Nasionalisme dan Globalisasi
Yonky Karman ;
Pengajar di Sekolah Tinggi
Teologi Jakarta
|
KOMPAS, 18 Mei
2016
Atas prakarsa beberapa
pelajar sekolah kedokteran (STOVIA), organisasi Budi Utomo didirikan pada 20
Mei 1908 dengan cita-cita sederhana: memperjuangkan persamaan hak, memajukan
ekonomi pribumi, dan meninggikan kebudayaan orang Jawa.
Pada awalnya belum terpikir kemerdekaan
politik karena gerakan politik dilarang pemerintah kolonial. Meski masih
Jawa-sentris, kelanjutan cita-cita Budi Utomo adalah kebangkitan nasional.
Kebangkitan
pertama
Kala itu, hampir seluruh modal dan
sektor-sektor penting ekonomi dikuasai nonpribumi. Tanpa kelas kapitalis,
modal kebangkitan kaum pribumi hanyalah kaum terdidik buah kebijakan Politik
Etis, politik balas budi kolonial Belanda untuk lebih memperhatikan nasib
rakyat terjajah. Budi Utomo merupakan awal terbentuknya kaum terdidik
pribumi.
Dalam disertasi yang kemudian menjadi karya
klasik (Nasionalisme dan
Revolusi di Indonesia, 1952), George McTurnan Kahin, sejarawan
Cornell, mencatat detail sejarah pergerakan nasional. Tiga perempat kaum
terdidik pribumi mengabdi kepada pemerintah Hindia Belanda, tetapi hanya
sebagian kecil yang bekerja sesuai dengan pendidikannya dan sebagian besar
memperoleh pekerjaan lebih rendah. Tidak hanya diskriminasi profesi, tetapi
juga pengupahan. Berkembanglah rasa tak puas kaum terdidik pribumi yang
menyadari rendahnya kedudukan ekonomi mereka.
Pada awal abad ke-20 berkembang suasana
kebangkitan bangsa-bangsa terjajah, terutama di Asia. Bangsa Filipina bangkit
terhadap bangsa Spanyol, bangsa India terhadap bangsa Inggris, dan bangsa
Tiongkok dengan slogan anti Baratnya. Yang terpenting adalah kemenangan
Jepang dalam perang Rusia-Jepang (1904-1905), menjadikannya sebagai kekuatan
Asia pertama pada masa modern yang berhasil mengalahkan kekuatan Eropa.
Segelintir kaum terdidik yang tidak berasal
dari kalangan priayi menangkap peluang kebangkitan itu. Kahin menyebut agama
dan bahasa sebagai dua faktor penting bangkitnya kesadaran baru pribumi.
Agama Islam membangkitkan solidaritas di antara banyak suku Indonesia.
Penonjolan agama di sini bukan dalam bentuk triumfalisme dan intoleransi,
melainkan kesadaran untuk membangun ekonomi umat. Itulah yang mengilhami
terbentuknya Sarekat (Dagang) Islam.
Bahasa Melayu juga menjadi perekat
solidaritas kaum pribumi. Dalam komunikasinya dengan kaum pribumi, orang
Belanda selalu berbahasa Melayu agar pribumi tak merasa setara.
Terpeliharalah superioritas Belanda sekaligus rasa minder pribumi. Berkah
terselubungnya adalah bahasa Melayu dipelajari semua kaum pribumi dan
kemudian menjadi lingua franca. Meski
kebangkitan nasional memuncak pada proklamasi kemerdekaan, merdeka saja tidak
cukup. Kemerdekaan politik hanya langkah awal untuk kemerdekaan ekonomi.
Negara-negara yang dikategorikan gagal dari segi pemerintahan dan ekonomi,
sebagian besar di Afrika, secara politik adalah negara yang sudah lama
merdeka, tetapi secara ekonomi tak pernah bangkit sebagai bangsa yang
diperhitungkan.
Kebangkitan
kedua
Jalan kebangkitan masa kini berbeda dari
kebangkitan seabad lalu. Setelah dihantam krisis ekonomi di pengujung
milenium lalu, Indonesia berhasil bangkit dari bayang-bayang negara gagal.
Bersama negara-negara lain di Asia, Indonesia memasuki fase baru era Asia
(Kishore Mahbubani, The New Asian Hemisphere: The
Irresistible Shift of Global Power to the East, 2008).
Pertumbuhan ekonomi Asia yang relatif tinggi dan stabil berimplikasi bagi
pertumbuhan ekonomi global. Asia yang selama ini hanya menjadi penonton dalam
sejarah dunia kini menjadi aktor.
Indonesia dengan percaya diri memberikan
kontribusi bagi perdamaian dunia dengan Islam Nusantara. Namun, Indonesia
juga harus bangkit secara ekonomi. Dalam pidato bertajuk "Arti dan Nilai
Kebangkitan Nasional" (19 Mei 1975), Bung Hatta mengatakan, "Kita
tak perlu takut bahaya komunisme asal di sini ada keadilan sosial .... Kalau
ada keadilan sosial di Indonesia, rakyat merasa makmur dipenuhi segala
keperluan hidupnya dan tidak ada perbedaan melewati batas antara yang kaya
dan miskin, maka kita selamat." Bung Hatta memaksudkan komunisme di sini
sebagai gagasan sosial, bukan partai komunis. Apabila keadilan sosial buruk,
itulah lahan subur komunisme.
Selain masih didera kemiskinan, kita miskin
adab dan itu pembeda zaman ini dari zaman pergerakan. Pemerintahan sangat
serius merealisasikan pembangunan infrastruktur dan manusia, tetapi banyak
dana proyek tidak utuh lagi karena terpotong fee untuk pejabat eksekutif dan
legislatif. Penegak hukum dan wakil rakyat berpesta narkoba. Tingkat
kepatuhan rakyat terjajah jauh lebih baik daripada rakyat merdeka. Kekerasan
seksual marak dan menyasar anak-anak.
Rupiah sudah diperlakukan sebagai tuan di
rumah sendiri. Namun, komoditas alam unggulan kita masih dikuasai asing dan
harganya pun ditentukan pasar internasional. Untuk memburu predikat layak
investasi, pemerintah siap mendengarkan petuah para petinggi lembaga
pemeringkatan internasional yang berpusat di negara-negara Barat, yang justru
sedang resesi berkepanjangan.
Iran adalah sebuah negeri modern yang
disegani kawan ataupun lawan. Dengan kondisi geografis sulit, ditambah
embargo ekonomi berkepanjangan dari Barat dan sekutunya, bangsa itu justru
kian tangguh dan maju. Mereka mengandalkan ilmuwan dan teknisi dalam negeri
untuk mengembangkan pertahanan udara. Itulah satu-satunya negara yang masih
menerbangkan jet tempur F-14 Tomcat, setelah memodifikasi dan
memperlengkapinya dengan rudal udara jarak sedang buatan dalam negeri yang
berdaya jelajah dua kali panjang Pulau Jawa.
Jalan kebangkitan bangsa memang tidak harus
melalui embargo. Namun, Indonesia lama terlena. Tidak lagi di bawah
bayang-bayang hegemoni Barat, ancaman justru datang dari kompetisi regional
yang berlangsung di halaman negeri sendiri.
Di era Masyarakat Ekonomi ASEAN, kita
diserbu barang, jasa, dan tenaga kerja asing. Berbeda dari Korea Selatan dan
Tiongkok, produk bernilai tinggi kita belum menguasai pasar regional.
Indonesia masih dilihat sebagai pasar luas ditopang konsumsi kelas menengah
yang besar.
Ketika kesempatan mentas di panggung dunia
terbuka, banyak dari elite politik belum siap menyuguhkan karya anak negeri
untuk bangkit sebagai kekuatan ekonomi produktif. Mereka asyik menikmati kue
ekonomi. Mereka tidak peduli kekayaan bumi dan laut Indonesia dikeruk asing.
Mereka tidak peduli kesenjangan ekonomi kaya dan miskin melebar. Sebagian
besar APBD habis untuk belanja pegawai atau diendapkan di bank.
Pada 1948, Presiden Soekarno di Yogyakarta
menetapkan 20 Mei-hari lahir organisasi Budi Utomo-sebagai Hari Kebangkitan
Nasional. Bung Karno berharap semua kekuatan bangsa yang sedang berselisih
bersatu melawan ancaman Belanda yang hendak berkuasa kembali.
Tanpa sinergi semua kekuatan bangsa, kita
tidak akan melangkah dari kebangkitan nasional kepada kebanggaan nasional.
Sebagaimana musuh terbesar manusia selalu diri sendiri, bangsa kita pun harus
melepaskan diri dari kekerdilan cara pikir dan pola laku yang menghambat
kebangkitan bangsa di milenium baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar