Melindungi Hak Hidup Orang Rimba
Mimin Dwi Hartono ;
Anggota Staf Komnas HAM
|
KOMPAS, 28 Maret
2016
Komunitas Orang Rimba, yang jumlahnya diperkirakan hanya tinggal
3.600 jiwa, dikhawatirkan berada di ambang kepunahan akibat tingginya tingkat
keterjangkitan mereka oleh penyakit hepatitis B dan malaria. Dua jenis
penyakit itu tergolong mematikan menurut WHO.
Tingginya keterjangkitan Orang Rimba akibat kedua penyakit
mematikan tersebut merupakan hasil riset Lembaga Biologi Molekuler Eijkman,
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, bersama Komunitas
Konservasi Indonesia selama dua bulan. Mereka menemukan empat dari setiap 10
Orang Rimba terjangkit hepatitis B dan dua dari setiap 10 Orang Rimba
terjangkit malaria.
Terabaikan
Orang Rimba adalah masyarakat adat (indigenous people) yang wajib dilindungi oleh negara karena
merupakan masyarakat asli yang hidup dan tinggal turun-temurun di suatu
wilayah yang saat ini secara administratif berada di Provinsi Jambi. Mereka telah eksis jauh sebelum Republik
Indonesia berdiri, punya pranata hukum, struktur pemerintahan adat, dan
kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Tingkat keterjangkitan hepatitis B pada Orang Rimba jauh di atas
rata-rata penduduk Jambi ataupun Indonesia. Demikian juga prevalensi atas
malaria yang ratusan kali lebih tinggi. Hal ini menunjukkan adanya indikasi
kuat diskriminasi dalam pelayanan hak atas kesehatan terhadap mereka (Kompas, 13/2/2016).
Hasil riset tersebut bisa jadi merupakan jawaban atas kematian
beruntun 14 Orang Rimba pada akhir 2014 dan awal 2015, yang diduga kuat
terserang-antara lain-penyakit malaria. Tingkat kematian Orang Rimba akibat
berbagai penyakit mematikan diduga cukup tinggi, tetapi tidak dilaporkan.
Sebab, berdasarkan fakta, populasi mereka terus menurun dari waktu ke waktu.
Selama ini pemenuhan hak atas kesehatan bagi Orang Rimba
terabaikan. Selain persoalan minimnya layanan serta sarana dan prasarana
kesehatan, rentannya (vulnerability)
kesehatan Orang Rimba adalah karena terkurangi dan hilangnya akses mereka
atas rimba yang merupakan topangan dan ruang hidup mereka. Ratusan ribu
hektar rimba yang sebelumnya adalah rumah mereka kini sebagian besar telah
berubah menjadi wilayah yang eksklusif, berupa taman nasional,
perkebunan kelapa sawit, dan industri
kehutanan dalam luasan yang sangat masif.
Pemerintah wajib memenuhi dan melindungi hak atas kesehatan bagi
setiap orang, terkhusus bagi kelompok minoritas dan rentan seperti Orang
Rimba. Kewajiban ini tertuang dalam Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945, bahwa setiap
orang berhak mendapatkan layanan kesehatan jo Pasal 9 Ayat (3) UU tentang Hak
Asasi Manusia, bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat.
Orang Rimba mampu bertahan hidup (survive) dan menjalani penghidupannya dari sumber daya alam yang
disediakan oleh rimba. Ketika rimba sebagai ruang hidup mereka telah diambil
dan/atau rusak, kemampuan mereka untuk bertahan dan beradaptasi-termasuk dari
serangan penyakit malaria dan hepatitis B-menurun dan hilang.
Orang Rimba tanpa rimba
Rimba yang menyediakan berbagai macam sumber keanekaragaman
hayati, termasuk obat-obatan, telah punah berganti menjadi hutan monokultur
(sejenis) berupa kelapa sawit, pohon akasia, dan pohon karet. Saat ini, sebagian
besar Orang Rimba hidup di luar rimba yang selama ini menjaga dan menghidupi
mereka.
Padahal, Orang Rimba tidak bisa dipisahkan dari rimba.
Memisahkan mereka dengan rimba sama artinya dengan memutus hidup, interaksi
budaya, dan ritual Orang Rimba. Menurut Butet Manurung (2007), definisi Orang
Rimba adalah karena asal mereka dari rimba, mereka tidak mau keluar dari
rimba, dan mereka melakukan kegiatan sehari-hari berdasarkan berkah dari
rimba yang menyediakan kebutuhan hidup mereka.
Kebijakan jangka pendek dan mendesak yang harus segera diambil
pemerintah untuk memenuhi hak atas
kesehatan bagi Orang Rimba adalah menyediakan dan memenuhi fasilitas
obat-obatan dan rumah sakit yang memadai, sesuai dengan budaya mereka
(culturally appropriate), terjangkau secara ekonomi dan fisik
(affordability), dan tidak diskriminatif.
Pemerintah mesti menetapkan target agar angka prevalensi Orang
Rimba terhadap penyakit malaria, hepatitis B, dan penyakit mematikan lainnya
dapat diturunkan secara bertahap dan signifikan. Lebih lanjut, akar masalah
munculnya persoalan yang dihadapi Orang Rimba harus ditelusuri dan
diselesaikan, dengan melakukan penilaian terkait dengan kebutuhan akan ruang
hidup yang layak dan memadai bagi Orang Rimba sampai dengan generasi
mendatang. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 telah menegaskan
bahwa hutan adat bukanlah hutan negara.
Mesti diaudit
Pemerintah perlu melakukan audit atas izin-izin perkebunan dan
kehutanan yang telah diterbitkan di atas lahan dan hutan yang merupakan bagian
dari ruang hidup Orang Rimba dan selama ini saling bersinggungan (konflik).
Beserta dengan lembaga swadaya masyarakat, pemerintah perlu melakukan
konsultasi menyeluruh dengan Orang Rimba untuk mendapatkan aspirasi dan
memahami kebutuhan hidup Orang Rimba, termasuk dengan melibatkan penduduk
lokal dan transmigran yang beberapa kali terlibat konflik dengan Orang Rimba.
Sebagai pengemban kewajiban dalam perlindungan dan pemenuhan
HAM, pemerintah harus menyusun peta jalan pemulihan hak-hak Orang Rimba dan
mengimplementasikannya secara bertahap dan progresif sehingga mampu
memulihkan ruang hidup dan kehidupan Orang Rimba. Dengan begitu, Orang Rimba
bisa hidup secara layak, setara, dan bermartabat, dengan menghormati
identitas kulturalnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar