Paskah, Kemartiran, dan Kemanusiaan
Max Regus ;
Rohaniwan;
Kandidat PhD di Graduate School
of Humanities, University of Tilburg, Belanda
|
MEDIA INDONESIA,
24 Maret 2016
TIGA tahun lalu, 2013,
hari-hari seperti ini di bulan Maret, dunia dan khususnya umat Katolik
terkejut sekaligus bergembira karena dua alasan. Terkejut karena pengunduran
diri Paus Benediktus XVI sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik pada 28
Februari 2013. Bergembira karena terpilihnya Paus Fransiskus sebagai pemimpin
yang baru dalam sidang para kardinal pada 12-13 Maret 2013. Keterkejutan
serentak kegembiraan yang hanya berselang beberapa hari itu menandai suatu
geliat panjang pertaruhan religiositas di tengah ceruk sejarah. Pada dua sisi
berbeda dari pengalaman keagamaan ini, dengan sekian banyak perdebatan yang
menyertainya, ada satu garis penghubung yang menyimpan kebenaran abadi.
Keabadian itu ada pada
maksud yang melampaui kepentingan personal dan kesempitan kediriannya yang
serbaterbatas, Paus Benediktus XVI meletakkan jabatannya. Dia menaruh
dirinya, lebih tepat 'mengorbankan' dirinya, dengan jalan, bukan hanya
menyerahkan kuasanya (kehilangan takhta), melainkan juga mendengar sekian
banyak kritik atas keputusannya itu. Pada sebagian kritik itu terungkap
seolah dia menampar dan merusak tatanan kelembagaan yang sudah mapan
berabad-abad. Mengikuti semangat itu, gereja, menyerap satu 'kebiasaan' lain
ketika seorang Paus datang dari sebuah kawasan 'non-Eropa'. Gereja
mengorbankan 'kemapanan' tradisi untuk suatu maksud yang lebih jauh, hasrat
untuk bersikap terbuka, menjembatani ruang-ruang yang mungkin belum tersentuh
kabar gembira Injil.
Kemartiran
Pada barisan
'keduabelasan', sebutan untuk kelompok para rasul, Yesus adalah pemimpin. Dia
memimpin perlawanan terhadap rigorisme hukum kelas elite religius dan politik
pada masa itu. Serangkaian serangan kritis terhadap para pemuka agama Yahudi,
yang menurut Yesus, telah menjadikan hukum dan tradisi sebagai beban bagi
umat dan 'scandalum' tengik bagi umat (rakyat). Perilaku para pemuka agama,
yang sering kali berdiri di atas 'standar ganda' aturan dan istiadat
keagamaan, tidak saja membusukkan fondasi asali kerohanian, tetapi juga
menebarkan ancaman mematikan kepada kemanusiaan.
Yesus memilih
menggunakan metode 'konfrontasi' langsung ketika berhadapan dengan para
pemuka agama dan pemimpin politik lalim. Tidak ada pilihan kedua.
Satu-satunya pilihan perlawanan sejak awal. Dengan itu, Dia memilih 'jalan
tidak aman' untuk meraih nilai yang lebih besar dari keberadaan-Nya sendiri.
Dia rela terkepung di antara asap permusuhan dan kebencian yang mengepul dari
benak dan hati pemuka agama (politik). Semua itu muncul sebagai reaksi
langsung atas persaksian kenabian Yesus yang merontokkan arogansi keagamaan
dan politis. Arogansi, yang sekian lama, berabad-abad, menjadi sumber
penistaan kehidupan.
Yesus harus membayar
mahal penentangan langsung terhadap tindak tanduk keagamaan berselimutkan
kemunafikan pemuka Yahudi. Dia menghadapi pengadilan sesat. Melihat muka
penguasa yang tidak mampu menegakkan kebenaran. Mendengar riuh suara publik
yang ditembakkan dalam amarah. Yesus dapat saja terbebas dari semua itu jika
Dia mau mengingkari pendirian-Nya yang telah merusak tatanan kemunafikan para
elite sosial, keagamaan, dan politik zaman itu. Namun, Yesus tetap berada di
tempat, di mana sejak awal Dia memperlihatkan misi utama, memorak-porandakan
struktur sosial dan keagamaan yang mengabadikan kebusukan para elite. Yesus
membayar semua pemberontakkan itu dengan nyawa. Dia menjalani 'kemartiran'
sebagai jalan politik perlawanan terhadap keangkaramurkaan.
Kemanusiaan
Jika merunut ke titik
awal kemunculan Yesus di panggung sejarah, kemanusiaan adalah isu kunci dari
seluruh potret kenabian-Nya. Kisah tentang Putra Tuhan yang menjelma dalam
diri seorang manusia (inkarnasi), dengan segala risiko munculnya keraguan
abadi tentang 'kadar ketuhanan-Nya' membahasakan keterpesonaan pada
kemanusiaan. Kenabian Yesus di atas basis pembelaan kemanusiaan serentak
menarik gelombang dukungan dari massa, rakyat, umat yang sudah 'jengah' dan
'bosan' dengan perilaku feodal pemuka agama dan politik. Mereka melihat
perlawanan Yesus lebih daripada sekadar sebuah aksi personal. Mereka memahami
Yesus sebagai simbol dari kerinduan dan hasrat yang sudah lama terpendam di
susut-sudut keseharian hidup mereka.
Hal itu tidak
terbantahkan. Injil memberitakan sesi-sesi menakjubkan ketika Yesus secara
langsung membela kemanusiaan ketika para pemuka agama menggunakan sekian
banyak momentum, ajaran, aturan hukum untuk menjerat orang lain sembari
menebalkan kesombongan mereka sendiri. Yesus membela kemanusiaan yang
'dibelah' kaum farisi. Yesus bahkan berani menaruh hukum Taurat yang amat
dijunjung para pemuka agama pada masa itu di bawah kaki-Nya jika kemanusiaan
sedang terancam akibat pembelokan aturan hukum. Bagi Yesus, hukum Taurat sama
sekali tidak berarti ketika tidak berdaya membentengi kemanusiaan.
Yesus menaruh
kemanusiaan di suatu titik yang mudah kelihatan. Dia mencopot selubung
kepongahan para pemimpin agama yang mengurung kemanusiaan untuk proyek
penyesatan. Dia melakukan itu agar orang-orang Farisi, yang merasa diri
paling benar, paling suci, dan mempunyai privilese religius untuk mengadili
orang-orang kebanyakan, dapat membungkukkan punggung dan melengkungkan tubuh
mereka di hadapan kemanusiaan. Bahkan, Yesus menghubungkan kemanusiaan pada
ruang kehidupan setiap orang dan kelas sosial yang tidak beruntung secara
sosial, ekonomi, politik. Dia secara khusus menunjuk kemanusiaan yang
terpenjara dalam kerangkeng ketidakberuntungan. Ketakjuban Yesus pada
kemanusiaan, serentak mengalirkan hasrat untuk membelanya, adalah alasan
paling manusiawi dari jalan kemartiran-Nya.
Gugatan
Cahaya lilin Paskah,
yang memesonakan mata iman orang Kristen, sebetulnya mengirimkan pesan-pesan
kunci untuk kehidupan. Pesan-pesan yang melampaui bentangan waktu dan
kategori-kategori sosial. Artinya, pesan-pesan itu memiliki makna universal.
Pesan yang mengajak tanpa batas. Salah satu pesan utama berhubungan dengan
'kepemimpinan' Yesus berujung pada jalan kematian (kemartiran). Dari situ
dengan jelas terlihat, 'kemartiran' adalah dimensi hakiki dari kepemimpinan.
Para pemimpin, baik politik maupun keagamaan, di dalam dirinya sendiri
terkandung 'panggilan' (desakan) untuk menjadi martir. Hasrat untuk
mengorbankan diri, membunuh kepentingan diri, mengalahkan egoisme untuk
kepentingan yang lebih besar.
Kerusakan tatanan
sosial, politik, dan keagamaan menjadi pemandangan sehari-hari karena para
pemimpin enggan untuk berkorban. Mereka tidak ingin menempuh jalan
kemartiran. Akan tetapi, kemartiran hanya menjadi mungkin ketika terutama
para pemimpin tidak berjarak dengan kemanusiaan; khususnya yang tersekap di
dalam sekian banyak alasan ketidakberuntungan.
Kemanusiaan yang jadi
korban dari keserakahan, kerakusan, kesombongan. Kemanusiaan yang jadi alat
politik. Kemanusiaan yang jadi batu injak para pemuka sosial, agama, dan
politik untuk kepentingan mereka sendiri. Paskah mengirimkan pesan paling
manis (gugatan) untuk para pemimpin tentang panggilan untuk 'memartirkan'
diri mereka bagi kemanusiaan, kehidupan, dan kemaslahatan umat (rakyat). Selamat Pesta Paskah 2016! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar