Mau Bangun Sepak Bola atau Kampus Kelas Dunia? Perbaiki
Dulu "DNA"-nya...!
Rhenald Kasali ;
Guru Besar bidang Ilmu
manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia; Pendiri Rumah Perubahan
|
KOMPAS, 16 Mei
2016
Mencari dana buat Alif
(bocah ajaib kelahiran Indonesia, kebanggan Ajax FC, 11 tahun) agar ia bisa
menjadi pesepakbola kelas dunia, bisa membuat mata kita terbuka. Ini adalah
soal DNA, yaitu DNA pengorganisasian kelas dunia.
Bukan cuma soal PSSI
yang pembekuannya baru saja dicabut Menpora. Melainkan juga kampus, korporasi
swasta, BUMN, dan tentu saja UKM kita. Kita tahu, semua tengah berlomba “go
international”, menjuluki dirinya “World Class".
Masuk akal, karena
sekalipun diam di pasar domestik saja, mereka tak lepas dari serangan
organisasi kelas dunia tadi.
Tetapi tahukah mereka,
ini bukan soal keren-kerenan. Perubahan bisa saja tak bisa membuat kita
menaklukkan mereka. Apalagi ingin menyejajarkan diri. Masuk peringkat saja
hampir tak mungkin, karena basic-nya ada di DNA. Sebuah cetak biru saat kita
merancangnya.
Mari kita bermain
kata-kata sederhana. Saya harap Anda tak mudah tersinggung ketika saya
menyebut kata “kampung”. Ini cuma soal ukuran besar-kecil saja. Bukan soal
selera. Yang satu “kampung”, yang lainnya “kota”, dan yang lainnya,
katakanlah “kelas dunia.” Jadi ada DNA kelas kampung, nasional dan ada kelas
dunia. Maksud saya ketika Anda mengatakan “yang terbaik di kampung kita”,
misalnya, tentu berbeda artinya dengan “yang kelas dunia.” Bukankah cara
mencari bibitnya saja sudah berbeda?
Alif, Kelas Dunia
Di usia 6 tahun, Alif
sudah menarik perhatian klub-klub sepakbola dunia. Ada yang bilang itu berkat
video yang diunggah pamannya di kanal Youtube. Tetapi mungkin titik awalnya
adalah ketika Alif terpilih sebagai the most valuable player dalam turnamen
Arsenal Asia di Singapure.
Entah bagaimana
ceritanya, sebuah klub sepak bola kelas dunia asal Eropa yang namanya sering
Anda lihat di tivi, tiba-tiba membuka sekolah bola di Jakarta dan mengundang
Alif untuk ikut. Tak cuma mengajarkan teknik menggiring bola, orang tuanya
juga diajarkan cara memberi makanan bergizi, membangun disiplin dan belajar
bahasa asing.
Persis seperti kisah
Michael Oher, remaja kulit hitam yang dirawat keluarga Leigh Anne Tuohy sejak
kecil, menjadi pemain rugby. Kisah rebutan kampus-kampus kelas dunia yang
juga terkenal dengan ketangguhan tim olahraganya itu dapat Anda lihat dalam
film true story, "The Blind
Side" yang di perankan Quinton Aaron dan Sandra Bullock.
Kampus-kampus itu
mencari dan memberikan yang terbaik agar menjadi pemain hebat. Pencarian
bakat bukan sekedar siapa mau ikut, tetapi benar-benar dicari dari segala
penjuru. Kompetitif, kelas dunia.
Demikianlah Alif,
begitu prestasinya menonjol, didatangi oleh hampir semua klub sepak bola
dunia yang rajin melakukan transfer pemain.
Kisah kedatangan Messi
dari Argentina ke Barcelona di usia 13 tahun dengan alasan berobat misalnya,
mungkin tak dapat dilepaskan dari “talent war” ini. Aneh juga terdengarnya,
apa betul Messi menderita kelainan hormon pertumbuhan? Tapi itulah alasan
yang dipakai agar Messi bisa bergabung di akademi sepakbola Barcelona.
Klub-klub itu membidik
bakat-bakat unggul sejak talent itu masih belia. Mereka bukan hanya diajari
cara menggiring bola, melainkan juga diasah otak kiri dan kanannya. Termasuk
memilih makanan, bernyanyi dan sebagainya.
Pengorganisasian
berbasis DNA kelas dunia ini berbeda dalam banyak hal: sponsor, dana abadi,
investasi, science, manajemen, sampai soal gizi, disiplin, hukum dan etika.
Ini tentu berbeda
dengan dunia sepak bola kita yang belakangan juga gemar mendatangkan
pemain-pemain sepak bola dari mancanegara. Tanpa pengorganisasian DNA kelas
dunia, seorang pemain terkenal besoknya berubah menjadi pedagang nasi uduk. Adalah
biasa kita mendengar, atlet yang menghilang dari pelatnas, terlibat
perkelahian di klub malam, dan seterusnya.
Seorang pengusaha yang
pernah menjamu tim sepakbola Chelsea dan PSSI pernah bercerita, apa saja
makanan yang "diembat" (dia memakai istilah itu) pemain kita bila
dibandingkan dengan pemain-pemain Chelsea. Silakan tebak sendiri.
Kampus Kelas Dunia
Belakangan ini kita
juga sering mendengar visi para rektor yang menyebutkan kampusnya sebagai
"world class university". Kita juga sering mendengar berita tentang
rangking universitas-universitas kelas dunia dan kita selalu bertanya, di
mana kampus-kampus jagoan kita berada.
Singapura, China,
Korea Selatan dan Jepang, berulang kali disebutkan dalam daftar peringkat
kelas dunia itu. Sementara dari Indonesia, semakin hari semakin bergeser ke
belakang. Ada juga yang kadang-kadang. Maksud saya, kadang masuk dalam top
200, kadang menghilang.
Padahal, upaya para
pemimpin kampus dan akademisi kita tak kurang gigihnya. Gairah riset dan
publikasi ilmiah begitu tinggi. Hampir setiap hari kita menerima email “call
for papers” dari berbagai kolega perguruan tinggi di tanah air.
Lantas, dengan DNA
seperti itu, sudah adakah yang mampu mendapatkan ranking?
Saya kira pesan-pesan
yang dikirim lembaga-lembaga pemeringkat dunia sebenarnya sudah amat jelas.
Universitas kelas dunia itu dibentuk dengan peorganisasian dan software kelas
dunia, berisi pengajar dan mahasiswa yang terbaik lintas kebangsaan, diversity.
Saya jadi teringat dengan undangan makan malam dari
berbagai kampus luar negeri yang saya terima sebulan belakangan ini. Entah
bagaimana, satu-persatu “Dean of Faculty” (dekan yang menangani dosen) dari
kampus-kampus top dunia itu tiba-tiba ada di sini.
Singkat cerita sehabis makan malam, mereka menawarkan
saya untuk pindah dan bergabung sebagai guru besar di kampus mereka.
Paket tawarannya amat jelas. Bahkan terbuka untuk
negosiasi. Belakangan mereka buka kartu juga, semua itu didasarkan dari data
yang diberikan sebuah lembaga, dan penghargaan keilmuan yang belum lama ini diumumkan.
Saya agak sedikit maklum, karena begitulah DNA kampus
kelas dunia.
Anda tahukan,
bagaimana kampus-kampus kita membentuk DNA-nya? Cobalah tengok siapa saja
yang menjadi dosen dan mahasiswanya, serta bagaimana menyeleksinya? Di banyak
kampus, selera almamater itu begitu kuat. Ada persepsi tentang “darah biru”
dengan “darah berwarna.” Tak sedikit yang 95 persen akademisinya lulusan
sendiri.
Sementara di kampus
“World Class” kita membaca mekanisme DNA yang berbeda. Bahkan tidak menerima
lulusan sendiri. Saya sendiri tak bisa mengajar di University of Illinois. Teman-teman
saya yang lulus dari program doktoral dari MIT tidak diterima mengajar di
MIT, demikian pula di Harvard maupun Chicago. Dipecut untuk bertarung di
luar, menjadi akademisi berpengaruh.
Saat acara wisuda kita
bisa menyaksikan dari mana saja almamater asal para guru besar dari toga
kebesaran yang dipakai. Sungguh beragam. Itulah perkawinan silang ilmu
pengetahuan yang akhirnya diwujudkan dalam kreasi ilmu. Pengajar yang hebat
akan mendatangkan banyak dana riset dan pengabdian.
Mereka hadir bukan
karena hubungan kekerabatan atau kesamaan almamater, melainkan karena
karya-karya ilmiah dan pengakuan/ penghargaan internasional yang mereka
dapatkan. Mereka direkrut sedari muda, diberi beasiswa, dikembangkan, dan
diberi rekomendasi yang kuat.
Saya kira kini sudah
saatnya Indonesia mendeklarasikan 1-2 kampus sebagai "World Class
University" dengan treatment DNA kelas dunia, bukan DNA tambal sulam
apalagi DNA kampungan. Maaf maksud saya, buat apa sih membangga-banggakan
kampung almamater, kalau bukan untuk membentengi diri?
Ini pula saatnya kita
memikirkan lahirnya perusahaan-perusahaan kelas dunia dan klub-klub sepak
bola dunia. Pikirkan DNA-nya, bukan jargon atau positioning-nya semata.
Jadi, jangan lupa,
bantu saya menjadikan Alif pemain kelas dunia via kitabisa.com/tristanalif. Tengok juga videonya
pasti Anda akan sepakat dengan kami. Kelak, manusia seperti Alif akan
membayar kebaikan Anda dengan memutasi DNA persepakbolaan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar