Peran dan Kewenangan DPD
Aunur Rofiq ;
Politisi dan Praktisi Bisni; Dewan Pembina Alumni IPB
|
KORAN SINDO, 23 Maret
2016
Era reformasi melahirkan keinginan untuk melakukan amandemen UUD
1945. Termasuk di dalamnya mengubah sistem ketatanegaraan dengan lahirnya
lembaga tinggi negara bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Dengan demikian, Indonesia memiliki dua lembaga perwakilan,
yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam
ilmu politik dan ketatanegaraan, sistem ketatanegaraan seperti ini biasa
disebut sebagai negara yang menganut sistem dua kamar (majelis) atau disebut
bikameral.
Sementara sebutan bikameral untuk sistem parlemen Indonesia,
tidak pernah secara formal dituliskan, dalam bentuk dasar hukum apa pun. Yang
berkembang itu hanya interpretasi akademik saja (dalam ilmu politik dan
ketatanegaraan) atau mungkin dalam politik pragmatis saja. Dalam negara
demokrasi yang menganut sistem bikameral adalah wujud institusional dari
lembaga perwakilan atau parlemen yang terdiri atas dua kamar (majelis).
Majelis yang anggotanya dipilih dan mewakili rakyat yang
berdasarkan jumlah penduduk disebut majelis pertama atau majelis rendah dan
dikenal juga sebagai house of
representatives yang di negara kita disebut Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR).
Sementara majelis yang anggotanya dipilih bukan berdasar jumlah
penduduk, tetapi mewakili wilayah (baik wilayah besar maupun kecil jumlahnya
wakilnya sama) disebut majelis kedua atau majelis tinggi dan di sebagian
besar negara disebut senat, yang di Indonesia kita sebut Dewan Perwakilan
Daerah (DPD).
Pada Mei 2012 yang lalu, DPD RI mendeklarasikan nama populernya
sebagai Senat, sehingga sebutannya kemudian menjadi Senat DPD RI, dan anggota
DPD sehari-hari disebut atau menyebut dirinya Senator. Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) adalah lembaga tinggi negara yang dihasilkan amandemen ketiga
UUD 1945. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dipilih melalui pemilihan umum setiap
lima tahun sekali.
Anggota DPD adalah perwakilan dari setiap provinsi di Indonesia
yang mewakili daerah dan aspirasi masing-masing daerah tersebut. DPD RI
menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yaitu, fungsi legislasi,
pertimbangan dan pengawasan. Pertama, fungsi legislasi yaitu, mengajukan
rancangan undang-undang (RUU) kepada DPR dan ikut membahas RUU terkait
otonomi daerah; Hubungan pusat dan daerah; Pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah; Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya; Perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Kedua, fungsi pertimbangan dengan memberikan pertimbangan kepada
DPR. Dan ketiga, fungsi pengawasan yaitu, dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undangundang dan menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Keberadaan DPD dimaksudkan memiliki peran yang strategis, yakni
sebagai kanalisasi untuk mewujudkan desentralisasi, yaitu memberikan peran
kepada daerah untuk maju dengan mengelola sumber daya dan sumber dana di
daerah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat di daerah bersangkutan. Adanya
DPD akan meningkatkan posisi tawar pemerintah daerah dalam memperjuangkan
aspirasi daerah secara langsung di tingkat pusat.
Sayangnya dalam praktik sistem politik kita saat ini, peran
tersebut tidak dapat optimal dilakukan oleh DPD. Ada keinginan kuat perlunya
institusi sosial yang mumpuni untuk mampu mendeteksi akar permasalahan daerah
dan membawah formula pembangunan yang tepat sampai ke pusat. Sementara
keinginan itu tidak didukung oleh kewenangan yang dimiliki.
Secara kelembagaan, kondisi kekinian DPD menunjukkan adanya
permasalahan eksistensi serta kewenangan DPD yang masih jauh dari yang
diharapkan. Selama ini DPD seperti macan ompong karena dianggap tidak mampu
berbuat banyak dalam memperjuangkan kepentingan daerah. Ada sisi yang menjadi
faktor penghambat DPD untuk mengoptimalkan fungsi dan perannya di lembaga
legislatif. Salah satu problem eksistensial DPD adalah UUD 1945.
Meski hasil amendemen (empat kali amendemen) melahirkan lembaga
tinggi negara bernama DPD, namun pada sisi lain, dalam amendemen tersebut ada
pasal yang mengerdilkan DPD, yakni khususnya pasal 22D ayat (2) yang
menyatakan ”DPD hanya sebatas ikut membahas rancangan UU yang berkaitan
dengan otonomi daerah dan tidak memiliki hak ‘vote’.”
Pasal ini menunjukkan Indonesia menganut sistem kamar bikameral,
tetapi pada sisi lain, menunjukkan soft bicameral. Karena terjadi
ketidakseimbangan antara kekuasaan DPR dan DPD, yang mana posisi DPR lebih
kuat daripada DPD. Artinya, DPD memiliki legitimasi yang kuat, tetapi
kewenangan formalnya sangat rendah.
Desain konstitusional sistem perwakilan ini, seolah kita berada
dalam keraguan, antara unikameral dan bikameral, sehingga sosok DPD tidak di
desain sebagai lembaga tinggi negara ”yang mumpuni” atau hanya ”pelengkap
penyerta”.
Sebagai akibat desain eksistensial yang mengambang ini, maka
kompetensi DPD pun hanya periferal, sekedar lembaga pertimbangan bagi DPR
dalam proses legislasi dan hanya fakultatif dalam pengawasan dan hak budget.
Sementara juga muncul anggapan bahwa sistem bikameral (dengan memperkuat
peran DPD) hanya akan menghambat kelancaran pembuatan undang-undang.
Dengan adanya permasalahan tersebut, ada keinginan melakukan
terobosan individual dan reformasi kelembagaan untuk memaksimalkan tugas dan
fungsi serta kewenangan DPD. Konkretnya, untuk menjawab permasalahan ini
dalam konteks peran DPD, ada target amendemen konstitusi kelima.
Amendemen UUD 1945 harus mengakomodasi kepentingan daerah untuk
membangun dan memberikan peran yang strategis agar DPD dapat memaksimalkan
tugas dan tanggung jawabnya. Regulasi aturan yang mengatur masalah
pembangunan daerah serta lembaga yang menjalankan peran dalam pembangunan
daerah harus terakomodasi dalam amendemen tersebut.
Usulan untuk memperkuat fungsi dan peran DPD dalam sistem
bikameral ini, perlu adanya penyempurnaan atau sinkronisasi UUD hasil
amendemen. Dan untuk mengusulkannya, dituntut untuk dapat menggandeng partai
agar tercapai 1/3 jumlah anggota MPR dan untuk mengubahnya dibutuhkan dukungan
partai untuk mencapai 50% ditambah satu dari jumlah anggota MPR.
Tentu saja keinginan ini tidak bermaksud menghidupkan lagi MPR
sebagai lembaga tertinggi negara. Sebab MPR sebagai lembaga tertinggi negara,
memiliki kekuasaan tanpa batas sebagaimana pernah dimiliki oleh MPR di masa
lalu dan itu dilarang oleh UUD, karena terbukti bahwa kekuasaan itu digunakan
untuk melanggar UUD. Keberadaan MPR sangat unik, karena lembaga semacam ini
sulit dicari bandingannya di negara mana pun.
Dengan kedudukan MPR seperti saat ini yang memiliki struktur
yang terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD seperti dalam Pasal 2 ayat (1)
UUD, dibutuhkan pengkajian mendalam terhadap isu utama untuk menjadikan MPR
sebagai perwakilan dalam sistem bikameral guna mendukung efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan negara.
Guna meningkatkan peran MPR sebagai lembaga negara dalam
kehidupan bernegara, hanya dapat dilakukan dengan mengubah sistem perwakilan
sekarang yang tidak jelas sistemnya menjadi sistem bikameral di mana
kedudukannya membawahi DPR dan DPD dan keduanya memiliki tupoksi yang
seimbang.
Kamar DPD berfungsi sebagai kamar penyeimbang sehingga dapat
mengoreksi kesalahan-kesalahan kamar lain. Secara teori, house merepresentasikan rakyat kebanyakan atau ”common people”, sedangkan ”senate”
merepresentasikan orang-orang yang lebih mapan sebagai pelaksana checks and balances terhadap tekanan
yang mungkin terjadi dari tekanan opini publik.
Selain itu, dalam model bikameral sangat diidealkan oleh
negara-negara yang ingin memaksimalkan proses legislasi yang kuat, sehingga
berbagai kepentingan masyarakat bahkan kepentingan berbagai kelompok kecil
atau minoritas dapat terepresentasikan. Dalam perkembangan kehidupan
demokrasi kita, ada keinginan untuk memperkuat otonomi daerah atau
desentralisasi fiskal.
Bahkan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal cenderung terus
menguat. Dengan perkembangan ini, memperkuat sistem bikameral atau peran DPR
dan DPD yang sama-sama kuat, menjadi penting apalagi negara kita memiliki
wilayah luas, dengan jumlah penduduk besar yang disertai keragaman
sosial-budaya.
Meski negara kita adalah negara kesatuan, menerapkan sistem
bikameral sebagai model parlemennya tetaplah relevan karena menguatnya
tuntutan desentralisasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar