Pemerkosa Dikebiri
Kartono Mohamad ;
Mantan Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia
|
KOMPAS, 18 Mei
2016
Kebiri (kastrasi) yang
pada hewan biasanya dilakukan dengan memotong buah zakar (testis). Dalam
cerita tentang harem raja- raja, kebiri juga dilakukan pada laki-laki yang
akan ditugasi menjaga harem. Dengan dikebiri, seorang laki-laki tak lagi
punya libido (nafsu seks).
Sebagaimana diketahui,
testis adalah tempat laki-laki memproduksi sperma dan hormon testosteron.
Hormon yang mematangkan sel-sel sperma sehingga siap membuahi sel telur, dan
juga memicu timbulnya libido. Jika testis tak lagi memproduksi hormon
testosteron, laki-laki itu tak akan lagi mempunyai gairah seks. Itulah dasar
mengapa penjaga harem dikebiri, supaya tidak terjadi pagar makan tanaman.
Sekarang, kebiri juga
dilakukan sebagai salah satu hukuman bagi pemerkosa kambuhan. Di Indonesia
juga sedang diwacanakan untuk dilakukan terhadap pemerkosa anak di bawah
umur.
Kebiri kimiawi
Akan tetapi, kebiri
yang diwacanakan akan diterapkan di Indonesia bukan kebiri yang dilakukan
dengan cara memotong testis pelaku pemerkosaan. Menteri Hukum dan HAM Yasonna
H Laoly menyebut kebiri kimiawi. Tidak jelas apakah kebiri itu akan
menggunakan zat kimia (nekrotikans) yang disuntikkan ke buah zakar sehingga
testis mengalami nekrosis (mengerut dan mati) ataukah dengan menggunakan obat
(medikamentosa).
Kebiri dengan obat
dilakukan dengan menyuntikkan hormon "anti testosteron" ke tubuh
terpidana. Obat suntik ini semacam kontrasepsi suntik yang sering diberikan
kepada perempuan peserta KB suntik. Cara bekerjanya menekan produksi dan
aktivitas testosteron sehingga tak muncul pacuan libido selama orang di bawah
pengaruh obat tersebut.
Kalau kebiri dilakukan
dengan zat nekrotikans, efeknya permanen. Seperti kebiri dengan cara operasi
membuang testis. Seumur hidup laki-laki itu tidak akan lagi punya libido.
Namun, kalau menggunakan obat penekan produksi testosteron, ia akan bersifat
semipermanen selama beberapa bulan saja. Sesudah itu harus disuntik ulang,
persis seperti peserta KB suntik. Dalam literatur dikatakan, kebiri dengan
obat ini juga ditujukan untuk mengobati laki-laki yang gairah seksnya terlalu
berlebihan, juga untuk mengobati kanker prostat.
Dalam wacana kebiri
kimiawi bagi pelaku pemerkosaan yang kambuhan, cara ini lebih berkonotasi
penghukuman. Pemahaman bahwa pemberian obat kebiri ini untuk menghukum inilah
yang banyak menimbulkan kontroversi. Kontroversi pertama, apakah tindakan ini
tak melanggar hak asasi manusia karena mengira bahwa akibat kebiri dengan
obat ini akan bersifat permanen, seperti halnya kebiri pada kasim (eunuch)
penjaga harem. Padahal, sifat kebiri kimiawi ini tak permanen. Jika efek obat
sudah hilang, gairah libido orang terkebiri itu akan pulih kembali.
Diharapkan dengan disertai psikoterapi, orang itu kelak tidak lagi seagresif
sebelum dihukum, dan tidak memerkosa lagi.
Kontroversi kedua,
sampai kapan pemberian obat akan dilakukan. Selama menjalani hukuman badan di
penjara ataukah sampai waktu tertentu setelah keluar. Sampai masa parole
habis. Saya tidak tahu apakah di sistem hukum Indonesia ada masa percobaan
(parole).
Kontroversi ketiga,
apakah pemberian suntikan secara paksa (ketika terpidana kehilangan
kebebasan) dapat dianggap pelanggaran hak asasi. Anggapan melanggar hak asasi
barangkali dapat dikurangi kalau vonis kebiri kimiawi itu tak dimasukkan
sebagai hukuman, tetapi sebagai upaya pengobatan wajib terhadap gairah seks
yang berlebihan, dan dilakukan bersama dengan psikoterapi atau konseling.
Sikap dokter
Penyuntikan obat
penekan libido (kebiri kimiawi) ini bagaimanapun harus dilakukan oleh dokter.
Beberapa orang berpendapat bahwa dokter tidak boleh melakukan tindakan itu
kepada terpidana karena akan melanggar etikanya. Persatuan Dokter Sedunia
(WMA) memang pernah mengeluarkan seruan agar dokter tidak ikut terlibat dalam
penyiksaan terhadap tahanan, apalagi ikut melaksanakan hukuman mati.
Sebagaimana diketahui, di beberapa negara bagian AS berlaku hukuman mati
dengan menggunakan obat-obatan. Pemberian rangkaian obat untuk eksekusi
hukuman mati ini harus diberikan oleh dokter.
Bagaimana sikap dokter
kalau kebiri kimiawi kelak dimasukkan sebagai bagian dari hukuman pemerkosa.
Karena kebiri tidak mengakibatkan kematian pada terpidana, dokter dapat
mengambil sikap bersedia atau menolak. Ia dapat menolak melakukan tindakan
itu jika ia berkeyakinan bahwa vonis kebiri merupakan bagian dari penyiksaan
(torture) terhadap terpidana, tetapi dapat pula ia melakukannya kalau ia
yakin bahwa vonis kebiri itu merupakan bagian dari terapi terhadap libido
yang berlebihan.
Jika ia mau bersikap
lebih etis dan profesional lagi, sebelum melakukan ia harus melakukan
pemeriksaan teliti, termasuk profil hormon dan profil psikiatris terpidana.
Kemudian ia membuat pencatatan yang cermat, termasuk melakukan pengamatan
jika terjadi efek samping. Ia dapat membuat rekomendasi kapan terapi kebiri
harus dihentikan. Tanpa membuat rekam medik dan pengamatan yang cermat, ia
dapat dituduh telah bertindak melanggar etik dan bisa juga dituduh ikut
melakukan penyiksaan terhadap narapidana.
Dengan sikap seperti
itu, persepsi kebiri sebagai hukuman berubah menjadi sebagai terapi, yang
juga bisa dilakukan terhadap pasien bebas yang merasa kewalahan mengendalikan
libidonya meskipun tidak sampai memerkosa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar