Militerisasi Jepang Pilihan Asia Tenggara
Rene L Pattiradjawane ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 30 Maret
2016
Sejak Selasa (29/3), militerisasi Jepang dimulai untuk pertama
kalinya sejak berakhirnya Perang Dunia II. Undang-undang keamanan baru Jepang
yang baru diberlakukan memungkinkan Pasukan Bela Diri Jepang (SDF) bertempur
di luar negeri, suatu kebijakan pertahanan modern diberlakukan Perdana
Menteri Shinzo Abe setelah ”kudeta parlemen” dengan legislasi peran militer
Jepang (Kompas, 21/9/2015).
Reformasi sistem pertahanan Jepang yang selama 70 tahun menganut
asas pasifisme memang tidak bermaksud menimbulkan kembali militerisme Jepang
yang menyeret negara ini ke dalam Perang Dunia II. Tujuan legislasi
dimaksudkan mengantisipasi lingkungan strategis baru ketika Jepang berhadapan
dengan meningkatnya kekuatan militer Tiongkok yang semakin asertif serta
ancaman rudal dan nuklir Korea Utara.
Legislasi ini meningkatkan peran tempur SDF di luar Jepang,
memungkinkan secara terbatas melakukan apa yang mereka sebut sebagai hak
pertahanan diri secara kolektif. Dan, legislasi ini juga memungkinkan untuk
memberikan bantuan kepada sekutunya, Amerika Serikat, dan negara yang
bersahabat dengan Jepang yang berada dalam serangan bersenjata walaupun
Jepang bukan negara yang diserang.
Pemerintahan sebelum PM Abe menganggap bahwa di bawah hukum
internasional memiliki hak terlibat dalam persoalan keamanan dunia, tetapi
dibatasi oleh pasal 9 Konstitusi Jepang yang melarang penggunaan kekuatan
militer dalam pertikaian internasional. Para pengkritik kebijakan PM Abe ini
khawatir bagaimana Pemerintah Jepang menentukan apa yang dikategorikan
sebagai ancaman kelangsungan nasional Jepang.
Dalam situasi ketegangan di Laut Timur menyangkut pertikaian
klaim kedaulatan di Kepulauan Senkaku Jepang-Tiongkok, militerisasi SDF bisa
menjadi ujian kritis ketika konflik di antara keduanya tidak terhindarkan.
Penempatan radar intelijen yang bisa memonitor kapal laut dan pesawat terbang
di Pulau Yonaguni, sekitar 150 kilometer selatan Kepulauan Senkaku, adalah
langkah yang bisa memicu kegelisahan Tiongkok.
Kita sendiri perlu memahami, militerisasi SDF akan membawa
perubahan dinamis geopolitik Asia. Ada beberapa faktor perlu disimak.
Pertama, ketika terjadi pertikaian terbuka di Laut Selatan dalam klaim
tumpang tinding kedaulatan dengan Filipina dan Vietnam di Kepulauan Spratly
dan Paracel, bisa diartikan SDF akan berpihak kepada kedua negara Asia
Tenggara ini, setidaknya memberikan dukungan logistik militer mempertahankan
momentum konflik.
Dukungan kepada Vietnam dan Filipina perlu diberikan SDF karena
konflik di Laut Selatan secara langsung ataupun tidak langsung melibatkan AS
yang menjadi sekutu Jepang. Selain memiliki kerja sama pertahanan dengan
Vietnam, kehadiran militer AS di Asia Tenggara juga memiliki akses terhadap
lima pangkalan militer di Filipina.
Kedua, ketika perilaku asertif Tiongkok di Laut Selatan semakin
meningkat, alur laut komunikasi secara langsung akan mengancam jalur pasokan
sumber energi Jepang. Laut Selatan menjadi krusial secara geografis karena
setiap tahun dilewati kapal-kapal niaga dengan total sekitar 5 triliun dollar
AS.
Kehadiran militerisasi SDF akan mengubah perimbangan kekuatan
Asia Tenggara, termasuk pembentukan arsitektur keamanan Asia yang sama sekali
baru tidak melulu mengikuti nuansa dan nilai yang ingin ditanamkan Tiongkok
tentang ”jenis baru hubungan negara besar”. Asia Tenggara sekarang memiliki
pilihan dengan kehadiran militer Jepang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar