Tentang Sastra
Bre Redana ;
Penulis Kolom UDAR RASA Kompas Minggu
|
KOMPAS, 27 Maret
2016
Seperti beberapa teman di kantor, beberapa waktu lalu saya
mendapat banyak pertanyaan apakah koran edisi Minggu bakal tidak ada. Ada
yang gusar bertanya, apakah berarti cerpen dan puisi tamat.
Entah dari mana pertanyaan tadi berasal. Di zaman pemberhalaan
media sosial ini, apa yang terjadi di dinding ruang kantor atau kamar tidur
Anda bukan tidak mungkin tersebar ke luar. Kalau tidak hati-hati, berapa kali
dalam seminggu Anda bercinta orang tahu.
Atas pertanyaan tadi, tentu saja saya bilang tidak. Mana
mungkin, puji Tuhan semua di sini berkesadaran kebudayaan adalah roh. Sastra
berkemampuan mengungkapkan sesuatu yang tak bisa dinyatakan oleh fakta, hard fact.
Oleh sastra, sesuatu yang solid, dianggap faktual, nyata,
tampak kasatmata, berat membatu, bisa diurai lapisan-lapisannya, bahwa segala
sesuatu sejatinya memiliki segi yang tidak nampak, ringan, light. Seperti manusia, di balik fisik yang tampak, ada DNA, impuls
neuron, yang terus bergerak menentukan kesadaran. Itulah mengapa Milan Kundera menulis novel The Unbearable Lightness of Being.
Sejak lama sastra bergulat di situ. Mitologi, folklor, cerita
rakyat merupakan khazanah untuk menjaga kesadaran. Kemajuan peradaban dan
modernisasi Eropa, misalnya, sebagian ditentukan oleh kuatnya pemahaman
mereka atas sejarah yang membentuk diri mereka sampai ke
mitologi-mitologinya. Itu yang disebut spirit.
Kalau Anda masih belum percaya pada fungsi eksistensial sastra,
ambil contoh teknologi. Dari waktu ke waktu, teknologi berevolusi dari yang
berat menuju ke yang ringan.
Revolusi Industri diawali dengan mesin, berlanjut pada
penemuan alat-alat berat. Pada perkembangan berikut, Revolusi Industri berikutnya,
revolusi di dunia informasi. Informasi mengalir di antara sirkuit-sirkuit
dalam bentuk impuls elektronik. Peranti-peranti berat tetap ada, tetapi
mereka mengikuti perintah perangkat lunak. Hardware tunduk pada software.
Masyarakat yang menikmati teknologi sebatas sebagai produk dan
tidak terlibat proses kelahirannya tak ambil peduli pada itu semua. Mereka
cenderung melihat dari segi praktisnya saja. Ukurannya menguntungkan atau
tidak. Untung itu pun dipersempit pengertiannya, menghasilkan duit atau tidak.
Pernah saya mendengar khotbah seorang motivator, yang dengan
bangga menyatakan bahwa ia tak pernah membuang-buang waktu baca novel.
Sia-sia katanya. Bacaan harus memberi petunjuk bagaimana orang bisa sukses
dengan segera. Kalau dekat dengannya, niscaya saya akan bilang, nyuwun duwite Mas. Duit dia pasti
banyak, tapi imajinasinya miskin.
Beruntunglah kalau banyak di antara kita tidak percaya pada
pemikiran keblinger seperti itu. Pada ranah atau domain yang mengawang dalam
dunia digital ini letak pergulatan hidup manusia sekarang. Informasi mengalir
deras. Kesadaran memperoleh tantangan baru, setidaknya kesanggupan membedakan
antara kenyataan dan kenyataan gadungan, virtual
realities. Sudah banyak yang terjebak pada delusi dunia digital.
Sangat berat perjuangan memori ini. Di zaman sebelum
berkembangnya perangkat memori tiruan atau artificial memory, memori kita dikuasai oleh kekuatan politik
penguasa. Penguasa menentukan, untuk sejarah negeri ini, mana boleh diingat
mana tidak boleh dan harus dilupakan.
Otak atau memori yang termanipulasi kekuasaan pada
perkembangannya memanipulasi dirinya sendiri. Masyarakat sendiri kini
menentukan, siapa ingin berevolusi dalam peradaban siapa ingin tetap
primitif, mana hendak diingat mana tidak. Kelompok dominan menekan pihak
lain. Kegiatan memutar film atau membicarakan apa yang telah terjadi pada
bangsa ini puluhan tahun lalu pun digerebek.
Entah bagaimana kekuatan fisik, kekerasan, soliditas, masih
diagung-agungkan untuk menggencet sesuatu yang ringan, light, tidak berwujud, seperti memori kita. Untuk itu, sastra tak
boleh tamat. Mengutip Milan Kundera sekali lagi, tujuan sastra adalah untuk menyelamatkan diri kita dari proses
menjadi (to be). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar