Perjuangan Kurdi dan Berkah Pergolakan
Ibnu Burdah ;
Penulis buku Islam Kontemporer: Revolusi dan Demokratisasi
|
JAWA POS, 23 Maret
2016
DI tengah kekacauan dan penderitaan akibat
pergolakan kawasan beberapa tahun terakhir, etnis Kurdi seolah justru
memperoleh berkah. Selama hampir satu abad Kurdi dipandang sebagai etnis
terbesar paling menderita di Timur Tengah. Mereka menjadi lapisan masyarakat
yang sangat terpinggirkan. Salah satu penyebabnya, mereka tidak memiliki
negara sendiri kendati mempunyai populasi yang sangat besar.
Populasi etnis Kurdi saat ini diperkirakan
mencapai 40 juta jiwa. Jumlah itu berarti berpuluh-puluh kali lipat dari
jumlah penduduk negara Timur Tengah yang kecil seperti Kuwait, Uni Emirat
Arab, Bahrain, dan Oman. Bahkan, jumlah populasi mereka lebih besar daripada
jumlah penduduk negara-negara Arab besar seperti Arab Saudi, Yaman, Syria,
Iraq, dan Jordania. Faktanya, hingga saat ini, mereka tidak bisa membangun
negara Kurdistan.
Mereka justru terbagi dalam empat negara.
Padahal, secara geografis populasi etnis Kurdi menyatu. Mereka menjadi
minoritas di semua negara itu, yakni di Iraq, Syria, Turki, dan Iran.
Pengkavlingan Timur Tengah secara ''gegabah'' dalam Perjanjian Sykes-Picot
pada 1916 tak memberi mereka suatu kedaulatan politik atas sejengkal tanah
pun. Mereka seolah tidak ada dalam peta di Timur Tengah kala itu, khususnya
di mata Inggris dan Prancis. Atau, ini memang desain negara besar pemenang
perang.
Etnis Kurdi lalu menjadi minoritas di banyak
negara. Tanah Kurdistan ''Raya'' terbagi dalam empat negara di Iraq, Syria,
Iran, dan Turki.
Penduduknya pun menjadi minoritas signifikan di empat negara
tersebut. Mereka juga menjadi minoritas kecil di banyak negara lain seperti
Azerbaijan, Lebanon, dan Jordania. Sebagai minoritas, persoalan diskriminasi
sulit dihindari, apalagi di negara-negara diktator atau dalam kekacauan.
Etnis Kurdi di Iraq mengalami persekusi yang
luar biasa keras, terutama pada masa pemerintahan Saddam Hussein. Namun,
kekacauan panjang di Iraq pasca tumbangnya Saddam Hussein ternyata justru
memberikan berkah tersendiri bagi etnis Kurdi. Konflik Sunni-Syiah di Iraq
yang seolah tiada henti membuat etnis ini mampu melakukan konsolidasi politik
bahkan ''paramiliter''. Tak main-main, mereka sekarang sudah memiliki wilayah
pemerintahan dengan otonomi sangat luas yang berpusat di Arbil di bawah
pemimpin karismatis Mas'oed al-Barzani.
Munculnya negara brutal ISIS di Iraq yang
membawa bencana skala luas ternyata justru membawa berkah tersendiri bagi Kurdi.
Perang lawan ISIS menandai akselerasi perjuangan politik dan militer Kurdi.
Ibu kota ISIS di Iraq adalah Mosul, dan wilayah utama mereka di Irak Utara
sangat berdekatan dengan Arbil dan wilayah Kurdi Iraq.
Pada awalnya, Kurdi Iraq memilih tak ambil bagian
dalam perang melawan ISIS. Padahal, kehadiran mereka sangat dibutuhkan karena
wilayah mereka sangat berdekatan dan mereka memiliki satuan keamanan yang
potensial.
Kesediaan Kurdi berbaris bersama pemerintah
Iraq, tampaknya, bukan tanpa imbalan. Ada negosiasi begitu panjang menjelang
keputusan berbaris untuk perang melawan ISIS. Penulis menduga, mereka
bersedia bertempur karena janji politik yang tak kecil. Yakni, referendum
bagi kemerdekaan wilayah Kurdistan pasca kekalahan ISIS di Iraq kelak.
Konsesi semacam ini cukup masuk akal. Wawancara Sky News dengan Mas'oed
al-Barzani baru-baru ini menegaskan bahwa Kurdi menginginkan referendum.
Setelah dua tahun terlibat perang melawan
ISIS, Kurdi memperoleh berkah besar. Yaitu, penguatan pasukan Peshmarga yang
jadi kebanggaan pemerintahan otonomi Kurdistan di Iraq saat ini. Pasukan
tersebut tidak hanya memperoleh pengalaman tempur di medan yang sangat
berbahaya. Mereka juga semakin memperkuat diri dengan peralatan pertahanan
yang semakin memadai seiring dengan besarnya bantuan perang melawan ISIS.
Mereka juga memiliki pengalaman berkoordinasi dengan kekuatan-kekuatan besar
dunia.
Mereka secara de facto semakin siap menjadi
Kurdistan merdeka. Jika aspirasi Kurdi Iraq untuk merdeka tersebut diabaikan,
kekuatan Kurdi Iraq bisa menjadi masalah baru yang tak bisa diremehkan.
Syria dan Turki
Nasib etnis Kurdi di Syria tak jauh berbeda
dengan yang di Iraq. Mereka menjadi warga negara yang terpinggirkan baik
secara po¬litik, ekonomi, maupun sosial. Mereka menjadi korban dari lima
tahun pergolakan di Syria. Apalagi, wilayah mereka juga berdekatan dengan
pusat ISIS di Syria, yakni Raqqa. Kehidupan mereka benar-benar terancam
akibat perang Kurdi Iraq melawan ISIS. Etnis Kurdi Syria menjadi sasaran
balas dendam oleh ISIS.
Namun, lagi-lagi situasi kacau dan penderitaan
luar biasa tersebut membawa berkah tersendiri bagi etnis yang sangat
merindukan lahirnya negara Kurdistan itu. Mereka berhasil membangun kekuatan
paramiliter yang tangguh. Bahkan, beberapa hari lalu (17/3) di tengah proses
perdamaian Syria yang dengan susah payah didorong, etnis Kurdi di Syria
berani memproklamasikan diri sebagai negara federal di wilayah Rojava.
Wilayah itu berada di Syria Utara dan berbatasan dengan Turki.
Turki tentu sangat menentang perkembangan baru
ini. Sebab, menguatnya Kurdi di Syria bisa jadi akan membantu penguatan
kelompok pemberontak Kurdi di Turki, PKK. Kelompok PKK saat ini berada dalam
situasi perang ''menyeluruh'' dengan pemerintah Turki. Mereka diduga juga
melancarkan aksi-aksi bom bunuh diri di kota-kota Turki kendati mereka hingga
kini tak mengakui.
Kurdi sebagai unit baru sebuah bangsa dan
negara adalah fakta yang semakin sulit dibantah di lapangan, khususnya Kurdi
Iraq dan Syria. Kapasitas mereka semakin hari semakin besar, dan itu terjadi
justru di tengah pergolakan dan perang. Di balik penderitaan luar biasa
akibat perang lima tahun terakhir, Kurdi sepertinya akan menjemput takdirnya
untuk mengakhiri nasib buruk mereka selama hampir satu abad. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar