Bertemu Dia Yang Bangkit di Meja Emaus
Anwar Tjen ;
Pendeta Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI);
Bertugas sebagai Kepala
Departemen Penerjemahan di Lembaga Alkitab Indonesia
|
KOMPAS, 26 Maret
2016
Darah yang mengalir itu masih
segar di pelupuk mata para murid. Bagi mereka, hari itu adalah hari yang
paling mengguncangkan. Sang Rabi telah pergi. Tancapan paku kekuasaan Romawi
pada lengan dan kaki-Nya membuyarkan segala perjuangan yang dimulai dari
Nazaret di Galilea.
Ironisnya, bukan Galilea,
wilayah bangsa-bangsa ”lain” (goyim),
melainkan Jerusalem, kota suci itu, yang menjadi saksi gugurnya keadilan.
Konspirasi politik dan tekanan massa yang beringas atas nama kepentingan
agama dan bangsa berhasil membungkam nurani pihak berwenang. Pemelintiran
hukum demi keadilan yang sungsang ternyata adalah cerita usang yang kerap
berulang. Misteri kubur seolah-olah saksi bisu yang menyimpan ingatan pahit
akan korban tak bersalah.
Andaikata cerita Yesus dari
Nazaret berakhir di situ, yang tersisa hanyalah sebuah tragedi tambahan dalam
sejarah perjuangan zaman, seperti yang terjadi beberapa waktu kemudian kala
Jerusalem dihancurkan. Yosefus, sejarawan Yahudi yang hidup sezaman, mencatat
bahwa ribuan orang Yahudi disalibkan dan dipaku pada tembok-tembok kota itu.
Tindakan brutal yang bahkan membuat Jenderal Titus merasa iba.
Perjalanan dialogis
Namun, ketentuan Ilahi berkata
lain. Seluruh Perjanjian Baru menyaksikan bahwa kematian bukanlah kata akhir
bagi Yesus dari Nazaret, seperti kisah berikut yang diringkas dari Injil
Lukas (24: 13-35).
Pada hari pertama minggu itu
dua orang murid melakukan perjalanan menuju Emaus, sebuah desa dekat
Jerusalem. Saat mereka mempercakapkan berita terbaru, Yesus mendekatinya.
Namun, sesuatu menghalangi mata mereka sehingga tak dapat mengenali Dia. Saat
Yesus bertanya kepada mereka, ”Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu
berjalan?” wajah mereka muram. Mereka balik bertanya, ”Adakah Engkau
satu-satunya orang asing di Jerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di
situ pada hari-hari belakangan ini?”
”Apakah itu?” balas Orang Asing
itu.
Keduanya lalu bercerita tentang
Yesus orang Nazaret, seorang nabi penuh kuasa yang hidup-Nya berakhir
mengenaskan di salib. Kekecewaan mereka tak dapat disembunyikan. ”Padahal,
kami dahulu mengharapkan bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan Israel.”
Cerita ini dilanjutkan dengan
kilas balik tentang kesaksian para perempuan dan murid lain yang mendapati
makam itu telah kosong sampai Orang Asing itu menegur mereka dan
menyingkapkan kepada mereka makna Kitab Suci, ”Bukankah Mesias harus
menderita semuanya itu untuk masuk dalam kemuliaan-Nya?”
Mendekati Emaus, Orang Asing
itu tampak akan meneruskan perjalanan, tetapi mereka mendesak Dia tinggal
bersama mereka. Mata mereka baru terbuka mengenali Yesus, ketika Dia
mengambil roti, mengucap syukur, dan memberikannya kepada mereka. Saat itulah
Dia lenyap dari hadapan mereka. Lalu mereka segera kembali ke Jerusalem,
berbagi cerita perjumpaan itu kepada murid lainnya.
”Apakah itu?”
Pertama-tama, aspek yang
menarik dari cerita yang anggun itu adalah kesehariannya. Percakapan dan
perjumpaan dengan Kristus yang bangkit itu terjadi dalam perjalanan hidup
sehari-hari. Dia yang bangkit hadir bersama peziarah-peziarah kehidupan yang
kerap diberati dengan kabar-kabar terburuk dari dunia yang dikepung kematian.
Dalam cerita itu, Ia memasuki percakapan dengan sebuah pertanyaan, ”Apakah
itu?”
Pertanyaan itu dapat dimaknai
sebagai ajakan untuk mencermati dan
menamai konteks yang hingga kini ditandai
aneka wajah kekerasan yang antikehidupan. Berbagai bentuk kekerasan terhadap
anak dan kaum perempuan, politik identitas atas dasar etnisitas, ras, dan
seks, pelemahan institusi pemberantasan korupsi, kekerasan di dalam agama,
atas nama agama dan antaragama hanyalah segelintir realitas yang dapat
disebut.
Kita belajar pula dari
interaksi yang terjadi antara kedua murid dan Orang Asing itu tentang
perjumpaan yang dimediasi teks-teks Kitab Suci.
Pembacaan dan pendarasan
teks-teks sakral mana pun tidak serta-merta mengantar orang kepada kehadiran
Allah yang melibatkan diri dalam kehidupan hingga ke palung penderitaan.
Allah yang menempuh jalan sengsara adalah anomali yang sulit dipahami. Itu
sebabnya, berita tentang Kristus yang disalibkan akan tetap terdengar sumbang
sebagai kebodohan dan menjadi batu sandungan bagi setiap bingkai kebudayaan
yang terbayangkan (1 Korintus 1: 23).
Kekristenan tidak menyakralkan
penderitaan, tetapi seperti kata Choan-Seng Song, seorang teolog dari Taiwan,
”Penderitaan adalah tempat Allah dan manusia bertemu. Itulah tempat semua
orang—raja-raja, imam-imam, orang-orang miskin, dan pelacur-pelacur—menemukan
dirinya sebagai manusia yang lemah dan fana, serta membutuhkan kasih Allah
yang menyelamatkan.”
Sayangnya, Gereja sering lebih
tertarik pada mesias yang bermahkota emas daripada yang bermahkota duri. Ia
dihiasi dengan semarak dan ditinggikan di atas altar di dalam gedung-gedung
nan megah. Khotbah-khotbah yang fasih atas nama-Nya dipenuhi imbuhan
kenyamanan, kemakmuran, bahkan solusi instan. Narasi Emaus mengajak kita
melakukan otokritik. Jalan kepada kemuliaan tidak ditempuh dengan menapaki
karpet merah, tetapi mengikuti Dia melalui via dolorosa.
Meja perjumpaan
Serat-serat tekstual yang penuh
makna dalam narasi Kebangkitan itu menawarkan pula sebuah visi tentang
perjumpaan dengan ”yang lain”. Ajakan untuk tinggal bersama adalah sinyal
kesanggrahan (hospitality)
yang membuka pintu bagi kehadiran Orang Asing itu. Belajar dari sikap ini,
kita dapat membaca teks ini sebagai undangan untuk merajut kebersamaan, suatu
agenda yang mendesak di negeri ini.
Bukankah politik identitas yang
sempit kerap memanfaatkan ego kolektif yang merasa terancam oleh ”yang lain”?
Di situ ”yang lain”, yang tidak sama identitas dan kepentingannya, sah untuk
dipinggirkan dan bahkan disingkirkan.
Narasi yang mengingatkan akan
meja perjamuan Tuhan itu mendorong kita menemukan meja-meja kehidupan bersama
”yang lain” di dalam ziarah kehidupan yang beragam pergulatannya. Di dunia
yang semakin gencar mengeksploitasi hasrat-hasrat ”memiliki”, Ia mengajak
kita mengembangkan spiritualitas ugahari dan belajar hidup berbagi.
Ketika Yesus yang bangkit
menghilang, saat itulah perjalanan dialogis itu dimulai dengan babak baru.
Seperti yang dituliskan seorang rahib Fransiskan dan pakar biblika yang
berkarya seumur hidup di negeri ini: ”Beberapa waktu setelah Yesus hilang,
muncul sekelompok orang yang mengakui dirinya sebagai pengikut Yesus dan
mengatakan bahwa Yesus sebenarnya hidup, tetap berarti, bermakna, dan relevan
bagi manusia.” (Cletus Groenen OFM,
1921-1994). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar