak bisa diterapkan dengan prinsip sama rata, di mana setiap orang dianggap
dan diperlakukan sama. Oleh karena itu, kebijakan publik bisa disingkirkan
dari arena sosial mereka karena satu alasan tertentu, misalnya menempati
tanah negara tanpa izin.
Apalagi jika kemudian
ada perlakuan berbeda (baca: tidak digusur dan tidak diusir) diberikan kepada
korporasi yang menguasai tanah milik negara, dan membangun berbagai macam
fasilitas di dalamnya tanpa melalui prosedur dan hukum yang ditentukan. Pada
titik ini, aspek keberpihakan terhadap kelompok masyarakat yang papa menjadi
sangat penting karena pada dasarnya mereka tak memiliki kekuatan dan
kekuasaan untuk berlaku sama dengan korporasi yang curang.
Kebijakan publik
Konsep tata kelola
yang baik dan anti korupsi menjadi kian tak jelas tujuannya jika dalam
praktiknya kebijakan publik yang diputuskan justru mengabaikan nilai tata
kelola pemerintahan yang baik, baik itu dalam perencanaan, proses, maupun
eksekusinya. Dalam kasus reklamasi di DKI Jakarta sebagai contoh, dengan
pertimbangan Ahok dianggap mewakili tokoh atau pemimpin bersih, keputusan
yang diambil tampak dilakukan dengan proses sembarangan dan serampangan. Juga
mengabaikan berbagai macam isu teknis prosedur dan birokrasi yang sebenarnya
tidak bisa ditanggalkan sama sekali dalam pemerintahan seliberal apa pun.
Apalagi yang tengah diputuskan adalah penyerahan pengelolaan sumber daya
publik kepada aktor swasta, di mana konsekuensi atas kebijakan itu sangat
berkaitan dengan nasib kelas sosial tertentu yang terancam mata pencariannya.
Alasan diskresional
sebagai pejabat publik tak serta-merta membuat pemimpin bisa melakukan apa
pun yang mereka kehendaki. Wewenang diskresi seharusnya digunakan dalam
kondisi dan kebutuhan yang sangat mendesak, dengan mempertimbangkan berbagai
risiko dan konsekuensinya. Pertanyaan mendasarnya, siapa kelompok yang paling
diuntungkan dari kebijakan reklamasi: masyarakat atau korporasi? Berikutnya,
apakah setara kompensasi yang dibayarkan swasta dengan dampak lingkungan dan
derita warga yang harus jadi korban dari rancangan pembangunan semacam ini,
juga dengan keuntungan jangka panjang yang dikeruk mereka?
Jika basis dari
berjalannya proyek reklamasi hanyalah kesepakatan empat mata antara swasta
dan pejabat publik, di mana di dalamnya ada tukar-menukar kepentingan, meski
bisa diklaim kepentingan yang dimaksud adalah untuk kepentingan pemerintah,
hal itu bisa dianggap sebagai persekongkolan.
Sementara instrumen
partisipasi, yakni anggaran publik, justru tak dijadikan sumber utama dalam
pembiayaan pembangunan. Jika pemerintah lebih senang ”menodong” pihak swasta
untuk membiayai berbagai macam inovasi dibandingkan mengalokasikannya melalui
anggaran publik (APBD), hal itu bisa dipandang sebagai penyingkiran proses
mendemokratisasikan kebijakan publik. Publik tentu sangat berharap kepada
pemimpin yang bersih, tetapi jika kebijakan publik yang diambil justru hanya
menguntungkan korporasi besar dan sektor swasta, prinsip tata kelola yang
baik dan anti korupsi kehilangan esensinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar