Bunga Rendah dan Ironi Pemerintah
Sofyan Hendra F ;
Wartawan Jawa Pos
|
JAWA POS, 23 Maret
2016
DESAKAN agar perbankan menurunkan suku bunga
acap dikemukakan. Namun, belum pernah selantang yang disuarakan pemerintahan
saat ini. Mungkin karena presiden dan wakil presiden kita kini sama-sama
berlatar belakang pengusaha. Kepala tim ekonominya, Menko Perekonomian Darmin
Nasution, juga terkenal antibunga tinggi. Terutama saat dulu menjabat
gubernur Bank Indonesia (BI).
Namun perlu dicatat, ketika kita punya
gubernur bank sentral yang tidak konservatif seperti Darmin pun, bunga bank
sulit beranjak turun. Saat BI rate bertengger di level 5,75 persen selama 15
bulan (9 Februari 2012 hingga 14 Mei 2014), bunga kredit juga tidak lantas
menjadi single digit.
Mengapa begitu? Mari kita tengok lagi komponen
pembentuk suku bunga kredit. Yang utama adalah cost of fund atau biaya dana.
Itu ibarat biaya kulakan. Kalau kulakannya mahal, jualnya juga mahal. Jika
suku bunga simpanan masih tinggi, bunga kredit juga mendaki.
Selain biaya dana, memang ada komponen lain
pembentuk bunga kredit. Misalnya, premi risiko. Itu adalah beban bunga yang
disesuaikan dengan profil risiko nasabah. Lainnya adalah proyeksi keuntungan
bank yang tecermin dalam margin bunga bersih (NIM). Itu adalah selisih antara
beban dan pendapatan bunga.
Banyak yang bilang NIM bank kita terlalu
tinggi. Tetapi, tunggu dulu. Tidak semua bank mengambil untung bunga terlalu
banyak. Yang untung bunganya besar hanya yang bermain di kredit mikro. Sebab,
bunga di segmen itu sangat tinggi. Bisa lebih dari 20 persen. Sebab,
pesaingnya cuma rentenir. Sementara itu, untuk bunga kredit korporasi,
rata-rata di kisaran 10-11 persen. Dengan bunga deposito sekitar 8 persen,
marginnya kurang dari 3 persen.
Dengan demikian, jika ingin menekan bunga
kredit, turunkan dulu biaya dananya. Murahkan dulu kulakannya. Landaikan dulu
suku bunga deposito. Persoalannya, suku bunga deposito tidak bisa
diatur-atur.
Sepintas, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bisa
mengatur bunga deposito. Caranya melalui suku bunga penjaminan. Jika melebihi
yang ditetapkan, dana nasabah tidak dijamin. Namun, pada praktiknya, bunga
penjaminan ini tetap mempertimbangkan bunga di pasar.
Yang bisa diharapkan untuk memaksa adalah
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lembaga pengawas bank itu, misalnya,
berancang-ancang menerapkan batas atas bunga deposito. Untuk bank besar, 75
basis poin (bps) di atas BI rate. Sedangkan bank yang lebih kecil 100 bps di
atas BI rate.
Namun, itu hanya supervisi. Bukan lewat
peraturan OJK. Karena tiada regulasi, tidak ada pula sanksi bagi pelanggar.
Ya apa mau dikata. Otoritas pengawas bank tentu sadar betul bahwa suku bunga
simpanan terbentuk lewat mekanisme pasar.
Begini alur mekanisme pasar itu. Setiap hari
bank yang minim dana segar akan berburu. Sedangkan bank yang kelebihan
likuiditas bakal berusaha menempatkan atau meminjamkan dananya. Bagi bank,
haram hukumnya menyimpan banyak uang di brankas. Karena itu, terbentuklah
pasar uang antarbank (PUAB). Yang utama adalah PUAB overnight. Ya. Overnight,
literally. Pinjam meminjamkan hanya semalam (satu hari kerja). Itulah
beban bunga sesungguhnya.
Apabila banyak bank yang kekurangan dana
segar, bunga bakal naik. Jika likuiditasnya sedang banyak (sama-sama
kelebihan uang sehingga ramai-ramai menawarkan diri), bunga PUAB akan turun.
BI bisa melakukan intervensi atas PUAB itu.
Caranya, menetapkan suku bunga FASBI, fasilitas pinjaman jangka superpendek
BI. Itu secara otomatis akan menjadi batas atas bunga PUAB. Sebab, bank bakal
lebih memilih pinjam ke BI apabila bank berdana segar mematok bunga kelewat
tinggi.
Intinya, kondisi dana segar lah yang paling
menentukan tinggi rendahnya bunga PUAB. Nah, jika bunga PUAB rendah, bank
bisa mendulang dana masyarakat dengan bunga murah. Sebab, tanpa mengiming-imingi
nasabah dengan bunga tinggi pun, bank-bank bisa saling meminjamkan dengan
dana murah. Sebaliknya, jika sama-sama tidak punya uang, bank akan berebut
dana masyarakat. Dengan deposito bunga tinggi.
Kecuali ada kebijakan yang luar biasa
(misalnya, tax amnesty yang membuat
ribuan triliun rupiah dana di luar negeri kembali ke tanah air), jumlah
simpanan itu akan segitu-gitu saja. Pertumbuhan dana pihak ketiga (istilah
untuk tabungan, giro, dan deposito) akan ''sebelas dua belas'' dengan
akselerasi kredit.
Karena itu, dana segar juga akan dipengaruhi
pembiayaan dari pasar modal. Yang utama adalah ketika bank menerbitkan
obligasi. Di sini lah ironi terjadi. Pemerintah, sebagai pemimpin pasar
obligasi, membuat bunga surat utang menjadi kelewat tinggi. Untuk tenor
jangka pendek (1-4 tahun), yield saat ini sekitar 8 persen (125 bps di atas
BI rate). Dengan benchmark tersebut, korporasi, termasuk bank, tidak mungkin
mendulang dana dari pasar dengan bunga lebih rendah daripada itu. Hal serupa
juga berlaku bagi bank yang menempatkan dana di pasar modal (dengan membeli
obligasi). Tidak logis bagi bank jika dipaksa untuk menyalurkan kredit dengan
bunga lebih rendah daripada imbal hasil yang bisa dia dapat dari membeli
surat utang di pasar.
Pertanyaannya, apakah imbal hasil obligasi
pemerintah itu bisa turun? Bisa. Asal, pemerintah tidak mencari banyak-banyak
utang di pasar. Tidak sampai Rp 511 triliun seperti rencana tahun ini.
Tetapi, apa mungkin? Dengan setoran pajak yang jauh dari target dan
penerimaan dari hasil sumber daya alam yang jeblok karena jatuhnya harga
minyak, itu mustahil terjadi. Lalu, bunga rendah pun bisa jadi hanya akan
menjadi mimpi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar