Kita Butuh Deregulasi, Bukan Regulasi
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA POS, 24 Maret
2016
Bermula dari kasus
demo pengemudi taksi konvensional yang menolak kehadiran taksi berbasis
aplikasi, saya menerima pesan WhatsApp yang lucu. Bunyinya begini :
BREAKING NEWS!
Setelah hari ini para sopir taksi dan sopir angkut demo, akan
disusul oleh demo-demo berikutnya:
1. Demo para loper koran yang meminta detik.com,
republika.co.id, dan merdeka.com ditutup karena menyebabkan oplah media cetak
turun.
2. Demo para karyawan Matahari dan Ramayana yang meminta
lazada.com, zalora.com, tokopedia.com, bukalapak.com, dan elevenia.com untuk
ditutup atau diblokir.
3. Demo karyawan PT Pos Indonesia dan perkumpulan tukang pos
yang meminta e-mail ditutup karena mematikan bisnis surat dan prangko.
Kita tahu pesan
tersebut hanya gurauan. Tapi, kalau melihat keputusan dan saran-saran yang
diambil aparatur negara yang akhirnya menganggap bisnis taksi berbasis
aplikasi ilegal, gurauan itu ada benarnya.
Maklum, sepak terjang
aparatur-aparatur penegak hukum yang mengkriminalisasikan para pembuat
terobosan belakangan ini telah membuat banyak pejabat tak berani mengambil
terobosan baru. Akhirnya, kembali lagi ke UU lama. Terserah mau betul atau
salah, pokoknya ini aturan.
Sore kemarin saya
dengar begitu kuat dorongan agar bisnis aplikasi mengikuti aturan
transportasi umum. Jadi, bukan menyediakan jalan atau aturan baru, tetapi
semua pelaku baru harus tunduk pada aturan yang sudah ada.
Buat saya, kesimpulan
bisnis taksi berbasis aplikasi adalah ’’ilegal’’ menjadi kata kunci. Itu
berarti bisnis tersebut terlarang.
Menarik disimak opini
yang berkembang di lingkungan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Komisi
itu tidak melarang hadirnya bisnis taksi berbasis aplikasi.
Siapa pula bisa
membendung kemajuan teknologi. KPPU juga tidak menganggap tarif murah dari
bisnis taksi berbasis aplikasi sebagai predatory pricing, melainkan
semata-mata akibat pilihan model bisnis.
Karena itu, sebagai
solusinya, anggota KPPU minta pemerintah menghapus tarif bawah yang
diterapkan perusahaan taksi konvensional. Hal itu saya dengar dalam sebuah
talk show televisi.
Jadi, biarkan dua
jenis taksi tadi ’’bertarung’’ soal tarif. Sebab, kita tahu persis bahwa yang
akan menjadi pemenang pertarungan tersebut adalah masyarakat, para pembayar
pajak yang dananya dialokasikan untuk membayar gaji para pejabat.
Jatuh Bangun
Dunia ini, dan negeri
kita, sebetulnya kaya dengan kasus-kasus disruption akibat kehadiran
teknologi baru.
Namun, para pelakunya
tidak merengek meminta perlindungan pemerintah dengan alasan persaingan yang
tidak fair. Dan, pemerintahnya buru-buru bersikap melindungi para
pengusahanya dengan alasan kompetisi yang fair.
Contohnya banyak.
Kodak dan Fuji Film yang tumbang oleh hadirnya kamera digital. Kini giliran
kamera digital yang ketir-ketir karena pasarnya tengah dibombardir
habis-habisan oleh smartphone.
Di bisnis lain,
ensiklopedia bangkrut dihajar Wikipedia. Jangan tanya dengan media cetak.
Beberapa di antara mereka bahkan sudah lempar handuk. Memilih menutup edisi
cetak dan pindah ke edisi online.
Pada level aplikasi,
siapa kini yang masih SMS dan BlackBerry Messenger? Mereka bakal dianggap
generasi tua. Dua aplikasi tersebut sudah digantikan WhatsApp dan Line.
Perusahaan-perusahaan
kita pun mengalaminya. Pasar PT Pos Indonesia (Posindo) betul-betul habis
dihajar hadirnya telepon seluler. Namun, Posindo tidak buru-buru menyerah dan
meminta pemerintah melarang bisnis ponsel. Tidak. Posindo memilih mencari
jalan lain untuk mempertahankan eksistensinya.
Mereka memanfaatkan
jaringannya yang sudah tersebar luas di tanah air. Di antaranya, masuk ke
bisnis logistik dan jasa kurir.
Ada pula PT Modern
Indonesia Tbk yang semula bisnisnya adalah menjual film fotografi. Anda tahu,
bisnis film foto seperti tumbang tergilas oleh hadirnya kamera digital.
Namun, Modern Indonesia tidak meminta perlindungan pemerintah. Perusahaan
memilih putar haluan, mengganti bisnisnya dari Fuji Film menjadi bisnis ritel
7 Eleven.
Adakah pemerintah
campur tangan untuk melindungi Posindo atau Modern Film? Sama sekali tidak!
Pemerintah membiarkan bisnis-bisnis tersebut jatuh bangun. Dalam bisnis, itu
hal biasa.
Bukan Regulasi, tapi Deregulasi
Sejatinya ini adalah
pertarungan model bisnis. Bukan pertarungan mana regulasi yang lebih pas.
Kalau meributkan soal ini, berarti kita masih memakai mindset masa lalu untuk
melihat masa depan.
Lagi pula, mau
diutak-atik bagaimanapun, UU akan selalu tertinggal oleh bisnis-bisnis yang
dikembangkan para pengusaha. UU kita dibuat oleh legislatif yang horizon
berpikirnya hanya lima tahun. Sementara itu, para pebisnis berpikirnya hingga
puluhan tahun ke depan.
Padahal, yang dihadapi
kali ini adalah bisnis yang sama sekali berbeda. Ini bukan bisnis model lama
yang mengedepankan owning, tetapi
bisnis baru yang mengutamakan sharing.
Lebih baik berbagi dan
memberdayakan masyarakat ketimbang menjadikan semuanya menjadi milik saya
yang akibatnya menjadi mahal.
Bisnis yang satu
membutuhkan modal jumbo, satunya lagi tidak. Bisnis yang satu menerapkan
konsep owning (memiliki), satunya lagi malah berbagi (sharing) dengan memberdayakan aset-aset yang underutilized. Hasilnya jelas. Satunya mahal, satunya lagi jauh
lebih murah.
Ke depan, akan banyak
sekali model bisnis seperti itu. Di bisnis perbankan, perhotelan, mainan
anak-anak, transportasi darat, dan masih banyak lagi. Apakah kita mau
bisnis-bisnis baru tersebut kita tutup dengan alasan tidak sesuai dengan
regulasi?
Kalau iya, ini jelas
cara pikir lama, mindset lama. Padahal, masyarakat kita membutuhkan cara
pikir baru. Bukan regulasi, tapi deregulasi. Maaf, terlalu banyak pungutan
resmi dalam dunia transportasi yang sudah harus dicabut. Ya, terlalu
membebani. Coba kita fair membukanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar