Revisi UU Pilkada
Toto Sugiarto ;
Ketua Departemen Riset dan Konsultan PARA Syndicate;
Pengajar pada Universitas
Paramadina
|
KOMPAS, 08 Maret
2016
Pilkada 2017 di depan
mata. DPR pun bersiap-siap melakukan revisi terhadap UU yang memayunginya,
yaitu UU No 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Belajar
dari pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2015, terdapat kelemahan pada
pelaksanaan dan regulasi. Masalah pada pencalonan, akal-akalan pada pelaporan
dana kampanye, daftar pemilih, dan kurang optimalnya pengelolaan data hasil
pengawasan serta kurang sempurnanya potret kerawanan pemilu merupakan contoh
kelemahan yang perlu diperbaiki.
Hampir semua
permasalahan dan kelemahan tersebut bisa diselesaikan jika DPR serius
melakukan revisi UU Pilkada. Syaratnya, tak ada anggota DPR yang memiliki
niat tersembunyi untuk mengedepankan kepentingan dirinya. Langkah-langkah
revisi harus diniatkan dan ditujukan untuk memperbaiki sistem pilkada.
Butir penting
perbaikan yang perlu dilakukan adalah dari sisi peserta, penyelenggaraan, dan
penyelenggara.
Pada sisi peserta,
perbaikan terpenting, antara lain, persyaratan ambang batas parpol atau
gabungan parpol dalam mengusung calon kepala daerah, batas maksimal parpol
dalam mengusung satu pasangan calon, syarat pencalonan, dan sanksi bagi
pelaku politik uang.
Pilkada serentak 2015
diwarnai minimnya jumlah pasangan calon. Kondisi ini berkorelasi langsung
terhadap rendahnya partisipasi pemilih. Sedikitnya pasangan calon di suatu
daerah berakibat pada sedikitnya alternatif pilihan. Banyak pemilih enggan
datang ke tempat pemungutan suara karena tahu tak ada calon yang layak
dipilih.
Beberapa hal yang
berkaitan langsung dengan sedikitnya jumlah pasangan calon, baik yang diusung
parpol/gabungan parpol maupun perseorangan, antara lain persyaratan ambang
batas parpol dapat mengusung pasangan calon dan sulitnya persyaratan
pencalonan yang harus dipenuhi. Ambang batas dan persyaratan perlu diturunkan
sehingga mempermudah pencalonan.
Di sisi lain,
sedikitnya jumlah pasangan calon juga karena adanya upaya pasangan calon
memborong parpol pengusung/pendukung. Karena itu, perlu ditentukan batas
maksimal parpol yang bisa berkoalisi mengusung satu pasangan calon. Batasan
ini penting untuk mencegah hilangnya kesempatan bagi pasangan calon lain
untuk diusung suatu parpol/koalisi parpol.
Perbaikan penting lain
adalah perlunya sanksi tegas bagi pelaku politik uang. UU yang sekarang
berjalan tidak memberikan sanksi bagi pelaku politik uang. DPR pembuat UU
yang sekarang ini mungkin lupa mencantumkan sanksi bagi pelaku politik uang—
untuk tidak mengatakan bahwa mereka menghindari pencantuman sanksi tersebut.
Selain itu, terdapat
perdebatan lain terkait perbaikan di atas, yaitu dihapusnya pasal kewajiban anggota
DPR, DPD, DPRD, dan PNS agar berhenti jika mencalonkan diri sebagai calon
kepala daerah, dan sanksi bagi parpol yang tak mengajukan calon. Keduanya
tidak perlu dilakukan. Yang pertama penting untuk memastikan keseriusan
anggota DPR, DPD, DPRD, dan PNS yang hendak mencalonkan diri. Sementara yang
kedua, pengajuan calon oleh parpol sifatnya hak.
Pada sisi
penyelenggaraan, setidaknya terdapat tiga hal yang kondisinya tidak bisa
tidak harus diubah untuk menciptakan pilkada yang lebih baik, yakni lebih demokratis
dan adil. Pertama, anggaran pilkada mesti dari APBN. Dengan bersumber pada
APBN, anggaran akan terbebas dari kepentingan politik lokal. Selain itu,
dengan bersumber pada APBN, jumlah anggaran dapat ditentukan secara sama
jumlahnya dan dapat didistribusikan dalam waktu bersamaan. Pengalaman pada
Pilkada 2015, jumlah anggaran pilkada dan waktu pencairannya berbeda,
mengakibatkan adanya daerah yang lancar dalam pelaksanaan pilkadanya dan ada
daerah yang terhambat.
Kedua, perlu
ditentukan otoritas penyelesaian sengketa pencalonan. Pada Pilkada 2017,
penyelesaian sengketa pencalonan sebaiknya diserahkan ke Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu), tidak ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) ataupun Mahkamah Agung
(MA). Bawaslu-lah yang melakukan pengawasan sehingga paling pas melakukan
penyelesaian sengketa pencalonan.
Ketiga, diperlukan
perbaikan pada pasal pelaporan dana kampanye. Pilkada 2015 diwarnai banyak
pelanggaran pada pelaporan dana kampanye, antara lain adanya ketidakpatuhan
terhadap waktu penyerahan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye
(LPPDK), banyaknya kejanggalan dalam isi laporan dana kampanye pasangan
calon, jumlah kegiatan yang dengan kasatmata membutuhkan biaya yang lebih
besar dibanding biaya yang dilaporkan dalam LPPDK, dan kecurigaan tidak
seriusnya audit terhadap laporan tersebut.
Pada sisi
penyelenggara, perbaikan perlu dilakukan pada kemampuan KPU dan Bawaslu
mengelola data dan informasi. KPU terlihat buruk dalam mengelola data
pemilih. Lokus kelemahan KPU dalam mengelola data pemilih ini ada pada tahap
sinkronisasi data Kemendagri dengan data hasil pemilu terakhir, dan pada
tahap pemutakhiran yang tampak setengah hati.
Adapun kelemahan
Bawaslu dalam pengelolaan data dan informasi ini adalah, pertama, belum
diimplementasikannya sistem informasi pengawasan yang sepenuhnya
terotomatisasi. Bawaslu belum memiliki jaringan data dan informasi yang
menjangkau seluruh struktur pengawasan sehingga pengelolaan data hasil
pengawasan pada beberapa bagian terkesan manual. Kedua, belum sempurnanya
metode dan output Index Kerawanan Pemilu (IKP) 2015 yang diandalkan Bawaslu
sebagai alat potret dan pemeringkat kerawanan pemilu setiap daerah. Penentuan
alat ukur dan cara menampilkan data perlu diperbaiki agar potret dan pemeringkatan
kerawanan pilkada lebih mampu menggambarkan fakta.
Revisi UU Pilkada
harus diniatkan serta ditujukan untuk penciptaan proses demokrasi yang lebih
baik sehingga demokrasi di Indonesia dapat terkonsolidasi. Hanya dengan niat
yang lurus seperti itu pilkada dapat diperbaiki sehingga kehidupan bernegara
dan peradaban bangsa dapat lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar