Kabinet dan Beda Pendapat
Ignas Kleden ;
Sosiolog
|
KOMPAS, 29 Maret
2016
Perbedaan pendapat di antara menteri kabinet tentu hal lumrah
dalam menetapkan kebijakan pemerintah. Namun, perbedaan pendapat yang
kemudian masuk ke ruang publik, menjadi bagian diskusi publik dan berkembang
menjadi kontroversi, rupanya gejala baru dalam pemerintahan Jokowi.
Beberapa debat, misalnya mengenai pembangunan kilang Blok
Masela, dapat membantu pengertian publik tentang plus-minus pilihan suatu
kebijakan. Apakah pembangunan kilang itu di darat atau di laut menunjukkan
segi apa yang menjadi prioritas kepentingan yang diutamakan oleh pembela
masing-masing pendapat. Pembangunan kilang di laut menurut perhitungan akan
lebih murah karena tidak perlu banyak infrastruktur pendukung, seperti jalan,
pembebasan tanah penduduk untuk pembangunan gedung operasi dan produksi, dan
pembangunan infrastruktur lain. Sebaliknya, menurut pembela pendapat yang
lain, kilang di darat dianggap lebih langsung menciptakan multiplier effect bagi penduduk
setempat, yang bisa segera membuka rumah makan atau warung keperluan para
karyawan, dan pengendara ojek dapat memperoleh banyak pendapatan tambahan.
Perbedaan pendapat di antara menteri, yang dianggap ahli atau
spesialis di bidang kerjanya, dapat meningkatkan kecerdasan umum. Masalahnya,
seorang menteri kabinet mempunyai beberapa peran, dan peran-peran itu tak
selalu bisa sejalan dalam akibat yang ditimbulkan. Secara gampangnya, dapat
kita sebutkan empat peran utama menteri: menjadi pembantu presiden, menjadi
kepala departemen teknis atau koordinator beberapa departemen, menjadi
anggota kabinet, dan juga menjadi seorang tokoh masyarakat, entah agama,
organisasi massa, atau parpol.
Sebagai pembantu presiden, menteri dituntut tunduk dan patuh
kepada kebijakan presiden. Menteri adalah suatu posisi politik. Sebagai
pembantu presiden, dia diharap punya kesetiaan politik kepada presiden selama
bertugas di kabinet. Kesetiaan politik ini diwujudkan melalui kesediaan
mengeksekusi kebijakan yang telah diputuskan presiden. Sebagai kepala
departemen, dia dituntut punya kompetensi mengenai bidang tanggung jawabnya.
Kompetensi ini mengharuskan dia punya pengetahuan, pengalaman, dan keahlian
cukup di bidang tanggung jawabnya. Dia harus cukup knowledgeable.
Sama pentingnya dengan itu, dia juga harus mampu mengeksekusi
dalam pelaksanaan pengetahuan dan keahliannya tersebut. Dia harus able to execute. Sebagai anggota
kabinet, dia seyogianya mempertimbangkan apakah pernyataan-pernyataannya
mendukung atau mempersulit kerja sama di antara para anggota kabinet yang
diharap bekerja sebagai suatu tim kerja.Selanjutnya, sebagai tokoh
masyarakat, dia dikenal karena kemampuan, pengetahuan, pengalaman, serta
pengaruhnya sebagai anggota masyarakat, dan dihormati karena integritas dalam
sikap-sikap dan komitmen yang diberikan.
Sekarang marilah kita bayangkan beberapa situasi sulit yang
dihadapi seorang menteri. Sebagai seorang yang terdidik dan mempunyai banyak
pengetahuan dan pengalaman, seorang menteri yang bertanggung jawab terhadap
departemen A, misalnya, dapat melihat bahwa kebijakan yang hendak
dilaksanakan di departemen B mengandung beberapa hal yang kurang tepat, yang
dapat merugikan negara dan masyarakat. Sebagai seorang yang berpengetahuan
dan berpengalaman, dia merasa terpanggil untuk mengemukakan pendapatnya untuk
mencegah timbulnya kerugian yang diakibatkan oleh kebijakan yang dianggapnya
tidak tepat. Apa yang harus dilakukannya? Haruskah dia berdiam diri dan
menderita konflik dalam pikiran dan batinnya karena merasa tidak dapat
mengemukakan pendapat, yang menurut penilaiannya harus dikemukakan?
Kebebasan berpendapat
menteri
Dalam kesulitan seperti itu, kebebasan pendapat seorang menteri
sudah dibatasi oleh perannya sebagai pembantu presiden. Pendapatnya tentang
kebijakan dalam departemen B yang bukan menjadi tanggung jawabnya dapat
diajukan dan dibahas dalam sidang kabinet yang dipimpin presiden. Menteri
bukanlah opinion leader yang
berusaha menguasai pendapat umum dan ingin merebut dukungan pendapat umum.
Sebagai seorang eksekutor kebijakan, dia harus merebut perhatian dan dukungan
presiden, atau dukungan dari menteri-menteri lain. Pada titik itu, seorang
menteri seyogianya melihat perbedaan di antara perannya sebagai menteri dan
perannya sebagai seorang akademikus atau seorang intelektual publik.
Kalau pandangannya mengenai suatu soal tak diterima sebagian
atau seluruhnya oleh presiden dan sidang kabinet, sementara dia merasa
pendapatnya mengandung perkara yang prinsipiil, beyond the power of reason and against a good conscience, dia
dapat menemukan jalan keluar dengan mengembalikan mandat sebagai menteri
kepada presiden dan berhenti sebagai anggota kabinet. Bung Hatta merasa
pendapatnya tentang demokrasi berbeda secara prinsipiil dengan Bung Karno,
dan sebagai konsekuensinya dia menarik diri sebagai wapres. Alasan prinsipiil
yang lain, Bung Hatta merasa sebagai wakil presiden dia mempunyai tanggung
jawab, tetapi tidak mempunyai kekuasaan untuk mewujudkan tanggung jawabnya.
Tentu kebebasan berpendapat tetap berlaku bagi seorang menteri.
Namun, format untuk menyatakan pendapat itu dimodifikasi oleh tugasnya
sebagai pembantu presiden, dan sedikit banyak memperkecil ruang geraknya
sebagai tokoh masyarakat yang pendapat-pendapatnya didengar dan jadi rujukan
anggota masyarakat. Sebagai menteri, dia sudah memberikan komitmen untuk
menerjemahkan pendapatnya menjadi kebijakan, dan menerjemahkan kebebasannya
menjadi komitmen untuk melaksanakan kebijakan itu. Pendapat adalah buah
pikiran hasil pemikiran yang dapat diuji dalam perbandingan dengan buah
pikiran lain.
Kebijakan adalah buah pikiran yang sudah diterjemahkan menjadi
keputusan politik yang harus dilaksanakan. Buah pikiran dapat didiskusikan
dari waktu ke waktu yang berujung pada suatu kesimpulan yang kemudian bisa
berubah juga. Kebijakan juga dapat dibahas dalam diskusi, tetapi berujung
pada keputusan yang akan dilaksanakan, dan tak selalu dapat diubah lagi.
Kesimpulan dalam diskusi adalah suatu organisasi gagasan, sementara keputusan
dalam persidangan adalah organisasi kerja dan rencana kerja yang membawa
banyak konsekuensi praktis.
Perbedaan pendapat mengenai buah pikiran tak lagi menggelisahkan
masyarakat yang mengikuti, dan ini bukti naiknya tingkat kecerdasan umum
menghadapi pertarungan antar-gagasan sebagai perwujudan kebebasan dalam
demokrasi. Namun, perbedaan pendapat mengenai kebijakan rupanya kian hari
kian meresahkan, terbukti dari desakan masyarakat kepada presiden agar segera
melakukan reshuffle kabinet untuk dapat tim menteri yang lebih siap bekerja
sama melaksanakan kebijakan pemerintah.
Sikap presiden
Dalam suasana di kabinet, saat perbedaan pendapat telah menjadi
kontroversi yang membingungkan masyarakat, pihak mana yang harus dimintai
pertanggungan jawab? Ada beberapa pihak yang menganggap ini akibat kurangnya
sikap tegas Presiden dalam mendisiplinkan para menterinya. Mungkin ini tak
seluruhnya benar karena pengertian dan penghayatan tentang sikap tegas ini
akan berbeda menurut masing-masing kelompok budaya. Sebagai seorang Jawa yang
besar di Kota Solo, penghayatan Presiden Jokowi tentang ketegasan tentu
berbeda dari sikap tegas Basuki Tjahaja Purnama yang pernah menjadi wakilnya
sebagai gubernur DKI. Sebagai seorang yang lahir dan dibesarkan di lingkungan
Pulau Sumatera dan dididik dalam keluarga yang mewarisi peradaban Sinik,
ekspresi Ahok tentang ketegasan jelas berbeda dari seorang presiden yang
bertumbuh dalam kebudayaan Solo.
Meski demikian, patut diusulkan di sini, demi menjaga
kolegialitas yang nyaman di antara kepala pemerintahan dan anggota kabinet
yang membantunya, Presiden menggunakan kata-kata penghalus, seperti meminta
atau mengimbau, agar perdebatan dalam sidang kabinet tak dibawa keluar kepada
publik. Per definisi, tugas pemerintah dan khususnya tugas kepala
pemerintahan bukanlah meminta atau mengimbau, tetapi memerintahkan, sesuai
nomenklaturnya, yaitu pemerintah, bukan pengimbau atau pemohon. Karena itu,
dalam keadaan sulit dan genting, hendaknya Presiden secara eksplisit
memerintahkan para menteri sebagai pembantunya agar melaksanakan
kebijakannya, dan memberi teguran dan sanksi apabila perintah tak
dilaksanakan. Pada akhirnya, apakah suatu kebijakan menguntungkan atau
merugikan negara, membawa manfaat atau kemubasiran untuk masyarakat, akan
menjadi tanggung jawab presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif
tertinggi dan kepala pemerintahan.
Dalam kaitan itu, seorang menteri kabinet harus mempertimbangkan
keseimbangan dan trade-off di
antara keempat peran yang diembannya. Sebagai seorang yang punya kompetensi,
dia merasa turut bertanggung jawab terhadap implementasi suatu kebijakan, dan
karena itu merasa terpanggil untuk menyatakan apa yang menurut pengetahuan
dan pengalamannya merupakan pilihan yang lebih baik dan tak membawa banyak
kerugian bagi negara dan masyarakat. Sementara sebagai pembantu presiden, dia
harus tunduk dan loyal kepada kebijakan yang sudah diputuskan presiden. Demi
ketenangan batin dan tanggung jawab moralnya, dia dapat mempertimbangkan
bahwa freedom of speech atau
kebebasan berbicara harus disalurkan sebagai freedom of expression karena dia masih leluasa untuk mencari
bentuk pengungkapan yang dimungkinkan dalam lingkup kerjanya sebagai pembantu
presiden dengan mencari cara dan saluran ekspresi yang tak bertentangan
dengan etos kerjanya sebagai pembantu presiden, yaitu memanfaatkan
sebaik-baiknya debat dalam sidang kabinet untuk memperlihatkan apa yang
diyakininya sebagai pilihan yang tepat. Sementara itu, dia tidak bisa lagi
semata-mata berdiri di atas asas freedom
of speech yang dinikmatinya sebagai seorang warga negara biasa.
Sebagai anggota kabinet, yaitu sebagai anggota dari suatu tim
kerja, seorang menteri harus memperhatikan keberhasilan departemen yang
dipimpinnya, sekaligus juga menjaga agar bersama menteri lain, pekerjaan
mereka sebagai sebuah timdapat mencapai prestasi maksimal. Sudah menjadi
dalil dalam kerja sama, seseorang menggunakan kemampuannya dalam kadar yang
merangsang kreativitas dan kinerja rekan kerjanya dan bukan mempersulit
mereka mengembangkan diri. Bakat dan kemampuan seorang seniman tari,
misalnya,dapat menjadi rangsang bagi penari lain yang menari bersama dia,
tetapi dapat pula menjadi semacam intimidasi yang melumpuhkan daya cipta
orang lain. Penari Sardono W Kusumo menceritakan temuannya ketika bergaul dan
hidup bersama seniman-seniman tradisional di sejumlah daerah di Tanah Air.
Menurut Sardono, dalam tari kecak di Bali, tari malulo di
Sulawesi, atau tari seudati di Aceh, selalu terlihat etos yang sama, yaitu
pentingnya memperhatikan ekspresi penari lain dan bahkan ekspresi penonton,
agar tarian bersama itu menjadi suatu performance
bersama yang menggabungkan secara harmonis dan kreatif ekspresi dari semua
yang hadir dan ikut menari.Testimoni yang dapat dicatat sebagai kesimpulan
dia ialah ”tari-tari tersebut tak akan hidup bila masing-masing penari tak memperhatikan
ekspresi orang-orang sekelilingnya (rekan penari, musikus, atau penonton).
Tarian tak akan mantap berkembang bila seorang penari terlalu mengikuti
ekspresi pribadinya. Itu akan membuat yang lain sulit menangkap dan
mengembangkan tari sebagai peristiwa kebersamaan” (Sardono W Kusumo, Hanuman, Tarzan, Homo Erectus, 2004, hal 109-110).
Kebersamaan dalam suatu performance kesenian bukan hanya jadi kekangan bagi
ekspresi seseorang, melainkan juga dapat menjadi kesempatan mewujudkan
potensi seorang yang mungkin belum disadarinya, tetapi kemudian dirangsang
oleh ekspresi rekan seniman lain yang diungkapkan secara terukur.
Kebersamaan tak terbatas pada kebersamaan dalam ruang seperti
dalam tarian bersama, tetapi juga kebersamaan dalam waktu. Maestro seni
patung Bali, Lempad dan seniman segenerasinya punya kebiasaan yang
memperlihatkan kesadaran tentang kebersamaan dalam waktu. Konon, beberapa
patung yang dibuat Lempad di rumahnya sengaja tak diselesaikan. Dia berharap
patung yang belum selesai itu diselesaikan anak cucunya di kemudian hari. Ada
baiknya para menteri sebagai anggota kabinet kadang-kadang membayangkan tim
kabinet mereka sebagai sebuah kelompok tari. Kebersamaan kreatif itu akan
muncul bila mereka ingat pengalaman Sardono dalam menari bersama berbagai
kelompok tari tradisional, yaitu ”tarian
akan berkembang dengan baik bila mereka yang ambil bagian mampu menakar kadar
ekspresinya, hingga yang lain-lain terangsang, lalu rangsangan itu akan
kembali kepada dirinya”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar