Perpres SDG dan Tata Kelola
Sugeng Bahagijo ;
Direktur Eksekutif INFID
|
KOMPAS, 29 Maret
2016
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) adalah seperangkat
program dan target pembangunan untuk dan oleh semua negara anggota PBB,
termasuk Indonesia. SDG berlaku sejak 2016 hingga 2030. SDG menggantikan
Tujuan Pembangunan Milenium (MDG), yang berakhir 2015.
Indonesia sebagai salah satu negara penanda tangan Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goal (SDG) terikat
secara sosial dan moral untuk melaksanakannya. Indonesia diperkirakan tidak
akan terlambat dalam pelaksanaannya. Meski demikian, tata kelola SDG akan
menentukan apakah Indonesia akan mampu memenuhi.
Hari-hari ini pemerintah sedang menggodok dan menyiapkan peraturan
presiden (perpres) tentang SDG. Bappenas kini sedang merancang dokumennya.
Dikabarkan, pada April atau awal Mei, Presiden Joko Widodo akan
menandatanganinya. Ternyata, SDG bukan hanya soal isi dan subtansi, tetapi
juga perihal siapa memutuskan apa agar pelaksanaan dan akuntabilitas SDG
dapat dipastikan.
Perpres akan mengikat semua kementerian dan jajaran pemerintah.
Perpres juga akan mengatur bagaimana peran pemangku kepentingan. Lebih
penting lagi, di dalam keputusan politik-hukum itu, di dalamnya akan
ditetapkan siapa memutuskan apa. Kerisauan berbagai pemangku
kepentingan—masyarakat sipil dan komunitas filantropi—telah muncul dan
disuarakan, terutama kepada Bappenas sebagai pihak yang menyusun dan
merancang perpres SDG.
Kegundahan itu lantaran dua hal: proses yang tertutup dan
kecenderungan SDG akan kembali dilakukan dengan model dan pendekatan lama.
Mengapa ini jadi masalah? Bukankah sudah jelas pemerintahlah
yang akan memutuskan semuanya? Jika menggunakan pendekatan lama, tata kelola
yang akan ditetapkan dalam perpres SDG akan mengulangi dan tak berbeda dengan
aturan semasa Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goal
(MDG), yaitu semuanya merupakan kerja pemerintah.
Pendekatan seeing like a state akan berhasil sejauh kapasitas,
integritas, dan pelaksanaan (delivery) serta anggaran pemerintah memadai.
Jika syarat-syarat itu kurang atau tidak ada, prospek keberhasilan mencapai
sasaran SDG akan rendah. Pendekatan ”negara hadir” di sini dimaknai sempit
sebagai overestimasi dari seluruh kapasitas perencanaan, penganggaran, dan
pelaksanaan. Dari sisi akuntabilitas, jika berhasil, semua pujian dan jempol
untuk pemerintah dan demikian juga sebaliknya jika gagal.
Pendekatan baru, sebaliknya memandang tata kelola yang ada dan
diatur dalam perpres SDG bertolak dari pikiran bahwa pelaksanaan dan
pencapaian merupakan karya dan kerja bersama. Ini merupakan aplikasi
pendekatan seeing like a citizen di mana operasi, kinerja, dan keberhasilan
pemerintah selalu diukur dan diukur kembali dengan apa yang baik dan berharga
bagi warga negara.
Negara hadir dimaknai sebagai ”optimalisasi” kapasitas dengan
cara menggerakkan peran pemangku kepentingan—masyarakat sipil, sektor swasta,
dan akademisi. Informasi, intelijen, dan modal sosial akan dipasok oleh pemangku
kepentingan.
Dari sisi akuntabilitas, jika SDG gagal akan menjadi tanggung
jawab yang dipanggul secara tanggung renteng oleh semua dan jika berhasil,
bukan pemerintah saja yang sukses, tetapi masyarakat kemitraan dan kerja sama
menjadi rahasia suksesnya
Implikasi pendekatan baru
Sudah waktunya pemerintah beralih kepada pendekatan baru.
Urgensi dan manfaatnya ada beberapa, antara lain, pertama, belajar dari tata
kelola MDG 2000-2015, pelajaran yang dapat dipetik adalah semua diputuskan
dan dilaksanakan ”dari, oleh, dan untuk pemerintah”. Hasilnya, empat tujuan
dan sasaran Indonesia tak tercapai (off
track), yakni sasaran akses air minum dan sanitasi, penurunan angka
kematian ibu, penurunan jumlah penderita HIV/AIDS, dan penguatan perlindungan
lingkungan hidup.
Kedua, SDG 2016-2030 memiliki cakupan yang luas berupa 17
tujuan, 169 target, dan 230 indikator yang harus dicapai selama 5-15 tahun.
Misalnya, semua warga punya KTP dan akta kelahiran. Semua warga memiliki
akses air minum dan sanitasi. Ketimpangan pembangunan diatasi, termasuk
ketimpangan pendidikan dan ketimpangan pasar kerja, sehingga 40 persen
penduduk dengan pendapatan terendah menikmati pertumbuhan pendapatan lebih
cepat ketimbang 10 persen lapisan terkaya. Karena itu, pemerintah menyusun
peta jalan atau rencana aksi, sebagai wujud dan keputusan prioritas selama
lima tahun.
Ketiga, SDG juga memiliki sasaran ambisius. Karena semangat SDG
no one left behind, jika ada satu atau 10 anak Indonesia putus sekolah,
pencapaian target pendidikan untuk semua tak dipandang berhasil. Jika jarak
pendapatan antara si A (jobholder) dan si B (jobless) terlalu tinggi, SDG
juga kurang berhasil (tujuan nomor 10). Karena itu, mustahil pemerintah
bekerja sendiri, apalagi hanya pemerintah pusat, atau hanya Bappenas, meski
dengan niat baik. Iuran, sumbangan, dan peran pemangku kepentingan harus
diakui dan terjadi. Jika tidak, SDG akan mengulang cerita MDG, gagal lagi.
Keempat, belajar dari era MDG yang kurang berhasil, karena
faktor pemerintah daerah, pemerintah kabupaten, dan kota tak berperan dan
atau terlambat berperan, bila SDG hendak berhasil di semua bidang dan wilayah
Indonesia, pemerintah kota dan kabupaten harus sejak awal terlibat, bersiap
dan mendukung capaian 17 tujuan SDG. Kelima, arahan Presiden Jokowi sendiri
dalam pertemuan dengan CSO pada Desember 2015 telah menyatakan bahwa peran
pemangku kepentingan penting. Artinya pemangku kepentingan bukan untuk ambil
alih peran dan tugas pemerintah, tetapi bersama-sama memberi arah yang tepat
menuju penyelesaian masalah.
Implikasi dari pendekatan baru dalam tata kelola (governance) SDG yang ada dalam
rancangan perpres SDG harus mampu mengelola dan menjawab dua pokok soal: (i)
bagaimana memastikan arsitektur partisipasi yang menjamin terjadinya kualitas
dan kuantitas partisipasi para pemangku kepentingan. (ii) Bagaimana tata
kerja dan metode kerja yang akan diatur dan ditetapkan perpres SDG–tim
pengarah dan pokja-pokja, dapat mengantisipasi dan memberi dukungan teknis
kepada (a) peran pemerintah daerah, kabupaten, dan kota; (b)
revolusi/perbaikan pendataan dan akuntabilitas; (c) kemitraan dan pendanaan;
(d) penyusunan peta jalan dan rencana aksi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar