Kedondong atau Salak
Jakob Sumardjo ;
Budayawan
|
KOMPAS, 26 Maret
2016
Dalam dasawarsa 1960-an terkenal lagu "Dondong Opo
Salak" oleh penyanyi Kris Biantoro. Judul lagu itu berasal dari ungkapan
rakyat Jawa tentang dilema pilihan hidup.
Kedondong adalah buah yang kulitnya halus, tetapi isinya penuh
"duri". Salak adalah buah yang kulitnya kasar yang dapat melukai
jari, tetapi isinya justru halus, tidak membahayakan mulut seperti buah
kedondong. Hidup ini tinggal memilih, kulitnya atau isinya, tampak permukaan
atau yang tersembunyi di dalam, yang dangkal atau yang dalam.
Kaum perempuan sering menemui dilema ini, pilih suami yang
tindak-tanduknya kasar dan wajahnya tidak tampan, tetapi hatinya baik
setengah mati; atau pilih suami yang tampan dan tindak-tanduknya halus bin
sopan, tetapi kejam kurang tanggung jawab. Memilih pemimpin pun menghadapi
dilema semacam itu. Pemimpin salak atau pemimpin dondong.
Pemimpin kedondong menampakkan dirinya sebagai pembela rakyat
sejati, menggendong anak kecil tukang sayur di depan kamera, tutur katanya
penuh nasihat-nasihat hidup orang saleh, yang intinya tampil sebagai manusia
sempurna. Namun, kepemimpinannya tak membawa perubahan apa pun; yang berubah
hanya dirinya yang kian kaya. Diam-diam jet pribadinya lima.
Seperti Bima
Pemimpin salak tak pandai bicara. Seperti Bima yang tak bisa
berbicara halus, bahkan kepada para dewa, Bima tetap berbahasa kasar.
Tindak-tanduknya tak sopan, bahkan duduk pun tak mau di hadapan raja dan
dewa. Ia selalu berdiri berkacak pinggang dalam sidang-sidang negara. Bima
itu agak urakan, kalau perlu menendang langsung tanpa basa-basi. Namun, di
balik kekasarannya yang dapat menyakitkan, moralitasnya tinggi, pembela yang
lemah, tegas dalam keadilan, pemberani, tidak takut siapa pun karena
berpegang pada kebenaran.
Dalam situasi Indonesia sekarang ini, yang sudah 70 tahun
merdeka tak mengubah apa-apa, kita memerlukan pemimpin kedondong atau
pemimpin salak, kalau perlu pemimpin durian sekalipun? Nasib bangsa dan
negara ini ada di tangan para pemimpinnya. Negara biasa hancur karena
kekuasaan ada di tangan pemimpin kedondong. Luarnya halus dalamnya kasar.
Luarnya bersih di dalamnya menguning. Luarnya wangi dalamnya busuk.
Negara yang selama 70 tahun telah "rusak" oleh para
pemimpinnya ini memerlukan pemimpin paradoks seperti Bima. Orangnya boleh
"kurang ajar", tetapi hatinya priayi. Negara ini mirip daerah wild
west dalam film-film western atau cowboy tahun 1950-an ala Hollywood.
Dalam film cowboy itu selalu muncul tokoh Lone Ranger semacam
John Wayne yang suka "tembak dulu, urusan belakang". Dalam sebuah
town yang dikuasai bandit, sheriff dan hakim dapat disogok sehingga penduduk
hidup dalam ketidakadilan di luar hukum. Yang kuat berkuasa, yang berkuasa
menentukan siapa benar dan siapa salah. Sebuah wilayah wild west, kota
dikuasai para Korawa yang kasar luar-dalam.
Kalau suatu daerah yang para pemimpinnya sudah lebih dari 50
persen "jahat" atau bahkan tiga perempatnya "jahat", maka
diperlukan hukum baru yang luar biasa. Kita memerlukan John Wayne yang datang
entah dari mana. Situasi darurat bahaya memerlukan tindakan darurat juga,
yakni pemimpin salak atau durian. Kita memerlukan sapu pembersih macam Henry
Fonda, Burt Lancaster, atau Allan Ladd, dalam film High Noon perlu Garry Cooper.
Mereka ini jagoan-jagoan pembela rakyat tanpa pamrih seperti tersua juga
dalam banyak cerita silat. Setelah situasi kembali normal, para jagoan ini
menghilang dari kota, menolak diangkat jadi sheriff, mengembara mencari wild
west lain.
Itulah pemecahan secara western. Di Indonesia sendiri sudah lama
dikenal adanya zaman edan, yang para pemimpinnya bersih di luar busuk di
dalam. Memang masih ada menteri-menterinya yang baik dan jujur, tetapi tidak
mampu mengatasi kaum kedondong ini. Mungkin karena bangsa ini terlalu
religius, lalu menyerahkan kekacauan negara ini kepada Tuhan Yang Mahaadil.
Zaman edan
Pada zaman edan ini yang penting tiap orang harus eling dan
waspada. Eling adalah senantiasa ingat pada perintah Tuhan, dan waspada
adalah sikap untuk tak ikut dalam kejahatan budaya para koruptor. Kita
tinggal tunggu datangnya Ratu Adil, seperti film-film western menunggu
datangnya John Wayne.
Zaman edan mengacu pada kepercayaan lama tentang penghancuran
dunia kalau hampir seluruh manusia (pemimpin) telah jahat. Tak seperti para
cowboy Hollywood yang langsung dar-der-dor menghabisi para bandit negara, di
Indonesia orang tak boleh mengadili seperti itu. Pengadilan Tuhan yang
ditunggu. Itu sebabnya, selama ini kita toleran terhadap para kedondong
negara karena hanya Tuhan yang akan menghakimi secara adil.
Rupanya kita masih toleran terhadap para pemimpin kedondong.
Tidak menyukai pemimpin salak dan durian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar