Menghitung
Potensi Pendapatan dari Restorasi Gambut
Haris Gunawan ; Deputi Penelitian dan Pengembangan Badan
Restorasi Gambut
|
MEDIA INDONESIA,
18 Maret 2016
SAAT musim hujan
seperti sekarang yang mengalami kebanjiran dan ketika musim panas nanti
mengalami kebakaran, begitulah nasib daerah-daerah di Indonesia yang memiliki
lahan dan hutan rawa gambut akibat ekosistemnya rusak. Kini pemerintah sedang
berupaya merestorasi gambut dengan memanfaatkan komoditas lokal yang bisa
menghasilkan pendapatan ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Perambahan dan
konversi lahan dan hutan rawa gambut yang tidak mengenal waktu telah berujung
dengan terjadinya banjir dan kebakaran yang memiliki multidampak. Pada
bencana ekologi tahun lalu, puluhan juta manusia terutama yang tinggal di
Pulau Kalimantan dan Sumatra telah tersalai (menghirup kabut pekat asap
berhari-hari) yang menyebabkan kekalutan. Dampak terhadap kesehatan telah
menyebabkan timbulnya korban jiwa. Adapun dampak dalam bidang ekonomi,
menurut studi Bank Dunia, kerugian karena kebakaran tahun 2015 mencapai Rp221
triliun. Ini mengakibatkan terkoreksinya pertumbuhan ekonomi sebesar 0,5%.
Belum lagi dampak besar pada keragaman hayati yang tidak ternilai harganya
menjadi punah.
Ekosistem rawa gambut
memiliki karakteristik alami yang basah, berupa rawa dan lembab sepanjang
tahun. Pada ekosistem rawa gambut alami, keseimbangan air terjaga dengan baik
dan beraneka tumbuhan hidup di atasnya. Gambut selalu dalam kondisi basah dan
menyimpan air pada saat musim hujan, sehingga tidak menjadi rentan terhadap
terjadinya bencana banjir.
Gambut mengalirkan air
ke sekelilingnya pada saat musim kemarau, menyediakan sumber air bagi
masyarakat sekitar. Keadaan ini dapat kita pertahankan apabila kita tetap
berhati-hati dan bijaksana dalam mengelola lahan gambut.
Material organik
sebagai bahan dasar pembentukan gambut membutuhkan proses ribuan tahun hingga
menjadi bongkahan gambut berawa yang terbentuk dalam kondisi yang selalu
basah.
Dalam keadaan ini,
gambut tetap basah dan tidak menjadi biomassa kering yang rentan terhadap
bahaya kebakaran.
Kondisi ekosistem rawa
gambut pada masa lalu, tentulah tidak kering dan tidak rentan terhadap bahaya
kebakaran, maupun banjir. Sungai dan hutan yang masih lebat menyangga
kehidupan masyarakat dengan harmonis. Namun, alih fungsi lahan dan hutan
gambut secara masif seperti menjadi perkebunan besar diyakini telah mendorong
desa tradisional dan ketergantungan petani terhadap komoditas tertentu.
Komoditas lokal
Restorasi gambut
merupakan harapan baru yang memberi ruang dan peran luas pada semua pihak.
Ini merupakan kesempatan dan tantangan bersama menuju pintu keluar krisis
berkepanjangan akibat kebakaran dan kerusakan akut yang terjadi pada lahan
gambut.
Presiden telah
mengeluarkan kebijakan progresif yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor
1/2016 tentang Pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) yang memiliki tujuan
mulia, yakni agar kebakaran gambut tidak terjadi lagi, ekosistem alami
terjaga dan restorasi yang menyejahterakan masyarakat.
Sekarang merupakan
momentum yang tepat untuk melirik alternatif komoditas potensial yang
terbukti adaptif pada lahan gambut basah. Restorasi gambut menerapkan
berbagai strategi dan mempertimbangkan berbagai konteks lokalitas pada setiap
area. Meskipun tetap pada semangat yang sama yakni bahwa komoditas lokal akan
diprioritaskan untuk dibudidayakan pada lahan gambut yang dipulihkan sistem
tata airnya.
Beberapa jenis
komoditas lokal gambut yang secara tradisional telah dimanfaatkan masyarakat
selama ini di antaranya adalah sagu, getah kayu jelutung rawa, gelam, purun. Serta
kulit kayu pohon medang, getah kayu sonde, biji kayu balam, dan juga tumbuhan
seresah pakis (kelakai).
Komoditas lokal
gambut, misalnya sagu, dapat dimanfaatkan sebagai cadangan pangan potensial.
Beberapa jenis makanan dari tepung sagu antara lain mi sagu,
kepurun/sempolet, gobak, sagu rendang, sagu lemak/sagon, lempeng sagu,
ongol-ongol, kerupuk sagu, cendol sagu, dan sagu telor. Kepurun atau sempolet
adalah sama dengan kapurung di Sulawesi atau papeda di Maluku.
Kebutuhan terhadap
sagu sekitar 6 juta ton per tahun, sedangkan Indonesia hanya mampu
memproduksi 3 juta ton pati sagu. Jepang meminta ekspor sagu dari Indonesia
sebesar 100 ribu ton per tahun untuk produksi mi soba, namun hanya dapat
dipenuhi industri Indonesia sebesar 20 ribu ton per tahun. Tepung sagu juga
dapat digunakan dalam memproduksi gula.
Selain itu, sagu juga
dapat digunakan sebagai bahan tambahan untuk plastik agar mudah terurai di
tanah dan sebagai produk kecantikan, misalnya untuk krim pengencang wajah dan
pelindung kulit. Diketahui juga bahwa pembalut wanita juga menggunakan bahan
sagu dalam bentuk superabsorben. Sagu juga menjadi unsur tambahan untuk
akrilik dalam cat rumah sehingga melekat ke dinding atau besi yang dicat.
Komoditas lokal
lainnya, ialah getah dari kayu pohon jelutung rawa atau yang dikenal sebagai
pohon permen karet. Menurut Balai Informasi Kehutanan Jambi, 1 hektare kebun
jelutung dapat menghasilkan Rp13,5 juta dari getahnya. Jika tanaman jelutung
sudah tidak menghasilkan getah, pada saat diameter pohon jelutung telah
mencapai 50 cm, pohonnya dapat ditebang untuk dijadikan kayu. Dari satu
hektare kebun jelutung, dapat diperoleh nilai sekitar Rp117 juta.
Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik, rata-rata nilai ekspor getah jelutung dari Kalimantan Tengah
selama 10 tahun (2002-2012) mencapai US$962.118. Adapun, rata-rata nilai
eksor dari Kalimantan Selatan selama dua tahun (2011-2012) mencapai
US$166.625.
Dari banyaknya potensi
komoditas lokal gambut tersebut, penting untuk dilakukan pengembangan
komoditas lokal yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat
setempat, dan sekaligus memperbaiki ekosistem lahan gambut, sesuai dengan
misi BRG. Selain itu, penting untuk dilakukan peningkatan kapasitas
masyarakat setempat seiring dengan kegiatan pengembangan komoditas lokal.
Sehingga kegiatan pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan komoditas lokal
tersebut dapat dilakukan dengan bijaksana dan berkelanjutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar