Menata Ulang Alutsista
Al Araf ;
Direktur Imparsial
|
MEDIA INDONESIA,
23 Maret 2016
PERISTIWA jatuhnya
helikopter Bell 412 EP milik TNI-AD di Poso pada 21 Maret 2016 kembali
memperpanjang rentetan kecelakaan alat utama sistem persenjataan (alutsista)
di Indonesia. Sebelumnya, juga terjadi peristiwa jatuhnya pesawat Super
Tucano 3180 milik TNI-AU pada Februari 2016 di Malang dan pesawat T-50i
Golden Eagle milik TNI-AU di Yogyakarta pada Desember 2015. Dari data yang
dihimpun Imparsial, sepanjang 2004-2016 setidaknya terdapat 20 peristiwa
kecelakaan alutsista yang telah memakan korban baik dari kalangan prajurit
TNI maupun warga sipil.
Gugurnya para prajurit
TNI dalam setiap kecelakaan bukan hanya menimbulkan duka yang mendalam bagi
keluarga korban, melainkan juga membuat bangsa ini kehilangan putra-putri
terbaiknya. Meski penyebab kecelakaan yang satu dengan lainnya belum tentu
sama, kiranya berbagai kecelakaan itu perlu dijadikan dasar pijakan bagi kita
untuk kembali mengevaluasi dan memperbaiki tata kelola alutsista di
Indonesia.
Pada 2007, Kementerian
Pertahanan sudah memetakan kondisi alutsista di Indonesia. Mengacu ke
kebijakan postur pertahanan negara 2007 tersebut, hampir 30%-50% kondisi
alutsista TNI dinyatakan tidak layak untuk digunakan. Dengan didorong
realitas itulah, upaya untuk modernisasi alutsista dilakukan pemerintah
melalui program yang dikenal luas dengan minimum
essential forces (MEF).
Pada dasarnya, program
pembangunan kapabilitas alutsista di Indonesia itu dirancang dalam tiga
tahap: tahap 1 MEF pada 2010-2014; tahap 2 essential forces pada 2015-2019; dan tahap 3 optimum forces pada 2020-2025. Saat ini tahap pertama telah
selesai dilakukan dengan realisasi Rp122,2 triliun, atau mencapai target
sebesar 74,98%. Untuk tahap kedua dan ketiga, direncanakan akan dialokasikan
sekitar Rp157,5 triliun. Namun, terkait dengan beberapa penyesuaian dengan
kondisi saat ini, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu telah menyatakan bahwa
pada RPJMN telah disusun baseline sekitar Rp293,5 triliun untuk anggaran
tahap kedua.
Sejumlah masalah
Dengan sifatnya yang multiyears, program MEF itu merupakan
langkah awal yang baik dalam melakukan modernisasi alutsista. Sayangnya,
upaya modernisasi tersebut kerap diwarnai berbagai macam masalah dan kendala
sehingga belum dapat berjalan secara maksimal.
Beberapa alutsista
yang dibeli semisal berada di bawah standar (underspec). Kadang kala terdapat pengadaan alutsista yang dibeli
secara tidak lengkap sesuai dengan yang dibutuhkan, seperti pengadaan pesawat
tanpa dibarengi rudal, atau radar, atau beberapa peralatan lainnya. Kondisi
itu tentu akan memengaruhi kesiapan alutsista dalam operasi lapangan, yang
pada akhirnya akan memengaruhi mental prajurit maupun mempertaruhkan nyawa
prajurit yang menggunakannya.
Pengadaan alutsista di
masa lalu juga kerap diwarnai pembelian alutsista bekas. Pemerintah sering
kali lebih memilih upaya retrofit untuk memperbaiki alutsista bekas tersebut.
Padahal, jelas terdapat kecenderungan bahwa pengadaan alutsista bekas selalu
memiliki potensi bermasalah yang lebih besar. Indonesia sebenarnya sudah berulang
kali membeli alutsista bekas dan berakhir pada kondisi tidak lagi dapat
digunakan seperti pembelian kapal perang, atau berisiko tinggi terhadap
kecelakaan. Demi keselamatan dan kenyamanan prajurit yang menggunakan, sudah
sepantasnya pengadaan alutsista dilakukan dengan membeli yang baru.
Sebagai tambahan,
pengadaan alutsista baru ini perlu dibarengi mekanisme offset atau transfer
teknologi sebagaimana dimandatkan pada UU No 16/2012 tentang Industri
Pertahanan. Hendaknya mekanisme transfer teknologi itu dimaksimalkan secara
sungguh-sungguh sebagai upaya membangun kemandirian pertahanan.
Selain itu, pengadaan
alutsista kerap diwarnai keterlibatan pihak ketiga (broker). Dalam beberapa kasus, keterlibatan mereka kadang kala
berimplikasi terhadap dugaan mark-up
dalam pengadaan alutsista. Oleh karena itu, sudah seharusnya pengadaan
alutsista di masa depan hendaknya tidak melibatkan pihak ketiga, tetapi
langsung dilakukan dalam mekanisme government
to government.
Baru-baru ini
Transparansi Internasional merilis survei bertajuk Government Defence Anti-Corruption Index 2015 yang menunjukkan
risiko korupsi di sektor militer/pertahanan. Pada survei itu dinyatakan bahwa
risiko korupsi sektor militer/pertahanan di Indonesia masih tergolong tinggi
(Indonesia mendapatkan nilai D). Persoalan transparansi dan akuntabilitas
dalam pengadaan alutsista memang menjadi persoalan yang serius. Ketiadaan
peran dan kewenangan lembaga independen seperti KPK yang turut memonitor dan
mengawasi persoalan pengadaan alutsista membuat proses pengadaannya rawan
terhadap terjadinya penyimpangan. Alhasil transparansi dan akuntabilitas
dalam pengadaan alutsista menjadi bermasalah. Padahal, belanja alutsista di
Indonesia menggunakan dana yang besar.
Peran lembaga lain
Harusnya peran
lembaga-lembaga pengawas independen seperti KPK perlu dengan jeli memantau
dan turun serta ke lapangan untuk menginvestigasi penggunaan anggaran
pertahanan, atau lebih khususnya pengadaan alutsista. Untuk mendorong
keterlibatan KPK itulah, parlemen perlu segera melaksanakan agenda reformasi
peradilan militer melalui revisi UU No 31/1997. Meski sebenarnya tanpa
menunggu revisi UU tersebut, KPK bisa terlibat dalam pengawasan dan
penyelidikan dugaan penyimpangan pengadaan alutsista dengan dasar asas lex specialis derogat lex generalis.
Kehendak membangun
transparansi dan akuntabilitas di sektor pertahanan dengan melibatkan lembaga
seperti KPK bukanlah tanpa maksud. Hal itu sepenuhnya ditujukan agar
modernisasi persenjataan berjalan dalam jalur yang benar dan bebas dari
dugaan-dugaan penyimpangan sehingga para prajurit dapat benar-benar
menggunakan alutsista yang modern dan aman.
Untuk mengurai benang
kusut dalam sistem pengadaan alutsista itu, Presiden perlu turun tangan untuk
memperbaikinya. Setelah melakukan evaluasi, pemerintah perlu merumuskan
kebijakan yang komprehensif untuk memperbaiki sistem pengadaan alutsista.
Presiden Jokowi pernah menyatakan perlunya perombakan total dalam pengadaan
alutsista--suatu langkah yang belum terlambat, dan masih dinantikan oleh
publik.
Lebih dari itu, siapa
pun warga negara Indonesia tentu akan bangga jika TNI memiliki armada tempur
yang kuat sehingga diperhitungkan negara lain. Jika pemerintah mampu memenuhi
tuntutan transparansi dan akuntabilitas pengadaan alutsista, hal itu akan
meningkatkan upaya memodernisasi alutsista. Dukungan publik pun dipastikan
akan mengalir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar