Kepala Daerah Harus Antinarkoba
Agus Riewanto ;
Dosen Fakultas Hukum dan
Program Pascasarjana Ilmu Hukum
UNS
|
KORAN JAKARTA, 18
Maret 2016
Baru saja publik
dikejutkan penangkapan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap Bupati
Ogan Ilir, Sumatera Selatan Ahmad Wazir Nofialdi Mawardi beserta sejumlah
pejabat yang tengah pesta narkotika dan obat terlarang (narkoba) di rumahnya.
(Koran Jakarta, 15 Maret 2016). Sontak
peristiwa ini menjadi perhatian nasional karena telah mencoreng wajah
politisi.
Peristiwa ini kian
memperburuk citra pejabat di mata publik. Padahal bupati sama dengan pejabat negara lain di pemerintahan
daerah (wali kota dan gubernur). Mereka
merupakan teladan masyarakat di tengah model stupa paternalistik
karena kuatnya budaya pemimpin sebagai
motivator dan penggerak. Itulah sebabnya bupati di mata publik tak boleh
cacat, harus sempurna.
Karena itu bupati dan
pejabat publik lainnya adalah “manusia setengah dewa.” Mereka dipastikan memiliki nalar-logika kuat dan
juga moralitas tinggi. Namun realita masih saja terdapat pejabat
publik kerdil, kotor dan jahat. Mereka mengonsumsi narkoba yang dilarang
hukum, sesuai maksud dalam ketentuan UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Sesungguhnya UU No 35
Tahun 2009 untuk menjamin ketersediaan
narkotika untuk kepentingan pelayanan
atau pegembangan ilmu pengetahuan. Dia juga untuk mencegah, melindungi, dan menyelamatkan
bangsa. Ini malah disalahgunakan untuk
kesenangan sesaat, apalagi sebagai model gaya hidup (life style). Itulah sebabnya UU mengamanatkan agar setiap orang
menghindari penggunaan, pengedar bahkan produsen narkotika. UU bertujuan memberantas peredaran gelap
narkotika dan prekursor.
Sangat disayangkan
seorang pejabat publik yang telah melalui seleksi ketat internal partai politik maupun pemilu masih mengonsumsi narkotika. Penangkapan Bupati Ogan Ilir Sumatera Selatan ini tidak
dapat dianggap sederhana. Ini sungguh lonceng keras bahwa penyalahgunaan narkona telah
benar-benar tak mengenal tapal batas profesi, usia, dan jenis kelamin.
Nyaris tak ada lagi
profesi kedap penyalahgunaan narkoba.
Sindikat leluasa menembus seluruh
jalur dan jejaring dalam aneka profesi dari anak-anak, ibu rumah
tangga, kepala daerah, mahasiswa, guru, dosen, profesor, polisi, jaksa, hakim bahkan
anggota DPR. Data Badan Narkotika Nasional (BNN) hingga tahun 2015 ada 3,2 juta warga menyalahgunakan narkotika
dan 15 ribu mati sia-sia setiap tahun atau 40-50 orang setiap hari.
Tak aneh bila
narkoba sebagai kejahatana luar biasa
karena dilakukan dengan sistematis, menggunakan teknologi canggih,
memanfaatkan jejaring sosial rapi, cermat, serta transnasional. Indonesia
benar-benar darurat narkoba.
Sesungguhnya sejarah
penyalahgunaan narkona dalam bentuk opium telah mulai sejak tahun 1617
melalui pedagang Tiongkok di sejumlah
pasar besar Jawa. Karena itulah, genderang perang melawan penyalahgunaan
narkoba di Indonsia sesungguhnya telah dimulai sejak penjajah Belanda dengan
diterbitkannya Verdoovende Middelen Ordonantie melalui Staatsblad No.275 Jo
No.536 Tahun 1972 tentang Peredaran, Penggunaan dan Perdangangan Obat Bius.
Sebelumnya Belanda juga mengatur tentang Pembukusan Candu yang disebut Opium
atau Verpakking Bepaligen Staatsblad No. 514 Tahun 1972. Itulah sebabnya diperlukan politik hukum sistematis dan terstruktur melawan sindikat narkoba. Antara lain perlu desain perubahan kelembagaan BNN agar memperluas jejaringnya. Dirikan lembaga
serupa di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Benar upaya pemerintah menaikkan BNN setingkat
menteri.
Pastikan
Mendagri harus
memastikan para kepala daerah
bebas penyalahgunaan narkona.
Rutin adakan tes urine bagi mereka.
Ini sekaligus sebagai alat kontrol
perilaku pejabat negara di daerah. Komisi Pemilihah Umujm (KPU) dan
Badan Pengawas pemilu (Bawaslu) perlu merancang seleksi kesehatan dan
pemeriksaaan secara komprehensif kerja
sama dengan Ikatan Dokter Indonesia
untuk menguji calon kepala daerah
sehingga diketahui menyalahgunakan narkoba atau tidak.
Jadi, kasus Ogan
Ilir tak terulang. Momentum revisi UU
Pilkada Serentak yang diagendakan DPR dan pemerintah harus memasukkan klausul
model rekrutmen kepala daerah harus bebas narkoba.
Lembaga-lembaga
pendidikan dasar, menegah, hingga pergurungan tinggi melakukan gerakan mencegah sindikat narkoba
melalui sosialisasi dan pendidikan. Pemahaman yang komprehensif sejak dini
tentang bahaya penyalahgunaan narkoba baik dari aspek ekonomi, sosial, hukum,
maupun budaya.
Untuk itu semua
kementerian yang terkait dengan masalah pndidikan dan pembentukan karakter,
seperti Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan
Kementerian Riset dan Dikti harus terlibat secara proaktif dalam proses
pencegahan sindikat narkoba ini dengan menyusun aneka bentuk kegiatan
produktif, kreatif dan inovatif untuk memotong mata rantai sindikat narkoba
ini.
Harus diakui bahwa
peran kementerian dalam soal ini sangat minim terutama dalam menyusun peta
jalan (road map) pencegahannya melalui kurikulum dan program-program dasar lainnya.
Kasus Ogan Ilir
harus menjadi peringatan
keras publik terutama
pejabat. Mereka harus
menandatangani “Pakta Integritas”
berjanji tidak mengonsumsi
obat terlarang. Jadi “Pakta Integritas” bukan hanya soal korupsi,
namun juga penegakan moral antimadat (tidak mabuk, berkecan dengan wanita
tuna susila, anti judi dan antinarkoba).
Uji kelayakan dan
kepatutanan jabatan-jabatan
publik harus seragam dalam soal kesehatan mental dan
moral untuk memastikan pejabat bebas
dan antinarkoba. Mereka bisa dilacak dari
rekam jejak akademik, sumber
pendapatan dan moralitas antimadat
tersebut.
Ini penting dilakukan
sebelum seseorang dapat memangku jabatan publik struktural, politik, maupu fungsional.
Jika aneka bentuk pencegahan ini dapat diinternalisasikan secara sistematis
dan berkesinambungan, diharapkan
sindikat narkoba dapat diminimkan pada seluruh profesi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar